• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran antara Dimensi Material dan Im

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesadaran antara Dimensi Material dan Im"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

K

Manusia merangkum dan membentuk struktur pengalaman mereka hanya karena ketidakmungkinannya untuk berurusan

dengan arus kesadaran yang tidak terstruktur.

(Greely, The Mary Myth, 1977 : 26))

Manusia Sebagai Dualitas Dimensional, Sebuah Pengantar

etermilikan dimensi kedirian yang dualistis merupakan sebuah

keniscayaan realitas ‘ada’ (being) pada manusia. Keniscayaan dimaksud berupa

dimensi ke-tubuh-an dan realitas ke-jiwa-an. Dimensi ketubuhan selanjutnya

terdeteksi melalui wujud aktivitas organik yang serba materi. Sifatnya yang

umum dan terbuka untuk dapat ditangkap secara inderawi empiris menjadi

gambaran bagi konsekwensi meniada (menjadi tiada) nya dimensi ini. Meniada

nya dimensi serba materi sekaligus menjadi akibat atas aktivitas organik yang

berproses dalam lingkaran ruang dan waktu.

Sementara dimensi kejiwaan senantiasa bergerak dan terdeteksi dalam

aktivitas inorganik yang immateri. Sifatnya yang khusus dan cenderung tertutup

dari tangkapan inderawi empiris mengakibatkan kehadirannya hanya bisa

dipahami melalui simpati atas aktivitas ekspresif. Akan tetapi, ketika ekspresi

dari ‘ada’ nya bersemayam dan telah menjadi milik ‘ada’ yang lain, maka ikatan

ruang dan waktu sudah tidak dapat menjadi batas bagi kehadirannya.

*) Tulisan disajikan pada kegiatan Kajian Rutin Pelajar Islam Indonesia (PII) Kalimantan Barat dalam rangkaian Muktamar PII.

**)

(2)

Kedua dimensi tersebut berbaur dalam wujud relasi sinergis yang

selanjutnya menghadirkan realitas kedirian manusia. Aktivitas konkret menjadi

wujud ekspresi dari relasi sinergis keduanya sebagai sebuah realitas kedirian

yang bersifat serba materi. Relasi sinergis dimaksud sangatlah tidak mungkin

untuk dipahamkan dengan menggunakan frame pemikiran dikotomis, apatah

lagi ketika kedua dimensi tersebut telah berwujud dalam aktivitas kedirian yang

konkret.

Relasi antara dimensi ke-tubuh-an dan dimensi ke-jiwa-an menjadi hal

yang rumit untuk dapat dipahami. Berbagai kajian dan penelitian dalam disiplin

ilmu pengetahuan yang berbeda telah berkali-kali dilakukan untuk mengungkap

misteri dari relasi antara keduanya. Hasil temuan yang senantiasa berubah-ubah

semakin menambah kerumitan persoalan dan senantiasa menempatkannya pada

tema yang faktual dan menantang (Wolfgang Kohler, ‘The Mind-Body Problem’,

dalam Hook, 1961 : 15).

Otak Sebagai Materialitas Akal

Sebuah keniscayaan dalam memperbincangkan persoalan integrasi

(kemenyatuan) antara dimensi ke-tubuh-an dengan ke-jiwa-an adalah, relasi

antara manusia sebagai ‘ada’ yang ‘menjadi’ atau ‘mengada’ dengan realitas

cosmic yang ‘berada’. Hamparan realitas kesemestaan jagad raya yang hadir

sebagai objek empiris, mengandung daya rangsang bagi hasrat keingintahuan

manusia. Hasil tangkapan empiris manusia atas realitas cosmic selanjutnya

(3)

kemudian semua kesan hasil tangkapan inderawi empiris diproses dalam

lingkaran relasi antara ke-tubuh-an dan ke-jiwa-an.

Otak merupakan bagian paling terpenting bagi hidup manusia.

Keberadaannya sangat memberikan arti yang dapat membedakan makna ‘ada’

(being) antara manusia dengan makhluk dan benda-benda lain dalam semesta

jagad raya. Bahkan dapat dikatakan, bahwa otak lah yang membuat manusia

hidup dan sekaligus memaknai kehidupannya.

