• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of QUA VADIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DI ERA OTONOMI DAERAH ANTARA PERSEPSI DAN EKSPEKTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of QUA VADIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DI ERA OTONOMI DAERAH ANTARA PERSEPSI DAN EKSPEKTASI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1054

Bambang Widiyahseno

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Unmuh Ponorogo E-mail: bbwidiyahseno@yahoo.com

Abstract:

Studies on the implementation of basic and secondary education become very urgent in the era of regional autonomy, considering that not all areas can be to support the existing schools in the area to carry out eight national education standards with good and proper. This paper wants to show how the level of perception and expectations of the public on the implementation of primary and secondary education program which includes eight national education standards in the area of Ponorogo. Results of this study can provide input to local governments even specifically to schools in Ponorogo that the implementation of primary and secondary education must still be improved. Given this level of education is a solid foundation for the development of human resources before going on a higher level. Many people (more so the parents guardians) hopes on the success of their children’s education.

Keywords:

Perceptions, expectations, primary and secondary education.

Abstrak:

Kajian tentang pelaksanaan Pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat urgent di era otonomi daerah mengingat tidak semua daerah bisa men-support kepada sekolah-sekolah yang ada di daerah untuk melaksanakan 8 standar pendidikan nasional dengan baik dan tepat. Tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana tingkat persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah yang meliputi 8 standar pendidikan nasional di wilayah Kabupaten Ponorogo. Hasil kajian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah bahkan secara khusus kepada sekolah-sekolah di Kabupaten Ponorogo bahwa pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah masih harus ditingkatkan kualitasnya. Mengingat jenjang pendidikan ini merupakan dasar yang kokoh bagi pembangunan sumber daya manusia sebelum masuk pada jenjang yang lebih tinggi. Banyak pihak (lebih lagi para orang tua wali murid) berharap terhadap keberhasilan pendidikan anak-anaknya.

Kata Kunci:

(2)

Pendidikan Dasar dan Menengah (dikdasmen) merupakan jenjang pendidikan yang sangat pent ing dan st rast egis karena di jenjang pendidikan inilah diletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan sumber daya manusia sebelum masuk pada jenjang yang lebih tinggi. Banyak pihak (lebih lagi para orang tua wali murid) berharap terhadap keberhasilan pendidikan anak-anaknya. Melihat begitu fundamentalnya jenjang ini, maka harus diselenggarakan secara berkualitas. Peranan pendidikan dasar dan menengah menjadi semakin penting ketika melihat berbagai persoalan yang terjadi pada para siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang menunjukkan gejala-gejala yang tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa ini, masa depan siswa yang bersangkutan maupun harapan orang tuanya (Irwanto, 2005).

Di satu sisi muncul berbagai persoalan seperti kecenderungan rendahnya minat belajar siswa yang ditandai dengan cukup banyaknya siswa yang tidak lulus, perilaku pergaulan bebas, free seks yang semakin menjadi tren, tingkat konsumsi pada narkoba dan rokok yang kian tinggi dan gejala-gejala tidak sehat lainnya. Di sisi lain sering berganti-gantinya kurikulum juga menjadi persoalan tersendiri bagi sekolah. Dijenjang pendidikan dasar dan menengah ini diperlukan kepastian kurikulum yang jelas untuk pembentukan karakter anak didik. Sering terjadinya perubahan kurikulum akan menyulitkan bagi guru untuk menguasainya (Ali, 2002).

Berbagai fenomena tersebut menunjukkan adanya persoalan pendidikan di tingkat pendi-dikan dasar dan menengah kita. Oleh karena itu wajar jika akhir-akhir ini muncul berbagai kritikan baik dari kalangan praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang semakin kehilangan arah yang jelas. Ketiadaan arah yang jelas dalam pendidikan nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan nasional yang menggerakan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita-cita bersama Indonesia Raya (Umaidi, 1999).

Sejalan dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah daerah memiliki peran dan tanggungjawab yang besar

dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah sebagai wujud otonomi daerah. Mencermati fenomena pendidikan di atas, maka pemerintah daerah memiliki wewenang penuh untuk menata penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan potensi sumber daya manusia, keuangan, ke-arifan lokal maupun keinginan masyarakat pengguna pendidikan (Depdiknas, 2000). Pemerintah daerah juga memiliki wewenang untuk mendorong masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam memajukan pendidikan ini. Kedekatan geografis, sosiologis dan psikologis antara pengambil kebijakan pendidikan dengan masyarakat dapat segera menangkap aspirasi, keinginan dan persoalan penyelenggaraan pendi-dikan sehingga dapat segera dicarikan solusinya (Usman, 2000).

Sebagaimana diket ahui bahwa misi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah meliputi: meningkatkan akses masyarakat untuk mengikuti pendidikan dasar dan menengah, membantu/membandingkan satuan pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu, menjalin kerjasama yang efektif dan produktif dengan pemerintah daerah dan masya-rakat dalam pengembangan dan pembinaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu (Depdiknas, 2008). Untuk membantu pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana belajar pendidikan bermutu, melakukan inovasi dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan pendidikan bermutu dan akuntabel dan mengem-bangkan sistem pelayanan khusus untuk peserta didik yang berada dalam konteks sosial, ekonomi dan kondisi geografis khusus (Hamalik, 2002).

(3)

setempat. Dana dekonsentrasi telah mulai diberi-kan langsung kepada satuan pendididiberi-kan dalam bentuk block grant yang diharapkan dapat dikelola oleh setiap satuan pendidikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipatif. Meskipun demikian sampai tahun 2014 sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah masih sangat ter ba-tas jumlahnya karena belum maksimalnya pema-haman dan kemampuan sumberdaya manusia pada satuan pendidikan. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak semua daerah mau dan mampu untuk melaksanakan untuk memajukan pen didikan dasar dan menengah agar bisa ber-kualitas dan memiliki daya saing.

