No.01/I-II/2010
Tren HAM
KontraS
Reformasi Sektor
Keamanan:
Sengketa rumah Dinas TNI
01
Hak atas Hidup:
Kontroversi Seputar
Tuntutan Vonis
Antasari Azhar
Salam Redaksi
Dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso. Selanjutnya ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI, PMII.
Badan Pekerja:
Abu Said Pelu, Adrian Budi Sentosa, Agus Suparman, Ali Nursyahid, Chrisbiantoro, Edwin Partogi, Guan Lie, Haris Azhar, Heri Mardiansyah, Heryati, Indria Fernida, M. Daud Bereuh, Muhammad Harits, M. Rohman, Nur’Ain, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri, Putri Kanesia, Regina Astuti, Rintarma Asi, Sinung Karto, Sri Suparyati, Syamsul Alam Agus, Sugiarto, Usman Hamid, Vitor Da Costa, Yati Andriyani, Yuliana Erasmus.
Federasi KontraS:
Oslan Purba, Bustami, Neneng (Jakarta), Hendra Fadli (NAD), Diah Susilowati (Sumatera Utara), Andry Irfan Junaidi (Surabaya) Harry Maturbong (Papua), Andri Suaib (Sulawesi).
Badan Pekerja KontraS dibantu oleh para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Redaksi KontraS menerima kritik, saran, dan tulisan untuk berita KontraS
Diterbitkan oleh:
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Penanggung Jawab : Usman Hamid
Pemimpin Redaksi : Puri Kencana Putri
Redaktur Pelaksana : Hanny Sukmawati
Editor Bahasa : Indria Fernida
Penanggung jawab ilustrator : Muhammad Harits
Sidang Redaksi:
Sri Suparyati, Yati Andriyani, Papang Hidayat, Syamsul Alam Agus, Haris Azhar
Distribusi: Keuangan: Januari – Februari 2010
Sengketa Rumah Dinas TNI
Sejak bulan Desember tahun lalu sebenarnya pengosongan rumah dinas TNI telah gencar dilakukan. Langkah ini diambil sebagai bagian dari program kerja awal tahun 2010 Kementerian Pertahanan di bawah Purnomo Yusgiantoro. Bahkan dalam penjelasan yang terpisah, program ini ditegaskan kembali oleh Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsuddin, yang menyatakan bahwa salah satu program peningkatan kesejahteraan prajurit akan dititikberatkan pada pengadaan rumah dinas yang kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Maka tak heran jika TNI dan Kementerian Pertahanan mengambil sikap khusus kepada para purnawirawan dan keluarganya yang masih bertahan dengan tindak penertiban. Dalam catatan KontraS kronologis seputar sengketa rumah dinas TNI yang tak jarang juga diikuti dengan tindak kekerasan (Lihat: Tabel Kronologis Pengosongan Rumah Dinas TNI).
Reformasi Sektor
Keamanan
Berita Utama
Kronologis Pengosongan Rumah Dinas TNI
Waktu Peristiwa
1980-1994 Departemen Keuangan yang menyusun inventaris kekayaan negara meminta Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) untuk mendata aset negara yang mereka kelola. Tercatat sejak tahun 1994 cara ini telah dilakukan, dan dari tahun itu sampai kini setidaknya sudah ada 14 kasus yang muncul dan direkam oleh media massa. Cara penyelesaian seperti itu justru menimbulkan masalah. Mulai dari perlawanan fisik dari penghuninya sampai dalam bentuk munculnya opini kekecewaan para purnawirawan ataupun keluarganya yang menilai jasanya dahulu dalam membela bangsa tidak dihargai.
2005-2008 Pengosongan paksa, teror, intimidasi, penggunaan kekerasan hingga penghancuran rumah tinggal
Salah Tafsir Payung Hukum Rumah Dinas TNI
• Secara spesifik dalam Perpres No 11/2008 tentang tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan
Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara menjelaskan bahwa rumah dinas TNI dibagi dalam tiga golongan. Dari ketiga golongan itu yang bermasalah terletak pada proses pengalihan rumah golongan II menjadi rumah golongan III, di mana rumah golongan III adalah kategori rumah yang bisa dijual kepada penghuninya.
• Rumah Negara Golongan I adalah rumah negara yang dipergunakan untuk bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut serta hak penghuninya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut
(Pasal 1 ayat 2).
• Rumah Negara Golongan II adalah rumah negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila
telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada negara (Pasal 1 ayat 3).
• Rumah Negara Golongan III adalah rumah negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan
Iiyang dapat dijual kepada penghuninya (Pasal 1 ayat 4).
• Dalam Perpres pasal 8, dijelaskan bahwa pihak pemohon yang menginginkan status rumah Golongan
II untuk dialihkan menjadi Golongan III diharuskan untuk melakukan pemberitahuan. Namun setiap permohonan yang dilakukan oleh pihak pemohon dalam hal ini adalah para purnawirawan dan keluarga tidak selalu diindahkan oleh instansi TNI sehingga persengketaan kian meruncing.
