• Tidak ada hasil yang ditemukan

11 . BAB I pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "11 . BAB I pdf"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam mengalami keemasan seiring dengan keemasan pemikiran Islam. Salah satu aspek pemikiran yang mempunyai peran determinatif adalah hukum Islam atau fiqih. Eksistensi fiqih dalam memainkan perannya di tengah-tengah peradaban Islam sangatlah kelihatan, pengaruhnya demikian besar. Fakta diatas sesuai dengan pernyataan Ernest Gellner1 bahwa hukum dan dinamika kehidupan masyarakat adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Senada dengan Gellner, Josep Schacht2 menyatakan bahwa pengaruh hukum dalam pemikiran umat Islam belum pernah tersaingi, selain oleh tasawuf.

Kemunduran dunia Islam belakangan juga ditengarai sebagai akibat dari kelesuan pemikiran dalam Islam, akibat meluasnya tradisi ‘taqlīd’. Maka setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam pun berusaha keras untuk membangkitkan kembali Islam, termasuk di dalamnya pemikiran hukumnya. Pada abad ke 19, muncul para pemikir-pemikir besar yang menawarkan ragam metodologi untuk membongkar (dekonstruksi) dan membangun kembali (rekonstruksi) hukum Islam secara fundamental. Salah satunya adalah Jamal al-Banna (Selanjutnya disebut Jamal) adik kandung

1

Ernest Gellner, “A Pendulum Swing Theory of Islam”. Roland Robersston (ed.).

Sociology of Relogion: Selectied Reading. (Pegiun, Australia), 1969, sebagaimana dikutip oleh:

Maghfur Ahmad, Islamic Law Studies:Wacana dan Kritik Nalar Fuqaha (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press), 2007.

2

Josep Schacht, An Introduction to Islamic law, terj. Joko Supomo, Pengantar Hukum

(2)

pemimpin al-Ikhwān al-Muslimūn, Hasan al-Banna, yang mencoba menawarkan konsep tentang fiqih yang lebih egalitarianistik. Beberapa gagasan dan pemikirannya ia kemas menjadi sebuah buku kontroversial yang diberi judul “Naḥw Fiqh Jadīd”. Dalam pengantarnya, ia mengatakan, “bahwa fiqih dengan format yang sama sekali baru merupakan sebuah keniscayaan. Ini tidak cukup hanya dengan insiatif ijtihad saja, tanpa sekaligus menggagas metodologinya dengan paradigma baru, apalagi sampai berhenti hanya pada tataran tajdīd al-fiqh atau taṭwīr saja”.3

Gagasan Jamal dapat dikatakan mengambil bentuk perubahan total terhadap bentuk ushul fiqih yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat dari gagasan-gagasannya yang menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, seperti kehujahan sunah, hierarki sumber hukum, dan hukum taklīfi. Dilihat dari tema yang ditawarkan, gagasan Jamal sebenarnya sudah banyak diusung dalam wacana pemikiran kontemporer, kecuali tema yang terakhir: hukum taklīfi. Sepanjang pengetahuan penulis, Jamal al-Banna adalah orang yang pertama kali menawarkan gagasan baru terkait hukum taklīfi. Penelitian ini akan mengkaji pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah, yang di dalamnya memuat tentang hukum taklīfi dengan ‘wajah baru’.

Sebagaimana diketahui, dalam wacana ushul fiqih, ada dua pandangan besar terkait dengan hukum taklīfi :

3

(3)

a) Pandangan uṣūliyyūn aliran (ṭarīqah) Mutakallimīn atau Syāfi’iyyah4 b) Pandangan uṣūliyyūn aliran (ṭarīqah) Ḥanafiyyah atau Fuqahā´.5 Kelompok Mutakallimīn mempunyai pandangan bahwa hukum taklīfi ada lima: wajib/farḍu, sunah, haram, makruh dan mubah. Sedang kelompok Ḥanafiyyah mempunyai pandangan bahwa hukum taklīfi ada tujuh: Farḍu, wajib, haram, makruh tahrīm, makruh tanzīh dan mubah.6 Perbedaan pendapat tersebut berangkat dari pemahaman meraka terhadap khiṭab Allah. Sebagaimana diketahui, bahwa hukum dalam terminologi ushul fiqih diartikan sebagai:

