• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS LINGKUNGAN DAN MORAL AGAMA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRISIS LINGKUNGAN DAN MORAL AGAMA (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KRISIS LINGKUNGAN DAN MORAL AGAMA1 Oleh : Subair

A. Pengantar

Cukup lama agama dipandang sebagai sumber moral yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Weber (1990) misalnya membuktikan bahwa etika Protestan merupakan landasan kapitalisme dan materialisme yang cenderung materialistik dan hedonistik sangat berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Sementara masalah lingkungan hampir tidak mendapatkan tempat dalam agama selain Protestan, termasuk Islam. Sehingga sungguh suatu ironi manusia Indonesia yang dikenal beragama justru dikenal pula sebagai perusak lingkungan kelas wahid. Tidak hanya hutan yang gundul akibat ulah serakah manusia, sungai dan laut pun tercemari sedemikian hebat.

Artikel ini mengupas hubungan antara moral agama dan krisis lingkungan masa kini meliputi pembahasan tentang etika-etika lingkungan,spiritual ecology: kembali ke spiritualitas agama, dan pandangan Islam tentang krisis lingkungan.

B. Etika-etika Lingkungan

Mengapa terhadap lingkungan diperlukan etika? Apa gunanya? Dan apa relevansinya? Bagaimanapun pertanyaan ini harus dipahami dengan benar. Karena lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Manusia dapat mengarahkan teknologi ke arah mana saja, baik atau buruk, benar atau salah. Di sinilah letak peran etika, yang dapat mengarahkan perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah.

Perhatian terhadap lingkungan hidup semakin besar, dan seringkali diwujudkan dalam organisasi-organisasi masyarakat. Di mana perhatian utama mereka lebih kepada pentingnya etika ekologi baru. Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagaiShallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme (Keraf, 2002)

Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena -sebagai satu-satunyamoral patient.

Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology(kepedulian lingkungan yang dangkal). Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan" (Capra, 2004).

1Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Ushuluddin dan Dakwah: Kontekstualisasi Keilmuan Ushuluddin

(2)

Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.

Jika gerakan Ekologi Dangkal hanya mempunyai satu prinsip dan tujuan, maka gerakan Ekologi Dalam memiliki tujuh prinsip. Prinsip gerakan Ekologi Dangkal adalah "menentang polusi dan pengurasan sumber daya" dengan tujuan sentral: kesehatan dan kesejahteraan rakyat di negara-negara tnaju. Sedangkan tujuh prinsip gerakan Ekologi Dalam adalah: (1) Relasi intrinsik antar spesies-spesies dalam jaringan biosfer; (2) Egalitarianisme biosferis; (3) Keaneka-ragaman dan simbiosis; (4) Sikap anti-kelas; (5) Penentangan terhadap polusi dan pengurasan sumber daya; (6) Kompleksitas, bukan komplikasi; dan (7) Otonomi lokal dan desentralisasi."

Akar gerakanDeep Ecologytelah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, DH Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology.

Apa yang membedakan antara Ekologi Dalam dengan Ekologi Dangkal? Sedikitnya ada tiga. Pertama, dari segi kerangka dasarnya. Kedua, dari segi model hubungan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Ketiga, dari aspek tujuan jangka panjangnya.

Dalam perbedaan yang pertama, Ekologi Dangkal banyak dibentuk oleh pemikiran-pemikiran modern yang positivistik dan antroposentrik, yang ber-implikasi pada penguasaan manusia atas alam. Sedangkan Ekologi Dalam, karena basisnya filsafat dan agama, maka kesatuan ekologis menjadi pandangan yang paling utama dengan menempatkan hak asasi manusia dan alam. Manusia diakui hak asasinya atas alam, karena potensi dan kedudukannya sebagai pengelola alam sebagaikhalifah fi al-ardldalam doktrin spiritualisme Islam. Alam pun diakui hak asasinya, karena berlakunya hukum keseimbangan dalam alam semesta. Pandangan dasar tersebut mempunyai pengaruh terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Jika Ekologi Dangkal lebih memusatkan pada manusia (antroposentrik), sehingga memunculkan hubungan yang sepihak, yang dapat dilihat pada eksploitasi yang sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Maka, dalam Ekologi Dalam, model hubungan yang diciptakan adalah keseimbangan. Dalam konteks keseimbangan ini, eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip keseimbangan ekologi. Jika Eekologi Dangkal lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka Ekologi Dalam lebih diorientasikan pada terpeliharanya moralitas manusia yang tetap menjaga keseimbangan alam.

