• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

Volume 2 Nomor 2 Halaman 121-234

Depok, Agustus 2017

(2)
(3)

ISSN : 2503-1651

Nomor 2

Volume 2 Halaman

121-234

Depok, Agustus 2017

(4)

ISSN : 2503-1651

The Safina is a journal published by Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI)

PERSON IN CHARGE

Asep Kusnadi

EDITOR IN CHIEF

Rd. Arif Mulyadi

EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT

Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina,

Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143

(5)

DAFTAR ISI

Iftitah IV

Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam 121-138

Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL)

dalam Perspektif Pendidikan Islam 139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung 165-187

Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih

Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok 189-211

Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami

di Jakarta Selatan 213-234

Sugiharto

Indeks

(6)

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi

Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif

Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam

(7)

VII

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu.

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok

Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

(8)

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

(9)

PROSPEK PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN

MEDIA AMAL ISLAMI DI JAKARTA SELATAN

Sugiharto

Dosen Universitas Indraprasta PGRI Jakarta sugiharto3992@gmail.com

Abstrak

Pesantren Media Amal Islami (MAI) adalah organisasi yang berasaskan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1999 dan tercatat pada akte notaris H. Kahar Koesman SH, dengan surat bernomor SP. No. I/2000, yang beralamat di Jalan WR. Supratman No. 40 Kampung Utan, Ciputat. Kemudian diperbarui kembali pada Notaris Ny. Ratna Wijayawati, SH dengan surat bernomor SP No. 01/2007 yang beralamat di Pamulang, Tangerang. Adapun pusat atau sekretariat Media Amal Islami bertempat di Jalan Lebak Bulus V No. 34, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Pesantren MAI mempunyai keunikan tersendiri karena mayoritas santri adalah pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi mereka menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut maka diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

(10)

Pendahuluan

Di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini, pesantren dihadap-kan pada dua hal yang sangat menantang, di satu sisi begitu banyak ruang dan peluang yang menanti peran nyatanya, namun di sisi lain tantangan dan masalah yang dihadapi dalam pengembangannya juga semakin rumit dan masih belum bisa dituntaskan. Seiring dengan laju modernisasi di segala bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan, telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan orientasi dalam dunia pendidikan termasuk pesantren.

Faktor modernisasi dan globalisasi tersebut pada gilirannya menuntut pondok pesantren untuk tampil dengan nuansa baru, dengan kemampuan yang lebih kompetitif di tengah munculnya berbagai masalah baru berkaitan dengan eksistensi dan jati diri pesantren sebagai lahan persemaian dan pengembangan nilai-nilai budaya Islami.

Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926 (Zuhairini 2002, 1993).

Apa yang disaksikan dewasa ini menunjukkan bahwa pesantren sebagian besar telah berupaya membuka diri untuk berubah. Sejumlah hal baru telah masuk dan berkembang di pesantren. Interaksi antara nilai-nilai baru dan lama terus bergumul. Masuknya madrasah dan sekolah, dengan segala sistem, metode dan kurikulum pendidikannya dalam pesantren adalah salah bentuk adaptasi alternatif demi mempertahankan eksistensinya.

Sejumlah dampak dari perubahan itu menimbulkan beban yang cukup berat bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren. Karena itu perhatian pemerintah pusat telah pula memperlihatkan kepeduliannya yang dibuktikan dengan dihadirkannya Direktorat Pembi-naan Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di dalam struktur Orga-nisasi Kementerian Agama.

(11)

215

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

sekarang? Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Mencermati fenomena yang ada sekarang, nampaknya sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih cenderung memilih sekolah-sekolah “umum” daripada pesantren. Pilihan seperti itu dilatarbelakangi oleh bergesernya nilai, motivasi dan orientasi dalam menuntut ilmu. Pada masa dahulu menuntut ilmu lebih didorong oleh keinginan luhur dan niat suci semata-mata untuk memiliki ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pada masa sekarang ini orientasinya berkembang dan terkait erat dengan lapangan dan kesempatan kerja di masa mendatang.

Oleh karena itu sekali lagi kemampuan pemangku kepentingan dari lembaga pondok pesantren Media Amal Islami (MAI) dalam merencanakan strategi yang tepat akan menentukan prospeknya dimasa mendatang. Peluang dan kekuatan yang dimiliki adalah modal utama untuk mengatasi tantangan global agar tetap eksis memberi warna jelas bagi pendidikan generasi mendatang yang penuh dengan dinamika perubahan yang begitu cepat dan kompleks.