Secara material, otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu : otak besar

dan otak kecil. Unsur material ini selanjutnya berdaya fungsi setelah mengalami

proses relasi dengan realitas yang menjadi objek-objek tangkapan empiris. Lebih

tepatnya lagi jika dikatakan, bahwa fungsionalitas otak lebih bereaksi setelah

mendapat rangsangan dari realitas empiris yang secara konkret bersentuhan

langsung dengan inderawi manusia (Titus, 1979 : 72). Bentuk-bentuk reaksi yang

ditampakkan oleh otak sangat tergantung pada jenis rangsangan yang

diterimanya, karena pada otak terdapat bagian-bagian yang secara fungsional

memiliki peran berbeda antara satu bagian dengan bagian lain.

Otak reptil, yang merupakan pusat kendali dari semua aktivitas fisikal,

berfungsi memotivasi individu dalam melakukan aktivitas natural kemakhlukan,

yaitu : makan, kawin serta bereaksi untuk membela dan mempertahankan diri.

Otak limbic, yang biasa juga dikenal dengan otak mamalia, berfungsi memberi

daya rangsang bagi individu dalam merasa dan membangkitkan nilai-nilai kasih

sayang. Sementara otak neocortex, berfungsi memberikan dorongan pada

(4)

Di antara tiga jenis atau bagian dari otak tersebut, otak neocortex memiliki

kemampuan dalam memilah tangkapan atas jenis rangsangan yang berbeda. Hal

ini disebabkan oleh adanya empat lobus (pilahan) di dalamnya yang berfungsi

merespon fenomena (gejala) cosmic yang beragam. Empat lobus dimaksud adalah :

Lobus occipital, lobus temporal, lobus frontal dan lobus parietal.

Lobus occipital merupakan jendela yang berfungsi menangkap semua

realitas visual (gambar). Dari hasil tangkapan lobus occipital ini manusia bisa

mendeskripsikan sekaligus membedakan berbagai objek sesuai dengan warna,

bentuk dan ukurannya. Sementara lobus temporal yang juga biasa disebut

auditoris, berfungsi menerima segala realitas dalam bentuk sinyal suara. Realitas

suara yang menjadi objek penerimaan lobus temporal tidak hanya yang besifat

konkret, akan tetapi juga yang berbentuk sinyal fenomenal. Potensi penerimaan

sekaligus menyerap sinyal suara yang fenomenal didukung oleh adanya sebuah

syaraf dalam lobus temporal yang disebut God spot. Syaraf ini berbentuk seperti

sebuah ‘titik’ yang berukuran sangat kecil. Syaraf God spot berfungsi menerima

dan menangkap fenomena spiritual dan mistis yang menggema dalam lintasan

semesta jagad raya.1)

Selanjutnya lobus frontal, yakni bagian dari otak neocortex yang berfungsi

memberikan kemampuan pada manusia untuk berpikir. Aktivitas berpikir yang

menjadi olahan dari lobus frontal adalah aktivitas dalam bentuk menyusun

1) Dari hasil tangkapan titik syaraf

God spot ini lah manusia kemudian mengkreasikan berbagai fenomena spiritual menjadi wacana kepercayaan atau iman, dan pada akhirnya

mengkristal dalam wujud ‘agama’. Demikian pula aktivitas kreatif atas fenomena mistis dari

(5)

rencana-rencana (planning). Aktivitas berpikir pada manusia juga diolah dan

direspon oleh bagian syaraf lain pada otak neocortex, yakni oleh lobus parietal.

Akan tetapi lobus parietal ini lebih berfungsi pada aktivitas berpikir dalam

bentuk merancang dan menyimpan memori-memori.

