Dilema Bahasa Indonesia dalam Sekolah Bilingual Terhadap Pembentukan Identitas Komunitas ASEAN 2015
“Those who know nothing of foreign languages, know nothing of their own”
--Johann Wolfgang von Goethe
Kutipan dari filsuf Jerman ini mendasari pentingnya pendidikan bahasa asing
diluar bahasa ibu dalam membentuk karakter dan identitas seorang individu, khususnya
dalam institusi pendidikan. Tiap individu dituntut untuk memperkayanya khazanah
pengetahuannya yang tidak terbatas dalam mempelajari bahasa ibu atau bahasa
nasionalnya saja, namun bahasa asing pula. Sebuah negara memiliki strategi dalam
mencetak generasi yang berkualitas tinggi dalam daya saing ekonomi melalui sistem
pendidikannya.
Indonesia mulai menunjukan adaptasi sosial terhadap tuntutan dari sistem
internasional dalam aspek ini dengan meningkatkan mutu pendidikannnya, salah
satunya dengan populernya sekolah yang menggunakan bahasa asing, khususnya dalam
kasus ini kebanyakan adalah Bahasa Inggris, sebagai bahasa penutur dalam kelas
dengan menggunakan kurikulum modifikasi internasional yang mengacu pada standar
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang disebut
Sekolah Bilingual Standar Internasional (SBSI).1 Bahasa Inggris dipilih sebagai bahasa
asing yang dipakai dari sekian bahasa lainnya karena mayoritas masyarakat global
memakai Bahasa Inggris dalam komunikasi di ranah internasional. Hal ini didukung
oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah
1 Afi Fadlilah, 2012, Sekolah Bilingual Standar Internasional di Indonesia, diunduh di
mengeluarkan UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3 yang mewajibkan
Pemerintah Daerah memiliki sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua
jenjang pendidikan yang bertaraf internasional.2
Sekolah Bilingual dan pemakaian Bahasa Inggris Indonesia dibentuk untuk
memfasilitasi siswa-siswa dengan keterampilan berkomunikasi secara global dalam
kompetisi internasional. Transformasi ini dipercaya akan membantu siswa-siswa dalam
jangka waktu ke depan untuk memasuki era Komunitas Ekonomi ASEAN di tahun
2015, sebuah pasar ekonomi bebas termasuk jalur transfer human capital atau tenaga
kerja ahli yang akan memakai standarisasi kemampuan berbahasa inggris.
Penggunaan Bahasa Inggris dalam Sekolah Bilingual selain untuk
mempersiapkan tenaga kerja ahli dari segi ekonomi global namun akan mendukung pula
integrasi secara sosial dan budaya kawasan Asia Tenggara dalam pembentukan
Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN 2015 yang bertujuan membentuk sebuah
masyarakat ASEAN yang memiliki identitas sosial budaya dan visi yang sama.
Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN sendiri telah menetapkan Bahasa Inggris sebagai
Lingua Franca di di ASEAN sebagai bahasa penghubung diantara 10 negara-negara
anggota yang memiliki bahasa nasional berbeda satu sama lainnnya.3 Hal ini juga
menjadi pertimbangan ke depan setelah dibukanya batasan nasional antara
negara-negara ASEAN, intensitas penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari
para siswa akan semakin menurun, dengan ada tidaknya sekolah bilingual pun.
Porsi penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam lingkup sekolah
bilingual merupakan suatu fenomena yang menunjukan pandangan postmodernisme
2 Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
3 Bernadine Racoma, 2014, Economic Merging of ASEAN: Will language be a problem?,
terhadap bahasa menurut Pierre Bourdieu (1991) dimana bahasa merupakan sebuah
lokus dari organisasi sosial, kekuasaan dan kesadaran individu sebagai bentuk dari
modal simbolis (symbolic capital).4 Ketika bahasa menjadi objek dari sebuah diskursus
yang dipelajari dan alat penutur dalam menyampaikan pelajaran lainnya di institusi
pendidikan, dalam kasus ini adalah sekolah bilingual, Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris menjadi modal simbolis dan bagian dari akumulasi proses pembelajaran yang
akan mentransformasi bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dan keterampilan
secara substansial tetapi pembentukan identitas siswa tersebut secara psikososial.
Intensitas pemakaian bahasa di sekolah baik secara formal di kelas maupun
dalam sosialisasi informal akan membentuk atau mencegah siswa tumbuh menjadi
individu dengan karakteristik tertentu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu
bahwa sistem pendidikan akan berperan menjadi aktor yang menentukan dalam proses
konstruksi, legitimasi dan imposisi dari bahasa resmi5, dimana dalam kasus ini terdapat
dua bahasa resmi yang dipakai di sekolah tersebut, Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris. Dalam sistem pendidikan Indonesia, sekolah-sekolah bilingual ini menjadikan
siswa sebagai target pembentukan identitas dengan kondisi dimana kurikulum di
sekolahnya mengharuskan ia mampu berkemampuan bahasa asing di pelajaran tertentu
misalnya, Matematika dan Ilmu-Ilmu Eksak. Identitas siswa akan mengalami sebuah
dilema dimana ia harus meningkatkan kemampuan bahasa asingnya demi mengejar
prestasi yang baik di sekolah yang tidak ada jalan lain dengan menempuh jalan
pendidikan informal seperti les tambahan Bahasa Inggris, baik TOEFL maupun IELTS,
maupun dengan ditingkatkannya intensitas penggunaan Bahasa Inggris, yang berarti
4 Aneta Pavlenko dan Bonny Norton, 2007, Imagined Communities, Identity and English Language Learning, diunduh di
astro.temple.edu/~apavlenk/pdf/Imagined_Communities_Identity_And_EnglishLanguage_Learning.pdf
menurunnya intensitas penggunaan Bahasa Indonesia, dalam proses sosialisasinya oleh
orang tua dan lingkungan pertemanannya. Sekolah Bilingual menjadi bentuk unifikasi
dari pasar edukasi dan linguistik yang mengumpulkan pengakuan dan legitimasi atas
Bahasa Inggris dalam kualifikasi mutu pendidikan.
Mengambil pandangan lain dari kutipan von Goethe diawal yang telah
dibuktikan dalam 150 studi riset di kurun waktu 35 tahun terakhir, bahwa sistem
sekolah bilingual yang baik adalah yang memiliki porsi pembelajaran dengan bahasa
penutur yang seimbang. Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau
bahasa nasional harus ditempatkan seimbang posisi legitimasinya dalam sistem
pendidikan melalui kurikulum Sekolah Bilingual yang harus diperbaharui lagi, maupun
dari segi sosial. Sistem Bilingualisme seperti ini akan membawa efek positif terhadap
pembentukan identitas siswa Indonesia ke depannya di lingkungan yang multikultural
pada Komunitas ASEAN 2015 melalui pengaruhnya terhadap perkembangan
kemampuan fleksibilitas dalam substansi pelajaran maupun linguistik siswa. Von
Goethe benar dengan argumennya bahwa bahasa asing mampu mengembangkan
pembentukan identitas individu, namun, bahasa ibu maupun bahasa nasional merupakan
fondasi yang harus diperkenalkan di kalangan siswa sejak dini. Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia memiliki peran yang interdependen, karena tingkat perkembangan
siswa dengan kemampuan berbahasa ibu atau nasional yang tinggi akan menjadi
landasan yang kuat akan kemampuannya dalam berbahasa asing.6