Pesantren Media Amal Islami (MAI) adalah organisasi yang berasaskan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1999 dan tercatat pada akte notaris H. Kahar Koesman, S.H., dengan surat bernomor SP. No. I/2000, yang beralamat di Jalan W.R. Supratman No. 40 Kampung Utan, Ciputat. Kemudian diperbarui kembali pada Notaris Ny. Ratna Wijayawati, S.H. dengan surat bernomor SP No. 01/2007 yang beralamat di Pamulang, Tangerang. Adapun pusat atau sekretariat Media Amal Islami bertempat di Jalan Lebak Bulus V No. 34, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.

Lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi mereka menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut maka diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering.

(12)

menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang. Sementara itu eksistensi kelembagaan pondok pesantren Media Amal Islami yang dulunya dapat berjalan dengan kondisi sarana dan prasarana sederhana, kini berjuang untuk memberikan pelayanan lebih, dengan tuntutan menghadirkan fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap dan layak tentu membutuhkan dukungan biaya yang cukup besar dan berkesinambungan.

Hal ini mengisyaratkan sebuah tugas mulia bagi generasi selanjutnya untuk melanjutkan perjuangan beliau menyebarluaskan syiar Islam melalui lembaga pendidikan yang terorganisir dengan baik dan memiliki legalitas formal seperti madrasah dan pondok pesantren.

Diakui oleh para ahli sejarah bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan di Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang adalah dalam bentuk pondok pesantren. Dengan karakternya yang khas dengan orientasi religius, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sederhana karena sasaran suatu komunitas manusia yang sering kali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang (pemulung). Mereka juga memiliki potensi yang sama seperti orang lain. Oleh karena itu Media Amal Islami (MAI) terketuk hati untuk peduli terhadap pembinaan roh mereka sehingga menjadi manusia yang lebih bermartabat. Dalam praktik pembelajarannya, semuanya bergantung pada kyai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh (Amin Haedari dkk 2004, 80).

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam tubuh pondok pesantren sejak dahulu telah ada upaya untuk mengikuti perkembangan zaman dengan membuka pendidikan formal yang merupakan cikal bakal serta ciri pendidikan modern. Membuka diri untuk menerima modernisasi bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren adalah satu hal yang tidak dapat dihindari.

(13)

217

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan global. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang.

Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren menyusul abad ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi. Modernisasi dalam tubuh pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Dalyono 2007, 34). Tantangan zaman modern pada hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti dirasakan pada zaman-zaman prakemerdekaan, namun setelah masa kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan dari pesantren yang telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Hal lainnya yang sangat menentukan eksistensi pondok pesantren pascakemerdekaan adalah peluang yang ada dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yakni UUD 1945. Menurut UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta (yayasan) namun masih tetap berada dalam koordinasi pemerintah.

(14)

yang diterbitkan pada masa Orde Lama, UU Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 pada masa Orde Baru, dan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pada masa reformasi. Pesantren sebagai cikal bakal lembaga pendidikan yang asli Indonesia baru mendapat pengkuan secara yuridis pada tahun 2003 melalui UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Dunia pesantren masa kini sebagian besar sebenarnya telah berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan terhadap tenaga kerja yang bermoral, maupun terhadap pemimpin yang agamis. Namun karena keterbatasan yang dimiliki seringkali output pondok pesantren tidak mampu memenuhi kedua harapan tersebut. Idealnya sistem pendidikan pesantren harus berusaha untuk mampu mencetak keduanya. Potret pondok pesantren masa depan harus mampu menghasilkan dua kontribusi buat masyarakat yaitu tenaga kerja yang memiliki moral dan etika pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi yang masyarakatnya berorientasi teknologi.

Di tengah harapan dan tuntutan yang begitu tinggi bagi pondok pesantren, untuk menyambut modernisasi kelembagaannya yang tidak kunjung berakhir, ia dihadapkan pula implikasi negatif kemoderenan berupa merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda generasi muda. Dampak sistemik lainnya adalah terjadi kemerosotan terhadap kualitas output produk sistem pesantren, termasuk terjadinya kelangkaan

output yang dapat disebut ulama dengan predikat sebagai “Pewaris Nabi” (waratsat al-anbiya). Oleh karenanya, Gus Zaenal dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kyai tengah berupaya mengembalikan dunia pesantren kepada fitrahnya, yakni sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas moral (Thoha & Muth’i 2003, 7).

Di sisi lainnya, berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa pesantren tidak hanya sebagai lembaga yang kaku dan melulu mengkaji kitab-kitab klasik. Pesantren saat ini turut serta membangun kehidupan masyarakat sekitar, tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga hal lain misalnya ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik.