Mencermati berbagai fenomena pendidik-an dasar dpendidik-an menengah dalam konteks kekinipendidik-an, harus jujur diakui masih banyak program yang harus dievaluasi baik dari sisi konsep maupun pelaksanaan. Apalagi jika dikaitkan dengan pentingnya lembaga pendidikan ini bagi peletakan dasar pembangunan manusia Indonesia di masa mendatang. Di lain pihak, ditengah kondisi kehidupan yang serba kompetitif maupun dampak globalisasi budaya yang semakin mengikis nilai-nilai, norma dan akhlak keberagamaan, semakin tinggi harapan masyarakat akan pendidikan anak-anaknya di sandarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tersebut. Tentu saja dengan asumsi ketika anak-anak didik ini mendapatkan pendidikan yang baik, memadai dan bermutu maka mereka dapat diproyeksikan akan menjadi manusia yang berkualitas dan berakhlak yang tinggi.

Fokus permasalahan kajian ini adalah pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah dalam sistem pendidikan nasional Indonesia dalam kont eks lokal yait u di Kabupaten Ponorogo. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah jenis pendidikan formal untuk peserta didik usia 7 sampai dengan 18 tahun dan merupakan persyaratan dasar bagi pendidikan yang lebih tinggi. Untuk mendukung keberhasilan pendidikan dasar dan menengah sepert i yang dikehendaki dalam Undang-Undang tersebut dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka penyelenggaraan jenjang pendidikan dasar dan menengah harus memenuhi

ketentuan tentang standar nasional pendidikan, dalam aspek-aspek: 1) isi kurikulum, 2) lulusan, 3) proses pembelajaran, 4) pendidik dan tenaga kependidikan, 5) sistem pengelolaan, 6) sarana dan prasarana pendidikan, 7) pembiayaan pendidikan, dan 8) sistem penilaian pendidikan.

Oleh karena itu dalam kajian ini yang menjadi pokok masalah adalah: “Bagaimanakah persepsi dan ekpektasi masyarakat terhadap pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Ponorogo yang meliputi 8 aspek standar Pendidikan Nasional?”

Metode Penelitian

Penelitian ini secara umum ingin mengkaji pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Ponorogo. Namun tulisan ini merupa-kan kajian awal yang khusus ingin mengetahui tingkat persepsi dan ekspektasi masyarakat t erhadap pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah yang meliputi delapan standar Pendidikan Nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (Ridwan, 2003), dengan mendeskripsikan tentang kondisi pelaksanaan dan kompetensi pelaksananya sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang pendidikan dan peraturan pemerintah.

Penelitian ini merupakan fenomenologis (Arikunt o, 2006) yang mendasarkan pada pandangan sikap pro dan kontra tentang pelak-sana an delapan standar pendidikan nasional di tingkat pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Ponorogo. Oleh karena itu, data yang dihimpun antara lain berupa pengamatan persepsi sikap, penilaian, dan harapan masyarakat terhadap kualitas pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah yang meliputi: isi kurikulum, lulusan, proses pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, sistem pengelolaan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, dan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu juga dipadukan dengan catatan-catatan hasil wawancara mendalam yang diperoleh dari informasi yang digali dari informan maupun subyek penelitian.

Informan penelitian ini adalah masyarakat yang anak-anaknya bersekolah di SD/MI, SMP/ MTs., SMA/MA di Ponorogo baik di wilayah perkotaan, pinggiran kota, dan pegunungan;

(4)

Jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 180 orang yang tersebar hampir diseluruh kecamatan di Kabupaten Ponorogo. Masing masing terdiri dari 120 orang informan laki-laki atau (67%) dan 60 informan perempuan atau (33%) yang penyebaranya sebagaimana terlihat dalam tabel 2 di bawah. Informan diambil secara merata dengan penyebaran hampir disemua kecamat an di Kabupat en Ponorogo dimaksudkan agar dapat diperoleh tanggapan yang bisa mewakili masyarakat Ponorogo terhadap ekspektasi mereka dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan untuk Kecamatan Kota diambil informan yang lebih banyak dengan pertimbangan karena konsentrasi pendidikan lebih banyak di kota.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Pengertian Persepsi dan Ekspektasi

Kata persepsi berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata perception atau percipio, artinya adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan (Schacter, 2011). Pemahaman seorang individu berdasarkan sebuah karakteristik yang terbangun ketika menangkap sebuah kesan umum tentang sesuatu. Kesan umum berdasarkan sebuah karakt erist ik t ersebut sepert i kepandaian, keramahan, atau penampilan, atau efek suatu objek sedang bekerja.

Istilah persepsi sering disebut juga dengan pandangan, gambaran, atau anggapan, atau tanggapan seseorang mengenai satu hal atau objek. Lebih lanjut Walgito ( 2003) menyata-kan persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Menurut Mar’at (2010) persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam ot ak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. Menurut Robbins (2003:97) dalam (https://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi) yang

mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Menurut Purwodarminto (1990: 759) dalam (https:// id.wikipedia.org/wiki/Persepsi), persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pengindraan. Dalam kamus besar psikologi, persepsi diartikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada dilingkungannya.

Persepsi mempunyai sifat subjekt if, karena bergant ung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang sat u dengan yang lain. Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku atau disebut sebagai perilaku individu (http:// belajarpsikologi.com/pengert ian-persepsi-menurut-ahli/).

(5)

bentuk ukuran suatu objek, individu akan mudah untuk memperhatikan.

Persepsi adalah tingkat penerimaan pema-haman seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap suatu objek. Persepsi dapat bersifat positif atau negatif terhadap suatu objek. Hal ini sangat tergantung pada tingkat penilaian suatu objek. Jika informasi suatu objek ditangkap dan dipahami sesuatu hal baik, bagus dan berkualitas maka akan dinilai positif yang akhirnya menghasilakan persepsi yang positif dan sebaliknya.

Ada hubungan yang erat dengan ekspektasi, apabila suatu hal atau lingkungan dipersepsikan postif maka akan memungkinkan terjadinya ekspektasi atau harapan yang bersifat positif dan sebaliknya. Kata ekspektasi itu artinya harapan besar yang dibebankan pada sesuatu yang di anggap akan mampu membawa dampak yang baik atau lebih baik. Expektasi adalah bayangan yang kita harapkan bakal menjadi kenyataan, walaupun bisa saja terjadi bertolak belakang dengan realita yang ada. Pemahaman ini paling tidak menurut ukuran kondisi seseorang pada saat ini terhadap sesuatu yang diinginkan dapat terjadi di masa depan.