Langkah Pemerintah:
- Kementerian Pertahanan akan menerbitkan Peraturan Menteri Pertahanan tentang Aset Negara.
Peraturan ini secara khusus akan mengatur tentang aset negara yang dijadikan rumah dinas. Untuk kedepannya izin penempatan rumah negara oleh prajurit TNI golongan III akan ditiadakan.
- Kementerian Pertahanan memberikan toleransi dalam bentuk para purnawirawan dan keluarganya
bisa menempati rumah dinas TNI yang mereka diami sampai mereka mendapatkan tempat tinggal yang baru atau meninggal dunia dalam proses pemindahan tempat tinggal tersebut
- Kementerian Pertahanan juga tidak akan meminta purnawirawan yang belum mengambil tunjangan
perumahan dari Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan untuk meninggalkan rumah dinas.
Berita Utama
2010 Aksi pengosongan rumah berlangsung di beberapa titik komplek yang tersebar di beberapa daerah
seperti di Tasik Malaya (Sapta Malaga), Jakarta (Komplek eks Batalyon Angkutan Kuda dan Perbekalan, Kompleks Berland di Matraman, Jakarta Pusat; Kompleks Bulak Rantai di Kampung Tengah, Kramatjati, Jakarta Timur; Kompleks Eks Batalyon Angkutan Kuda Beban di Cililitan Besar, Jakarta Timur; Perumahan TNI AD di Jalan Otista III, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur; dan di Perumahan Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) di Jalan Arteri Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.), Palu (Jalan Maluku Woodward), Surabaya (jalan Teluk Rumai Timur, Perumahan Negara Pangkalan TNI Angkatan Laut V), Makassar (Kodam VII/Wirabuana)
Ketegangan antara pihak tergusur (baca: para purnawirawan dan keluarga, ed) dengan pihak penggusur (baca: TNI dan Kementerian Pertahanan, ed) terletak pada persoalan mendefinisikan hak milik rumah dinas dengan penafsiran Peraturan Presiden yang mengatur tatacara pengadaan rumah dinas TNI. Kementerian Pertahanan pun menyangkal tuduhan yang dilayangkan kepada mereka bahwa setelah pengosongan rumah dinas tersebut akan dilakukan alih fungsi untuk kepentingan bisnis dan komersil dengan pihak ketiga. Memang, kita tidak bisa menutup mata untuk tidak melihat berbagai macam pengalihfungsian aset negara tersebut.
Langkah alternatif memang telah disusun pemerintah, seperi rencana pembangunan rumah susun yang diperuntukkan bagi prajurit TNI.
Sejatinya rencana ini diimplementasikan bersama-sama dengan Kementerian
Perumahan Rakyat. Namun sengketa rumah dinas TNI ini juga tidak bisa dilepaskan dari isu pemenuhan hak atas rumah yang harus bisa dinikmati oleh setiap rakyat Indonesia, tidak terkecuali para prajurit TNI. Sejak 2005 Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) terikat untuk memenuhi setiap amanat yang tertuang di dalamnya (Lihat: Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekosob). Pemerintah juga harus cermat dalam menyusun administrasi aset negara, dalam hal ini adalah aset TNI. Kasus rumah dinas adalah preseden dari berbagai sengketa yang belum terselesaikan antara TNI dan rakyat, terkait penggunaan lahan-lahan bermasalah. Mengutip Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin, saat ini TNI memiliki 3,5 miliar meter persegi lahan. Dari jumlah itu, lahan seluas 487 juta meter persegi kepemilikannya tidak jelas karena bermasalah dengan rakyat. Lahan
yang disertifikatkan baru seluas 500 juta meter persegi (Dilema Rumah Negara TNI, Kompas ½)
Performa Akuntabilitas Polri:
Belajar dari Aksi Susno dan Kasus Aan
Bermula dari perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri dalam kasus Cecak versus Buaya, nama mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tidak henti-hentinya menjadi topik bahasan politik dan hukum nasional. Apa pasal? Fenomena jenderal berbintang tiga ini justru terletak pada sikap dan kemauannya untuk membeberkan berbagai kasus penyalahgunaan wewenang internal yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia. Tak tanggung-tanggung, dalam kadar yang sangat kental, Susno Duadji kembali membuat berita dengan membeberkan indikasi adanya praktik mafia kasus dan korupsi yang semakin menggejala di tubuh Polri. Baik dalam testimoni yang ia sampaikan di banyak media massa maupun buku yang ia terbitkan untuk membeberkan segala praktik keburukan dalam institusi Polri.
Di sisi lainnya, Susno secara mengejutkan datang menjadi saksi yang meringankan mantan ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh terlibat dalam persekongkolan pembunuhan Direktur PT
Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, meski saat itu ia datang tanpa restu Kapolri. Bola liar yang terus digulirkan Susno Duadji memang tidak akan pernah habisnya. Berikut adalah data kronologis yang bisa digunakan untuk melihat sepak terjang Susno selama 2 bulan terakhir.
