MENGENAL LEBIH DEKAT DENGAN
TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
(Corporate Social Responsibility)
Penulis :
Agung Hermawan
(PERDAMAIAN DUNIA MELALUI TANGGUNGJAWAB SECARA SOSIAL---terjemahannya)
(disisi kiri) Logo LBH (disisi kanan) Logo Oxfam Australia
Diterbitkan oleh :
Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung)
Atas dukungan sepenuhnya dari :
KATA PENGANTAR
Tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) kini menjadi kalimat yang sering dilontarkan oleh perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada stakeholder. Tetapi kadangkala ada salah kaprah dari perusahaan bahwa yang dimaksud dengan CSR adalah an sich masalah pembangunan masyarakat (community development). Benarkah bahwa CSR hanya berkutat dengan masalah community development saja atau apakah CSR hanya lebih kepada politik pencitraan dari perusahaan untuk menjaga imagenya?
Buku ini yang ditujukan kepada aktivis serikat buruh berusaha untuk mencoba menggali serta menjelaskan mengenai apa dan bagaimana CSR serta adakah manfaatnya bagi buruh. Walaupun isu CSR sudah berkembang cukup lama tetapi CSR masih dipahami sebagai salah satu bentuk kegiatan kedermawanan (philantrophy) perusahaan kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa kontribusi dunia usaha tidak hanya dalam bentuk kemajuan ekonomi suatu bangsa tetapi juga hancurnya nilai-nilai dalam masyarakat adat (seperti dalam kasus Freeport), pelanggaran atas hak-hak buruh, kerusakan lingkungan dan juga privatisasi sektor publik. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) sendiri menaruh perhatian yang cukup besar pada isu CSR sebagaimana yang telah diinisiasikan oleh mantan Sekjen PBB Kof Annan dalam Global Compactnya. Artinya PBB sebagai badan dunia memandang bahwa dunia usaha juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam mempromosikan nilai-nilai hak asasi manusia, isu lingkungan hidup dan juga anti korupsi dan bukan hanya kegiatan yang hanya bersifat belas kasihan (charity) saja.
Dengan demikian dukungan dunia usaha terhadap isu HAM, lingkungan hidup dan anti korupsi merupakan sebuah kemajuan yang cukup progressive yang juga harus mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Dunia usaha juga harus sudah mulai memikirkan bahwa kegiatan yang berorientasi proft haruslah juga mempunyai perspektif HAM. Sehingga nilai-nilai HAM dan demokrasi juga haruslah menjadi panduan bagi dunia usaha dalam menjalankan kegiatannya. Dengan demikian HAM sebagai nilai-nilai yang bersifat universal bukanlah suatu yang harus dipertentangkan dalam dunia usaha. Bahkan dunia usaha yang mempunyai perspektif HAM dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan. LBH Bandung memandang bahwa dialog antara dunia usaha dengan stakeholder (masyarakat, buruh dsb) haruslah terus dilakukan. Sehingga tanggungjawab sosial perusahaan tidak hanya berhenti dan berorientasi pada kegiatan yang bersifat programatik tetapi juga harus terus didorong untuk melakukan transformasi kearah perubahan dan bahkan menjadi suatu gerakan sosial.
Selamat membaca !
Bandung, Februari 2008 Direktur LBH Bandung
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………
Daftar Isi ………
Bagian Pertama : Apa dan Bagaimana CSR
a. Pengertian CSR ………
b. Jenis dan Macam Kegiatan CSR
………..
c. Sifat CSR ………
Bagian Kedua : Mengapa CSR Penting Bagi Perusahaan
a.Bisakah Perusahaan Bertanggungjawab Secara Sosial ?……….
b.Benarkah CSR adalah Strategi Perusahaan untuk Mensiasati Peraturan ………
c. Bagaimana Wujud Perusahaan Yang Bertanggungjawab Secara Sosial ……….
Bagian Ketiga : Kritik Terhadap CSR
a. CSR Bukan Hanya Sekedar Kegiatan Yang Bersifat Belas-Kasihan ……….
b. Apa Yang Bisa Kita Lakukan Untuk Mengawasi Pelaksanaan CSR ……….
Bahan Bacaan ………..
Bagian Pertama
Apa dan Bagaimana CSR
a. Pengertian CSR
Istilah CSR pertama kali muncul dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini menjawab keresahan dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi penawar kesan buruk perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat dan lebih dari itu pengusaha di cap sebagai pemburu uang yang tidak peduli pada dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
CSR menjadi topic yang sering dibicarakan dan didiskusikan oleh dunia usaha dan juga kalangan akademisi. Bahkan ketika Financial Times (sebuah surat kabar terkemuka di Amerika Serikat) memilih “Company of the Year” (Perusahaan yang paling Terkemuka) salah satu criterianya adalah ‘kontribusi perusahaan tersebut pada perekonomian dan juga masyarakat’.1 Bahkan isu CSR telah menjadi agenda besar di pemerintahan Presiden Bill Clinton dan juga Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia memperkenalkan suatu “Kemitraan Industri Pakaian” (yang kemudian dikenal dengan Fair Labour Association/Perkumpulan Buruh Adil).2 Di Inggris ada juga ‘Ethical Trading Initatives’ (Prakarsa Perdagangan Yang Ber-Etika), dimana anggotanya terdiri dari dunia usaha (seperti merek-merek terkenal di Inggris : Mark&Spencer), Serikat Buruh (Trade Union Congress/Konfederasi Serikat Buruh Inggris) dan juga LSM (War on Want, Chisrian Aid dan Oxfam). Bahkan dalam pemerintahan PM Tony Blair, dia mengangkat menteri yang bertanggungjawab terhadap kegiatan CSR.
Tidak ada defnisi yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (The World Business Council for Suistainable Development/WBCSD) sendiri mendefnisikan CSR sebagai : “keberlanjutan komitmen dari dunia usaha untuk berperilaku secara etis dan juga berkontribusi kepada pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup dari buruh dan juga keluarganya serta masyarakat secara keseluruhan” (terjemahan dari penulis).
1 Apo Leong and Chan Ka-wai, Critical Reflection on CSR : Labour’s Perspective, Asian Labour Update,
July-Sepember 2006.