Persepsi dan Ekspektasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Standar Pendidikan Nasional

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrimi-natif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diseleng-gara kan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna. Pendi-dikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembela-jaran. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masya-rakat . Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Standar nasional pendidikan, meliputi 8 aspek yaitu: 1) isi kurikulum, 2) lulusan, 3) proses pembelajaran, 4) pendidik dan tenaga kependidikan, 5) sistem pengelolaan, 6) sarana dan prasarana pendidikan, 7) pembiayaan pendidikan, dan 8) sistem penilaian pendidikan. Program-program ini tentunya harus dirancang untuk dilaksanakan dengan baik agar setiap warga negara dapat memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa memandang suku, ras, maupun agama. Bahkan semua akan mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan yang berkualitas sepanjang hayat.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib meng-ikuti pendidikan dasar. Setiap warga negara bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkem-bangan pendidikan anaknya. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Bahkan masyarakat berhakikut terlibat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

PEMBAHASAN

Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelaksanaan Program Pendidikan Dasar dan Menengah.

Persepsi adalah menyangkut pemahaman dengan cara mengamati dan melihat terhadap suatu hal. Sesuatu hal tersebut adalah menyang-kut pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah yang meliputi delapan aspek yaitu isi kurikulum pendidikan, kelulusan, yang menyangkut proses pembelajaran, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sistem pengelolaan, tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan dan terakhir menyangkut sistem penilaian pendidikan.

Persepsi Masyarakat Terhadap Isi Kurikulum.

(6)

yang lebih memprihatinkan sebanyak 63 orang (35,2%) menyatakan tidak percaya apakah kurikulum yang diterapkan dapat berjalan dengan baik dan isinya dapat dipahami oleh siswa. Hanya 5 orang informan (2,7%) yang menyatakan isi kurikulum bagus dan dapat berjalan dengan baik, namun yang palin ironis adalah ada 17 orang (9,4%) menyatakan tidak percaya sama sekali kurikulum baru dapat diterapkan dengan baik. Jika dianalisis pendapat mereka ini wajar karena sering berganti-gantinya kurikulum dalam waktu yang begitu pendek selain menyulitkan gurunya juga membingungkan siswa-siswanya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang informan:

Sering berganti-ganti kurikulum dalam waktu yang pendek banyak menyulitkan para pendidik yang ada di lapangan. Paling tidak untuk pergantian kurikulum itu ya dibutuhkan sekitar 12 tahun agar dapat dijalankan dengan baik. Sering berganti kurikulum juga sulit untuk dapat diterapkan dengan baik. Begitu juga sulit untuk bisa diserap oleh siswa. (Suhardi, 15 September 2014)

Penerapan kurikulum baru berarti merubah kebiasaan baru bagi tenaga guru yang telah mengajar bertahun-tahun. Untuk mengubah kebiasaan dengan mengganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru sangat tidak mudah, lebih lagi bagi yang sudah berusia tua. Oleh karena itu sering bergantinya kurikulum tidak akan bisa serta merta menjamin mudahnya diserap oleh anak didik.

3%

53% 35%

9% Persepsi Terhadap Kurikulum

Bagus sekali Ragu-ragu Tdk percaya Tdk percaya sm sekali

Persepsi terhadap Mutu Lulusan

Terhadap pertanyaan apakah program pendidikan dasar ini dapat meningkat kan mutu lulusan, 81 informan atau sebesar 45% menyatakan ragu-ragu dan 73 informan atau sebesar 40,5 % menyatakan tidak percaya dapat meningkat kan mut u lulusan. Hanya 20 informan atau sebesar 11% yang percaya, sedangkan sisanya 6 informan atau sebesar 3,4%

menyatakan tidak percaya sama sekali. Sebagian besar informan menyatakan ragu-ragu bahkan tidak percaya ini lebih didasarkan pada pertama, sering bergantinya kurikulum sehingga guru belum bisa menguasai secara mendalam. Kedua sekarang ini dedikasi guru juga sangat rendah sehingga tingkat kerelaan untuk berkorban demi berkualitasnya anak didik rendah.

Persepsi Terhadap Proses Pembelajaran

Persepsi masyarakat terhadap kualitas pelaksanaan proses pembelajaran, 99 informan atau sebesar 55% menyatakan ragu-ragu bahkan 44 informan atau sebesar 24,4% menyatakan tidak bagus proses pembelajarannya.

(7)

Persepsi Terhadap Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Sekarang ini masyarakat memiliki persepsi bahwa pendidik dan t enaga kependidikan semakin hari semakin tidak berkualitas hal ini ditunjukkan oleh 107 informan atau sebesar 59% mengatakan semakin tidak berkualitas. Informan yang menyatakan cukup sebanyak 46 orang (25%), yang menyatakan bagus hanya 12 orang (7%) sedangkan sisanya sebanyak 15 orang (8 %) menyatakan tidak berkualitas sama sekali.

Hal tersebut dijelaskan bahwa sekarang ini dalam proses rekruitmen tenaga pendidik seringkali t erjadi dist orsi sehingga t idak memiliki kriteria yang jelas yang mengarah pada penerimaan tenaga pendidik yang berkualitas dan ini sudah menjadi rahasia umum. Jika ingin diangkat menjadi PNS termasuk guru harus menyediakan uang sekitar 100 juta sampai 150-an juta maka ak150-an lolos. Hal ini sebagaim150-ana yang dikatakan oleh informan Suhardi yang menyatakan:

Rendahnya kualit as t enaga pendidik sekarang ini lebih karena proses rekruitmen yang tidak mengarah pada indikator kualitas. Lulusannya tidak jelas, bahkan lulusan SLTA bukan pendidikan bisa diterima karena bisa menyediakan uang saja. Ini memang cukup memprihatinkan kita semua kalau seperti ini terus nggak tahu apa jadinya kualitas pendidikan kita. (Suhardi, 15 September 2014)

Persepsi Terhadap Sistem Pengelolaan

Berkenaan dengan persepsi masyarakat terhadap sistem pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, ada 100 orang informan atau sebesar 55,6% menyat akan semakin t idak berkualitas, dan ada 54 orang informan atau sebesar 30% yang menyatakan cukup. Sisanya

17 orang informan menyatakan bagus atau berkualitas dan 9 orang (5%) menyatakan tidak berkualitas sama sekali.