ﻝﺎﻌﻓﺎﺑ ﻖﻠﻌﺘﳌﺍ ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﺏﺎﻄﺧ

ﲔﻔﻠﻜﳌﺍ

ﻊﺿﻮﻟﺍ ﻭﺍ ﲑﻴﺨﺘﻟﺍ ﻭﺍ ﺀﺎﻀﺘﻗﻹ ﺎﺑ

“Seruan/titah pembuat syariat (as-Syāriʽ) yang berkaitan dengan

perbuatan manusia, baik berupa tuntutan (iqtiḍā'), pilihan (takhyīr)

ataupun wadh'i”7.

Yang dimaksud dengan seruan pembuat syariat (khiṭab as- syāriʽ) di sini

adalah makna yang terkandung dalam lafaẓ dan susunan lafaẓ (tarkib) dalam naṣ

-naṣ syara', seperti ayat al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, seruan pembuat

syariat (khiṭab asy-Syāriʽ) ini adalah makna yang diperoleh oleh seorang mujtahid

dari naṣ, baik melalui ijtihad maupun tidak. Karena yang dimaksud dengan khiṭab

4

Ushul Fiqh aliran ini dipelopori oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.), melalui kitabnya ar-Risālah, yang kemudian diikuti oleh sebagian besar ulama ushul. Oleh karena

itu madzhab ini sering disebut dengan madzhab Syafi’iyyah. Dalam membangun teori-teori ushul fiqh, aliran ini banyak menggunakan premis-premis dan logika-logika yang banyak digunakan dalam ilmu kalam, sehingga di kemudian hari aliran ini juga disebut dengan Madzhab Mutakallimīn. Lihat dalam Abdul Wahhab Khallaf: Uṣūl Fiqh (Iskandariyyah: Maktabah

al-Da’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 2002), hlm. 17-18.

5

Ushul fiqh aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Kelompok ini menyusun teorinya secara induktif dari produk fiqh hasil ijtihad dalam madzhab ini, sehingga di kemudian hari aliran ini disebut dengan Madzhab Fuqahā´ atau Ahnāf. Lihat dalam Ibid.

6

Muhammad al-Khudhari Bik, Uṣūl al-Fiqh (tanpa kota: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 30-32. 7

(4)

asy-Syāriʽ di sini adalah makna yang diperoleh, maka makna yang diperoleh

seorang mujtahid sangat mungkin berbeda dengan mujtahid lain. Meskipun

demikian, masing-masing makna tersebut tetap disebut khiṭāb asy-Syâri' bagi

masing-masing.

Dari definisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa muatan khiṭab terdiri dari

tiga macam: iqtiḍa’ atau tuntutan, takhyīr atau pilihan dan waḍaʽ atau ketetapan.

Namun dari ketiga unsur tersebut, yang berkaitan langsung dengan perbuatan

mukallaf adalah iqtiḍā´ dan takhyīr. Sedangkan wadha’, tidak berkaitan langsung

dengan perbuatan mukallaf.

Di sisi lain, naṣ yang berisi khiṭab datang dengan berbagai macam bentuk

(uslūb). Keragaman bentuk khiṭab tersebut kemudian melahirkan metode-metode

untuk mengeluarkan hukum dari khiṭab. Secara garis besar, ada tiga langkah yang

dilakukan ulama dalam memahami teks khiṭāb tersebut: Pertama, dengan melihat

pola (uslūb) redaksi khiṭāb. Kedua, dengan melihat indikator-indikator (qarīnah)

yang menyertai khiṭāb, untuk mengetahui tingkat kekuatan tuntutan. Jika tuntutan

dianggap kuat, maka hukum yang dihasilkan adalah wajib (jika tuntutannya

perintah/amr) dan haram (jika tuntutannya larangan/nahy), sedang jika tuntutan

lemah, maka hukum yang dihasilkan adalah sunah (jika tuntutannya perintah/amr)

atau makruh (jika tuntutannya larangan/nahy). Dari kedua langkah pemahaman

tersebut, maka melahirkan lima hukum taklīfi yang lazim dijumpai dalam ushul

fiqih aliran Mutakallimīn.