Keempat lobus (bagian) pada otak neocortex tersebut di atas dapat dipilah

menjadi dua bagian, sesuai dengan wilayah kerja dan nilai fungsional yang

diperankan. Lobus occipital dan lobus temporal memiliki daya dan fungsi kerja

yang berhubungan dengan objek-objek material dan immaterial (materi dalam

aktivitas).2) Sementara lobus frontal dan lobus parietal lebih berhubungan dengan

aktivitas kerja yang bersifat immaterial, bahkan cenderung abtrak (tidak

berbentuk). Akan tetapi, kedua pilahan ini tidak dapat dipahami secara

dikotomis, karena keduanya beraktivitas secara sinergis. Jika dua lobus pertama

berfungsi menangkap dan menyerap ‘ada’ nya objek-objek dalam wujud

fenomena material dan immaterial (materi dalam aktivitas), maka dua lobus

terakhir berfungsi mengolah hasil tangkapan dan penerimaan dari kedua lobus

pertama. Aktivitas pada dua lobus kedua (frontal dan parietal) inilah yang

kemudian disebut dengan ‘berpikir’ (thinking).

Akal dan Tubuh, Sebuah Integritas Kedirian

Proses kerja otak yang disebut dengan ‘berpikir’ (thinking), selanjutnya

menghadirkan istilah baru untuk penyebutan otak, yakni ‘akal’. Dihadirkannya

2) Istilah ‘

immaterial’ dimaksudkan dengan sesuatu yang bersifat materi namun dalam wujud aktivitas. Dengan kata lain, immaterial merupakan materi yang beraktivitas. Oleh

karenanya, ketika istilah ‘immaterial’ disebutkan secara bersamaan dengan istilah ‘materi’, maka

(6)

istilah ‘akal’ lebih ditujukan untuk menggambarkan daya kerja dari otak yang

sangat bersifat material (serba benda). Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa

‘akal’ merupakan fungsionalisasi dari aktivitas otak.3)

Dalam beberapa kajian, khususnya di bidang psikologi, sebagian besar

para pakar di bidang ini menyatakan bahwa kehadiran akal merupakan

perwujudan dari aktivitas mental manusia. Oleh karenanya, istilah ‘akal’ sangat

sering disejajarkan pemahamannya dengan istilah ‘soul’ (jiwa), ‘self’ (diri) ‘mind

(pikiran), dan ‘conciousness’ (kesadaran). Pensejajaran ini dilakukan dengan

maksud untuk menjelaskan wilayah keberadaan akal yang dipahami sebagai

realitas immaterial (materi dalam aktivitas), sebagaimana istilah lain dalam

wilayah mental, walaupun berakibat pada semakin kaburnya makna ‘akal’.

Sebagai realitas immaterial (materi dalam aktivitas), akal membuktikan

konkresitas (keberwujudan) nya melalui aktivitas tubuh-an. Dari aktivitas

ke-tubuh-an lah dapat diketahui apa yang dipikirkan, diinterpretasikan,

diabstraksikan dan mungkin direfleksikan oleh akal. Sudah barang tentu,

konkresitas (keberwujudan) dan aktualisasi (perwujudnyataan) dari aktivitas akal

dalam wujud aktivitas ke-tubuh-an terekspresikan setelah ada relasi antara ‘self

(diri) dengan realitas cosmic.

Dengan maksud menyampaikan anggapan umum, Gilbert Ryle dalam

bukunya yang berjudul “The Concept of Mind” menyatakan, bahwa akal dan

3) Pemisahan makna antara ‘otak’ dan ‘akal’ secara tegas telah diungkapkan oleh René

Descartes, yakni ketika ia menjelaskan bahwa ‘akal’ merupakan substansi immaterial yang berfikir, dan ‘otak’ senyatanya adalah materi. Baginya, kesejatian materi adalah keluasan

(extension). Lebih lanjut bisa dilihat penjelasannya dalam Meditation II, Descartes’ Meditations

(7)

tubuh merupakan dua realitas yang berbeda secara esensial (hakiki).

Sebagaimana tubuh manusia yang merupakan kompleksitas kesatuan, demikian

pula akal yang merupakan kompleksitas kesatuan, walau keduanya dibuat dari

bahan yang memiliki struktur berbeda (1949 : 18). Anggapan umum seperti ini

sangat jelas telah menempatkan akal sebagai substansi yang berbeda secara

material. Akan tetapi, pemikiran ini sama sekali tidak menguraikan keterpisahan

kedua bentuk subtansi tersebut. Dengan demikian, dalam anggapan umum yang

dikemukakan oleh Ryle, antara akal sebagai substansi immaterial dan tubuh

sebagai substansi material memiliki relasi yang tak mungkin untuk dinafikan.