(3)

industrial modern via pembangunan ekonomi. Pandangan ini berkembang menjadi kesadaran moral berlabelkan Instrumental Globality yang belakangan berkembang menjadi gerakan Ecological Modernization, dimana gerakan ini berkeyakinan bahwa dengan dukungan perangkat institusi, maka masyarakat industrial modern mampu menghadapi krisis ekologi.

Dengan memelihara dan mengembangkan lingkungan alam sekitarnya, alam dan lingkungan itu sendiri pun dapat berada dan berkembang an sich. Artinya, alam itu terus ada dan berkembang, baik untuk dirinya maupun untuk lingkungan semesta. Inilah yang mendesak manusia berpikir tentang perlunya sebuah etika baru yang berlandasan kuat dalam kosmos. Etika yang mengharus-kan manusia berpikir dengan bertolak dari alam, bukan dari dirinya sendiri, yakni sebuah etika yang disebut etika ekosentris. Menurut Duarte (2001), etika ini pada konteks selanjutnya berkembang menjadi kesadaran moral yang dilabel sebagai Ecocentric Globality sesuai dengan pandangan filosofis dari Naess tentangDeep-Ecology. Visi gerakan ini adalah Saving the Planet yaitu mencoba mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut.

Dalam diskursus lingkungan selanjutnya, etika antroposentris dan ekosentris saling berlomba untuk menguasai paradigma pengelolaan sumber-daya dan pembangunan masyarakat manusia. Paradigma ini adalah dua paradigma dalam oposisi biner. Dalam peradaban yang sangat berorientasi pada kebutuhan ekonomi saat ini, tampaknya paradigma antroposentris memenang-kan perlombaan itu. Ia lebih realistis daripada paradigma ekosentris yang cenderung kontra peradaban dengan seruan moralnya Saving the Planet . Memang benar bahwa etika ini telah mengesahkan sikap eksploitasi terhadap alam selama ini, yang secara langsung atau tidak melahirkan watak kapitalisme materialisme tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat dirombak dan dibalik menjadi sebuah etika lingkungan yang bisa mengayomi dan melayani seluruh makhluk hidup, dengan tidak merombak filsofi dasarnya bahwa manusia adalah tujuan dari segalanya. Meskipun dalam iklim peradaban dunia yang berdasar pada liberalisme/neoliberalisme kapitalistik paradigma ini mungkin dapat dituduh sebagai biang filosofis degradasi ekosistem bumi, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa faktanya manusialah yang menguasai bumi dan baginya bumi ini diciptakan. Hanya beberapa kesalahan-kesalahan yang merupakan bawaan dari kapitalisme memang harus diperbaharui. Managing the Planetharus dilakukan perumusan pola-pola pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berorientasi selain kepada kesejahteraan umat manusia juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan alam. Hubungan emansipatif, cinta dan saling menghormati di antara manusia pun harus diperpan-jang sampai ke alam lingkungan secara keseluruhan. Sehingga, keharmonisan dan kedamaian di alam semesta dapat tercipta di bumi ini.

Satu dasawarsa kemudian muncul gerakan Ekologi Sosial (Social Ecology), yang dirintis oleh Murray Bookchin. Penggagas Ekologi Sosial berpan-dangan bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah produk dari kerangka pikir antroposentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan yang bertang-gung jawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia. Ekologi Sosial memandang penindasan manusia, yang secara luas dipahami sebagai penge-kangan kebebasan individu dan perkembangan diri, sebagai sebuah problem struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi. Oleh karena itu, aktivis Ekologi Sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi yang lestari dengan alam adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom yang mengkons-truksi cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keotentikan manusia dan keragaman konteks bioregional.

(4)

supranatural dan mistik yang anti-intelektual. Bookchin nampaknya juga tidak berkenan terhadap usulan pergeseran paradigma yang diusung Ekologi Dalam, yang cenderung menuju pemikiran Timur, karena dianggapnya tidak sesuai dengan era kemajuan zaman modern. Oleh karena itu, ia lebih melihat faktor-faktor sosial sebagai penyebab krisis ekologis global seperti ketidakadilan, kapitalisme, atau dominasi kelas sosial.