(5)

bernada kuat datang dari naṣ yang transmisinya kuat (qaṭ´iyy al-wurūd), maka hukum yang dihasilkan adalah farḍu, sedang jika kekuatan transmisinya lemah, maka hukum yang dihasilkan adalah wajib. Sebaliknya, jika tuntutan pelarangan (ṭalab nahy) bernada tegas/keras datang dari naṣ yang transmisinya kuat, maka hukum yang dihasilkan adalah haram, sedang jika transmisinya lemah, maka hukum yang dihasilkan adalah makruh tahrīm. Sedang jika tuntutan pelarangan bernada kurang tegas, maka hukum yang dihasilkan adalah makruh tanzīh.

Klasifikasi hukum taklīfi berdasarkan analisis dan pemahaman dua kelompok uṣūliyyūn tersebut di kemudian hari menjadi klasifikasi baku yang dianut oleh mayoritas, bahkan seluruh umat muslim sedunia, tanpa ada yang menganggu gugat. Gugatan baru muncul ketika Jamal al-Banna dengan konsep barā´ah aṣliyyah-nya menawarkan klasifikasi hukum taklīfi yang berbeda.

Jamal al-Banna hadir dengan pandangan baru, bahwa perbuatan mukallaf tidak semuanya masuk dalam cakupan khiṭab Allah. Menurutnya, khiṭab Allah adalah apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah melalui ayat yang diturunkan (al-Quran) dan hadis sahih yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Quran8. Di luar kedua hal di atas, maka masuk dalam cakupan barā´ah aṣliyyah, dan dihukumi dengan ’afw. Ia menolak penggunaan berbagai metode penetapan hukum, terutama sadd aẓ-ẓarīʽah yang kemudian menghasilkan hukum taklīfi dalam persoalan yang tidak dijelaskan oleh naṣ. Menurutnya, apa yang

8

Jamal mempunyai pandangan tersendiri terkait dengan hadits yang dapat dijadikan pedoman. Pandangan Jamal terkait dengan sunnah sama sekali berbeda dengan mayoritas ulama. Pemikiran Jamal terkait sunnah ini dikupas panjang lebar dalam jilid dua dari kitab Naḥw Fiqh Jadid, yang ia beri judul as-Sunnah wa Dauruhā fī al-Fiqh al-Jadīd (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami),

(6)

tidak dijelaskan oleh naṣ adalah sesuatu yang sengaja didiamkan oleh Allah untuk diserahkan kepada pilihan hambanya.9

Bertolak dari pandangan tersebut, Jamal membagi hukum taklīfi menjadi tiga: wajib, haram dan ’afw. Jamal mendasarkan pandangannya tersebut pada ayat-ayat al-Quran dan hadist Rasul SAW. Diantaranya:



”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung” (Q.S al-Nahl: 116)

9

(7)

Adapun hadits Rasul Saw yang ia kutip untuk menguatkan pendapatnya

“Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, sedang apa yang Allah diam darinya adalah afw (sesuatu yang diampui). Maka terimalah pengampunan dari Allah, sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan melupakan sesuatupun. “Dan sekali-kali Tuhanmu tidaklah lupa”

،ﻢﻫﺀﺎﻴﺒﻧﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻓﻼﺘﺧﺍ ﻭ ﻢﳍﺍﺆﺳ ﺓﺮﺜﻜﺑ ﻢﻜﻠﺒﻗ ﻥﺎﻛ ﻦﻣ ﻚﻠﻫ ﺎﳕﺈﻓ ،ﻢﻜﺘﻛﺮﺗ ﺎﻣ ﱐﻭﺭﺫ