Relasi antara akal sebagai materi yang beraktivitas (immaterial) dengan

tubuh yang material menjadi tema menarik dalam kajian berbagai disiplin ilmu,

termasuk filsafat. Berbagai pemikiran yang kemudian membidani kelahiran

teori-teori tentang tema ini bermunculan, sebagai pembuktian dari telah

dilakukannya upaya menyibak misteri tentang ada atau tidaknya dan bagaimana

bentuk relasi antara kedua bentuk realitas tersebut.

Terdapat tiga teori yang secara khusus mengungkap persoalan hubungan

antara akal sebagai substansi immaterial (materi dalam aktivitas) dan tubuh

sebagai substansi material, yaitu : Interaksionisme, Identitas dan Paralelisme.

Ketiga teori ini menempatkan akal dan tubuh pada wilayah substansi yang

berelasi namun tidak dalam pemahaman dikotomis (terbagi dua).

Teori interaksionisme memahamkan posisi akal dan tubuh dalam relasi

timbal balik atau sebab musabab. Akal sebagai substansi yang menyebabkan

perubahan pada aktivitas tubuh selanjutnya menerima akibat dari perubahan

(8)

karya ilmiah oleh dosennya dan harus diserahkan dalam waktu singkat, otaknya

berpikir untuk mencari cara agar ia bisa memanfaatkan waktu siang dan malam

hari. Hasil kerja pikir dari akalnya mengarahkan ia untuk menkonsumsi kopi

hitam dengan tujuan agar ia tidak merasakan kantuk di malam hari. Dengan

demikian ia dapat memanfaatkan waktu di malam hari untuk mengerjakan tugas

kuliahnya, karena di siang hari ia harus mengikuti perkuliahan lain. Setelah

meminum kopi hitam dalam takaran tertentu, si mahasiswa memang tidak

merasakan kantuk sama sekali. Akan tetapi, pencernaannya menjadi terganggu

dan mengakibatkan ia terkena penyakit diare, sehingga kondisi tubuhnya lemas

dan melemah. Kondisi tubuh melemah mengakibatkan konsentrasi berpikirnya

menjadi terganggu.

Apa yang dialami oleh mahasiswa tersebut di atas merupakan ilustrasi

pembenar bagi paparan teori interaksionisme. Ilustrasi seperti ini biasa

ditemukan dalam aktivitas nyata di lingkungan rumah sakit, yakni ketika

seorang pasien sengaja dibius oleh dokter yang akan melakukan proses operasi

terhadapnya. Demikian pula di lingkungan pertunjukan, dimana seorang

pesulap biasanya mempergunakan hipnotis untuk menipu daya tatap pada

indera penglihatan para penontonnya.4)

Teori identitas adalah teori yang secara tegas memahamkan bahwa akal

dan tubuh bukanlah substansi yang terpisah dan berdiri sendiri. Keduanya

merupakan sebuah realitas yang beraspek ganda dan tidak mungkin dipisahkan,

karena sama-sama berada dalam realitas kedirian yang ekspresif di mata subjek

(9)

yang memandang. Ibaratkan mata uang logam yang memiliki sisi berbeda

namun menyatu dalam bentuk dan nilai, maka demikian pula dengan posisi akal

dan tubuh pada diri (self) manusia (Frankl, 2003 : 136).

Bagi teori ini, memisahkan akal dan tubuh sama halnya dengan

menafikan realitas diri (self) dengan segala aksesoris kediriannya. Manakala

realitas diri dinafikan, maka ‘ada’ (being) sebagai sebuah keniscayaan dan

kemestian cosmic juga menjadi tiada (nothingness), dan inilah ketidakmungkinan

dalam realitas yang serba mungkin. Oleh karenanya, pemisahan antara akal dan

tubuh hanya merupakan sebuah ketidakmungkinan yang tidak pantas untuk

diperbincangkan.