(15)

219

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian secara fundamental bergantung dari pengamatan pada objek yang diteliti (Moleong 2005, 7). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini kepustakaan. Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip penjelasan yang mengarah dan penyimpulan, penelitian kualitatif bersifat induktif. Sebagai bentuk penelitian lapangan (field research), teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data adalah melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi (Sugiyono 2009, 4).

Hasil Penelitian

Kata pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Jika ditelusuri, kata ini tidak seutuhnya berasal dari bahasa Indonesia. Akar kata pondok disinyalir terambil dari bahasa Arab, “funduk” yang berarti hotel atau asrama. Menurut Manfred dalam Ziemek kata pesantren berasal dari kata “santri” yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran–an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri (Lubis 2013). Kafrawi memberikan garis pembeda antara istilah pesantren dan pondok pesantren dari segi ada tidaknya “pondok” di lingkungan pesantren. Menurutnya, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut, di mana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.

M. Arifin dalam Ahmad Muthohar mengatakan pondok pesantren sebagai berikut:

(16)

Sedangkan Mujamil Qamar mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, dan menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Qamar 2005, 2).

Kurikulum yang dimaksud dalam kontek pesantren tradisional adalah pengajaran bidang-bidang studi agama yang bersumberkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), sedangkan bidang-bidang studi umum belum dikenalkan sama sekali. Di pesantren Kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak Abad Pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam pesantren tersebut.

a.

Kurikulum Pondok Pesantren

Kurikulum yang dimaksud dalam kontek pesantren tradisional adalah pengajaran bidang-bidang studi agama yang bersumberkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), sedangkan bidang-bidang studi umum belum dikenalkan sama sekali. Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum dikenal dengan istilah “manhaj” yang berati “jalan terang”. Bila dikaitkan dengan wahyu yakni dalam konteks ajaran Islam, ada satu ayat Alquran yang mengandung kata “minhajan” yakni pada Surat Al-Maidah [5]:48.

(17)

221

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Departemen Agama RI 2004, 116).

Adapun program pendidikan pesantren MAI (Media Amal Islam Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM)

1. Paket A, B dan C MAI, Lebak Bulus

2. Taman Pendidikan Al- Qur ‘an (TPA), Lebak Bulus 3. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) Lebak bulus 4. Bimbingan Al-Qur ‘an, Lebak Bulus

5. Madrasah Diniyah (MD) Takmiliyah dan 6. PAUD MAI, Gunung Sindur dan Curug Parung 7. Madrasah Diniyah Takmiliyah Baros.

ASRAMA

1. Tasmi Qur ‘an

Membaca Alquran bersama Yatim-Yatim MAI tiap bulannya di pekan pertama.

2. Belanja Bareng 300 Yatim Pada Bulan Ramadan1

Tujuan pendidikan pesantren MAI adalah membentuk kepri-badian santri, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu pe ngetahuan. Materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain: tawhid, tafsir, hadits, fiqih, ushul

fiqih, tasawuf, bahasa Arab (nahwu, saraf, balaghah dan tajwid), mantiq dan akhlaq (Muthohar 2007, 5). Materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut (Mastuhu 2004, 25).

Sedangkan tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula

1Profil Pesantren MAI Alamat: Jl. Lebak Bulus V No.34 RT.14/ RW 04 Cilandak

(18)

atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin, bukan sekadar muslim (Shulthon Masyhud & Khusnurdila 2003, 92).

Menurut Arifin, tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:

1) Tujuan khusus

Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

2) Tujuan umum

Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya (Arifin 2001, 248).

Pada awalnya adalah hanya pengajaran yang simpel tidak ada kurikulum, tidak seperti sekarang ini. Sebenarnya pembelajaran yang diberikan dalam pondok pesantren sudah menggunakan kurikulum tertentu yang lama yaitu sistem pengajaran tuntas kitab. Dalam hal ini kyai bebas untuk membacakan kitabnya (Haedari & Elsaha 2008, 58).