ﻢﺘﻌﻄﺘﺳﺍ ﺎﻣ ﻪﻨﻣ ﺍﻭﺬﺨﻓ ﺀﻲﺸﺑ ﻢﻜﺗﺮﻣﺍ ﺍﺫﺇﻭ ،ﻩﻮﺒﻨﺘﺟﺎﻓ ﺀﻲﺷ ﻦﻋ ﻢﻜﺘﻴ ﺍﺫﺈﻓ

11

“Tinggalkanlah aku, Apa yang yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena banyaknya pertanyaan dan perselisihannya dengan nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah, dan jika aku perintahkan kalian sesuatu, maka ambillah (laksanakanlah) sesuai kemampuan kalian” (H.R. Ahmad)

Disini terlihat bahwa Jamal mencoba menawarkan cara pandang yang sama sekali baru dan berbeda secara prinsipil dengan pandangan yang sudah ada dan dianut oleh -untuk tidak mengatakan seluruh- mayoritas kaum muslim. Berangkat dari persoalan tersebut, maka penelitian ini menemukan relevansinya jika dilihat dari hal-hal di bawah ini:

10

Muhammad ibn Isa at-Tirmiżi, al-Jami’ al-Tirmiżi, hadits no. 1726, juga dalam Abu

Dawud as-Sijistāni, Sunan Abī Dawud, hadits no. 3800 (CD Rom Mausu’ah al-Ḥadiṡ asy-Syarīf)

11

Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Al-Jāmi’ as-Ṣahih, hadits no. 7288, Abu al-Husein

(8)

Pertama, upaya Jamal al-Banna untuk merekonstruksi pemikiran ushul

fiqih dengan manawarkan konsep barā´ah aṣliyyah yang kemudian melahirkan teori-teori baru yang berbeda secara signifikan dengan teori teori yang sudah ada, patut dicermati. Bagaimana ia melakukannya adalah problem epistemologis yang perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar pemikiran, metode serta implikasi dari pemikiran Jamal tersebut.

Kedua, semua persoalan fiqih dan ushul fiqih berporos pada penentuan

status hukum perbuatan mukallaf yang tercakup dalam hukum taklīfi, sehingga pembaharuan pemikiran tentang hukum taklīfi akan berpengaruh besar dalam pemikiran fiqih dan ushul fiqih secara lebih luas.

Ketiga, dari pemaparan tentang dua aliran ushul fiqih dengan

pandangannya tentang hukum taklīfi yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa semakin detil dan rinci telaah terhadap teks yang mengandung muatan khiṭab sebagaimana dilakukan oleh ulama ushul Ḥanafiyyah, akan menghasilkan rumusan hukum taklīfi yang lebih rinci pula. Sebaliknya, semakin ‘sederhana’ telaah teks yang mengandung muatan khiṭab, akan menghasilkan rumusan hukum taklīfi yang lebih sederhana juga. Kesimpulan tersebut melahirkan asumsi yang

menjadi titik tolak penelitian ini, bahwa rumusan hukum taklīfi Jamal al-Banna yang lebih sederhana juga menunjukkan kesederhanaan telaah teks yang dilakukan Jamal.

(9)

dianggap sebagai kebenaran absolut, tetaplah sesuatu yang bersifat ijtihādi, dan tidak menutup kemungkinan ada pandangan lain yang berbeda dengan dua pandangan yang sudah ada. Maka selayaknyalah jika pandangan Jamal tentang hukum taklīfi didudukkan secara proporsional sebagai hasil ijtihad yang patut diapresiasi dan ditanggapi secara ilmiah. Penelitian ini adalah bagian dari upaya penulis untuk menyikapi pemikiran Jamal secara ilmiah, agar tidak jatuh dalam sikap fanatisme buta dan menganggap bahwa teori ushul fiqih sudah selesai, final dan mempunyai kebenaran absolut.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut, penelitian ini akanberupaya untuk menjawab pertanyaan tentang

1. Bagaimanakah landasan epistemologis pemikiran Jamal al-Banna tentang prinsip dan konsep barā´ah aṣliyyah?

2. Apa implikasi pemikiran Jamal tersebut terhadap konfigurasi ushul fiqih yang sudah ada?

3. Bagaimanakah relevansi pemikiran Jamal al-Banna dalam konteks realitas dunia Islam kontemporer?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

(10)

2. Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi pemikiran Jamal al-Banna terhadap bangunan ushul fiqih yang sudah ada.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji relevansi pemikiran Jamal al-Banna dalam konteks realitas dunia Islam kontemporer.

Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Mengembangkan apresiasi terhadap pemikiran seseorang, sebagai wujud penghargaan kita terhadap ilmu pengetahuan yang merupakan fondasi dari salah satu inti kebudayaan dalam masyarakat muslim. 2. Untuk menemukan rumusan konsep ushul fikih yang baru, sebagai

pengembangan dari konsep yang sudah ada, agar fiqih dan ushul fiqih menjadi relevan dengan perkembangan zaman

3. Untuk dijadikan sebagi titik tolak penelitian selanjutnya, baik oleh peneliti sendiri maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian menjadi kegiatan ilmiah yang berkelanjutan.

D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Berfikir

(11)
(12)

b) Skema Teoritis Pemikiran Jamal Al-Banna tentang Barā´ah Aliyyah

Sumber : Skema teoritis Hukum Taklīfi Uṣūliyyūn Mutakallimīn dan Ḥanafiyyah diolah dari berbagai sumber-sumber mu’tabarah.: al-Mustasyfā fī Ilm al-Ushūl (Ghazali) Ushūl Fiqh, Tārīkh at-Tasyrīʽ Islāmi (Khudhari Bik) Ushūl al-Fiqh (Abu Zahrah) al-Bayān (Abdul Hamid Hakim) Ushūl al-Fiqh, Maṣādir at- Tasyrīʽ fī mā lā naṣṣa fīh (Abdul Wahhab Khallaf) Tārīkh at-Tasyrīʽ al-Islāmi (Manna’ al-Qaththan) Taisīr al-Wushūl ila al-Ushūl (Atha’ bin Khlil Abu Rasyt), al-Qarīnah ‘inda al-Uṣūliyyīn (Muhammad Qasim al-Asthal), Ushul Fiqh (Amir Syarifuddin) dll. Sedang skema teoritis pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah diolah dari kitab Naḥw Fiqh Jadīd

ﷲﺍ ﺏﺎﻄﺧ

ﺀﺎﻴﺷﺍ

/

ﻥﺎﻴﻋﺍ

ﻝﺎﻌﻓﺍ

ﷲﺍ ﻪﹼﻠﺣﺍ ﺎﻣ

ﷲﺍ ﻪﻣﺮﺣ ﺎﻣ

ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﺖﻜﺳ ﺎﻣ

ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﺖﻜﺳ ﺎﻣ

ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰ ﺎﻣ

ﷲﺍ ﻩﺮﻣﺍ

ﺎﻣ

ﺐﺟﺍﻭ

ﻡﺍﺮﺣ

ﻝﻼﺣ

ﻡﺍﺮﺣ

ﻮﻔﻋ

(13)

2. Penelitian Terdahulu

Dalam melakukan penelitian, penulis mencoba untuk mengkaji dan menelaah beberapa referensi dan literatur yang relevan dan dapat dijadikan titik pijak dalam penelitian ini. Selanjutnya penulis menentukan posisi penelitian ini di antara beberapa kajian yang sudah ada.

Sebagai pemikir liberal yang tidak berasal dari dunia akademis (baca: perguruan tinggi Islam), di Indonesia pemikiran Jamal belum banyak mendapatkan apresiasi dalam bentuk kajian maupun penelitian. Sepanjang penelusuran penulis, hanya ada beberapa penelitian yang mengkaji pemikiran Jamal dalam berbagai tema yang beragam:

Tesis yang berjudul “Pemerintahan dalam Islam: Studi Pemikiran Jamal al Banna”. Kajian yang dilakukan oleh M. Najibul Khair12 ini meneliti tentang eksistensi dan prinsip-prinsip Negara Islam serta bagaimana karakteristik Negara Islam, baik dari segi sistem pemerintahan, sumber hukum, sistem ekonomi, dan prinsip kebebasan. Berdasarkan permasalahan tersebut, ia ingin mencairkan beberapa pernyataan melalui pandangan Jamal yang berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh pemerintahan Islam yang ideal selain pada masa Madinah al-Munawwarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23 tahun. 10 tahun pada masa kenabian, sementara 13 tahun sesudahnya di bawah kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar RA. Setelah itu, yang ada

12

(14)

tidak lebih dari pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya masa kekhalifahan Turki Utsmani. Termasuk pada masa pemerintahan Utsman dan Ali, karena keduanya tidak mengikuti cara kedua khalifah pendahulunya.