2 Fair Labour Assosciation atau Perkumpulan Buruh Adil adalah suatu himpunan/perkumpulan dari beberapa buyer/
Istilah tanggungjawab sosial perusahaan bukanlah sesuatu yang baru dalam beberapa literature. Berdasarkan literature terdapat 5 (lima) defnisi mengenai tanggungjawab sosial perusahaan yakni :3
a. “tanggungjawab sosial perusahaan” adalah komitmen perusahaan untuk mengelola perannya dalam masyarakat (sebagai produsen, pemasar, konsumen dan juga warga masyarakat) dalam tindakan-tindakan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Komitmen ini didasarkan pada prinsip kesukarelaan yang menjamin bahwa perusahaan juga mempunyai dampak positif bagi masyarakat disekitar perusahaan tersebut;
b. “tanggungjawab sosial perusahaan” adalah tindakan-tindakan perusahaan yang diatur dan disyaratkan dalam hukum dan aturan nasional;
c. “tanggungjawab sosial perusahaan” bukan hanya “melakukan sesuatu yang baik” tetapi juga menyangkut mengenai mengakui tanggungjawab perusahaan terhadap semua kelompok-kelompok stakeholdernya (buruh, masyarakat dan lingkungan);
d. “tanggungjawab sosial perusahaan” adalah hubungan antara perusahaan dengan semua stakeholdernya. Ini juga termasuk dengan konsumen, buruh, masyarakat, pemerintah, suppliernya dan bahkan pesaingnya. Melalui praktek-praktek tanggungjawab sosial perusahaan, organisasi akan mencapai keseimbangan antara hubungan ekononomi, sosial, dan lingkungan;
e. “tanggungjawab sosial perusahaan” adalah konsep dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan mereka dalam kegiatan mereka dalam prinsip kesukarelaan.
Kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) instrument internasional tentang hak asasi manusia (HAM) bukan melulu tanggungjawab negara. Dunia usaha sebagai subjek hukum juga mempunyai kewajiban yang sama untuk mempromosikan nilai-nilai hak asasi manusia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membuat suatu instrument, yang walaupun masih bersifat sukarela (voluntary), bagi dunia usaha dalam mempromosikan HAM. Dalam United Nations Global Compact, dunia usaha harus melaksanakan prinsip-prinsip yang terbagi dalam :
a. Isu Hak Asasi Manusia : dunia usaha harus mendukung dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia;
3 Dwight W. Justice, Corporate Social Responsibility : Challenges and Opportunity for Trade Unionsts, in Labour
b. Isu Perburuhan : dunia usaha harus menghormati kebebasan berserikat dan mengakui hak atas perundingan kolektif serta mencegah segala bentuk kerja paksa dan menhapuskan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan;
c. Isu Lingkungan Hidup ; dunia usaha harus mengambil inisiatif dalam mempromosikan tanggungjawab terhadap lingkungan dan juga mendorong pengembangan tehnologi yang ramah lingkungan;
d. Isu Anti-Korupsi : dunia usaha harus melawan segala bentuk korupsi, termasuk penyuapan dan penyogokan.
Selain itu berkaitan dengan kewajiban dunia usaha untuk mempromosikan hak asasi manusia, Norma-Norma PBB Tentang Tanggungjawab Perusahaan Trans Nasional dan Dunia Usaha Lainnya (the United Nations Norms on the Responsibilities of TNC’s and Other Business Enterprises) menyatakan ada 4 (empat) wilayah HAM yang wajib dihormati oleh dunia usaha yakni :
Pertama, jaminan persamaan kesempatan dan perlakuan untuk menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, dan agama;
Kedua, dunia usaha harus menghindarkan diri dari kegiatan atau bahkan mengambil keuntungan dari kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genoside (pembantaian etnis), kekerasan, penghilangan secara paksa, buruh paksa dan pelanggaran lain yang membahayakan keamanan perseorangan atau kelompok;
Ketiga, dunia usaha harus mengakui hak atas perundingan kolektif;
Keempat, kewajiban yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan;
Pada tahun 1970, CED (Commitee for Economics Developments) mendefnisikan social responsibility ke dalam 3 lingkaran : 4
a. Lingkaran Dalam, menyatakan bahwa tanggungjawab perusahaan adalah untuk membuat keputusan-keputusan yang efsien untuk fungsi ekonomi (terkait dengan produk pekerjaan dan pertumbuhan perusahaan);
b. Lingkaran Tengah, menyatakan bahwa perusahaan dalam menentukan keputusan-keputusan bisnisnya harus dengan sensitif mempertimbangkan perubahan-perubahan nilai sosial dan prioritas masyarakat. Contohnya mengenai perlindungan lingkungan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja;
c. Lingkaran Luar, menyatakan bahwa tanggungjawab perusahaan juga meliputi kegiatan-kegiatan yang memperbaiki lingkungan sosial seperti program pengentasan kemiskinan dsb.
4Agung Nugroho dan Wahyudi Atmoko, “Situasi Yang Terus Berubah” dalam Tanggungjawab Sosial Perusahaan
CSR sebagai sebuah komitmen dari dunia usaha untuk mempromosikan nilai-nilai HAM sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Istilah “code of conduct”, “monitoring” atau “verifikasi” sebenarnya sudah cukup lama dikenal oleh kalangan aktivis serikat buruh. Bahkan pada kondisi sekarang berkembang suatu istilah yang dinamakan “audit sosial”. Semua istilah tersebut pada prinsipnya mempunyai kesamaan tujuan yakni dimana dunia usaha (korporasi/perusahaan) dituntut untuk mempunyai tanggungjawab tidak hanya kepada para pemiliknya atau pemegang saham(shareholders) tetapi juga kepada masyarakat yang terlibat dalam semua kegiatan usaha tersebut (buruh, masyarakat lokal termasuk lingkungan—yang ini dinamakan stakeholders).
Di Indonesia sendiri konsep mengenai CSR masih terbilang baru. Konsep CSR baru muncul ketika banyak perusahaan, khususnya perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan, banyak menghadapi tuntutan dari masyarakat seiring dengan kegiatan mereka. Beberapa contoh dapat dilihat seperti konfik yang terjadi antara PT. Freeport dengan suku Amungme terkait dengan konfik tanah ulayat yang digunakan sebagai wilayah operasi PT. Freeport.