Sebagian besar informan menyatakan semakin tidak berkualitas ini lebih dikarenakan semakin berkurangnya tingkat dedikasi pendidik untuk secara khidmat mau mengelola dengan baik dengan banyak meluangkan waktunya. Banyak terjadi khususnya pendidik di daerah desa pinggiran yang jauh dari kota dimana rumahnya ada di kota atau jauh dari tempat mengajar mereka laju dan tidak setiap hari masuk. Setiap harinya yang masuk adalah guru pengganti yang mereka kontrak secara diam-diam dengan memberikan upah sebagai kompensasi dalam setiap bulannya. Kondisi semacam ini juga menjadi dilema bagi pendidikan dasar dan menengah dimana para tenaga pendidiknya tidak bisa sepenuhnya dapat mengelola dengan baik.

Persepsi Terhadap Tersedianya Sarana dan Prasarana Pendidikan.

(8)

Jika diamati di lapangan memang sebagian besar sekolah sekarang ini telah memiliki sarana dan prasarana yang cukup namun sebaliknya yang sering terjadi justru tidak memiliki siswa. Kebutuhan akan sarana dan prasarana dalam batas kebutuhan dasar proses pembelajaran telah cukup disediakan oleh negara, namun justru pemanfaatannya yang kurang optimal karena terbatasnya kemauan dan kepedulian pendidik yang tidak mau mempelajari dan mengkajinya.

Persepsi Terhadap Pembiayaan Pendidikan.

Persepsi masyarakat t erhadap biaya pendidikan sekarang khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, mereka menyatakan cukup terjangkau. Yang menyatakan demikian itu ada 107 orang informan atau sebesar 59,4%. Berikutnya 63 orang informan (35%) menyatakan tidak terjangkau, sisanya 6 orang informan (3,4%) menyatakan sama sekali tidak terjangkau, dan 4 orang informan (2,2%) menyatakan terjangkau sekali.

Mereka menyatakan demikian itu yaitu mayoritas mengatakan cukup terjangkau dengan penjelasan sekolah-sekolah yang ada di desa-desa atau di pinggiran kota, namun sebaliknya sekolah-sekolah yang di kota mereka menyatakan tidak terjangkau.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang informan yang menyatakan yaitu:

Kebetulan anak saya sekolah di SD negeri Pak, jadi menurut saya biayanya masih cukup terjangkau. Tetapi sebelumnya mau saya masukan di sekolah swasta yang saya inginkan, tetapi biayanya cukup mahal. Saya pengin di sekolah tersebut karena pendidikan agamanya cukup banyak, tetapi karena mahal jadi saya urungkan niat. Menurut saya, sebenarnya sekolah yang banyak pelajaran agamanya yang

lebih baik dibandingkan sekolah umum yang lebih banyak pelajaran umumnya. Sebab bagi kita yang menganut agama ini kalau bisa anak-anak kita pintar ilmu umum juga pintar ilmu agamanya sehingga anak-anak saya dapat bahagia dunia dan akherat, bukan dapat dunianya saja, tetapi akheratnya tidak dapat. Saya lihat anak-anak sekarang yang kurang ilmu agamanya nakal-nakal. (Udin, 18 September 2014) Pernyat aan t ersebut menggambarkan bahwa pendidikan kita sekarang terlihat bernuansa feodalisme dan kapitalisme. Feodalisme mengacu pada kesimpulan untuk sekolah-sekolah tertentu hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan yang lainnya. Dikatakan kapitalisme ada kesan bahwa lembaga pendidikan telah berubah dari mesin sosial pada mesin pencetak uang. Jika kita amati keadaannya demikian, sekarang kita melihat banyak orang mencoba melakukan bisnis sekolah di samping ada sebagian karena tuntutan idealisme pendidikan. Banyak masyarakat sering mengungkapkan pernyataan yang memilukan hati jika kita rasakan,”Apa besok yang bisa sekolah hanya orang-orang yang kaya?”.

(9)

Persepsi Terhadap Sistem Penilaian Pendidikan.

Sistem penilaian pendidikan khususnya yang menyangkut untuk kelulusan sekarang ini memang cukup menimbulkan perdebatan. Ada sebagian yang menyatakan UNAS mestinya hanya sekedar untuk kepentingan pemetaan kualit as pendidikan saja hasilnya jangan dijadikan standar kelulusan ini jika konsisten t erhadap kurikulum yang kit a t erapkan. Namun ada sebagian yang menyatakan dengan berpengaruhnya pada kelulusan maka mestinya sebaliknya yait u memacu pendidik unt uk bekerja lebih keras dalam melakukan proses pembelajaran yang lebih baik.

Berkenaan hal tersebut di atas 80 orang informan (44,4 %) menyatakan semakin tidak berkualitas, dan 78 oran informan (43,3%) menyatakan cukup. Sisanya 13 orang informan (7,3%) menyatakan tidak berkualitas sama sekali. Yang menyatakan bagus dan bekualitas ada 9 orang informan (5%).