Kurikulum yang berkembang di pesantren selama ini menunjukkan prinsip yang tetap yaitu:

(19)

223

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

berarti di masyarakatnya. Profesi sebagai petani, nelayan, pedagang, wiraswastawan, pegawai, karyawan, profesional, pengusaha, dan sebagainya terbuka luas bagi mereka.

b) Struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan layanan pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan kelompok. Bimbingan ini seringkali bersifat menyeluruh; tidak hanya di kelas dan atau menyangkut penguasaan materi mata pelajaran, melainkan juga di luar kelas dan menyangkut pembentukan karakter, peningkatan kapasitas, pemberian kesempatan, dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat mengembangkan diri, syukur-syukur bisa meneruskan misi pesantren.

c) Secara keseluruhan kurikulumnya bersifat fleksibel. Setiap santri berkempatan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum yang ditetapkan pesantren di atas, tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan keagamaan. Sifatnya lebih menekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Meskipun pada perkembangannya banyak pesantren yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, tujuan utama pendidikan di pesantren tetaplah penguasaan ilmu dan pemahaman keagamaan. Fleksibelitas kurikulum itu dapat dipandang sebagai watak pesantren dalam melayani kebutuhan dan memenuhi hak santri untuk belajar ilmu agama. Kebutuhan kurikuler santri berbeda-beda sesuai dengan panggilan dirinya, misi keluarga, tuntutan masyarakat “pengutusnya”, atau kekhasan kemampuannya. Sementara hak kurikuler santri adalah memperoleh pelajaran yang diperlukannya untuk menjadi penganut agama Islam yang baik sebagai pribadi, warga masyarakat, dan warga negara, sehingga ia dapat berperan serta dalam kehidupan demokratis bersama warga bangsanya dalam penghidupan yang layak bagi kemanusiaannya (Nafi 2007, 85-86).

b.

Elemen-Elemen Pondok Pesantren

(20)

tersebut. Kelima itu adalah: Pondok, Kyai, Santri, Masjid, dan Kitab Kuning. Untuk menjelaskan bagaimana sistem pendidikan yang berlaku pada pesantren, di sini peneliti kemukakan pendapat Zamakhsyari Dhofier. Ia mengungkapkan elemen-elemen sebuah pesantren sebagai berikut:

1. Pondok

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam Tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “Kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok yang dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pada kebanyakan pesantren terdahulu seluruh komplek merupakan milik kyai, tetapi sekarang, kebanyakan pesantren tidak semata-mata dianggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Pondok, asrama bagi para siswa, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan trasidional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain.

(21)

225

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

kyainya, sehingga para kyai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.

Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana. Mereka tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain. Para santri dari keluarga kaya pun harus menerima dan puas dengan fasilitas yang sangat sederhana ini. Para santri tidak boleh tinggal di luar komplek pesantren, kecuali mereka yang berasal dari desa-desa di sekeliling pondok. Alasannya ialah agar supaya kyai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak. Hal ini sangat diperlukan karena, telah disebutkan tadi, kyai tidak hanya seorang guru, tetapi juga pengganti ayah para santri yang bertanggung jawab untuk membina dan memperbaiki tingkah laku dan moral pada santri.

Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustaz (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior. Pondok tempat tinggal santri wanita biasanya dipisah dengan pondok untuk santri laki-laki, selain dipisahkan oleh rumah kyai dan keluarganya, juga oleh masjid dan ruang-ruang madrasah. Keadaan kamar-kamarnya tidak jauh berbeda dengan pondok laki-laki. Pondok atau asrama bagi suatu pesantren merupakan elemen yang sangat penting, karena bukan saja sebagai tradisi pesantren melainkan juga sebagai penopang bagi kelangsungan atau pesantren untuk terus berkembang.

Mengenai kepemilikan pondok atau asrama dapat dijelaskan bahwa bila pada pesantren tradisional asrama adalah miliknya kyai, tetapi pada pesantren modern seperti saat ini, asrama tidak semata-mata milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, atau yayasan. Hal ini dijelaskan karena kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Banyak pula komplek pesantren yang kini sudah berstatus wakaf, baik wakaf yang diberikan oleh kyai yang terdahulu, maupun yang berasal dari orang kaya. Walau demikian, para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan komplek pesantren tersebut.

(22)

2. Kyai

Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bah-wa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata tergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-concident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.

(23)

227

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

menentukan corak pesantren dan kyai menyadari hal yang demikian. Oleh karena itu, ia merestui santrinya belajar apa saja asal tetap pada akidah syariat agama dan berpegang pada moral agama dalam hidup sehari-hari. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pada pesantren modern kedudukan kyai tidak lagi merupakan sumber belajar satu-satunya. Hal ini disebabkan sumber belajar santri yang semakin banyak mulai dari guru, buku-buku, media, audio visual dan sebagainya. Namun peranan dan kedudukan kyai di dalam suatu pesantren tetap menjadi tokoh atau pemimpin tertinggi serta merupakan ciri khas pesantren.