Pada saat itulah korporasi (dalam hal ini perusahaan-perusahaan besar) mulai menyadari bahwa kegiatan mereka tidak melulu untuk menghasilkan keuntungan tetapi juga memberikan kontribusi kepada masyarakat yang berada disekitar kegiatan usaha mereka. Namun sayangnya sampai hari ini kalangan dunia usaha masih memandang bahwa CSR hanya sebagai aktivitas yang bersifat sumbangan (philantrophy). Sehingga yang kita lihat adalah bahwa kegiatan CSR marak ketika mendekati hari besar Islam, perayaan kemerdekaan Indonesia ataupun memperingati hari ulangtahun atau berdirinya perusahaan tersebut.
Konsep tanggungjawab sosial perusahaan sendiri telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Sustainable Development). CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Walaupun ketentuan mengenai tanggungjawab sosial perusahaan telah diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan terdapat sanksi bagi dunia usaha yang tidak melaksanakannya namun alangkah bijaknya apabila dunia usaha juga tidak memandang tanggungjawab sosial perusahaan sebagai suatu beban yang memberatkan.
Dibawah ini beberapa jenis kegiatan perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai tanggungjawab sosial perusahaan yakni :
1. Kegiatan Perusahaan yang Berhubungan dengan Kedermawanan (philantopy)
Bentuk kegiatannya bisa dalam bentuk donasi atau sumbangan. Sebagai usaha untuk merespon kritikan terhadap perusahaan yang selalu berorientasi proft biasanya dunia usaha dengan memakai strategi pemasaran atau politik pencitraan seringkali melakukan kegiatan donasi atau menyumbang (baik dalam bentuk uang maupun barang) ke masyarakat. Contohnya : sumbangan perusahaan A untuk korban banjir di Jakarta.
2. Sebab-Sebab yang Berkaitan dengan Pemasaran
CSR dalam bentuk ini sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan penjualan suatu produk barang atau jasa. Contohnya dalam iklan produk suatu barang akan disebutkan ketika anda membeli barang maka dari produk yang anda beli Rp. 100-nya akan disumbangkan untuk pembangunan sekolah atau menyantuni anak-anak jalanan dsb.
3. Menjadi Sponsor dalam Salah Satu Penghargaan
Dengan wajah yang lain, seringkali perusahaan terlihat sangat “humanis”. Oleh karena itu kita seringkali melihat banyak perusahaan-perusahaan besar memberikan berbagai macam bentuk penghargaan dalam berbagai kategori. Inilah juga salah satu bentuk CSR yang memang bertujuan untuk menjaga image mereka (brand image). Contohnya adalah penghargaan terhadap Pejuang HAM yang disponsori oleh Reebok (Reebok Human Rights Award). Atau untuk contoh di Indonesia yang paling dikenal adalah penghargaan “Ahmad Bakrie Award” yang dilakukan oleh Kelompok Bakrie Group.5
4. Kode Etik Perusahaan (code of conduct)
Kode etik perusahaan (corporate code of conduct) adalah pernyataan sepihak dari perusahaan-perusahaan pemegang merk terkenal (seperti Reebok, Nike, Adidas, Puma) untuk menghormati dan memenuhi standard-standard perburuhan yang telah ditetapkan oleh ILO. Kelemahan Code of Conduct adalah karena dia merupakan pernyataan yang dibuat secara sepihak dan tanpa melibatkan serikat buruh maka maka Code of Conduct akhirnya hanya menjadi alat propaganda perusahaan untuk mempengaruhi masyarakat mengenai kinerjanya. Walaupun kadangkala perusahaan juga menyewa auditor independen untuk mengawasi implementasi Code of Conduct namun tetap saja audit yang dilakukan itu untuk kepentingan perusahaan dan bukan untuk kepentingan buruh, masyarakat atau perbaikan lingkungan sekitar yang terkena dampak kegiatan perusahaan.
5. Laporan Kondisi Sosial dan Lingkungan
Sama halnya dengan Code of Conduct, kegiatan ini bertujuan untuk mempengaruhi opini masyarakat berkaitan dengan kegiatan perusahaan yang mempunyai dampak terhadap
5 Pada tahun 2007, Frans Magnis Suseno menolak untuk menerima Bakrie Award terkait dengan “sumbangsih” dari
lingkungan. Hal ini pernah dilakukan oleh beberapa perusahaan multi nasional (MNC’s) seperti Newmont terhadap isu pembuangan limbah di Teluk Buyat, Freeport yang limbahnya mencemari sungai di Papua dan terakhir di Riau dimana PT Riau Andalam Pulp & Paper dituduh telah melakukan pembalakan liar terhadap hutan lindung.
6. Pembangunan Masyarakat (Community Development)
Banyak perusahaan multinasional (MNC’s) mengembangkan kegiatan Community Development sebagai alat propaganda dan seolah-olah telah melaksanakan tanggungjawab sosial. Kegiatan community development ini dapat dilihat dengan berbagai macam bentuk. Mulai dari pembangunan puskesmas, jalan, perbaikan gedung sekolah, pemberian modal kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Contoh dari program pengembangan masyarakat dapat dilihat dari iklan Aqua yang disponsori Danone bekerjasama dengan bintang sepakbola dari Perancis Zidaene untuk membangun sarana air bersih di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perkembangan CSR sendiri merupakan suatu refeksi dari ekonomi neoliberal dimana dunia usaha telah mendapatkan kekuasaan secara ekonomi dan politik. Sekarang, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar di dunia dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar (transnational corporations dan multinational corporations/TNC’s dan MNC’s). Semakin besarnya kekuasaan korporasi (TNC’s/MNC’s) ternyata juga tidak memberikan jaminan terciptanya pasar yang efsien serta mencapai keseimbangan dinamis seperti yang dibayangkan oleh para ekonom klasik. Walaupun peran negara sudah semakin kecil ternyata pasar juga seringkali menghadapi kegagalan akibat terjadinya malpraktek seperti kasus penyuapan, penggelapan pajak dan persaingan tidak sehat yang menyebabkan pasar menjadi tidak efsien.