Jika yang disampaikan Susno Duadji itu benar adanya, maka reformasi akuntabilitas internal harus benar-benar dilakukan oleh Polri agar praktik-praktik penyimpangan ini tidak berlarut-larut terjadi. Selain itu Polri dituntut untuk menegakkan hukum dan mengembalikan citra maupun profesionalitas lembaganya. Namun, jika apa yang telah dibeberkan oleh Susno Duadji banyak mengandung keraguan dan ketidakbenaran, maka
Polri juga dituntut untuk bertindak secara tegas menegakkan mekanisme kode etik dan disipliner agar drama
fitnah memfitnah ini segera dihentikan.
Aksi Susno Duadji
2 Juli 2009 Saat diwawancarai sebuah media Susno menyebut istilah Cecak versus Buaya, yang digunakan untuk mengilustrasikan relasi kepolisian dan KPK, sehingga menimbulkan reaksi yang sangat besar terhadap publik yang pendukung KPK saat itu.
10 Juli 2009 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berniat mengkaji ulang atas dugaan keterlibatan Susno Duadji dalam kaitannya dengan kasus Bank Century saat itu.
3 November 2009 Nama Susno Duadji juga sempat disebut-sebut dalam rekaman KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi yang saat itu diduga kuat Anggodo adalah dalang di balik layar dari skandal ini semuanya.
4 November 2009 Saat terbentuk Tim 8 yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution, Tim 8 secara khusus meminta supaya Kapolri menonaktifkan Susnoduadji.
5 November 2009 Ternyata tanpa diduga-duga dengan sendirinya, Susno Duadji menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan sebagai Kabareskrim Mabes Polri.
Kasus yang tak kalah menarik juga bisa kita lihat dalam kasus Aan Susandi alias Aan. Kasus yang mendapat perhatian luas dari masyarakat ini akhirnya membawa banyak lembaga negara turun tangan untuk ikut menanganinya. Tak kurang lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Kompolnas, LPSK, hingga Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ikut menangani kasus yang diduga kuat melibatkan banyak oknum anggota Polri.
Secara tegas Kadiv Propam Mabes Polri, Irjen Polisi Oegroseno menyatakan bahwa keterlibatan ketiga anggota Direskrim Polda Maluku itu telah melanggar kode etik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan di luar kantor polisi. Selain itu, ditemukan bukti bahwa ketiga oknum polisi itu melakukan pemeriksaan tanpa adanya surat pemeriksaan, dan tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat yakni Polda Metro Jaya. Bahkan, selain tindak indisipliner, terdapat unsur pelanggaran HAM dengan adanya bukti penganiayaan
yang menimpa diri Aan yang tentu saja telah menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap) Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Belajar dari fenomena aksi Susno dan kasus Aan, kita harus terus mendorong penegakan hukum yang harus diterapkan tanpa pandang bulu. Jika ada aparat penegak hukum berpangkat perwira tinggi terkena berbagai skandal yang mulai mencuat kasusnya akhir-akhir ini, maka mereka juga harus diproses secara
30 November 2009 Jabatan Kabareskrim yang sebelumnya dipegang Susno Duadji diserahkan kepada Irjen Ito Sumardi
7 Januari 2010 Tanpa diduga-duga sebelumnya, ternyata Susno Duadji dijadikan saksi dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan Antasari Azhar sebagai terdakwa dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Kedatangan Susno di persidangan
14 Januari 2010 Susno Duadji melaporkan pengamat kepolisian Kombes (Purn) Polisi Bambang Widodo Umar atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik terkait dengan pernyataan Bambang yang disampaikan di media massa bahwa Presiden dan Kapolri hendaknya tidak menyertakan nama Susno Duadji dalam pemilihan Wakapolri yang baru. Bambang juga menyatakan bahwa Susno telah merekayasa kasus yang menimpa dua komisioner KPK Bibit S. Rianto dan Chandra Hamzah.
20 Januari 2010 Susno Duadji diperiksa oleh Pansus Bank Century dalam kaitan Kasus Bank Century. Dokumen testimoni Susno Duadji juga beredar yang menyatakan bahwa terdapat tiga kasus besar dalam skandal Bank Century: kasus murni perbankan, kasus non perbankan, dan kasus dugaan korupsi.
Dokumentasi dan Monitoring KontraS, 2009-2010
Kronologis Penganiayaan Aan
14 Desember 2009 Aan sedang melakukan koordinasi administrasi terkait dengan tanggung jawab kerjanya
ketika menjadi karyawan Maritim Timur Jaya (MTJ) dengan pihak PT Artha Graha di gedung Artha Graha-SCBD, Jakarta.
datang Viktor Laiskodat, selaku pimpinan Artha Graha Grup. Dia datang bersama tiga orang polisi dari Ditreskrim Polda Maluku, serta dua penyidiknya (Kombes Polisi John Siahaan, Ipda Johni dan Brigadir Obed). Mereka membawa Aan ke ruang di lantai 8 gedung tersebut.
Di dalam ruang tersebut, mereka menginterogasi Aan terkait dugaan kepemilikan senjata api ilegal dari mantan pimpinan MTJ, David Tjioe. Mproses intrograsi ini berlangsung dengan menggunakan kekerasan fisik dengan pukulan dan tendangan pada bagian kepala dan dada Aan.