Pada saat yang sama, aliran ekologi ini juga mengenyampingkan Ekologi Dangkal sebagai cara penyelesaian masalah lingkungan. Alih-alih menerapkan apa yang disebutnya sebagai "nalar konvensional" (instrumental, analitik, manipulatif) yang merupakan cara berpikir Ekologi Dangkal, Bookchin menawar-kan cara berpikir yang menggunakan "nalar dialektis" dalam sistem pemikiran naturalisme dialektis, dengan mengacu kepada pemikiran dialektika Hegel.

Meskipun demikian, George Sessions menyebutkan bahwa penolakan Bookchin terhadap ekosentrisme dapat dipahami mengingat ia sebetulnya masih menggunakan cara pandang antroposentrisme dan gagasan tentang "alam kedua" yang dicipta oleh manusia melalui sains dan teknologi. Bookchin pun, kata Sessions, memandang sains ekologi tidak relevan dengan kemanusiaan dan masyarakat. Jadi, penggunaan term ekologi bagi pemikiran Bookchin hendaklah dipandang sebagai bentuk pendekatan apa yang disebut Arne Naess sebagai Ekologi Dangkal.

Masih terdapat dua aliran ekologis lainnya, yaitu Ekologi Sosialis (Socialist Ecology) dan Ekofeminisme, yang bisa kita kelompokkan sebagai bentuk lain dari Ekologi Sosial. Jika Ekologi Sosialis menuding sistem kapitalisme yang meniscayakan eksploitasi ekonomis terhadap manusia dan sumber daya alam sebagai penyebab utama krisis lingkungan, maka Ekofeminisme menuding budaya patriarkal Barat yang mengeksplotasi wanita dan alam sebagai akar penyebab kerusakan lingkungan.

Ekofeminisme merupakan sintesa dari gerakan femininitas yang tidak memberikan efek peningkatan status perempuan, malah ada kecenderungan perempuan justru mengikuti tindak tanduk laki-laki secara tak sadar. Ini yang disebut fenomena male clon. Watak rasionalisme dan tiadanya kaitan spritualitas antara gerakan feminisme dan ekologi menjadi kritik utama gerakan ekofeminis-me terhadap gerakan feminisme yang ada. Asumsi dasarnya adalah bagaimana perempuan dengan kualitas femininnya dapat merubah dunia melalui perannya sebagai ibu, pengasuh, pemelihara dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D Eaubonne, namun Maria Mies dan Vandhana Shiva (1993) yang berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara prinsip ekologi dan feminisme dalam melawan ketidakadilan perempuan. Paradigma yang dipakai yang menjadi dasar perjuangan ekofeminisme adalah pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan lingkungan.

Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Ekofeminisme mempunyai manifesto yang disebut A Declaration of Interdependence. Deklarasi ini menegaskan bahwa manusia memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen kehidupan bumi. Ia harus berinteraksi satu dengan lain untuk suatu perubahan yang hakiki yakni peningkatan kesejahteraan ummat manusia. Karena itu, gerakan feminisme yang cenderung ingin memisahkan dirinya dengan prinsip maskulinitas mendapatkan kritikan. Maskulinitas dipandang sebagai entitas yang hidup untuk berinteraksi di atas bumi ini.

(5)

mendominasi dan hegemonik. Sebaliknya, gagasan ekofeminisme berakar pada kepedulian kaum perempuan atas proses penghancuran ekologi yang bersandar pada budaya partiarkhi dan kapitalisme.

Dalam peristiwa pengrusakan alam, laki-lakilah yang sebenarnya paling banyak berperan dan kaum perempuan yang paling merasakan dampak negatifnya. Terjadi ketidakadilan ekologi yang dibangun oleh sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Memahami peristiwa alam dalam bingkai ekofeminisme berarti memperlakukan alam dalam hubungan spritualitas, perlu dijaga, dilestarikan, dimuliakan sebagaimana sifat-sifat yang melekat dalam prinsip feminin. Dengan demikian, pengrusakan, penjarahan, dan bentuk eksploitatif lainnya akan direduksi dengan kegiatan-kegiatan ekplorasi yang menguntungkan keber-langsungan kehidupan bumi.