Di sisi lain, Jamal masih menaruh harapan pada wujud “Negara Islam” dengan sosok pemerintahan yang lebih membumikan Islam dalam membangun kemaslahatan umat.Wujud ideal Negara Islam sangat sulit untuk direalisasikan, namun yang terpenting adalah menanamkan nilai-nilai Islam demi kebijakan universal. Jamal menempatkan agama dalam kehidupan bernegara dan kedudukan Negara dalam pengalaman serta pengamalan agama, juga seberapa jauh aspek-aspek ajaran Islam dapat berperan dalam sistem ketatanegaraan. Dari paparan tersebut jelas sekali bahwa penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini, meski meneliti pemikiran tokoh yang sama.

Penelitian lain yang mengkaji pemikiran Jamal adalah tesis berjudul “Relasi Agama dan Negara: Studi atas pemikiran Jamal al-Banna”.13 Penelitian ini mencoba membahas isu-isu keislaman dan kebangsaan di Timur Tengah, termasuk Mesir. Kajian ini fokus kepada permasalahan tentang relasi antara Islam dan Negara sebagai upaya mencari format keberagaman dalam konstruk masyarakat majemuk.

13

(15)

Upaya pencarian format pemerintahan Islam ini berdasarkan realitas sejarah, dimana ketika Nabi membangun sebuah komunitas di Madinah, ia tidak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan tertentu yang harus diterapkan, tidak juga memerintahkan penerusnya (al-Khulafā al-Rasyīdūn) untuk membuat satu sistem politik tertentu pula. Peralihan tampuk kepemimipinan melalui kesepakatan dan ijtihad politik, dan bukan peralihan risalah Allah. Itu artinya Islam tidak menentukan sistem politik tertentu bagi kaum muslim. Khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem ‘Islami’ dengan pengertian bahwa model politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Berkaitan dengan isu relasi agama dan negara di atas, tulisan ini mencoba menelisik pemikiran Jamal tentang ada atau tidaknya konsep negara Islam melalui pemikiran Jamal. Jelas sekali bahwa penelitian di atas juga berbeda dengan penelitian ini, dan hanya mempunyai kesamaan terkait tokoh yang dikaji pemikirannya.

Selain kedua penelitian di atas, masih ada beberapa kajian yang berkaitan dengan pemikiran Jamal al-Bana, di antaranya tesis M. Su'ud: “Metodologi Tafsir Al-Qur'an Revolusioner Jamal Al-Banna”.14 Penelitian ini mengkaji tentang metode penafsiran revolusiner Jamal al-Banna. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa metode penafsiran yang

14

(16)
(17)

Terkait dengan proyek pembaharuan fiqih Jamal, Muhammad Hadi Sucipto15 juga telah meneliti konsep pembaharuan fiqih yang telah digagas oleh tokoh ini. Dalam risetnya, ia menyatakan bahwa harus ada gagasan tentang pembaharuan fiqih sebagai inspirasi dan rangsangan dari para pakar fiqih kontemporer untuk berani menelorkan gagasan teori alternatif hukum Islam yang lebih responsif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Gagasan pembaharuan fiqih ini dirasa penting karena gerakan ijtihad pada pertengahan abad IV H. hingga sekarang telah mengalami stagnasi disebabkan adanya fanatik madzhab, sehingga rumusan hukum yang ada tidak mampu memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer saat ini. Penelitian ini mengkaji pembaharuan fiqih Jamal secara eksploratif, namun tidak secara spesifik membahas Barā´ah aṣliyyah.