Proses interogasi awalnya disaksikan oleh tiga anggota Polda Maluku tersebut. Setelah itu, para polisi itu meninggalkan ruangan. Setelah Viktor selesai menginterogasi, para anggota kepolisian itu masuk ruangan dan melanjutkan interogasi.
Aan dipaksa menanggalkan pakaian. Aan kemudian hanya memakai celana dalam saja.
15 Desember 2009 Sekira pukul 01.30 WIB, Aan dijemput oleh dua anggota Polda Metro Jaya dan dibawa ke
Polda Metro Jaya dengan alasan yang berbeda, yaitu memiliki sejenis obat secara tidak sah.
Di Polda Metro Jaya, Aan menjalani pemeriksaan sejak pukul 02.00 WIB sampai 09.00 WIB dan kemudian ditahan. Menurut Kontras, pada hari itu juga telah dilakukan tes urine Aan dengan hasil negatif
Dokumentasi dan Monitoring KontraS 2009
hukum dengan transparan. Persoalan akuntabilitas polisi memang masih menjadi persoalan klasik yang terus
dihadapi kepolisian kita. Hingga kinimekanisme akuntabilitas polisi masih mengandalkan unsur internal untuk
melakukan kerja-kerja pengawasan. Namun pengawasan tidak saja datang dari internal semata, institusi pengawas eksternal juga dibutuhkan untuk memaksimalkan proses akuntabilitas polisi. Namun sayangnya, hadirnya beberapa institusi pengawas eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, bahkan KPK belum mampu memberikan kontribusi maksimal. Kompolnas misalnya, hanya memiliki peran yang amat minimalis dalam melayani berbagai pengaduan masyarakat atas berbagai tindak pelanggaran HAM atau tindakan indisipliner yang dilakukan oknum polisi. Apalagi Komnas HAM dan KPK yang memang tidak didesain khusus untuk menangani berbagai macam pelanggaran HAM maupun tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Meski hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis 18 tahun
kurungan penjara kepada Antasari Azhar, namun publik masih terkesima ketika Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Cirus Sinaga memberikan tuntutan hukuman mati kepada
Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan direktur PT Putra Rajawali Banjaran
Nasrudin Zulkarnaen. Dalam tuntutannya, Sinaga menyatakan bahwa terdakwa
Antasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Berdasarkan bukti yang terkumpul dan kesaksian yang diberikan oleh beberapa saksi
mata, maka Antasari Azhar sebagaimana yang diberitakan di banyak media massa.
Adanya tuntutan hukuman mati dari JPU harus dicermati secara hati-hati mengingat tuntutan ini diberikan kepada mantan orang nomor satu KPK. Selain itu pro kontra penerapan hukuman mati memiliki banyak irisan dengan isu penegakan hak asasi manusia. Penerapan jenis hukuman ini banyak bertentangan dengan hak
atas hidup (rights to life) dan rasa keadilan (rights to justice)
yang rentan untuk terlanggar. Efek jera (detterent effect) yang
dipandang sebagai tujuan dari penerapan praktik ini rupanya juga tidak segaris lurus dengan menurunnya angka praktik pidana sebagaimana yang masih marak terjadi di Indonesia.
Apalagi tuntutan JPU sarat dengan kepentingan politis
di tengah kasus cecak versus buaya yang menerpa KPK
belakangan ini. Studi-studi mendalam yang dilakukan oleh PBB banyak menemukan kecenderungan bahwa praktik hukuman mati yang masih diterapkan di beberapa negara saat ini rentan untuk diintervensi. Kerentanan ini tentu erat kaitannya dengan
sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang belum
independen dari praktik penyalahgunaan kekuasaan dan sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dari masa penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
Konsistensi Cirus Sinaga juga menjadi menarik jika dibandingkan ke kinerja penuntutannya dalam kasus Munir dengan terdakwa Muchdi Purwopranjono. Cirus sebagai JPU tidak menerapkan pola tuntutan yang maksimal dan
Hak atas Hidup:
Kontroversi Seputar Tuntutan
Vonis Antasari Azhar
cenderung memberikan tuntutan yang meringankan, hingga akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi dari segala tuntutan.
Preseden ini memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Pertama, problematika penerapan praktik
pidana mati yang masih diterapkan dalam hukum positif kita masih belum mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bahkan di titik yang ekstrem, KUHP masih belum mengatur bentuk-bentuk perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, seperti masih
diterapkannya praktik hukuman mati. Kedua, sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum independen
Hak atas Kebebasan Beragama:
Negara Gagal Beri Jaminan
Kebebasan Beragama
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)
mengajukan Judicial Review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Tim Advokasi Kebebasan Beragama, sebagai pengacara AKKBB menyatakan bahwa UU tersebut baik secara substansi maupun praktik telah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi. Di sisi yang berseberangan, beberapa kelompok keagamaan dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan secara tegas untuk tetap mempertahankan produk UU tersebut, dengan alasan jika UU tersebut dicabut maka bisa berpotensi untuk menimbulkan keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat.
Para pemohon secara khusus menggugat pasal 1, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 dan pasal 4. Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan jaminan kebebasan dalam UUD 1945.
Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 UU No 1/PNPS/1965
bertentangan dengan pasal:
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.
Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi :
(1). Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi :
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu.
12 Maret
Korban ditendang Peristiwa terjadi
Dalam beberapa proses persidangannya sering kali letupan keributan tidak bisa dihindari. Ruang sidang umumnya dipenuhi dengan kelompok-kelompok Islam garis keras yang mendukung UU ini dipertahankan, seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam, Komando Laskar Islam, dan sebagainya. Aksi mereka kerap menimbulkan rasa intimidasi kepada para saksi yang sebagian besar berpendapat bahwa UU tersebut layak untuk dihapus dan atau direvisi. Bahkan sempat terjadi
sebuah insiden yang mengancam keselamatan Tim Advokasi Kebebasan Beragama, ketika beberapa anggota FPI berusaha menyerang beberapa tim kuasa pemohon (Lihat: Siaran Pers
KontraS, 24 Maret 2010, “Menyesalkan Kekerasan yang
Terjadi di Mahkamah Konstitusi”). Berikut adalah tabel tindak kekerasan yang terjadi sepanjang penyelenggaraan sidang
judicial review UU Penodaan Agama di MK:
Sepanjang kasus ini diperkarakan di MK, tidak sedikit peristiwa kekerasan (perusakan rumah ibadah), upaya kriminalisasi kepada kelompok-kelompok aliran kepercayaan, dan intimidasi terjadi di daerah-daerah (lihat: kasus Surga Eden yang terjadi di Jawa Barat – Kompas, 15 Januari 2010).
Hingga tulisan ini diturunkan tafsir resmi negara atas identitas keagamaan warganya masih terus diterapkan melalui setumpuk regulasi yang memiliki kekuatan dan keabsahan untuk memberi label terlarang terhadap tiap-tiap aliran kepercayaan dan keyakinan di luar arus utama. Bola panas sekarang ada di tangan Mahkamah Konstitusi yang tengah giat mengurai pokok permasalahan ini, apapun hasilnya sebagaimana yang disampaikan oleh budayawan Frans Magnis Suseno, “Negara tidak memiliki mata Tuhan” dan kebebasan berkeyakinan di tengah masyarakat yang majemuk ini masih belum kita miliki sepenuhnya.
24 Maret
Febi Yonesta Dua orang
berpakaian
Di awal tahun ini kasus Munir memasuki babak baru. Sesuai dengan mandat fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM (lihat: UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) Komnas HAM membentuk sebuah tim khusus yang akan melakukan eksaminasi publik terhadap vonis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan terdakwa Muchdi Purwopranjono yang diduga kuat menjadi aktor intelektual dalam kasus pembunuhan Munir. Majelis hakim eksaminasi publik ini terdiri dari individu-individu yang memiliki kompetensi dan integritas di bidang hukum pidana, hukum acara pidana, hukum HAM, tata negara dan sosiologi. Adapun majelis eksaminasi itu terdiri lima orang, seperti Prof.Soetandyo Wigjosoebroto, MPA., Dr.Mudzakir, SH, LLM, Dr.Frans Hendra Winarta, SH, MH, Dr.Fadjrul Fallakh, SH, MH, dan M.Rudi Rizki, SH, LLM. Berikut adalah temuan tim eksaminasi Komnas HAM:
Kejanggalan yang mencolok banyak ditemukan oleh majelis eksaminasi khususnya dalam proses penyidikan, pengadilan, hingga penolakan kasasi JPU di Mahkamah Agung:
• Majelis hakim tidak memanggil saksi Budi Santoso dan As’ad yang merupakan saksi penting dalam
kasus pembunuhan Munir selama masa persidangan
• Proses penyelanggaraan pengadilan yang terpisah antara satu pengadilan (baca: pengadilan
dengan terdakwa Muchdi Pr, ed), dengan pengadilan lainnya (baca: pengadilan dengan terdakwa Pollycarpus, Rohainil Aini, dan Indra Setiawan, ed) sehingga banyak ditemukan kendala dalam proses pembuktian
• Majelis hakim tingkat MA yang menangani kasasi kasus Muchdi Pr tidak berkompeten untuk
memeriksa perkara dengan melihat latar belakang ketiga hakim pada persidangan Muchdi Pr yang tidak memiliki kecakapan dalam hukum pidana dan hukum hak asasi manusia.
• Andaikata ada pemeriksaan ulang terhadap kasus Munir maka kasus ini tidak dapat dikatakan sebagai
kejahatan pidana akan tetapi kejahatan hak asasi manusia sehingga Pengadilan HAM lah yang berhak menyelenggarakan gelar perkara ini.
• kasus Munir harus menggunakan mekanisme internasional, karena negara berkewajiban untuk
menyiapkan lembaga, mekanisme, aturan dan insfrastuktur di bidang peradilan.