C. Spiritual Ecology: Kembali Ke Spiritualitas Agama

Sejalan dengan tumbuhnya kesadaran sejumlah sarjana terkemuka akan pentingnya manusia modern untuk kembali ke alam, "berpikir sebagaimana alam berpikir", para sarjana yang peduli terhadap isu-isu lingkungan juga tiba pada kesadaran bahwa manusia modern perlu kembali merengkuh spiritualitas dan menghormati peran agama dalam kehidupan sosial. Kini makin banyak sarjana pemerhati lingkungan yang menyadari potensi besar agama untuk ikut berperan aktif dalam proyek global yang amat urgen dan penting ini, proyek penyelamatan rumah Bumi kita. Martin Palmer (dikutip dalam Dharmawan, 2007) menulis bahwa selama lebih dari 30 tahun lembaga-lembaga besar dunia, para saintis dan pemerintahan, dan sejumlah besar NGO telah mengkompilasi dan menganalisis secara rinci tentang proses perusakan planet yang tengah kita lakukan Tetapi, krisis lingkungan masih bersama kita. Kenyataannya adalah pengetahuan kita tentang krisis ini belum memadai. Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah sebuah krisis pemikiran. Kita adalah apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita pikirkan dibentuk oleh budaya, keyakinan dan kepercayaan kita. Jika para pemerhati/aktivis lingkungan (environmentalist) memerlukan sebuah kerangka kerja bagaimana nilai-nilai dan kepercayaan tersebut berdaya guna, maka adakah yang lebih baik dari kembalinya kita kepada upaya kerja sama dengan kelompok-kelompok internasional dan jaringan-jaringan masyarakat yang terbesar di dunia? Mengapa kita tidak menoleh kepada peran agama-agama besar dunia?

Selaras dengan kesadaran Martin Palmer di muka, David E. Cooper dan Joy A. Palmer (Spirit of The Environment, 1998) mengkompilasi tulisan belasan sarjana internasional -dari pelbagai bidang seperti filsafat, agama, sains, pendidikan, sastra, antropologi- yang kesemuanya sepakat bahwa wawasan spiritual terhadap alam menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam upaya kita memelihara lingkungan hidup dan menyelamatkan planet Bumi. Sementara itu, di kutub yang kritis, Lynn White. Jr. dalam papernya yang menghebohkan The Historical Roots of Our Ecological Crisis, seraya menuding antroposentrisme Yudeo-Kristiani sebagai akar penyebab krisis lingkungan, menyarankan untuk merengkuh panteisme atau tradisi agama-agama Timur dalam membangun kosmologi yang berwawasan spiritual.

(6)

(2) otoritas moral; (3) basis pengikut yang besar; (4) sumberdaya materi yang signifikan; dan (5) kapasitas membangun komunitas.

Menurut Gardner, sebuah tantangan besar bagi peradaban kita sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan kembali hati dan akal masyarakat kita, membangun spiritualitas sebagai mitra dialog dengan sains. Untuk menjawab tantangan ini, tradisi agama-agama dunia perlu mengintensifkan keterlibatan merelca dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan. Pada sisi yang lain, organisasi-organisasi lingkungan dan pembangunan perlu membuka dirt terhadap dimensi-dimensi spiritual program kelestarian alam, sebagaimana Sierra Club telah melakukannya. Terakhir, Gardner juga menyerukan diakhirinya kecurigaan dan kesalahpahaman yang telah berlangsung lama antara dua kelompok tersebut: kaum agamawan dan aktivis lingkungan.

Jauh sebelum Gardner, tepatnya 40 tahun lalu, ketika istilah ekologi belum sepopuler sekarang, Seyyed Hossein Nasr telah mengingatkan kaum sarjana dan manusia modern umumnya tentang perlunya menghadirkan kembali dimensi spiritualitas ke dalam kehidupan global jika kita memang sungguh-sungguh berkomitmen mencintai rumah Bumi dan memeliharanya dengan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan Bumi yang telah berlangsung sejak dua abad lalu herakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern pada umumnya. Melalui pelbagai karyanya, khususnya Man and Nature(1976) danReligion and The Order of Nature(1996), Nasr mendedah sebab-sebab utama dan mendasar munculnya krisis lingkungan pada peradaban modern seraya menekankan pentingnya perumusan kembali hubungan Manusia, Alam, dan Tuhan yang harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas dan kearifan perennial

Nasr secara tajam dan bernas mengkritik pemikiran dan sains modern yang disebutnya telah kehilangan sama sekali visi spiritual dalam mernandang kosmos raya. Menurut Nasr, pandangan dunia sains modern yang berkarakter kuantitatif, sekular, materialistik, dan profan benar-benar telah mengikis makna-makna simbolik dan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam alam raya.