Sedang disertasi yang mengkaji pemikiran Jamal adalah disertasi yang disusun oleh Mufidah Saggaf al-Jufri, “Pembaharuan hukum Islam menurut Jamal Al-Banna”.16 Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara komprehensif ruang lingkup pengertian pembaruan hukum meliputi pembaruan substansi, metodologi, pelaksanaan, dan sumber materinya. Pembaruan dalam metodologi hukum Islam (ushul al-fiqih) secara global dilakukan dengan dua cara: pertama, tidak bertaklid kepada suatu metode

15

Muhammad Hadi Sucipto, “Tajdid Fiqh: Studi atas Ide Pembaharuan Fiqh Jamal al-Banna” (Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004).

16

(18)

kecuali dengan dalil dan selalu terbuka untuk mentarjih di antara beberapa pendapat. Kedua, memperluas kaidah-kaidah yang menjadi bahasan dalam ilmu usul fikih. Jamal al-Banna menawarkan kontruksi pemikiran hukum dengan berlandaskan kepada ushul al-fiqih guna memahami hukum Islam secara komprehensif. Langkah pertama yang dilakukan Jamal al-Banna dalam pembaruannya, mendestruksi sumber hukum Islam dengan meletakkan secara maksimal peran akal dalam berijtihad yang mengacu pada prinsip terwujudnya kemashlahatan. Bagi Jamal al-Banna, yang terpenting dalam langkah sebuah pembaharuan bukanlah menafsirkan Qur’an akan tetapi mengangkat nilai revolusioner Qur’an. Inti ajaran al-Qur’an adalah nilai-nilai universal ajarannya. Peran akal dan kondisi sosial, bagi Jamal al-Banna merupakan dua landasan pokok bagi pemahaman dan penafsirannya terhadap al-Qur’an. Pemikiran dalam fikih juga menjadi sorotan Jamal al-Banna. Jamal al-Banna memandang bahwa hukum yang ada kurang menunjukkan keuniversalan al-Qur’an dan terkesan tertutup. Hal ini menurut Jamal al-Banna disebabkan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat hukum kurang tepat dan bersifat parsial, aspek keterpaduan ayat kurang diperhatikan. Penelitian ini juga tidak secara khusus mengkaji Barā´ah aṣliyyah.

Penulis juga menemukan satu makalah yang ditulis oleh Zainal Fanani17, “Meninjau Ulang Pembaruan Fikih: Studi Kritis Pemikiran Gamal Al-Banna”, makalah ini mengkritisi pemikiran Jamal terkait

17

(19)

pembaruan fikih. Dalam tulisannya, Zainal mengungkapkan bahwa Pemikiran Jamal banyak mengandung sisi problematis, bahkan, dengan bahasa yang lebih kasar, ia menyebutnya ‘semrawut’ dan ngawur. Hal tersebut menurut analisa penulis adalah karena tidak adanya hubungan yang harmonis antara Gamal Al-Banna dengan capaian yang telah dihasilkan oleh ulama pada masa silam.

E. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang menjadikan literatur-literatur kepustakaan

sebagai sumber data primer dalam rangka mencari jawaban atas suatu permasalahan.18 Dilihat dari sifatnya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris (explanatory research), yaitu suatu penelitian pendalaman berupa pengujian dan bahkan bisa menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta hasil-hasil penelitian yang ada.19

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan tiga jenis sumber data :

18

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 3.

19

(20)

a. Sumber Data Primer, yaitu sumber data yang menjadi pokok dan fokus penelitian, dalam hal ini adalah kitab Naḥw Fiqh Jadīd karya Jamal al Banna.

b. Sumber Data Sekunder, yaitu sumber data pendukung yang dapat membantu untuk memahami dan mengkaji permasalahan penelitian, berupa literatur yang membicarakan permasalahan penelitian, seperti kitab-kitab ushul fiqih klasik dan kontemporer, buku-buku tentang ushul fiqih, dan literatur sejenis.

c. Sumber Data Tersier, yaitu sumber data yang tidak berkaitan langsung dengan penelitian, akan tetapi dapat membantu proses penelitian, seperti kamus, ensiklopedi, tessaurus, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka terhadap literatur yang berkaitan dengan penelitian, baik berupa data primer, sekunder maupun tersier. Penelusuran data tersebut dilakukan dengan membaca, menganalisa dan membandingkan antara satu sumber dengan sumber lainnya, untuk kemudian diambil kesimpulan yang berupa jawaban masalah penelitian.