Analisis delapan aspek dalam pendidikan tersebut di atas, secara umum persepsi masyarakat terhadap kualitas program pendidikan dasar dan menengah menyatakan masih jauh yang kita harapkan. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang informan:

Sejauh pengamatan saya, kualitas pendidikan dasar dan menengah kita belum baik, sebab ada kesan yang sangat kuat bahwa sekolah-sekolah dasar dan menengah kita lebih mengedepankan dan terlalu menjaga citranya. Akibatnya, sebenarnya banyak siswa yang mestinya tidak lulus harus lulus dengan berbagai cara yang ditempuh. Ini dilakukan karena pertimbangan beberapa hal: pertama, jika sekolah tersebut siswanya banyak tidak lulus akan mempengaruhi minat siswa baru

untuk mendaftarkan diri disekolah tersebut. Mereka khawatir jangan-jangan besuk juga tidak lulus seperti kakak-kakak kelasnya. Akhirnya pihak sekolah menjadi takut jika banyak siswanya tidak lulus; kedua, dengan prestasi kelulusan yang baik, maka berujung pada pendongkrakan uang sekolah bukan menjadi persoalan. Sebaliknya jika banyak siswanya tidak lulusan,pihak sekolah tidak leluasa untuk mengadakan uang tarikan (Kusni, 20 September 2014).

Ekspektasi Masyarakat Terhadap Pelaksana-an Program PendidikPelaksana-an Dasar dPelaksana-an Menengah.

Dengan mendasarkan pada analisis pada evaluasi/penilaian masyarakat terhadap pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah sebagaimana peneliti uraikan di atas yang pada intinya dengan melihat 8 aspek pendidikan ternyata sebagian besar indeksnya sangat rendah yaitu dengan menggunakan kategori 100 maka nilainya rata-rata dibawah 50. Oleh karena itu, harapan masyarakat terhadap pelaksanaan program ini agar 8 aspek tersebut dievaluasi kembali.

Ekspektasi Masyarakat Terhadap Kurikulum

Harapan masyarakat berkenaan dengan kurikulum rata-rata menyatakan agar jangan sering berganti kurikulum jika yang lama belum sempat dilaksanakan dengan baik. Untuk itu jika pemerintah ingin menerapkan kurikulum baru harus dilakukan terlebih dahulu kajian yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan berbagai pakar pendidikan dan jauhkan dari sikap dan motivasi serta kepentingan politik. Harapan seperti ini sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang informan yaitu:

(10)

Ekspektasi Masyarakat Terhadap Kualitas Lulusan

Harapan masyarakat t erhadap mut u lulusan yang berkualitas sangat tinggi karena menentukan untuk melanjutkan sekolah lagi, maupun unt uk mencari pekerjaan. Namun kenyataanya di lapangan sangat berbeda banyak lulusan siswa yang tidak bisa apa-apa dan bahkan banyak yang ditolak oleh lapangan pekerjaan. Oleh karena itu kondisi yang demikian itu sangat memprihatinkan semua pihak, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang informan yaitu:

Pertama, harapan kita setelah lulus anak ya siap kerja. Makanya menyangkut hal ini kami sering memberi masukan kepada banyak sekolah jangan hanya memikirkan

in put yang banyak. Tetapi bagaimana siswa itu didik secara maksimal sehingga lulus memiliki kemampuan yang baik sehingga siap bekerja. Ini haris terus disosialisasikan t erus kepada siswa. Bukan sebaliknya justru lulusan menjadi bumerang lulusan tidak siap bekerja, kalau ini terjadi sekolah yang meluluskan juga akan imbasnya bahwa sekolah di sekolah A misalnya tidak memiliki kecakapan. Akibatnya sekolah tidak laku. Ini kan mengerikan. Kedua, menyangkut biaya pendidikan agar dapat lebih ditekan, baik sekolah swasta maupun sekolah negeri sehingga dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga pendidikan dasar dan menengah kita dengan biaya yang tidak memberatkan tetapi ilmu dapat diserap dengan baik oleh para siswa kita. Sekolah dan para guru harus int rospeksi diri bahwa sekarang ini mereka sudah sangat sejahtera dengan adanya sertifikasi guru. Artinya pendapat sebagai guru bahkan jauh lebih banyak dibandingkan profesi lainnya sehingga sangat tidak beralasan jika sekolah masih suka melakukan tarikan ini itu padahal ujung-ujungnya unt uk meningkat kan kesejahteraan guru. Mencari tambahan melalui cara ini harus dihentikan. Ini sangat berpengaruh terhadap out put pendidikan kita. (Nurcahyono, September 2014)

Kita pasti sepakat jika biaya pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Negara.

Jika ini bisa terwujud maka peningkatan SDM kita akan mudah tercapai. Hal ini banyak dilakukan negara-negara lain yang membebaskan para warganya untuk sekolah. Sementara di negara kita sebaliknya, bahkan ada kebijakan menghapus subsidi pendidikannya dengan tujuan yang tidak jelas.

Selain itu dana pendidikan juga digunakan untuk melengkapi sarana dan prasarana hingga mencapai taraf sangat memadai. Di lai pihak kesejahteraan guru terus ditingkat secara sub-stansial. Bukan memberikan kesejahteraan melalui mekanisme yang terus diperdebatkan. Misalnya program sertifikasi masih menjadi pergunjingan baik karena tidak suka maupun munculnya anggapan tidak adanya hubungan signifikan antara tingkat kesejahteraan guru dengan lulusan.

Ekspektasi Terhadap Proses Pembelajaran.

Berkenaan dengan proses pembelajaran ini seorang informan mengatakan dengan menyoroti proporsi tenaga pendidik antara swasta dengan negeri yaitu:

(11)

kurikulum baru lainnya yang menciptakan pemahaman yang overlapping. (M. Fajar Pramono, September 2014)

Lebih lanjut ia mengatakan:

Dilihat dari inovasi pendidikan dasar dan menengah sudah sangat bagus tetapi para pengelola pendidikan masih terlihat memainkan perannya sebagai administ rat or dibandingkan sebagai pendidikan meskipun para pengambil kebijakan di lingkungan dinas pendidikan dibanding sebagai pendidikan ketika mengeluarkan kebijakan maupun dalam menangkap isu-isu aktual dalam dunia pendidikan ini t erlihat dari kurang nampaknya penempatan jabatan-jabatan yang tepat kepada orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas tertentu pula. (M. Fajar Pramono, September 2014)

Sejak sebelum bangsa ini merdeka pada tahun 1945, telah muncul partisipasi masyarakat dalam ikut serta memajukan bangsa. Ormas Muhammadiyah misalnya secara konsisten sejak dahulu hingga sekarang memiliki partisipasi yang kuat dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah telah begitu banyak mendirikan sekolah dari Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Dan kenyataan hingga sekarang tetap eksis. Begitu juga dengan ormas NU tidak ketinggalan dalam ikut memajukan pendidikan nasional dengan mendirikan sekolah-sekolah dari TK juga hingga perguruan tinggi.