Menurut Nasr, dalam pandangan modernisme, kosmos telah mati dan ia hanyalah kumpulan onggokan benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tak bernilai apa-apa, kecuali semata-mata nilai kegunaan ekonomis. Alam telah diperlakukan seperti layaknya pelacur , yang dieksploitasi tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya. Krisis lingkungan bisa dikatakan disebabkan oleh penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai "Lingkungan" yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modem untuk memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.

Oleh karena itu, bagi Nasr, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan apa yang ia sebut resakralisasi alam semesta (resacralizadon of nature) sebagai pengganti proyek mekanisasi gambaran dunia (mechanization of the world picture) yang dicanangkan sejak Renaisans dan Revolusi Ilmiah tiga abad lalu. Untuk itu, usul Nasr, kita perlu membangun kosmologi baru yang berbasis kepada tradisi spiritualitas agama yang sarat makna dan kaya kearifan. Agama pun, pada gilirannya, bisa menjadi sumber visi, inspirasi dan motivasi bagi pemerhati lingkungan untuk mengkonstruksi etika lingkungan sebagaimana juga program-program konservasi alam. Dalam pandangan Nasr, membangun etika lingkungan tanpa wawasan spiritual terhadap kosmos adalah tidak mungkin sekaligus tidak berdayaguna.

(7)

(shallow ecology). Ekologi Dalam ini mempunyai pijakan pada filsafat dan agama. Dari sinilah kemudian paradigmaspiritual ecologydibangun.

Spiritual ecologypada dasarnya ingin memberikan wacana baru, bahwa krisis ekologis lebih banyak berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam ini. Jika kita tidak ingin tertimpa bencana alam untuk kali kesekian, maka saatnya bagi kita untuk membangun sekaligus membumikan spiritualitas ekologi di negeri ini.

D. Islam dan Krisis Lingkungan

Umat Muslim yang berjumlah hampir satu miliar mendiami dunia yang satu dan sama. Di mana pun mereka berada, tentunya merasakan keprihatinan mendalam atas berbagai macam masalah lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia: udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita minum, termasuk sistem di dalam tubuh kita. Krisis tersebut membahayakan keharmonisan seluruh materi di bumi termasuk sistem kehidupannya (Mangunjaya et. al., 2007: 43). Akan tetapi, sebagian besar umat Muslim, seperti manusia lainya, masih sangat kurang menunjukkan perhatiannya terhadap fakta krisis tersebut.

Apabila kita boleh berspekulasi, akan ada perubahan yang sangat besar pada lingkungan hidup jika saja sejumlah besar umat Muslim mau sungguh-sungguh meningkatkan perhatian mereka pada lingkungan hidup dan krisis yang sedang dihadapi oleh bumi. Misalnya, dengan membangun jaringan kesadaran ekologis di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mengadakan kerja sama dalam mengolah sumber-sumber daya alam secara bijak, menentukan bentuk-bentuk regulasi yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.

Sebaliknya, jika sebagian besar umat Muslim tetap tidak menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup dan masalah-masalah yang dihadapinya, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan lingkungan hidup akan terus terjadi dan menimbulkan masalah-masalah baru misalnya bencana alam dan perubahan iklim yang tidak menguntungkan. Jika hal seperti itu telah terjadi, akan ada kerugian lebih besar yang harus ditanggung, bukan hanya oleh sejumlah besar umat Muslim itu sendiri, tetapi juga oleh penduduk bumi yang lain. Oleh karena itu, rasanya perlu ada sebuah cara terntentu untuk membangun kesada-ran di antara umat Muslim itu sendiri dan selanjutnya untuk masyarakat yang lebih luas.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Islam memandang krisis lingkungan ini? Apakah ia sejalan dengan pemikiran Ekologi Dangkal atau Ekologi Dalam ataukah Ekologi Sosial? Apakah pemikiran Islam lebih sesuai dengan Ekologi Dalam yang menekankan perubahan cara pandang, nilai budaya dan sikap hidup dalam menyelamatkan Bumi ataukah dengan Ekologi Sosial yang memfokuskan kepada perubahan struktur sosial? Ataukah Islam memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dari aliran-aliran ekologis itu? Jika demikian halnya, lalu bagaimana kita menjelaskan dan memposisikannya?