Kondisi tubuh merupakan ekspresi dari keadaan akal. Sangatlah tepat

jika dikatakan bahwa akal dan tubuh beraktivitas sesuai dengan wilayah

kerjanya masing-masing, akan tetapi keduanya berelasi dalam proses ekspresi

dari identitas diri (self). Air mata yang keluar dari mata seseorang sebagai materi

ke-tubuh-annya merupakan ekspresi dari kondisi sedih atau senang yang

dialami, setelah akal yang merupakan immaterial (materi dalam akal)

mempengaruhi aspek materi ke-tubuh-annya. Demikian pula ketika seseorang

yang mengarahkan tangannya untuk memijat kepala tatkala merasa sakit.

Kondisi kepalanya yang sedang sakit mendapat respon dari akalnya yang

kemudian menstimulus tangannya untuk memijat.

Berbeda dengan kedua teori di atas, teori paralelisme beranggapan

bahwa akal dan tubuh merupakan dua substansti yang berbeda dan tidak

berelasi. Kalaupun dipaksakan untuk berelasi, maka sifatnya hanya sekedar

(10)

beraktivitas. Teori ini berpijak pada keyakinan akan takdir dan ketentuan bahwa

akal dan tubuh beraktivitas secara harmonis karena telah menjadi keazalian diri

(self) dan bukan karena adanya relasi.

Akal sebagai Immaterial Kesadaran

G.K. Chesterton, seorang peneliti berkebangsaan Amerika, telah

melakukan penelitian terhadap seorang pasien yang sedang menjalani proses

pengobatan serius setelah mengalami kecelakaan, dimana mobil yang ia

kendarai beserta keluarganya ditabrak oleh sebuah kontainer. Dalam kecelakaan

itu hanya ia sendiri yang selamat, walau sempat mengalami masa kritis dan tak

sadarkan diri selama sepuluh hari, sementara istri dan ketiga orang anaknya

meninggal seketika di tempat kejadian.

Pasien tersebut diminta untuk bercerita tentang apa yang dialami dan

dirasakannya selama masa kritis. Tanpa ragu si pasien menceritakan bahwa

selama sepuluh hari tak sadarkan diri, ia merasa berada di masa

kanak-kanaknya, bermain dan bersenda gurau dengan kedua orang tuanya. Semua

kenangannya di masa lalu seakan terjadi kembali seperti di dunia nyata,

termasuk kenangan di saat ia dan keluarganya mengendarai mobil di hari

kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba saja ia merasa terkejut ketika mobilnya ditabrak

dari belakang, dan saat itu, tepat hari kesepuluh masa kritisnya, ia terbangun

dan sadar bahwa ia telah berada di salah satu tempat tidur rumah sakit.

Tanpa sepengetahuan si pasien, selama masa kritisnya seorang dokter

(11)

serpihan kaca yang masuk ke dalam batok kepala, telah membuka lapis

pembalut otaknya. Saat itu dokter ini menemukan betapa kondisi otak si pasien

bekerja seperti layaknya otak orang yang sadar. Oleh karena itu, ketika ditanya

oleh keluarga pasien tentang kemungkinan hidupnya, si dokter dengan tegas

menyatakan bahwa ia akan hidup normal seperti sedia kala (Chesterton, 1936 :

68).

Cerita di atas setidaknya dapat dijadikan dasar untuk meyakini dan

mengatakan bahwa akal merupakan benda immaterial (materi dalam aktivitas)

yang memberikan daya bagi proses sadarnya diri (self). Bahkan akal lah yang

menjadi unsur immaterial (materi dalam aktivitas) paling menentukan bagi ‘ada’

(being) nya diri (self). Dengan kata lain, tanpa akal ‘ada’ (being) bagi diri (self)

sekaligus bermakna ketiadaan (nothingness), karena diri (self) tidak mungkin

mengetahui akan ‘ada’ (Being) nya manakala ia tidak memiliki kesadaran akan

ke-ada-an nya (self consciousness).5)

Banyak yang menduga bahwa akal (mind) dan kesadaran (consciousness)

adalah satu, karena kesadaran (consciousness) dianggap hanya sebagai sinonim

dari akal (mind). Di satu sisi, anggapan ini bisa saja benar jika keberadaan

kesadaran (consciousness) dan akal (mind) dipahami dari sisi sumber materialnya.

Akan tetapi, anggapan tersebut menjadi pantas untuk diragukan, bahkan ditolak

jika keduanya dipahami dari sisi proses aktivitas otak dalam diri (self) yang

berelasi dengan berbagai realitas di luar diri (self) (Skinner, 1965 : 30-31).