4. Metode Analisis Data

(21)

berdasarkan keterkaitannya dengan obek penelitian. Selanjutnya dilakukan pengelolaan data dengan cara deskriptif analisis, yaitu suatu usaha menyusun dan menganalisa suatu data, kemudian dilakukan suatu analisis interpretasi data yang sudah ada tersebut.20 Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan normatif, dalam hal ini penulis menggunakan ushul fiqih sebagai dasar utama dalam memahami teori Jamal. Penulis juga menggunakan pendekatan hermeneutis, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan teologis, filosofis dan logis.21

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab:

Bab Pertama berisi Pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua berisi penjelasan diskursus tentang perbuatan mukallaf dan khiṭab Allah, yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perbuatan mukallaf

dari segi status baik dan buruknya, perbuatan mukallaf dari segi penjelasan naṣ, hukum asal perbuatan mukallaf, dan faktor-faktor determinatif dalam pembentukan hukum taklīfi, yang berupa penjelasan tentang khiṭab; di antaranya ragam pola khiṭab, indikator-indikator yang menyertai khiṭab serta kekuatan

20

Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Tehnik (Bandung: Tarsito, 1985), hlm. 139.

21

(22)

transmisi khiṭab. Pembahasan Bab kedua diakhiri dengan penjelasan tentang hukum taklīfi.

Bab Ketiga berisi tentang konsep barā´ah aṣliyyah menurut Jamal al-Banna, yang akan dibagi menjadi dua judul sub bab: Biografi Jamal al-Banna dan pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah. Biografi Jamal al-Banna memuat tentang latar belakang keluarga, riwayat pendidikan dan karir, konteks sosial, corak pemikiran dan karya-karya Jamal al-Banna. Sedang Pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah berisi tentang akar filosofis prinsip barā´ah aṣliyyah: barā´ah aṣliyyah sebagai fitrah manusia dan spirit penyempitan wilayah

haram. Kemudian dilanjutkan dengan barā´ah aṣliyyah dalam fiqih: Barā´ah aṣliyyah sebagai dalil hukum, klasifikasi hukum taklīfi dan penolakan terhadap

sadd adz-dzari’ah.

Bab Keempat berisi tentang analisis pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah yang memuat penjelasan tentang landasan epistemologis

pemikiran Jamal al-Banna tentang barā´ah aṣliyyah, Implikasi pemikitan Jamal terhadap konfigurasi ushul fiqh, serta relevansi pemikiran Jamal dalam konteks realitas dunia Islam kontemporer.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Demikian pula dengan asas proporsionalitas, sebagaimana asas-asas hukum yang lain, juga diharapkan dapat menjadi titik tolak dalam pembentukan peraturan

Upaya dalam memaparkan pemikiran Hasan Al-Banna terhadap perjuangan demi tegaknya Khilafah Islamiyyah, penelitian ini akan memaparkan pembahasan yang bersifat

guru tersebut, terutama pada mata pelajaran fiqih yang lebih kepada mengetahui hukum-hukum syari’at Islam yang sesuai dengan Al-qur’an dan hadits begitu juga

Dengan demikian kesederhanaan dalam budaya Jawa tidak hanya menyangkut tentang sikap hidup masyarakat Jawa semata, melainkan juga menyentuh nilai spiritualitas

Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana upaya penanganan pada lokasi titik rawan kecelakaan black spot yang dapat dilakukan di Simpang Tiga Hotel Sol

upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika telah dilakukan oleh aparat penegak hukum melalui pemidaan, yang diharapkan juga dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya

• Gagasan Postmodernisme pada filsafat , budaya & kemasyarakatan , meluas dari teori kritis dan menjadi titik tolak dari bahasa, arsitektur, desain, juga pada pemahaman bisnis dan

Tujuan Penelitian Bertitik tolak pada rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah berapa besar pengaruh layanan konseling individu dengan pendekatan behavior teknik