(8)

2007: 46). Sebagai contoh kita dapat memperhatikan gaya hidup orang-orang yang berpindah dari desa ke kota atau pinggiran kota. Dari banyak pengamatan, entah itu di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, terlihat bahwa sikap kearifan mereka terhadap lingkungan hidup telah hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat bagaimana sikap mereka memperlakukan sampah. Dengan mudah kita dapat menemukan tumpukan dan tebaran sampah ketika berada di daerah-daerah yang telah disebutkan tadi.

Mengacu kepada pemikiran Allamah Tabataba i (guru Seyyed Hossein Nasr) dan Murtadha Muthahhari (murid Tabataba'i), Islam merupakan sebuah pandangan dunia yang realis, dalam pengertian bahwa kebenaran adalah sesuatu yang riil (nyata) dan yang nyata adalah tolok ukur kebenaran; bahwa segala yang ada mengambil peran dan memiliki posisi dalam lautan realitas yang tunggal. Realisme Islam mengakui semua jenis keberadaan pada keragaman tingkat-tingkat eksistensi, yang mencakup alam fisik, alam mineral, alam biologis, alam psikologis, alam imajinatif, alam intelektual, dan alam spiritual; mengafirmasi keberadaan manusia dan pengada-pengada non-manusia; mengakui keber-maknaan intrinsik semua maujud di alam raya dengan memosisikan manusia yang sesuai dengan potensinyasebagai khalifah Tuhan yang merupakan sebuah amanat, tanggung jawab kosmos.

Realisme Islam memandang alam raya dengan penuh simpati, cinta, dan tanggung jawab karena alam adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya pesan spiritual. Kecuali sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) kehadiran Tuhan dan manifestasi nama-nama Indah Tuhan (Asma ul-Husna), kosmos dalam pandangan realisme Islam juga merupakan alam primordial bagi kemunculan manusia, sang makhluk cerdas.

Realisme Islam berpandangan bahwa manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang kompleks, potensial, multidimensi (makhluk fisik sekaligus ruhani; makhluk kultur sekaligus makhluk struktur; makhluk moral sekaligus makhluk pencari legalitas), dan dinamis (manusia tidak seragam). Menurut Muthahhari, manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan sebelumnya (predestined). Manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan atau ditentukan, melainkan makhluk yang menentukan dan mentakdirkan apa yang dikehendaki dirinya sendiri. Manusia itu sendirilah yang menentukan untuk "menjadi apa" dan "menjadi bagaimana".

Meskipun demikian, pada saat yang sama realisme Islam juga meyakini bahwa manusia adalah makhluk sosial. Menurut Muthahhari, bermasyarakat merupakan sesuatu yang fitrah dan bersemayam pada jati diri manusia. Oleh karena itu, bermasyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara berada manusia itu sendiri. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang menganggap manusia terpaksa bermasyarakat guna melayani naluriself-preservationsemata-mata; juga berbeda dengan sosialisme Karl Marx yang memandang kemasyarakatan manusia sebagai takdir-deterministik yang menentukan manusia berdasarkan kelas semata-mata; berbeda pula dengan individualisme Emile Durkheim atau Max Weber yang memandang bahwa eksistensi kemasyarakatan manusia hanya sebagai pilihan rasio-instrumental guna keuntungan bersama (masyarakat dianggap kumpulan individu-individu yang tercerai berai satu sama lain; yang eksis, hanyalah individu manusia, sedang masyarakatnya hanyalah bentukan epifenomenal).

(9)

diskursif dan intelek intuitif, sesuatu yang selalu dianggap berseberangan dalam sistem epistemologi Barat atau bahkan filsafat Timur.

Implikasi ilmiah dan sosial dari epistemologi Islam seperti itu adalah tumbuhnya etos keilmuan yang tinggi dalam semua jenis ilmu pengetahuan secara seimbang dan proporsional, mulai matematika, logika, sains, sejarah, sastra, filsafat hingga tasawuf. Menurut Thabathaba i, Al-Qur an mendorong manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra, dan semua ilmu pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur an menyeru kita untuk mempelajari ilmu-ilmu ini sebagai jalan untuk mengetahui Al-Haq dan Realitas, dan sebagai cermin untuk mengetahui alam, di samping juga adanya manfaat praktis dari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia. Menurut C.A. Qadir, terdapat 750 ayat -sekitar seperdelapan isi Kitab Suci Al-Qur an- yang mendorong kaum beriman untuk menelaah alam, merenungkan, dan menyelidikinya.