Namun sejalan dengan semakin intensif-nya pemerintah mengembangkan pendidikan terutama dengan mendirikan sekolah hingga pelosok desa keberadaan sekolah di bawah organisasi kemasyarakatan ini mulai goyah karena hampir tidak mampu mendapatkan peserta didik. Padahal sejarah telah mencatat bahwa banyak sekali para pemimpin bangsa justru terlahir dari sekolah-sekolah di bawah naungan ormas ini. Namun, partisipasi pihak non pemerintah ini benar-benar dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Olehkarenanya pemerintah hendaknya t idak menut up mat a t erhadap kelang sung an hidup sekolah swasta tersebut karena telah dan akan terus menjadi soko guru pendidikan di nasional kita. Sebabnya sekolah-sekolah swasta apalagi di bawah naungan ormas keagamaan biasanya sebagian dana pendidikan diupayakan oleh organisasi, sehingga para

peserta didiknya dapat menikmati sekolah yang murah bahkan sebagian mungkin justru gratis.

Ekspektasi Terhadap Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Ekspektasi masyarakat terhadap pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas sangat tinggi, dengan pertimbangan bahwa salah satu kunci penentu meningkatnya kualitas pendidikan adalah bertumpu padanya. Lebih lagi dengan adanya peningkat an kesejaht eraan melalui kenaikan gaji yang tinggi, adanya tunjangan sertifikasi harapanya akan dapat meningkatkan profesionalitas, dedikasi serta ketekunannya dalam mendidik siswa. Gaji dan tunjangan yang tinggi serta adanya tunjangan sertifikasi akhirnya meningkatkan minat keinginan berbagai pihak untuk menjadi guru.

(12)

tersiksa. Akibatnya kualitas pendidikan kita susah untuk mengalami peningkatan. (Nurcahyono, September 2014)

Dalam dunia pendidikan kita ternyata banyak isu yang menarik, baik dan menciptakan optimisme terhadap masa depan pendidikan kita. Namun demikian, ternyata ada juga yang membuat kita sedikit prihatin. Ini terlihat dari fenomena di atas, masih banyak tenaga kependi-dikan kita yang kita paksakan untuk melakukan aktivitas tanpa kita pahami itu sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Prinsip the right man on the right place belum menjadi pegangan yang ampuh bagi pendistribusian pengampu materi pelajaran disekolah-sekolah kita.

Sering kita mendengar guru A meng-ajar materi tertentu yang tidak sesuai dengan kualifikasinya. Bagaimana kita akan mendapat-kan out put yang maksimal jika pemberi materi tidak paham dengan materi yang diberikan kepada peserta didiknya. Apalagi guru yang ber-sangkutan tidak memiliki minat mengajar suatu materi lalu dipaksakan. Program sertifikasi guru juga semakin memperparah kondisi ini sebab guru yang bersertifikasi harus mengampu sejumlah beban mengajar sehingga mereka memaksakan mengajar materi yang bukan bidangnya sekedar untuk memenuhinya. Kondisi guru-guru yang demikian itu senada dengan yang disampaikan oleh seorang informan yaitu:

Yang sangat memprihatinkan itu adalah fenomena baru tenaga pendidikan kita/ guru. Belakangan kualit as SDM-nya sangat menyedihkan. Banyak dari para guru baru yang diangkat maupun masih dalam proses sukwan adalah para lulusan SMA atau sederajat. Secara teori pembelajaran maupun materi pembelajaran jelas mereka ini sangat minim sekali, akibatnya materi yang sedikit tersebut akhirnya dipaksakan, sehingga ketika mereka mengajar materi untuk kelas I hingga kelas VI cenderung sama, padahal yang mereka hadapi adalah siswa di kelas yang berbeda. Kondisi ini sangat lah mengkhawat irkan. (Kusni, September 2014)

Banyak pihak akhir-akhir ini menilai kualitas tenaga pendidik kita mengalami penurun-an terutama terkait dengpenurun-an proses pengpenurun-angkatpenurun-an tenaga pendidik baru. Banyak diantara tenaga pendidik ini belum memiliki kualifikasi yang

memadai. Kompetensi mereka sebagai pendidik sangat memprihat inkan. Memang sesuat u yang dilematis, jika dilihat dari sisi manusiawi mereka adalah manusia yang memang memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya di bumi pertiwi ini, mendapatkan pekerjaan dan kesempatan-kesempatan lainnya sebagai sesama warga bangsa.

Namun, jika dilihat dari sisi yang lebih strategis, keterlibatan mereka yang belum memiliki kompetensi sebagai tenaga pendidik justru dapat memperburuk kondisi dan situasi pendidikan kita baik saat ini maupun masa yang akan datang. Di pihak lain, banyak potensi-potensi pendidik baru kita terutama lulusan pendidikan guru yang tidak terakomodasi karena masalah-masalah teknis, misalnya kalah cepat mengakses sekolah atau tidak mampu menembus tes CPNS karena sebab-sebab lain.

Berkenaan dengan dengan kualitas SDM guru ini seorang informan berpendapat:

Dari segi SDM telah terjadi perubahan, dahulu lekat dengan idealisme sekarang pragmatisme yang masuk di wilayah pendidikan dimana segala urusan serba duit, mestinya wilayah pendidikan bebas dari pengaruh uang. SDMnya tidak ada standar yang jelas baik menjadi guru, kepala sekolah t enaga kependidikan lainnya tidak lepas dari uang. Melihat kenyataan ini Diknas maupun dewan pendidikan memiliki kewajiban untuk memformulasikan kembali posisi lembaga pendidikan antara kepentingan politik dan non politik. Lembaga pendidikan jangan terintervensi masalah-masalah politik. (M. Fajar Pramono, September 2014)

(13)

adalah kawah candradimuka yang paling ideal dalam membentuk kader penerus bangsa yang cerdas, berbudi dan bertaqwa.