5) Penggunaan kata ada’ (being) dengan ‘b’ huruf kecil dimaknai dengan ‘menjadi’ (becoming). Sementara kata ‘ada’ (Being) dengan ‘B’ huruf besar dimaknai dengan ‘berada’

(12)

Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa akal adalah

immaterial (materi dalam aktivitas) dari pendayagunaan otak yang material (serba

benda). Aktivitas akal dalam mengolah data hasil serapan otak yang masuk

melalui panca indera, merupakan immaterialitas (materi dalam aktivitas)

kesadaran (consciousness) bagi diri (self) yang berelasi dengan realitas di luar diri

(self). Kesadaran (consciousness) menjadi tidak mungkin muncul manakala akal

tidak beraktivitas merespon hasil serapan otak.

Kesadaran adalah Intensionalitas Akal, Sebuah Penyimpulan

Akal (mind) dan kesadaran (consciousness) adalah dua realitas yang

berelasi timbal balik, dimana akal menjadi immaterial (materi dalam aktivitas)

bagi kesadaran, dan sebaliknya kesadaran (consciousness) merupakan energi bagi

kwalitas kerja akal (mind). Semakin besar energi kesadaran (consciousness) pada

diri (self) yang mengamati dan mengalami objek-objek di luar diri (self), semakin

besar pula ruang kualitas kerja akal (mind). Demikian pula sebaliknya, semakin

tinggi kualitas kerja akal (mind), maka semakin tinggi pula kualitas kesadaran

(consciousnes) dalam mengamati realitas objek-objek.

Karena akal (mind) dan kesadaran (consciousness) merupakan unsur

immaterial (materi dalam aktivitas) bagi diri (self), sekaligus juga merupakan

identitas kedirian yang bersifat material (serba benda), maka kondisi kedirian

pada diri (self) ikut mempengaruhi aktivitas akal (mind) dan kwalitas kesadaran

(consciousness). Realitas akal (mind) yang senantiasa sadar, walaupun diri (self)

(13)

menjadi wadah penampung bagi segala bentuk serapan otak melalui tangkapan

inderawi. Dengan demikian, kualitas kerja akal (mind) tidak terlalu bergantung

pada kondisi ke-tubuh-an diri (self).

Sementara itu, realitas kesadaran (consciousness) yang kualitas kerjanya

bergantung pada qualia (kualitas tertentu) dari intensionalitas (kehasratan) diri

(self) dalam mengamati, membaca dan merefleksikan realitas di luar diri (self),

menjadi bersifat temporal (sementara). Seseorang dapat mengatakan betapa

indahnya ikan arwana yang berenang di dalam sebuah akuarium, karena ia

sedemikian berhasrat dalam melihat, mengamati dan menikmati setiap lekukan

dari gerak ikan tersebut. Berbeda dengan orang lain yang bisa juga berkata

bahwa tidak ada keindahan apa-apa pada ikan arwana, karena ia melihat itu

hanya sekedar melihat, dan bahkan aktivitas melihatnya hanya sepintas.

Kondisi ke-tubuh-an diri (self) yang berbeda antara manusia yang satu

dengan manusia yang lain, membuat kesadaran (consciousness) masing-masing

diri (self) menjadi berbeda pula. Kesadaran (consciousness) sebagai sebuah

kemampuan immaterial (materi dalam aktivitas) dalam merefleksikan apa yang

diserap akal (mind), akan menghadirkan pemaknaan dan pembahasaan yang

beragam, tergantung keberagaman kondisi diri (self). Seseorang yang sedang

dalam kondisi tidak sehat akan mengatakan, bahwa ayam goreng KFC itu tidak

enak. Rasa tidak enak baginya bukan dikarenakan ketidakbiasaannya

mengkonsumsi ayam goreng, akan tetapi lebih disebabkan oleh kondisi

ke-tubuh-annya yang tidak sehat, sehingga mengakibatkan ia tidak dapat

(14)

leluasa dapat menikmati ayam goreng KFC dan bisa mengungkapkan

kelezatannya.