Berbeda dengan tiga aliran utama ekologi kontemporer yang cenderung berat sebelah, timpang, dan terfokus pada satu dimensi, Ekologi Islam bisa merangkul segenap dimensi yang ditekankan oleh masing-masing olch Ekologi Dangkal, Ekologi Dalam, dan Ekologi Sosial. Pemikiran Ekologi Islam sesuai dengan spiritualitas kosmos yang ditawarkan Ekologi Dalam, tapi pada saat yang sama juga apresiatif terhadap aktivitas sains dan riset ilmiah yang ditekankan oleh Ekologi Dangkal.

Begitu pula, Ekologi Islam mendukung kuat argumen Ekologi Dalam bahwa kita harus mengubah cara pandang dan sikap hidup manusia untuk melestarikan lingkungan, tetapi pada saat yang sama Ekologi Islam juga menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan struktur masyarakat -yang disuarakan oleh Ekologi Sosial-dalam menangani krisis dan isu lingkungan. Sebaliknya, ketika Ekologi Islam sangat menaruh perhatian terhadap aktivitas riset ilmiah dan penegakan keadilan sosial, pada saat yang sama juga berkemampuan menawarkan dimensi spiritualitas terhadap isu-isu lingkungan.

Itulah karakteristik pertama Ekologi Islam, yaitu berkemampuan menawarkan dan mengakomodasi dimensi-dimensi lingkungan secara terpadu tanpa saling meniadakan seperti yang terjadi pada mazhab-mazhab ekologi lainnya. Karakter ini muncul karena watak Ekologi Islam yang mengacu kepada proposisi realisme, yaitu "mengafirmasi segala yang nyata , yaitu mengapresiasi semua hal yang memiliki dampak dan pengaruh terhadap peristiwa alam dan sosial, baik secara kultural maupun struktural, langsung atau tak langsung, individual atau sosial, profan atau sakral, teknikal maupun spiritual. Inilah asas pertama realisme Islam, yaitu asas integrasi.

Lalu, asas kedua realisme Islam, yang menjadi pondasi Ekologi Islam yang tengah kita bicarakan, adalah asas proporsionalitas. Dengan asas proporsiona-litas yang berbunyi segala sesuatu diletakkan pada tempatnya yang sesuai dengan tingkat eksistensinya , maka Ekologi Islam bisa memberi jalan tengah antara kaum konservatisme pendukung lingkungan alamiah dengan kaum pembela kemajuan peradaban manusia. Di satu sisi, Ekologi Islam mendukung program pelestarian biodiversity (keragaman spesies) yang tidak menghambat keselamatan umat manusia, dan di lain sisi Ekologi Islam memiliki sistem moral dan ekonomi yang mencegah eksploitasi alam atas nama kemajuan peradaban manusia.

E. Penutup

Ekologi Islam memandang bahwa manusia adalah tujuan evolusi kosmos sehingga menempati hirarki keberadaan yang lebih tinggi dari spesies-spesies lainnya. Namun, ini sama sekali bukanlah antroposentrisme model Ekologi Dangkal, karena diletakkan dalam horison pandangan spiritualitas kosmos dan konsep khalifah Tuhan yang harus bertanggung jawab (memiliki dimensi spiritual dan moral).

(10)

membangun kesadaran ilmiah dan wawasan saintifik melalui lembaga-lembaga pengajaran yang didukung oleh institusi-institusi sosial politik, termasuk finansial (Baitul Maal). Realisme Islam, sebagaimana yang terbukti dalam sejarah emasnya, bisa melahirkan saintis yang peka spiritualitas (seperti Pangeran Dokter Ibn Sina yang filsuf-sufistik), dan mencetak sufi yang cinta riset keilmuan (seperti sufi Jabir Ibn Hayyan yang mendirikan laboratorium kimia pertama dalam sejarah).