3. Santri

Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri, yaitu:

a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab besar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar (dan masyhur) akan terdapat putra-putra kyai dari pesantren-pesantren lain yang belajar di sana. Mereka ini biasanya akan menerima perhatian istimewa dari kyai.

b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki banyak santri kalong daripada santri mukim (Mastuhu 2004, 66).

(24)

Mayoritas santri/siswa Pesantren Media Amal Islami adalah pemulung sehingga ketika selesai kegiatan pembelajaran biasanya, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

Berbeda menurut ulama’ salaf yang justru kata santri dijadikan menjadi bahasa Arab, yaitu dari kata “santaro”, yang mempunyai jama’ (plural) sanâtîr (beberapa santri). Di balik kata santri tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta’, ra’), seorang ulama’, lain mengimplementasikan kata santri sesuai dengan fungsi manusia, Adapun empat huruf tersebut yaitu :

1) Sin. Yang artinya “satrul al-aurah” (menutup aurat) sebagaimana selayaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta’aluq atau berhubungan, yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (zhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini). Manusia sebagai makhluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah berupa akal menjadikan posisi manusia sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan yang lain. Dengan akal tersebutlah akan terbentuk suatu custom atau habitual yang tentu akan dibarengi dengan budi dan naluri, yang nantinya manusia akan mempunyai rasa malu jikalau dalam perjalanannya tidak sesuai dengan rel–rel yang telah ditentukan oleh agama dan habitual action atau hukum adab setempat.

2) Nun. Yang berarti “naib al-ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadis bahwa: “al-ulama warasat

al-anbiya’ (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari umat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya diharapkan seorang ulama mempunyai kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akibat arus globalisasi dan modernisasi, serta dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Kaitannya dengan naib

(25)

229

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

pesantren merupakan subkultur dari masyarakat yang majemuk. Dengan didukung potensi yang dimiliki kaum santri itulah yang berfungsi sebagai modal dasar untuk memberikan suatu perubahan yang positif sesuai dengan yang diharapkan Islam.

3) Ta’. Yang artinya “tark al-ma’shi” (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syariat, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syariat. Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan

hablum minallah dan hablum minannas, hubungan horizontal dan vertikal dengan sang Khalik dan sosial masyarakat. Karena

tark al-ma’shi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun yang lain.

4) Ra’. Yang artinya “rais al-ummah” (pemimpin umat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini.

Pertama, ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual maupun sosial, dimana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa, umat Islam juga dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Kedua, ‘imarat

al-ardhi, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib, maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu kaidah fikih: “ma la yatimmu bihi wajib fahuwa wajibun”, sesuatu yang menjadikan kewajiban maka hukumnya pun wajib (Beik 1994, 230).

(26)

4. Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik salat lima waktu, khotbah dan salat Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena pada tahap awal tertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkatan dengan ibadah, salat berjamaah, zikir, wirid, doa, iktikaf dan juga kegiatan belajar mengajar (Yahmadi 2002, 64).

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesan-tren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam trasidional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al-Qubba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam sistem pendidikan. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi dan kultural. Hal ini telah berlangsung selama 13 abad. Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi ini.

Para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban salat lima waktu, memperoleh pe-nge tahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.

(27)

231

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Memang kenyataannya sekarang secara kelembagaan ada pesantren hanya dimiliki oleh seorang kyai dan ada pula yang milik yayasan dengan manajemen kolektif.

Permasalahan seputar pengelolaan model pendidikan pondok pe-san tren MAI dalam hubunganya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human resource) merupakan berita aktual dalam arus perbincangan kepesantrenan kontemporer karena pesantren dewasa ini dinilai kurang mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Namun meskipun demikian setidaknya terdapat dua potensi besar yang dimiliki pesantren yaitu: a. Potensi pendidikan. b. Pengembangan masyarakat.

Terkait dengan sistem pengelolaan pondok pesantren MAI dalam interaksinya dengan perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, kalangan internal pesantren sendiri sudah mulai melakukan pembenahan salah satu bentuknya adalah pengelolaan pondok pesantren formal sekolahan mulai tingkat TPA sampai paket C, di lingkungan pesantren dengan menawarkan perpaduan kurikulum keagamaan dan umum serta perangkat keterampilan yang dirancang secara sistematis dan integralistik (Dawam & Ta’rifin 2008, 18).