• kewajiban negara adalah untuk mengadili pelaku dan memberikan kompensasi kepada korban,
kemudian penting untuk melakukan investigasi secara adil, jujur dan imparsial begitu juga pengadilanjuga harus dilakukan dengan menerapkan prinsip yang sama. Temuan dari eksaminasi bahwa ada dugaan peradilan yang dilakukan tidak independen dan parsial, dari segi HAM internasional
kalau ini (baca: kasus pembunuhan Munir, ed) terbukti dilakukan dengan perancanaan (by design)
maka tidak berlaku prinsip nebis in idem (larangan untuk mengadili seorang terdakwa lebih dari satu
kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya, untuk selengkapnya lihat Pasal 176 KUHP).
(Monitoring dan Dokumentasi KontraS, diambil dari konferensi pers Komnas HAM atas Eksaminasi Putusan Muchdi Purwopranjono di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung, 9 Februari 2010)
Poin yang tak kalah penting disampaikan dalam rekomendasi tim majelis eksaminasi adalah dengan meminta secara khusus kepada tiga institusi terkait yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan lembaga peradilan untuk mau
bekerja sama dalam membuka kembali kasus pembunuhan Munir. Pertama, Polri secara khusus diimbau
untuk menggunakan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir sebagai salah satu bahan awal untuk
pengembangan lebih lanjut. Kedua, Kejaksaan Agung juga diminta agar mengajukan kasasi kembali dengan
melengkapi hal yang kurang sebagaimana dimuat dalam Putusan MA dengan menunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) lain yang independen dan lebih profesional dan atau melakukan upaya hukum yang lain yang
relevan, misalnya peninjauan kembali jika ditemukan bukti baru (novum), dilakukan semata-mata demi
tegaknya hukum dan keadilan sebagai jaminan terpenuhinya hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 Ayat(1)[1] dan Pasal 28H Ayat (2)[2] UUD RI Tahun 1945. Ketiga, pimpinan peradilan
juga diharapkan mampu memilih tim hakim yang ahli dalam hukum pidana dan hukum hak asasi manusia.
Keempat, saksi yang merasa terancam harus mampu dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) .
Namun dari perkembangan yang ada, hingga kini Kejaksaan Agung belum juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dengan alasan
belum kunjung menerima
salinan putusan Mahkamah
Agung. Sementara Polri
menyatakan akan menunggu langkah lanjutan yang akan diambil oleh Kejaksaan Agung, karena PK sendiri adalah sebuah tindakan di luar batas kewenangan Polri.
Menariknya, dalam kebuntuan di tingkatan sistem peradilan pidana kita
100 Hari SBY
Menyoroti kinerja 100 hari pemerintahan SBY – Boediono kita bisa merenteng banyak hal yang belum dilanjutkan khususnya dalam agenda politik penegakan hak asasi manusia. Berikut ini adalah catatan data yang terkumpul dari hasil pemantauan tim dokumentasi KontraS atas kinerja 100 hari KIB Jilid II. Di mana dalam catatan KontraS lebih menitikberatkan pada agenda pembenahan tiga institusi negara yang terkait dalam agenda penegakan HAM yakni, Polri, Kementerian Hukum dan HAM. serta Kejaksaan Agung.
Tabel Kinerja KIB Jilid II
Polri Kontroversi Cecak versus Buaya yang kian memperuncing rivalitas antara Polri dengan KPK dalam pembongkaran skandal praktik korupsi, adalah cerminan bagaimana Polri berusaha menunjukkan kompetensinya melawan keyakinan dan kepercayaan publik dalam sengketa antar institusi negara tersebut. Polisi dalam banyak kesempatan masih menunjukkan arogansinya sehingga praktik kriminalisasi warga kerap terjadi, seperti dalam contoh penanganan kasus JJ. Rizal.
Masih banyak terjadi diskriminasi penanganan perkara terhadap pelaporan masyarakat. Polisi bisa bergerak cepat jika perkara yang terjadi adalah tindak pidana umum yang dilakukan oleh warga masyarakat. Namun tampak ada ketidakjelasan mekanisme internal terhadap tindakan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat Polri itu sendiri.
Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung masih belum menunjukkan kinerja yang optimal dalam kerangka keadilan, khususnya untuk kasus-kasus yang menjadi sorotan publik, dalam hal ini kasus-kasus seperti kasus korupsi Century dan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Kejaksaan Agung juga belum mengambil langkah progresif untuk menuntaskan berbagai macam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya menindaklanjuti hasil rekomendasi Pansus DPR RI tentang penculikan 12 orang aktivis pro-demokrasi.
Kementerian Hukum dan
HAM
Rencana pembangunan Jangka Menengah Tingkat Nasional (RPJMN) bidang hukum yang berperspektif HAM juga tidak menampakkan perhatiannya pada masalah pokok HAM, khususnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Padahal seharusnya, RPJMN 2010-2014 terutama di bidang hukum dapat memprioritaskan masalah ini agar dampaknya besar dalam mendukung kebijakan pada bidang HAM yang lebih umum, Bahkan jika dibandingkan dengan RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 tidak mengatur secara khusus tentang penegakan hukum dan hak asasi manusia melainkan perihal HAM diletakkan dalam bidang politik yang tidak dijelaskan lebih detail dan khusus perihal penanganan kasus-kasus HAM khususnya kasus masa lalu.