Disisi lain negara juga mengalami kegagalan untuk mensejahterakan warga negaranya. Dalam hal banyak dapat dilihat bahwa pemerintah semakin tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik. Naiknya berbagai macam kebutuhan pokok menjadi cermin akibat kebijakan pemerintah yang tidak efektif dan salah sasaran. Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan publik tersebut itulah yang mendorong masuknya peran swasta dan inilah yang menyebabkan terjadinya privatisasi disektor publik.
Mungkin jawaban dari Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, didalam bukunya "Development as Freedom" mencerahkan kita bahwa pembangunan bukanlah sederetan angka-angka yang menjabarkan suatu indikator tertentu. Akan tetapi, pembangunan pada akhirnya adalah suatu proses yang "membebaskan" masyarakat, yang membebaskan masyarakat untuk berdemokrasi, untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak, terjamin hak-hak asasinya, serta terbebas dari kemiskinan yang membelenggunya.
Permasalahan yang sampai hari ini belum selesai mengenai CSR adalah sifatnya yang hanya “sukarela” (voluntary). Wacana tentang sifat “kesukarelaan” CSR bagi perusahaan juga menjadi perdebatan yang cukup hangat dalam pembahasan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kalangan anggota DPR menginginkan bahwa CSR tidak hanya kegiatan yang bersifat sukarela saja tetapi juga menjadi suatu kewajiban sama halnya dengan kewajiban perusahaan dalam membayar pajak, memenuhi hak normative buruh serta menjaga kelestarian lingkungan. Sementara dilain pihak, kalangan perusahaan sendiri berdalih bahwa apabila CSR menjadi sesuatu yang bersifat wajib maka akan memberatkan bagi perusahaan. Dilain pihak mereka juga menolak apabila CSR ini juga berlaku untuk semua jenis industry (baik kecil, sedang maupun besar). Akhirnya consensus yang terjadi adalah “mewajibkan” CSR namun itu terbatas pada perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan.
Dalam pandangan Philip Kotler dan Nancy Lee, CSR memang merupakan komitmen dari perusahaan untuk memperbaiki kondisi masyarakat melalui tindakan “diskresionari” yang ditujukan kepada masyarakat.6 “Diskresionari” perusahaan untuk melakukan CSR memang diluar standard-standard etika, hukum atau bahkan diluar perkiraan masyarakat. Contohnya adalah banyak perusahaan besar memiliki “code of conduct”nya sendiri yang menyatakan bahwa mereka dan supplier mereka harus mengikuti hukum perburuhan dinegara manapun mereka beroperasi, walaupun hukum perburuhan tersebut dibawah standard-standard perburuhan internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi-Konvensi ILO. Atau, misalkan di Indonesia. Walaupun aturan perburuhan sudah dapat dikatakan “lebih baik” namun ketika pengawasannya lemah maka pelaksanaan aturan itu menjadi diskresi bagi perusahaan dalam menjalankan aturan tersebut. Dengan kata lain perusahaan dapat memutuskan atas “dikresinya” pasal mana yang mereka ikuti dan bagian mana yang ditangguhkan pelaksanaannya.
Diskresi sendiri menjadi ciri utama dari CSR. Dalam perspektif perusahaan, CSR bukan merupakan kewajiban. Dengan demikian CSR hanya merupakan sumbangan ekstra perusahaan kepada masyarakat. Oleh karena itu CSR bagi perusahaan hanyalah strategi untuk mencari kepopuleran. Namun sejatinya ide CSR ini adalah agar bagaimana perusahaan mempunyai kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan. Sehingga program yang terkait dengan CSR juga tidak hanya sebatas programatik yang bersifat karitatif saja seperti pembangunan jalan, renovasi sekolah dan sumbangan perusahaan pada hari raya keagamaan.
Sebagi sebuah konsep yang bersifat sukarela, ada hal penting yang harus dibedakan dari konsep lainnya yang berkaitan dengan hubungan antara dunia usaha dengan masyarakat. Istilah “corporate accountability” (perusahaan dapat dipertanggungjawabkan) sebenarnya lebih pas dibandingkan “corporate responsibility” (tanggungjawab perusahaan). Perusahaan dikatakan “accountable” (dapat dipertanggungjawabkan) merujuk pada kewajiban perusahaan, yang diatur dan mengikat secara hukum, kepada pemegang saham dan juga 6 Philip Kotler and Nancy Lee, Corporate Social Responsibility, Hoboken, NJ : John Wiley &
pemerintah. Sehingga istilah “accountability” sebenarnya mempunyai sifat yang lebih mengatur dan selaras dengan komitmen dunia usaha dalam membangun kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan.
Namun juga harus disadari bahwa konsep CSR sebenarnya lebih mengarah kepada bagaimana perusahaan meningkatkan proft (keuntungan). Sehingga mengapa perdebatan dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang menginginkan CSR menjadi sebuah kewajiban ditolak oleh kalangan dunia usaha. Sebab dalam pandangan mereka CSR hanya merupakan salah satu strategi perusahaan untuk mencapai keuntungan yang lebih besar melalui pemenuhan tanggungjawab sosialnya.
Bagian Kedua
a. Bisakah Perusahaan Bertanggungjawab Secara Sosial?
Tanggungjawab perusahaan menurut Milton Friedman adalah membuat laba (keuntungan). Masalah sosial adalah urusan Negara, karena perusahaan sudah membayar pajak (Milton Friedman : Capitalism and Freedom, 1962 :133)
Banyak kalangan, khususnya LSM dan serikat buruh, tidak mempercayai bahwa CSR bukanlah sebuah komitmen yang dilakukan “sepenuh hati” oleh perusahaan. Mereka beranggapan bahwa sebuah institusi yang hanya mengejar keuntungan semata tidak mungkin mempunyai maksud dan tujuan mulia untuk memberdayakan msyarakat, menghormati hak-hak buruhnya serta tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu sangatlah tidak mungkin untuk menuntut perusahaan agar bertanggungjawab secara sosial.
Tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) menjadi ramai dibicarakan di tingkat internasional seiring dengan kritik dan kampanye atas kegiatan para pengusaha (khususnya perusahaan-perusahaan multinasional dan pemilik merk produksi terkenal) di tengah tatanan ekonomi pasar bebas (yang dikenal dengan istilah ekonomi neoliberalisme) yang telah menyebabkan berbagai permasalahan di dunia: dari mulai kerusakan lingkungan, perilaku perusahaan yang mengabaikan hak asasi manusia, pengabaian hak-hak pekerja (kondisi kerja yang buruk dan upah yang rendah), penggunaan buruh anak, kerja paksa, anti serikat buruh, pemiskinan dunia dan lain sebagainya.