Cara diri (self) dalam memandang dan mengamati objek juga merupakan

salah satu faktor perbedaan kesadaran (consciousness). Seseorang yang

intensionalitas (kehasratan) nya dalam memandang mata uang logam dari salah

satu sisi lingkaran uang yang diletakkan di atas meja akan mengatakan, bahwa

uang logam itu bentuknya bundar. Akan tetapi orang lain akan bisa berkata

bahwa uang logam itu bentuknya oval, karena intensionalitas (kehasratan) nya

mengarahkan ia untuk memandang mata uang itu dari sisi dimana posisi mata

uang ditegakkan.

Kualitas kesadaran (consciousness) sebagai representasi immaterial (materi

dalam aktivitas) akal seseorang sangatlah bergantung pada kualitas

intensionalitas (kehasratan) nya dalam berelasi dengan realitas di luar diri (self).

Kesadaran (consciousness) sangat dibutuhkan dalam menata bangunan

pengetahuan, terutama pengetahuan tentang diri (self). Ketika kesadaran

(consciousness) dikesampingkan, maka pengetahuan akan diri (self) menjadi

absurd (kabur) dan diri (self) menjadi tidak bermakna (meaningless). Untuk dapat

tetap memiliki kesadaran (consciousness), terutama kesadaran akan diri (self

consciousness), maka pendayagunaan akal dalam aktivitas berpikir menjadi

sebuah kemestian yang tidak dapat diabaikan.

Sapere aude (beranilah berpikir), demikian slogan Immanuel Kant yang

dapat dipahami sebagai ajakan untuk tidak pernah berhenti mendayagunakan

akal. Berpikir berarti berkesadaran, dan berkesadaran berarti pula hidup selalu

(15)

pada kesadaran (consciousness), dan kita adalah diri (self) yang senantiasa

(16)

DAFTAR PUSTAKA

CHESTERTON, G.K., 1936, The Accident, Selected Essays of G.K. Chesterton, London : Collins.

DESCARTES, René, 1941, Meditation II, Descartes’ Meditations and Selections from the Principles of Philosophy, Translated by John Veitch, La Salle : Open Court.

FRANKL, Victor E., 2003, Logoterapi, Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi, Alih Bahasa oleh M Murthadlo, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

GREELEY, Andrew M., 1977, The Mary Myth, New York : Seabury Press.

HOOK, Sidney, ed., 1961, Domensions of Mind, A Symposium, New York : Collier Book.

LAVINE, T.Z., 1984, From Socrates to Sartre : The Philosophic Quest, New York : Bantam Books, Inc..

PATTERSON, Charles H., 1971, Western Philosophy, Volume II : Since 1600, USA :

Cliff’s Notes, Inc..

RYLE, Gilbert, 1949, The Concept of Mind, London : Hutchinson.

SKINNER, B.F., 1965, Science and Human Behavior, New York : Free Press.

Referensi

Dokumen terkait

rangkak ( ∆ε cr(t) ) akan menurunkan tegangan tarik. Dengan demikian maka besarnya tegangan tarik yang terjadi pada material perbaikan merupakan kombinasi dari efek susut terkekang

Hasil dari pengukuran lapangan yang membandingkan dua material (bambu dan bata) yang diukur pada saat aktivitas berlangsung (08.00-16.00 WIB) suhu udara dan

Model benda uji diberi sumber bunyi yang kemudian diukur perbedaan suara di dalam dan di luar model benda uji dalam satuan desibel (dB) menggunakan alat sound meter.

untuk mengetahui koefisien gesek pada pipa stainless steel serta menentukan jenis aliran yang terdapat pada material pipa yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebuah

terdapat material bangunan yang konvensional berupa bahan material kayu dan material plastik/fiber, namun dari beberapa material bangunan yang ada dalam fasilitas penjualan

Model Robot untuk Material Handling Manual adalah robot yang digunakan untuk mengambil, mengangkat, dan memindahkan benda dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data parametrik dari hasil pengujian laboratorium pada otak-otak ikan dengan parameter stabilitas emulsi, aktivitas air

Sistem sosial politik yang utuh dalam bentuk Kerajaan Aceh Darussalam dan peranannya sebagaimana telah dipaparkan di awal ulasan, merupakan puncak dari rumusan