Banyaknya agenda legislasi nasional yang tidak diprioritaskan dalam Prolegnas 2010, seperti: ratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Buruh Migran, revisi RUU Peradilan Militer, revisi RUU Komisi Kebenaran, dan pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang secara Paksa.
Biro Litbang KontraS, 2009-2010
Keputusan politik Presiden SBY untuk mengangkat Letnan Jenderal TNI Sjafrie Syamsuddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan untuk mendampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro patut dipertanyakan. Pengangkatan Sjafrie Syamsuddin yang masih menjabat sebagai prajurit aktif TNI telah menyalahi koridor dari UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 47, yang secara tegas menyatakan bahwa:
“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Search dan Rescue Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.”
Dan presiden seharusnya membaca secara teliti penjelasan Pasal 47 yang juga secara eksplisit menyatakan bahwa:
“Yang dimaksud jabatan dengan jabatan adalah jabatan yang diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politis lainnya.”
Selain itu, sosok Sjafrie yang kontroversial ini masih harus mempertanggungjawabkan di depan hukum mengenai sederet peristiwa kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa transisi reformasi 1998. Menyitir hasil penyelidikan
Komnas HAM, Sjafrie Syamsuddin merupakan salah satu pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat berikut ini:
Pemantauan Impunitas:
Kontroversi Pelantikan Sjafrie
Syamsuddin sebagai Wakil
Menteri Pertahanan
Tanggungjawab Sjafrie Syamsuddin dalam Kasus Pelanggaran HAM
No Nama Peristiwa Jabatan Keterangan
1. Kasus Penculikan
dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998
Panglima Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, dengan pangkat Mayor Jenderal TNI
Selaku Pangdam V Jaya pada waktu itu patut dimintai pertanggungjawabannya sehubungan dengan penghilangan orang secara paksa, setidak-tidaknya mengetahui dan membiarkan peristiwa itu terjadi (Laporan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998)
2. Kasus Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II
Panglima Daerah Militer (Pangdam) V Jaya sekaligus Panglima Komando Operasi (Pangkoops) Jaya
Pada saat peristiwa Trisakti terjadi
individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena posisi dan tindakan-tindakannya pada tingkat komando pengendali operasi lapangan
3. Tragedi Mei 1998 Panglima Daerah Militer
(Pangdam) V Jaya dan Panglima Komando Operasi (pangkoops) Mantap Jaya III
Pada saat kerusuhan Mei 1998 selaku Pangdam V Jaya, patut dimintai pertanggungjawabannya.
4. Kasus Santa Cruz,
Dili, 12 November 1991
Ikut dalam operasi (Satuan Tugas Intelijen (SGI) Kopassus)
Dokumentasi dan Monitoring KontraS (diolah dari berbagai sumber)
Perlu diingat, pada November tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat (AS) pernah menolak kehadiran Sjafrie Syamsuddin yang menjabat Sekjen Dephan melalui pelarangan pemberian visa. Peristiwa itu semestinya
menjadi cermin bahwa prinsip universal jurisdiction
Papua:
Letupan Konflik Horizontal
dan Upaya Dialog Papua
Kecenderungan kekerasan di Papua kini kian melebar pada bentuk pertikaian antar suku. Pertikaian ini umumnya ditengarai oleh persoalan-persoalan sensitif, seperti perselisihan dan tindakan asusila, hingga akhirnya berbuntut pada perang suku. Seperti yang terjadi pada kasus Warga Atas dan Warga Bawah Kwamki Lama, Timika awal tahun 2010. Pertikaian yang menimbulkan puluhan korban jiwa di kedua suku tersebut tidak bisa dihentikan oleh pihak kepolisian setempat. Tabel berikut ini adalah ringkasan kronologis peristiwa yang terjadi:
Aceh:
Meninjau Kembali
Eksistensi
Wilayatul Hisbah
Implementasi dari penegakan syariat Islam banyak menuai protes ketika
kasus perkosaan yang melibatkan tiga oknum polisi syariah (Wilayatul
Hisbah/WH) terjadi di kota Langsa, Aceh Besar pada 8 Januari 2010. Peristiwa ini akhirnya memicu serangkaian aksi kecaman dari para pegiat HAM Aceh yang menuntut Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam beserta DPRA untuk membubarkan institusi tersebut.
Peristiwa itu tidak saja mencoreng wajah Wilayatul Hisbah sebagai
institusi yang memiliki kewenangan untuk menegakkan syariat Islam, namun juga menyangsikan kemampuan institusi ini untuk bekerja secara maksimal, mengingat mekanisme kerja dan pengawasan terhadap kinerja WH memang selama ini belum memiliki payung hukum yang jelas (lihat: Perda Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam No 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam).