Ekspektasi Terhadap Sistem Pengelolaan.

Berkenaan dengan sistem pengelolaan pendidikan ini harapannya agar ditingkatkan, mengingat sarana dan prasarana pendidikan telah dicukupi oleh pemerintah, dan guru-gurunya juga sudah ditingkatkan kesejahteraannya. Mesti-nya kalau sudah demikian itu harapaMesti-nya dapat mengelola pendidikan ini dengan baik namun kenyataannya masih jauh, sebagaimana yang dikatakan oleh Fajar Pramono berkenaan dengan pengelolaan sekolah RSBI:

Ini merupakan hal yang mendasar, di lain pihak banyak isu pendidikan dasar dan menengah yang belum ditangani secara baik, seperti misalnya disinggung di atas menyangkut RSBI, biaya sekolah proporsi sekolah negeri dan swasta, nilai tambah sekolah tidak jelas, implementasi RSBI saling lempar tanggungjawab antara pemerintah dengan masyarakat. RSBI semestinya adalah tanggungjawab negara sebagai proyek pilot project, adanya pembedaan sekolah RSBI dengan reguler dan sebagainya. (M. Fajar Pramono, Septmber 2014)

Kita sadari sepenuhnya, bahwa saat ini dunia pendidikan kita sedang mencari format yang ideal dalam rangka membenahi pendidikan kita karena pendidikan kita sudah mulai tertinggal dengan banyak negara. Misalnya dengan negara Malaysia saja kita sudah tertinggal. Padahal pada tahun 1980-an Malaysia banyak mengimpor dan berguru ke negara kita. Tetapi sekarang kondisinya berbalik secara radikal. Banyak anak muda kita yang belajar ke negara ini bahkan tidak sedikit yang mengejar gelar doktor ke sana. Adalah suatu yang wajar ketika kita melihat dan menemukan munculnya akibat dari semangat memajukan dunia pendidikan kita.

Namun demikian juga muncul kesan yang kuat ada mental dan persepsi yang salah dalam dunia pendidikan kita. Banyak sekolah yang melakukan pungutan yang besar kepada orang tua siswa dengan dalih untuk kepentingan ini, kepentngan itu. Atau kepentingan politik partisan terlalu dominan dalam melakukan intervensi

dalam dunia pendidikan kita. Akibatnya, dunia pendidikan kita semakin carut marut.

Ekspektasi Terhadap Sarana dan Prasarana Pendidikan.

Mengenai sarana dan prasarana ini salah seorang informan menyatakan:

Secara umum sarana sekolah sudah bagus pak, misalnya sekolah anak saya sudah bagus, bahkan sudah ditingkat. Tetapi yang masih mengganjal di hati saya itu masalah buku pak? (Udin, September 2014)

Buku bagaimanapun sangat pent ing, sayangnya harga buku sekarang sangat tidak terjangkau. Harganya sangat mahal. Masalah buku bahkan ada kesan menghambat dunia pendidikan kita. Sangat pentingnya buku ini menjadikan siswa semakin tereksploitasi. Hampir bisa dipasti kan bagi siswa yang tidak memiliki buku panduan akan sangat susah untuk belajar apalagi mengejar ketertinggalan materi. Mekanisme buku ini harus segera ditangani secara serius, kalau bisa diupayakan oleh pemerintah adanya buku gratis seperti pada masa lalu. Ini seharus bisa dilakukan mengingat anggaran pendidikan di APBN kita sudah mencapai 20 persen.

Lebih lanjut mengenai ketersediaan buku ini Udin mengatakan:

Buku yang disediakan sekolah itu masih sangat terbatas, bahkan bisa dibilang sangat terbatas sekali. Sebagian besar buku harus beli sendiri. Karena harga buku yang sangat mahal, saya pinjamkan pada anak teman-teman saya. Bagi saya yang penting ada bahan yang dipakai anak saya untuk belajar. (Udin, September 2014) Mengenai persoalan buku ini menurut Udin:

(14)

saya tidak sama dengan buku temannya yang baru kan bisa membuat anak menjadi

minder. Selain itu kalau buku gonta-ganti

begitu tidak bisa diwariskan kepada siswa yang lainnya. Kami sebagai orang tua siswa sadar betul kalau buku tidak dimiliki anak maka anak akan mengalami kesulitan untuk maju.(Udin, September 2014) Berkenaan dengan sarana pendidikan yang berupa buku ini menurut salah seorang informan sekarang ini telah menjadi persoalan tersendiri, sebagaimana ia katakan:

Terutama menyangkut buku penunjang belajar mengajar justru menjadi momok tersendiri bagi dunia pendidikan dasar dan menengah kita. Ada kecenderungan buku menjadi ajang bisnis produsen buku dengan pihak sekolah. Hingga sekarang pihak/ lembaga terkait diknas masih tutup mata dan belum mampu untuk mengeluarkan kebijakan yang efektif untuk meringankan beban biaya pendidikan ini. Sebab jika diamati dari isi materi buku ajar yang selama ini digunakan subtansi isi/materi hampir tidak ada perubahan yang berarti, yang berubah hanya pada warna, lay out dan beberapa sentuhan lain yang substansinya sama dengan buku tahun sebelumnya. Dengan demikian buku yang telah dipakai tahun sebelumnya tidak dapat digunakan oleh adik kelasnya pada t ahun berikut nya.(M.Fajar Pramono, September 2014)

Terkait dengan sarana dan prasaran sekolah pada umumnya banyak pihak menyatakan hampir semua sekolah sudah merasa puas dengan sarana dan prasarana sekolah yang telah diberikan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Untuk mendukung mutu pendidikan nasional, pemerintah melalui Ditjen Mandikdasmen memprioritaskan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan termasuk melakukan rehabilitasi sekolah-sekolah yang dianggap tidak layak lagi untuk menunjang kegiatan belajar belajar mengajar.