Konsep CSR sendiri sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1970-an. Seperti yang dikatakan oleh Milton Friedman, - sebagai “profesor” peletak konsep sistem ekonomi neoliberal- bahwa adalah juga kepentingan para pelaku usaha untuk tidak hanya peduli pada keuntungan semata melainkan juga mengambil bagian serius terhadap seluruh kepentingan umum seperti penciptaan lapangan pekerjaan, penghapusan diskriminasi, mencegah infasi, memperbaiki lingkungan, penghapusan kemiskinan dan sebagainya.
dalam kata lain terlibat dalam persaingan bebas dan terbuka tanpa kecurangan atau kebohongan. 7
Banyak pihak yang mengkritisi praktek CSR yang dilakukan oleh perusahaan dengan pertanyaan : bisakah perusahaan bertanggungjawab secara sosial ? Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa struktur perusahaan yang bertujuan proft tidaklah mungkin dapat bertanggungjawab secara sosial. Sebuah perusahaan adalah milik para pemegang sahamnya. Pimpinan perusahaan (direktur utama) bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan pemiliknya. Dalam The Corporation, flm yang menguak mengenai perilaku perusahaan, disitu disebutkan bahwa perusahaan juga kadangkala mempunyai karakter psycho (psikopat---orang gila). Perilaku ini merujuk kepada kegiatan dunia usaha yang berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin tanpa mempedulikan stakeholdernya (buruh, masyarakat dan lingkungan). Milton Friedman mengatakan bahwa karena perusahaan adalah milik para pemegang saham, maka setiap keputusan yang diambil juga harus mewakili dan bertujuan bagi para pemegang saham yakni profit (keuntungan).
Dengan demikian seharusnya substansi dari CSR adalah bagaimana dunia usaha mempunyai moral dan etika dalam menjalankan kegiatan usahanya. Sehingga masyarakat akan percaya bahwa perusahaan bertanggung secara sosial dan lingkungan bukan karena kepentingannya (melulu karena proft) dan juga bukan karena “diwajibkan” oleh aturan perundangan nasional.
Dibalik Topeng Perusahaan :8
Dibawah ini contoh dari wajah CSR yang sebenarnya :
a. Bagaimana Shell (Perusahaan pertambangan minyak dari Belanda), salah satu arsitek CSR, gagal untuk membersihkan tumpahan minyak di Delta Niger, Nigeria serta kegagalan mereka menjalankan program pengembangan masyarakat (community development) yang membuat masyarakat terpecah;
b. Bagaimana Coca Cola menghabiskan cadangan air dan mengancam kehidupan masyarakat di India;
c. Bagaimana Freeport telah menghancurkan lingkungan serta mengancam kelestarian alam di Papua serta memecah-belah masyarakat adat (antara Suku Amungme dan Suku Komoro) dengan program pengembangan masyarakatnya (community development); d. Bagaimana Riau Andalan Pulp & Paper melakukan illegal loging (penebangan liar)
dengan membabat hutan lindung diluar area yang seharusnya;9
7 Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits,” The New York Times
Magazine, 13 September 1970. Lihat http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-resp-business.html, dalam Laporan Hasil Riset KASBI tentang CSR, Juni 2007.
8 Corporate Watch Report, What’s wrong with Corporate Social Responsibility?, 2006.
9 Pada tahun 2007 PT. Riau Andalan Pulp & Paper (anak perusahaan Sinar Mas Group yang dimiliki oleh Eka Tjipta
e. Bagaimana Newmont Minahasa telah mencemari wilayah Teluk Buyat dan menyebabkan masyarakat diwilayah tersebut menderita akibat limbah yang mencemari sungai di wilayah mereka;
f. Bagaimana Lapindo Brantas telah menyebabkan ribuan orang harus terusir dari kampung halamannya dan menyebabkan nasib mereka sampai hari ini terkatung-katung karena masalah ganti rugi yang belum selesai;
b. Benarkah CSR adalah Strategi Perusahaan Untuk Mensiasati Peraturan ?
Kegiatan CSR yang dilakukan dunia usaha sebenarnya bermula dari ---seperti apa yang dikatakan oleh Milton Friedman---bahwa perusahaan juga sama seperti halnya manusia (human being) yakni sebagai institusi yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai warganegara.10 Karena perusahaan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti halnya individu maka perusahaan juga dapat dihukum apabila berbuat salah. Tapi benarkah kegiatan CSR merupakan salahsatu kegiatan perusahaan untuk “mencuci dosa” dari apa yang telah mereka lakukan? Atau apakah ini juga sebagai strategi perusahaan untuk menghindari peraturan, misalnya tentang pajak?
Dalam kegiatan CSR sejatinya keduabelah pihak (perusahaan dan masyarakat) mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Siapa yang diuntungkan dalam kegiatan CSR ? Kalau kita jeli melihat kegiatan CSR sebenarnya yang diuntungkan adalah perusahaan. Salah satu contohnya adalah kegiatan sponsorship yang dilakukan oleh perusahaan rokok dalam setiap acara perayaan hari kemerdekaan. Sebuah studi yang dilakukan terhadap kegiatan CSR menunjukan bahwa perusahaan mendapatkan keuntungan lebih dari 60% dari apa yang telah mereka lakukan kepada masyarakat daripada apa yang masyarakat dapatkan dari kegiatan 10 Itu kenapa istilah Corporate Sosial Responsibility juga dikenal dengan nama Corporate Citizenship atau
CSR tersebut.11 Dari kegiatan yang bersifat donasi (philantrophy) tersebut sebenarnya perusahaan telah mendapatkan imagenya di masyarakat dan efek sampingnya adalah diharapkan masyarakat membeli produk yang mereka hasilkan terlepas apakah produk yang dihasilkan tersebut menyebabkan limbah bagi masyarakat disekitar atau buruh yang membuat produk tersebut dibayar murah, masyarakat cenderung tidak melihat sisi lain dari kegiatan CSR.