Ada pula sebagian pesantren yang memperbaharui sistem pendidik annya dengan menciptakan model pendidikan modern yang tidak lain ter paku pada sistem pengajaran klasik (wetonan, bandongan) dan materi kitab-kitab kuning. Tetapi semua sistem pendidikan mulai dari teknik pengajaran, materi pelajaran, sarana dan prasarananya didesain berdasarkan sistem pendidikan modern. Penyebaran pesantren yang luas dengan keaneragaman karakteristik yang dimiliki pesantren saat ini di semua wilayah Indonesia menjadi potensi luar biasa dalam percepatan pembangunan di daerah-daerah. Jika upaya maksimal ini dilakukan oleh pemerintah secara tepat bukan tidak mungkin kedepan bukan tidak mungkin akan menjadi lahan subur penyemaian bibit-bibit unggul manusia Indonesia. Jika melihat keadaan ini tampaknya akselerasi pendidikan dan pengelolaan masyarakat di pesantren optimis bisa berjalan. Namun bagaimanapun program-program ini tergantung pada penerimaan kyai di pesantren sendiri, maupun pengurus pesantren sebab pesantren memiliki kemandirian (otonomi) yang relatif besar juga memiliki basis konstituen yang relatif solid di masyarakat dan sumber daya lokal yang kuat (Haedari & Elsaha 2008, 13).

(28)

ini menjadi tantangan Kementerian agama untuk scara terus menerus mensosialisasikan dan mendorong pesantren-pesantren tersebut terlihat dalam akselarasi pendidikan nasional akan dapat ditingkatkan scara drastis. Oleh sebab itu, pelibatan pesantren dalam akselerasi pendidikan nasional tidak bisa ditangani secara serampangan, apalagi karitatif dan birokatik tugas Kemeterian Agama yang mendesak adalah bagaimana memperbesar partisipasi pesantren melalui program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter pesantren itu sendiri.

Salah satu bagian terpenting dalam manajemen pesantren adalah berkaitan dengan pengelolaan keuangan pesantren. Dalam pengelolaan keuangan akan menimbulkan permasalahan yang serius apabila pengelolaanya tidak baik. Pengelolaan keuanggan pesantren yang baik sebenarnya merupakan upaya melindunggi personil pengelolaan pesantren (kyai, pengasuh, ustadz, atau pengelola pesantren lainya) dari pandangan yang kurang baik dari luar pesantren (Dhofier 2011, 78-79). Selama ini banyak pesantren yang tidak memisahkan antara harta kekayaan pesantren dengan harta milik individu, walaupun disadari bahwa pembiayaan pesantren justru lebih banyak manajemen yang baik sebaiknya diadakan pemilahan antara harta kekayaaan pesantren dengan harta milik individu, agar kelemahan dan kekurangan pesantren dapat diketahui secara transparan oleh pihak-pihak lain, termasuk orang tua santri. Pengertian pengelolaan keuangan sendiri adalah pengurusan dan pertanggungjawaban suatu lembaga terhadap penyandang dana baik individual maupun lembaga. Dalam penyusunan anggaran memuat pembagian penerimaan dan pengeluaran anggaran rutin dan anggaran pembangunan serta anggaran insidental jika perlu. Prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan sebagai berikut:

1. Hemat tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan. 2. Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana dan program. 3. Terbuka dan transparan

4. Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil produksi dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan (Maunah 2011, 34).

(29)

233

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

berupa jenjang level kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu, yang pembelajarannya dilaksanakan dengan pendekatan tradisional. Bahkan pada pesantren tradisional praktik-praktik tasawuf atau hal-hal yang berbau sufistik menjadi subkultur pesantren hingga masa kontemporer. Kegiatan rutin Pengajian dua kali seminggu setiap malam Jumat dan malam Ahad dan waktu bakda Magrib sampai jam 20.00 malam. Materi Baca Alquran metode Iqra bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Dalam konteks ini, ada baiknya jika pesantren MAI (Media Amal Islami), di samping mempertahankan otonomisasi pendidikannya juga melengkapi dengan kurikulum yang menyentuh dan berkenaan dengan persoalan kebutuhan kekinian (community- based curriculum). Namun, perlu ditegaskan kembali bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan, semestinya tetap terbatas pada aspek teknis operasionalnya, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Sebab jika improvisasi menyangkut substansi pendidikan maka tradisi intelektual

indigenous khas pesantren akan tercabut dari akarnya dan kehilangan peran vitalnya.

Daftar Pustaka

Buku

Ainurrofiq Dawam & Ahmad Ta’rifin. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Jakarta: Lista Farika Putra, 2008.

Amin Haedari & Ishom Elsaha. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren

dan Madrasah Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka, 2008.

Amin Haedari dkk. Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.