Kronologis Pertikaian Warga Atas dan Warga Bawah Kwamki Lama
Timika
Tanggal Peristiwa Keterangan
5 Januari 2010
Pertikaian ini dipicu akibat tidak terbayarkannya kompensasi yang diminta oleh Warga Bawah (Karimunus Kinal), atas pelecehan yang diduga dilakukan oleh pria Warga Atas (Yohanes Murib) enam bulan yang lalu. Warga atas telah membayar Rp. 200 juta sebagai kompensasi, namun dilaporkan bahwa warga bawah mekukan pelecehan terhadap wanita warga atas sebagai balas dendam. Warga atas meminta kompensasi Rp. 100 juta namun tidak dibayar yang mengakibatkan pertempuran terjadi
Jumlah korban tewas mencapai angka 20 jiwa, dengan catatan 2 orang meninggal dan 18 lainnya menderita luka-luka
6 Januari 2010
Pertikaian antar warga juga belum berhasil dihentikan. Polisi belum berhasil memediasi kedua kubu yang bersengketa.
7 Januari 2010
Polisi Timika berhasil menghentikan pertempuran itu dengan cara menyekat Jalan Cendrawasih. Meski demikian upaya melalui jalur damai ditolak oleh kedua belah pihak. Selanjutnya, pihak kepolisian setempat melakukan razia untuk menangkap panglima perang dari Warga Atas
15 Januari 2010
Dari razia itu polisi menangkap 7 orang yang kemudian diamankan di Polres Timika Baru. Ketegangan memuncak ketika warga yang mengikuti proses penangkapan tidak mau meletakkan senjatanya, sehingga polisi harus mengeluarkan tembakan peringatan
21 Januari 2010
kedua kelompok yang bertikai itu memutuskan untuk memilih jalan damai dengan melakukan ritual pematahan busur panah (Perayaan Damai Adat) yang disaksikan oleh kedua kelompok warga yang bersengketa dan pihak kepolisian setempat dan para panglima perang menandatangani perjanjian
Dokumentasi dan Monitoring KontraS, 2010
Myanmar:
Pembebasan U Tin
Oo dan Masa Depan
Demokrasi Myanmar
Pembebasan U Tin Oo yang dilakukan pada pertengahan bulan Februari 2010 membuka satu peluang baik dalam proses demokratisasi di Myanmar. Tin Oo merupakan salah satu tokoh penting di dalam struktur Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Myanmar. Sebelum ia bergabung dengan NLD, ia sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan Myanmar (1974-1976). Rezim junta militer menjatuhkan hukuman tahanan rumah kepadanya sejak tahun 2003. Namun, dengan dibebaskannya U Tin Oo apakah pertanda ini bisa digunakan kita untuk melihat perubahan-perubahan Myanmar ke arah yang lebih baik? Ataukah kebijakan politis semacam ini memang dijadikan alat strategi junta militer Myanmar menjelang kunjungan utusan PBB Thomas Ojea Quintana pada bulan Februari dan Barack Obama ke Asia Tenggara pada bulan Juni nanti?
Kedua kemungkinan ini harus ditelisik dengan baik, mengingat Myanmar sebagai sebuah negara sudah sejak lama tidak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sebagai mekanisme politik yang dirampas oleh junta militer. Ketika para biksu mulai turun ke jalan pada bulan September 2007 untuk menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan diterapkannya rezim demokrasi, pihak junta merespon dengan kekerasan eksesif dan banyak korban jiwa berjatuhan.
Titik anomali di Asia Tenggara ini memang terlalu lama didiamkan, bahkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN tidak mampu berbuat banyak untuk melakukan tekanan kepada Myanmar, khususnya dalam penahanan yang terus diperpanjang kepada Aung San Suu Kyi. Mungkin tidak banyak yang bisa kita lakukan selain berharap demokrasi dan hak-hak sipil politik di Myanmar berangsur-angsur pulih ketika U Tin Oo yang genap berusia 82 tahun itu dibebaskan.
Isu kebebasan berpendapat masih menjadi hal tabu di Vietnam. Ini terbukti dengan ditangkapnya empat pegiat hak asasi manusia, di mana salah satu di antara mereka adalah pengacara HAM terkenal, Le Cong Dinh. Mulanya mereka dituduh melakukan isu propaganda untuk menjatuhkan rezim pemerintah berkuasa. Namun lama kelamaan, tuduhan itu semakin berat, melibatkan tuduhan berkomplot dengan agen asing untuk menggulingkan pemerintahan termasuk tuduhan mencemarkan nama baik Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Tan Dung. Menyitir berita di Voiceof Vietnam, tuduhan yang dilayangkan kepada Dinh berdasarkan Pasal 88 UU Pidana Vietnam yang mengatur larangan propaganda terhadap negara. Hal serupa juga dialami oleh Pham Thanh Nghien. Nghien adalah seorang penulis dan aktivis pro demokrasi Vietnam. Dengan tuduhan yang sama, Nghien ditangkap pada tahun 2008 akibat melakukan protes politik yang berseberangan dengan rezim penguasa dan akhirnya pengadilan di kota Haipong menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan tiga tahun tahanan rumah. Nghien sendiri memang menjadi sosok oposisi di Vietnam. Ia pernah menerima
penghargaan bergengsi Hellman/Hammet dari Human
Rights Watch di awal tahun ini.
Vietnam:
Pemerintah Vietnam
Tangkap Aktivis HAM
Le Cong Dinh