CSR sendiri sebenarnya dapat dikatakan sebagai “program reaksioner” perusahaan dalam menyikapi ketidakpercayaan masyarakat atas kegiatan dunia usaha selama ini. Milton Friedman dalam “The Corporation” menyatakan bahwa pengaruh dunia usaha juga dapat dirasakan serta dilihat dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Contoh konkret dari pengaruh kegiatan dunia usaha terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah sebenarnya dapat dilihat secara kasat mata dalam kasus Lapindo Brantas. Kasus ini dengan jelas menggambarkan bagaimana perusahaan mencoba menghindar dari tanggungjawab atas apa yang telah mereka lakukan kepada masyarakat dan lingkungan disekitar. Peran Aburizal Bakirie sebagai pemilik kelompok Bakrie, dan juga masuk dalam jajaran kabinet sebagai Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, mencermikan adanya konfik kepentingan dalam isu Lapindo. Dan sebagaimana yang kita ketahui akhirnya pemerintahlah yang harus bertanggungjawab untuk memberikan gantirugi terhadap masyarakat yang menjadi korban.
Dalam contoh lain dapat kita lihat dalam rantai produksi antara principal dengan makloon. Secara rantai produksi sebenarnya hubungan antara principal dan makloon adalah hubungan yang saling terkait. Namun oleh UU 13/2003 hubungan tersebut seolah-olah menjadi hubungan yang terputus sama sekali. Sehingga buruh yang bekerja dimakloon hanya mempunyai hubungan dengan pemilik makloon. Padahal pemilik makloon sendiri mendapatkan order---dan bahkan seringkali juga buruh---dari principal. Hal ini menjadi masalah terkait dengan hak-hak normative dari buruh yang bekerja di makloon dan juga apabila terjadi pemutusan hubungan kerja dengan pemilik makloon.
Dua contoh diatas menganalogikan tentang kegiatan CSR. CSR ibarat dua sisi mata uang dimana satu sisi menampilkan kebaikan perusahaan dan sisi lainnya memperlihatkan wajah buruk yang sebenarnya tentang perusahaan. Seringkali kita melihat bagaimana perusahaan memanipulasi kondisi keuangan perusahaan untuk laporan pajak tetapi sisi lainnya memanipulasi dan membohongi buruh dalam hal isu kenaikan upah.
Jadi sebenarnya perusahaan memakai kegiatan CSR sebagai “topeng” atas apa yang telah mereka lakukan terhadap buruhnya dan juga masyarakat sekitar serta lingkungan. Dari sini sebenarnya pengurus serikat buruh harus mulai memahami bahwa kegiatan CSR yang sering dilakukan oleh perusahaan bertujuan untuk meningkatkan citra mereka di masyarakat.
Lobby Terhadap Aturan
Dibawah ini adalah beberapa contoh lobby yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghindar dari aturan hukum ataupun ‘memaksa’ pemerintah agar mengeluarkan aturan hukum (baik itu UU atau peraturan lainnya) :
a. Bagaimana lobby yang dilakukan oleh Ketua Kamar Dagang Inggris kepada Wapres Jusuf Kalla agar pemerintah Indonesia segera memberlakukan UU 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pertemuan tersebut Ketua Kamar Dagang Inggris “mengancam” akan segera menarik investasinya di Indonesia apabila pemerintah tidak secepatnya memberlakukan UU Penanaman Modal tersebut;
b. Bagaimana lobby yang dilakukan oleh beberapa konglomerat hitam kepada Presiden SBY untuk menghindar dari kewajiban membayar utang yang telah mereka lakukan dalam BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya ratusan triliun rupiah. Lobby tersebut akhirnya berhasil membebaskan mereka dari kewajiban membayar utang dan utang itu akhirnya menjadi beban Negara (dan kita sebagai pembayar pajak); c. Bagaimana lobby yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie sebagai pemilik kelompok Bakrie
Group (yang membawahi PT. Lapindo Brantas) untuk bertanggungjawab atas tindakannya yang menyebabkan ribuan orang menjadi pengungsi karena rumah da kampong halamannya terendam lumpur. Atas lobby yang dilakukan tersebut akhirnya Negara yang harus membayar ganti rugi kepada masyarakat yang menjadi korban.
C. Bagaimana Wujud Perusahaan Yang Bertanggungjawab Secara Sosial ?
12Perusahaan yang mempunyai tanggungjawab secara sosial dapat dilihat dari berbagai macam bentuknya :
1. Tidak Menjual Produk Yang Berbahaya
Industri tembakau telah menyebabkan banyaknya korban yang menderita kanker paru-paru. Industri senjata mendapatkan keuntungan dari perang, kematian dan juga kekerasan. Industri makanan fast food mendapatkan keuntungan dari banyaknya anak-anak yang menderita obesitas akibat terlalu sering mengkonsumsi makanan yang kurang serat tersebut. Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial harus menghentikan semua produksi yang mereka buat yang dapat membahayakan manusia.
2. Tidak Melakukan Manipulasi Terhadap Masyarakat
Seringkali kita membeli begitu banyak barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena kita terpengaruh oleh iklan yang mereka buat yang memuat adanya diskon atau potongan harga. Sehingga mengakibatkan kita membeli begitu banyak barang yang mungkin tidak akan habis dalam 1 (satu) bulan demi potongan harga yang ingin kita dapatkan. Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial
hanya akan menawarkan barang yang memang kita butuhkan dan tidak memanipulasi dan membohongi konsumen untuk membeli barang diluar kemampuan dan kebutuhan.
3. Membayar Pajak
Membayar pajak merupakan kewajiban yang disyaratkan oleh aturan hukum dan perundang-undangan sebagai bentuk tanggungjawab. Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial tidak memanipulasi pajak demi tujuan mendapatkan keuntungan.
4. Mempunyai Kepedulian Terhadap Isu Perubahan Iklim
Perubahan iklim menjadi isu yang sangat penting sejak diselenggarakannya Konferensi tentang Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007. Pengurangan emisi sebagaimana yang dinyatakan dalam Protokol Kyoto ternyata tidak dudukung oleh semua Negara-negara Industri Besar (seperti Amerika Serikat). Akibatnya suhu bumi makin memanas dan dampaknya adalah cairnya gletser (gunung es) di wilayah Kutub Selatan dan itu akan mengancam negara-negara kepulauan seperti halnya Indonesia. Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial harus mulai mengurangi emisi dengan cara memakai bahan bakar alternative, penggunaan bahan yang bias didaur ulang dsb.