Arifin. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Beik, Al-Syaikh Muhammad al-Khudhori. Tarikh al-Tasyri al-Islami. Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1994.

Thoha, Chabib & Muth’i, A. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses

Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar& Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003.

(30)

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Kumudasmoro, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 2011.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Inis, 2004.

Maunah, Binti. Landasan Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2011.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Muthohar, Ahmad. Idelogi Pendidikan Pesantren: Pesantren di

Tengah-Tengah Ideologi-Ideologi Pendidikan. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.

Nafi, M. Dian. Praktis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Institute for Training and Development (ITD), 2007.

Qamar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2005.

Masyhud, Shulthon & Khusnurdila. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2009.

Yahmadi. Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap

Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta : Ciputat Press, 2002.

Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Situs

(31)

INDEKS

A

Abad Pertengahan, 220 Abangan 125

Abdullah bin Umar 134 Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, 153 Ahlusunnah waljama’ah 129-130 Aisyah 135

Akomodasi 145, 171, 224 Alfiyah al-Suyuthi 176 Ali bin Abi Thalib 166

Alquran IV, VI, 122, 125-126, 130-133, 135, 139, 150-156, 158-160, 167, 178, 198, 213, 220-221, 232-233

Analogi 156, 158, 235 Asimilasi 145

Aswaja 129-130, 136, 235 Azra, Azyumardi 136, 186 Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an 176 Al-Khulafa al-Rasyidin 122

B

Bahts al-masa’il 176 Bidayat al-Mujtahid 176 Bilal 134-135

bandongan 176, 183, 231

C

Case-Based Learning IV, 139, 141, 148-150, 153, 155, 158-159, 162-163 Cinta kasih III, VI, 189-194, 197, 200-201, 203-209

Civil society 128

D

Darussalam 214 Dayah 171

(32)

Depok, II, 193, 207-208 Deskripstif analitik IV, 121 Dhofier, Zamakhsyari 136, 186

E

Efektivitas III, VI, 189, 194-196, 207-209 Ekuilibrasi 145

F

Fath al-Majid 176 Fikih ibadah 16 Filosofi 206

Filsafat 132, 144, 151, 159, 210

G

Geertz 125

H

Hadis 122, 134-135, 167, 173, 176, 184, 228, 232 Halstead, Mark 162

Hayatun Nufus 180, 182 Heinich 142-143, 161

Himmatul Aliyah III, VI, 189, 193-194, 196, 207-208 Hindu-Budha 131

Hindu-Jawa 124

I

Ihya `Ulum al-Din 176

International Center for Research on Women 191, 211 Islam Jawa 125

“Islam kultural” 131

Islam moderat III, IV, 121-123, 128-129, 131, 133 “Islam nominal” 125

Islam pesantren 124

(33)

K

Kawula Gusti 126

Kementerian Agama 214, 232 Khawarij 132

Kitab kuning V, 165-166, 170, 172, 179, 183, 185, 220, 224 Konstruktivisme 140, 142, 144-145, 147, 158

Konstruktivisme kognitif 158 Konstruktivisme pendidikan 144 Konstruktivisme sosial 142, 158 KPAI 191, 193, 211

Kurikulum VI, 140, 145, 151, 170, 174-175, 180, 189, 194, 208, 214, 220, 222-223, 231-233

Kurikulum pesantren 174-175

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 140

Kyai V, 165-166, 170-174, 176, 179-183, 185-186, 216, 218-219, 222, 224-227, 229-232

L

Langeveld 196 Lindgren 142, 161 Lurah kobong 180

M

Manajemen III, V, 165-170, 173, 180, 185-187, 194-195, 210, 226, 231-234 Manajemen Sumber Daya Manusia 194

Manhaj 220

Martabat Tujuh 126

Masjid V, 134-135, 153-155, 165, 170, 172, 179, 183, 185, 224-225, 229-230 Masjid Quba 172

Mastuhu 170, 174, 186, 221, 227, 234 Mas’ud, Abdurrahman 136

Matsal 156

Media Amal Islami III, VI, 213, 215-216, 228, 233 Metode “studi kasus” 153

Model pembelajaran IV, 139-141, 146, 149-150, 153, 155, 158-159 Model pembelajaran tradisional 141

(34)

Muasaroh 195, 211

Muhammadiyah IV, 121, 123, 127-129, 135-136 Musala 172

Muslim moderat 131-132

N

Nabi Muhammad IV, V, 122, 130, 136, 139, 150, 152-156, 159, 172, 193, 198, 202, 207, 210, 230