Pada dimensi lain, Ekologi Islam juga sangat apresiatif terhadap program riset ilmiah, pengembangan sains dan teknologi serta aktivitas-aktivitas keilmuan lainnya, yang juga sangat berguna dalam membantu program pemeliharaan lingkungan yang sehat. Dengan demikian, Ekologi Islam menawarkan jalan tengah antara spiritualitas kosmos dengan sosialitas kosmos; mengintegrasikan pandangan saintifik dengan visi kearifan lokal. Demikian pula halnya, Ekologi Islam bisa mengintegraskan dimensi sosial ekonomi dan politik yang diusung oleh Ekologi Sosial- dengan dimensi moral seperti yang diusung oleh Ekologi Dalam, tanpa harus meremehkan salah satu dimensi tersebut, sebagaimana yang terjadi pada Ekologi Sosial dan Ekologi Dalam. Bagi Ekologi Islam, sesuai dengan pandangannya tentang manusia sebagai makhuk multidimensi, pelbagai metode dan pendekatan mesti ditempuh untuk program-program konservasi lingkungan dan penyelamatan Bumi sejauh metode-metode dan pendekatan-pendekatan itu bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan secara etis dan sosial.

Perbedaan seperti itu terkait dengan cara pandang dalam melihat problem dan krisis ekologis yang tengah kita hadapi. Bagi Ekologi Dangkal, krisis ekologis lebih dilihat sebagai problem teknis; Ekologi Dalam lebih melihatnya sebagai problem visi dan nilai; Ekologi Sosial memandangnya sebagai bagian dari problem sosial; dan Ekologi Islam memandang krisis ekologis sebagai bagian dari problem eksistensial manusia (berdimensi teknisetis-sosial-spiritual). Pada gilirannya, perbedaan cara pandang memahami krisis ekologis ini terkait dengan aliran filsafat dan pandangan dunia (worldview) yang dianut oleh masing-masing mazhab; Ekologi Dangkal memeluk antroposentrisme, Ekologi Dalam menganut ekosentrisme, Ekologi Sosial menganut naturalisme dialektis, dan Ekologi Islam menganut realisme.

REFERENSI

Capra, Fritjop. 2004.Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Dharmawan, Arya Hadi, 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik, dalam Solidality:Jurnal Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, Departemen KPM IPB, Volume 1 Nomor 1 April 2007.

Duarte, Fernanda de Paiva, 2001. Save the Earth or Manage the Earth ? The Politics of Environmental Globality in High Modernity, Current Sociology, January 2001, Vol. 49(1), SAGE Publications, London, Thousand Oaks, CA and New Delhi.

Engineer, Asghar Ali. 1993.Islam dan Pembebasan,terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Yogyakarta: LKiS.

Keraf, A. Sonny. 2002.Etika Lingkungan,Jakarta: Buku Kompas.

Mangunjaya, Fahrudin M., Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007.Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerekan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Nasr, Seyyed Hossein. 1985.Ideals and Realities of Islam. London: Allen and Unwin.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

2 Beberapa hal penting yang dapat disampaikan berkaitan dengan tujuan, antara lain: a Memahami sejauh mana kondisi penerapan sistem pengendalian dan pengelolaan risiko pada

Setiap vertebrata (hewan bertulang belakang) memiliki dua tipe kelenjar : pertama, kelenjar eksokrin : yang mngeluarkan senyawa ke dalam saluran dan berahir pada rongga

Tet apidal am per kembangannya kemudi an,bahasa I ndonesi asel al umener i maunsurser apandar imanasaj aunt ukper ubahandan kemaj uannya.Ter nyat aunsurser apanyangmasukbukansaj

Kandungan alginat pada tiga bulan pengamatan menunjukkan bahwa kandungan natrium alginat di stasiun 1 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan

Orang tua adalah pendidik dalam keluarga. Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anaknya yang

Pengaruh Authentic Leadership terhadap Kinerja Pegawai Paruh Waktu melalui Mentalitas Siap Berubah sebagai Mediator Berdasarkan penghitungan statistic yang diringkas

tertib peraturan,pemahaman tentang pajak,tidak menunggak pembayaran, dan kepercayaan penuh terhadap aparat pajak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.Tidak harus menjadi

beradab. Pada tingkat selanjutnya, perspektif baru dalam penulisan sejarah dapat diciptakan dan dikenal sebagai model penulisan sejarah nasional. Dengan digunakannya