5. Demokrasi di Tempat Kerja
Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial harus menghormati hak-hak buruh untuk berunding secara kolektif. Tidak membayar upahnya dibawah upah minimum. Tidak menggunakan buruh anak. Dan juga menghormati hak-hak normative buruh sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi-Konvensi ILO.
6. Tidak Menggunakan Pengaruhnya Untuk Melobi Pemerintah Untuk Mengeluarkan Aturan Yang Menguntungkan Perusahaan atau Kelompoknya
Perusahaan seringkali melakukan lobi terhadap pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang berpihak kepadanya dan merugikan masyarakat. Contoh konkret dapat dilihat dalam kasus Lumpur Lapindo yang berhasil melobi pemerintah sehingga mengalihkan tanggungjawabnya kepada pemerintah untuk membayar ganti rugi terhadap masyarakat korban.
Bagian Ketiga
a. CSR Bukan Hanya Sekedar Kegiatan Yang Bersifat Belas – Kasihan
Sejatinya, kegiatan CSR bukan hanya terkait dengan sumbangsih perusahaan terhadap masyarakat atau lingkungan yang terkena dampak sebagai beroperasinya perusahaan tersebut. Berita mengenai banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia sebenarnya dapat menjadi refeksi tentang kepedulian dunia usaha terhadap masyarakat dan lingkungan hidup dan itulah substansi dari CSR. Namun kenyataannya seperti yang kita lihat, program CSR yang dikembangkan oleh perusahaan masih sebatas program karitatif yang tidak jelas output dan tujuannya. Itulah kenapa banyak perusahaan akhirnya menafsirkan CSR hanya sebatas “community development” saja.
Belakangan, berkembang arus pemikiran baru bahwa CSR tidak dimulai dan berhenti pada kegiatan yang bersifat programatik dan jangka pendek. Idealnya CSR diwujudkan dalam upaya mempertanggungjawabkan proses kerja, produk, serta dampak-dampak yang dimunculkan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Bahwa dalam kegiatan tersebut ada praktek derma atau sumbangan, itu menyusul saja. Dengan demikian, produsen rokok seperti halnya Sampoerna, misalnya, tidak hanya menyediakan beasiswa (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Sampoerna Foundation). Tetapi mereka juga harus memperhatikan buruh yang memproses tembakau menjadi rokok. Mereka juga harus bias memastikan bahwa limbah pabrik ditangani dengan baik dan tidak mencemari lingkungan.
Para pengelola perusahaan memang seharusnya berhati-hati. Gerak dahsyat kapitalisme mutakhir memunculkan sejumlah reaksi negatif. Perusahaan sebagai ikon (symbol) kapitalisme tidak luput dari serangan gencar. Kalangan LSM menilai perusahaan identik dengan monster yang merusak dan bersifat rakus. Konsep karitatif yang selama ini dikembangkan pun mengundang cibiran: CSR hanya ajang “cuci dosa.” Setelah mencemari lingkungan dan mengeksploitasi buruh, serta menjual produk sampah; perusahaan kemudian sebar uang. Jika perusahaan melaksanakan kegiatan CSR dengan pendekatan yang menghormati lingkungan dan hak-hak buruh, serta selalu menjaga kualitas produk, semestinya anggapan itu akan hilang perlahan-lahan.
Disisi lain, konsumen juga harus mulai bersikap kritis. Seharusnya kita tidak membeli dan menggunakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang mencemari lingkungan dan melanggar hak-hak buruh. Hal ini akan “memaksa” mereka lebih mawas diri. Saatnya kita kembali memikirkan dan meletakkan posisi negara secara benar berhadapan dengan pasar. Korporasi sebagai pelaku utama dalam pasar hanya mungkin bisa dilawan atau dihadapi oleh pemerintah sebagai representasi negara. Posisi korporasi mestinya, dan memang, tidak sama dengan negara. Korporasi ada di bawah negara, karena itu ia harus diatur, diawasi, dan dikendalikan.
adalah korporasi. Korporasi bahkan bisa mengatur dan menentukan siapa presiden Amerika Serikat yang berikutnya. Jadi tidak aneh apabila kita melihat pemerintah Indonesia sepertinya tidak berdaya ketika banyak perusahaan-perusahaan besar merugikan kepentingan publik dan tidak ada sanksi sedikitpun untuk mereka. 13
b. Apa Yang Bisa Kita Lakukan Untuk Mengawasi Pelaksanaan CSR
1. Serikat Buruh
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh serikat buruh dalam mengawasi pelaksanaan CSR dan atau bahkan terlibat dalam kegiatan CSR dalam bentuk kemitraan dengan perusahaan.
Perjanjian Kerangka Kerjasama Internasional (International Framework Agreements/IFA’s)
Federasi – Federasi Serikat Buruh di tingkat Dunia (Global Union Federation/GUFs) adalah badan internasional dimana serikat buruh di seluruh dunia berafliasi menurut sektor atau industri. Sejumlah GUFs telah mencapai ‘International Framework Agreements’ (IFAs), juga disebut ‘Global Framework Agreements’, dengan pimpinan perusahaan dari perusahaan global tertentu.
Contohnya, serikat buruh internasional untuk pekerja kayu dan bangunan IFBWW telah melakukan kesepakatan dengan perusahaan mebel Swedia IKEA. Federasi Serikat Buruh Metal Internasional telah melakukan kesepakatan dengan pembuat mobil Volkswagen, DaimlerChrysler dan Renault, dan lainnya dengan pembuat perkakas rumah Bosch. Ada juga kesepakatan antara serikat buruh internasional untuk makanan dan pekerja terkait yang terkait IUF dan perusahaan makanan Danone dan Chiquita, seperti halnya jaringan hotel Accor. Perusahaan penambangan Anglogold dan perusahaan minyak Statoil memiliki kesepakatan dengan Serikat Buruh kimia, energi, tambang internasional, ICEM. Sekarang ada sekitar 40 kesepakatan, dan jumlahnya terus meningkat.