Nahdlatul Ulama 123 Naib al-ulama 228 NU 123, 127-130, 135-137

P

Pandangan dunia Tauhid 150, 159 Pembangun aktif 158

Pembelajaran aktif IV, 139, 148, 158-159 Pembelajaran autentik 142, 146, 150

Pembelajaran berbasis kasus III, IV, 139-141, 146-150, 152-153, 155, 158-159

Pembelajaran berbasis masalah 145-147 Pemulung VI, 213, 216, 228

Pendidikan Islam III, IV, 139, 141, 150-152, 159-161, 170-172, 181, 183, 186, 190, 198, 209, 214, 216, 220, 224, 230, 233

Pendidikan profetik III, VI, 189-191, 193-199, 206-208, 210 Penelitian kualitatif 219, 234

Perkembangan kognitif 142, 144-145

Pesantren III, V, VI, 124, 136, 165-183, 185-186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-234

Pesantren MAI VI, 213, 215, 218, 221, 231-233

Pesantren tradisional III, V, 165-166, 168, 170, 173, 180, 185, 220, 225-227, 230, 232-233

Piaget, Jean 161

Planning for Teaching, and Introduction 141 Poerwadarminta 196

Pondok pesantren III, V, VI, 165-172, 175-177, 179, 181-183, 186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-220, 222-223, 229, 231-232, 234

Pribumisasi Islam 124 Priyayi 125

(35)

Proses Islamisasi 190

Proses pembelajaran 140, 143, 147, 149-150, 158, 205-206

R

Rahmatan lil alamin 123, 192 Rais al-ummah 229

Ranah afektif 143 Ranah kognitif 143 Ranah psikomotorik 143

Rasul 126, 153, 198, 202-203, 207, 228 Rasulullah 135, 153, 166, 198-199, 202, 207

S

Safinah IV, 178, 184

Salafiyah III, V, 165, 176-177, 179-183, 185

Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh V, 165, 180, 182, 185

Santri V, VI, 125, 165, 168-172, 175-183, 185, 190, 198, 208-209, 213, 216-217, 219-230, 232

Santri kalong 227 Santri mukim 227 Satrul al-aurah 228 Scaffolding 155-158 Shahih Bukhari 176 Shahih Muslim 176

Shalih li kulli zaman wa makan 125 Sinkretisme 125

Sisdiknas 218

Sistem pendidikan profetik VI, 189, 194, 196, 198, 207-208 Sistem weton 219

Struktur linguistik bawaan pikiran 144 Subculture 173

Sudjana, Nana 161 Sufi Jawa 124 Sufisme 123

Sugiharto III, VI, 213 Suhartini 168

Sullam al-Munaruq 176

(36)

T

Tafsir Ibn Katsir 161, 176 Tarikh Tasyri` 176 tark al-ma’shi 229 Tasawuf Islam 126 Tawalib 214 Tebu Ireng 214

Teori manajemen Deming 167, 185 Teori Vygotskian 158

The religion of Java 123

Timur Tengah 125-126, 133, 173, 186 Tradisi besar 125

Tradisi lokal 124-125, 130-131

Tradisional III, V, 127, 141, 148, 165-166, 168-173, 180, 183, 185, 220, 224-227, 230, 232-234

U

Ummatan Wasathan 121, 131, 136

Universitas Muhammadiyah Tangerang IV, 121 Uqudu al-Jumah 176

V

Von Glasersfeld 144 Vygotsky, Lev 161

W

Wahyu, Ramdhani 211

Walisongo 122-125, 130, 136, 169, 187, 233 Waratsat al-anbiya 218

Washatiyyah 132-133

Washatiyyah Islamiyyah 133 Wells, Gordon 162

Z

Zhahiriyah 132

(37)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami osteoartritis di Desa

Penelitian yang dilakukan Wardani (2012) yang berjudul Pengaruh Struktur Aset , Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Dan Operating Leverage Terhadap Struktur Modal Pada

[r]

Setelah data dimiliki, tugas selanjutnya adalah untuk memperkirakan parameter dari fungsi konsumsi. Perkiraan numerik dari parameter memberikan konten empiris untuk

2) Modal Keuangan (Financial Capital), dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kesuksesan karena dapat dipastikan bahwa suatu usaha jika akan mejalankan usahanya akan

Keberhasilan bentuk desain dinding juga ditinjau dari penerapan parameter yang lain seperti peletakan bangunan (orientasi) pembayang pasif, bukaan jendela dan vertical

Artinya segala kegiatan yang akan berlangsung di dalam kelas, biasa disebut sebagai kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Baik dalam perencanaan proses pembelajaran,