Ciri utama dari semua perjanjian internasional tersebut adalah komitmen dari perusahaan untuk menghormati standar-standar inti dari Konvensi ILO didalam semua operasinya di seluruh dunia. Ini berarti hak-hak buruh untuk kebebasan berorganisasi dan berunding secara kolektif – yang merupakan hak-hak serikat mereka – ditegakkan, seperti halnya tidak ada kerja paksa, buruh anak, atau diskriminasi di tempat kerja. Banyak dari IFAs juga mencakup ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan kondisi kerja, pelatihan dan sebagainya, kadang-kadang ditambahkan melalui negosiasi berikutnya. IFAs menyelenggarakan pertemuan regular antara perusahaan dan GUF, biasanya di tambah serikat buruh nasional dari negara asal perusahaan, sekali dalam setahun.
Federasi-Federasi Serikat Buruh di tingkat Dunia (GUFs) juga mempunyai sikap yang jelas bahwa IFAs merupakan pelengkap dan tidak menggantikan kesepakatan ataupun peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional maupun lokal. Apa yang IFAs lakukan berarti bahwa serikat buruh lokal atau nasional memiliki jaminan dari manajemen global bahwa manajemen lokal harus duduk bersama dan berunding mengenai tingkat upah terkini, jam kerja, keuntungan, dan lain-lain. Mereka, seperti yang dikatakan ‘kerangka kerja’ bagi aktiftas serikat buruh di dalam setiap negara. Kenyataannya, IFAs membutuhkan serikat buruh untuk aktif, berhubungan satu dan lainnya dan GUF, untuk mengawasi serta meyakinkan pelaksanaannya.
Sebagian IFAs juga mencakup komitmen dari manajemen perusahaan bahwa mereka akan melakukan hal terbaik untuk memastikan bahwa hak-hak fundamental buruh dihormati di dalam jaringan suplai mereka seperti oleh pemasok dan kontraktor. Fred Higgs, Sekjen ICEM, mendorong serikat buruh anggotanya untuk menindaklanjuti hal ini. Seperti yang dikatakannya, pimpinan perusahaan dapat menulis apa saja yang di inginkannya ke dalam kontrak mereka dengan pemasok. Lebih dari sekedar mengikuti harga, kualitas dan waktu pengiriman barang atau jasa, mereka juga dapat memasukkan penghormatan terhadap hak -hak buruh. Dia menghimbau serikat buruh untuk memasukkan ini di dalam perjanjian kerja bersama (PKB) mereka sendiri dengan pimpinan perusahaan.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat terlibat dalam mengawasi pelaksanaan CSR. Dibawah ini beberapa contoh kegiatan LSM untuk ikut mengawasi pelaksanaan CSR :
a. Sumbangan atau Sebab-Sebab Yang Berkaitan Dengan Pemasaran
Beberapa LSM seperti Amnesti Internasional dan Greenpeace menolak semua sumbangan dari perusahaan untuk kegiatan mereka. Semua LBH-LBH yang berada dibawah Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) juga menolak sumbangan dari perusahaan. Secara etika sumbangan tersebut tidak dibenarkan karena akan menciptak konfik kepentingan dimana hampir semua klien LBH adalah masyarakat miskin, buruh, petani dan nelayan.
b. Pengembangan dan Pengawasan dari Pelaksanaan Code of Conduct
Beberapa LSM di Inggris juga masuk menjadi anggota Ethical Trading Initiatives (Inisitif/Prakarsa Perdagangan Yang ber-Etika) seperti Christian Aid, Oxfam, War on Want. ETI yang dibentuk pada tahun 1990-an beranggotakan serikat buruh, LSM dan juga perusahaan. Didalam ETI, keterlibatan LSM dan serikat buruh bertujuan untuk memastikan bahwa pelaksanaan dan pengawasan code of conduct dilakukan secara partisipatif dan transparan.
Dalam suatu penelitian menunjukan bahwa dari 3 dari 5 orang menyatakan bahwa mereka ingin bekerja diperusahaan yang melulu tidak memikirkan keuntungan semata tetapi juga perusahaan yang menghormati hak buruh, masyarakat disekitar dan juga lingkungan. Mereka percaya bahwa baik buruknya citra dan image perusahaan juga dipengaruhi secara langsung oleh buruh yang bekerja diperusahaan tersebut. Pada saatnya mereka ingin membuat suatu perubahan dan bukan menjadi bagian dari mesin produksi yang mencetak uang dan keuntungan bagi para pemegang saham. Bagi buruh yang bekerja di perusahaan yang melakukan kegiatan CSR bentuk pengawasannya dapat dilakukan baik dalam memasukannya kedalam pasal di Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ataupun mewakili kepentingan/suara buruh di dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Konsumen
Konsumen yang baik adalah yang berfkir bahwa produk yang mereka pakai dan gunakan tidak mempunyai dampak buruh terhadap lingkungan dan juga masyarakat sekitar perusahaan tersebut beroperasi. Namun biasanya jarang sekali konsumen yang berfkir apakah produk yang mereka pakai tidak mencemari lingkungan atau buruhnya mendapatkan upah yang layak. Di Amerika dan Eropa, gerakan konsumen menjadi kekuatan yang sangat signifkan untuk menekan perusahaan-perusahaan besar (seperti Nike, Reebok, Mark&Spencer) dan juga melakukan sosialisasi tentang konsumsi yang ber-etika.
Bahan Bacaan :
Agung Nugroho dan Wahyudi Atmoko, “Situasi Yang Terus Berubah” dalam Tanggungjawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM : Tinjauan Teori dan Prinsip-Prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia, KOMNAS HAM, 2006.
Corporate Watch Report, What’s wrong with Corporate Social Responsibility?, 2006.
Dwight W. Justice, Corporate Social Responsibility : Challenges and Opportunity for Trade Unionsts, in Labour Education No. 130 ILO Bureau for Workers Activities, International Labour Office, Geneva, 2003.
Liputan6.com, Catatan Produser : “Ketika Adam Berhenti Terbang”, 17 Maret 2008.
Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profts,” The New
York Times Magazine, 13 September 1970. Lihat
http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-resp-business.html, dalam Laporan Hasil Riset KASBI tentang CSR, Juni 2007.
Philip Kotler and Nancy Lee, Corporate Social Responsibility, Hoboken, NJ : John Wiley & Sons, 2005.