Akan tetapi saat ini yang dirasakan sekali oleh para orang tua peserta didik adalah masalah buku penunjang belajar bagi mereka. Pertama, buku-buku penunjang dari sekolah sangat sedikit. Dahulu hampir bisa dipastikan peserta didik tidak perlu pusing-pusing harus memiliki buku ajar

sebab sudah dipenuhi oleh pemerintah, bahkan di perpustakaan sudah sangat memadai. Namun sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Orang tua harus pusing mengusahakan adanya buku ajar ini secara maksimal. Kedua, harga buku ajar dinilai sangat memberatkan peserta didik kita. Harga buku sekarang sangat mahal dan sangat tidak terjangkau banyak kalangan. Banyak peserta didik harus susah payah untuk mendapatkan buku ajar dengan meminjam kesana kemari.

Ketiga, ada kesan yang sangat kuat telah terjadi eksploitasi yang sangat besar terhadap dunia pendidikan sebagai implikasi dari konspirasi sekolah dengan penerbit buku ajar. Ini dapat kita lihat dari terus bergantinya buku ajar setiap tahun dengan substansi materi yang sebenarnya jika dilihat tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pembenahan yang sedikit inilah akhirnya yang mencipt akan ketergantungan siswa kepada buku.

E k s p e k t a s i Te r h a d a p P e m b i a y a a n Pendidikan.

Melihat adanya biaya pendidikan yang dari hari ke hari semakin mahal khususnya untuk pendidikan yang berkualitas maka ada berbagai harapan dari masyarakat sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang menyatakan yaitu:

Ya, adanya sekolah gratis, kalau tidak bisa gratis setidaknya murah dan terjangkau kit a yang berpenghasilan pas-pasan. Kalau saya dengarkan pendapat teman-teman di warung-warung, terutama yang anak-anaknya sekolah SMP hingga SMA merasa keberatan dengan biaya sekolah sekarang. Biaya masuknya saja sudah mencapai jutaan, belum lagi selama tiga tahun mereka belajar, kan biaya yang di-keluarkan banyak. Tetapi mereka memak-sakan diri karena sekolah sudah menjadi t unt ut an dan kewajiban orang t ua untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Secara umum bagi kita yang berpeng hasilan pas-pasan bet ul-bet ul keberatan. Akhirnya kebutuhan rumah tangga sering harus dikalahkan. (Udin, 18 September 2014)

(15)

bagi orang kecil, biaya pendidikan sama dengan persoalan bertahan hidup setiap harinya. Jika biaya sekolah mahal dan tidak terjangkau, maka biaya sekolah akan mengancam kebutuhan dasar mereka berupa memenuhi kebutuhan makannya. Artinya, jika memang uang hanya cukup untuk sekolah, maka kualitas dan kuantitas makannya dikesampingkan. Atau bisa sebaliknya, jika sekolah yang dikalahkan maka uang sekolah dialihkan untuk kebutuhan makannya.

Dengan kondisi ini bagi masyarakat miskin tidak ada pilihan yang terbaik. Padahal pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 adalah kewajiban negara untuk memaju kan-nya. Kenyataannya kita sudah merdeka bertahun-tahun ini kondisinya belum sesuai harapan semua pihak. Bahkan tidak sedikit masya rakat kita yang mulai menyimpulkan bahwa pendidikan hanya untuk orang kaya saja seperti kita masih dibawah kekuasaan penjajah. Kebi jak an pendidikan gratis kita hingga sekarang masih isapan jempol. Diakatakan gratis tetapi kenya taannya masih harus membayar. Ini kan ironis.

Berkenaan dengan biaya pendidikan ini seorang informan mengatakan:

Terkait dengan biaya sekolah, pengelolaan pendidikan dasar dan menengah perlu adanya idealisme. Jadi jika ada BOS tidak perlu tarikan kepada masyarakat lagi. Hal ini kondisi sama dahulu ketika dana BOS belum ada, sehingga ada BOS atau tidak sama saja. Akibatnya sekolah melakukan rekayasa begitu banyak hal, misalnya tarikan hanya sekedar untuk membuat pagar sekolah atau hal-hal lain yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan kita. Sebab yang harus dipahami pendidikan dasar dan menengah adalah peletak dasar peningkatan mutu bangsa kita.

Unt uk it u perlu perubahan mindset

pengelola pendidikan di tingkat dasar dan menengah kit a jika kit a masih sepakat untuk memajukan bangsa ini, baik itu lembaga terkait dalam hal ini pemerintah/ Diknas, dewan pendidikan, maupun stakeholder lainnya. Pengelola pendidikan kita masih begitu terlihat dalam berbagai kebijakannya masih belum substansial, misalnya untuk yang RSBI

fasilitas untuk mendukung proses belajar mengajarnya mengapa harus kelasnya ber-AC. Padahal yang lebih penting adalah bagaimana berusaha meningkatkan prestasi akademiknya para siswa. (M. Fajar Pramono, September 2014)

Dengan cara berpikir yang demikian, anggaran untuk pendidikan kita sejak dulu sampai sekarang tetap saja tinggi. Persoalannya siapa yang mestinya menanggung pembiayaan itu. Ada kesan kuat, pembiayaan pendidikan kita banyak terserap untuk pembiayaan politik elit. Artinya, dana yang mestinya untuk mendukung pendi dikan t ergant ikan unt uk kepent ingan politik. Yang menjadi pertanyaan adalah pendi-dikan dasar dan menengah kita mau dibawa kemana? Harus disadari bahwa secara umum in put dunia pendidikan kita sudah sangat bagus, oleh karena itu prosesnya juga harus bagus.

Biaya sekolah dinilai masih sangat tinggi. Hal ini sesuatu yang ironis mengingat kebijakan anggaran negara unt uk pendidikan mencapai 20 persen dari total anggaran penyelenggaraan negara. Angka ini sangat t inggi sehingga anggaran untuk sektor lain harus dipangkas demi memenuhi anggaran pendidikan tersebut. Pembiayaan yang tinggi ini juga ironis terkait dengan adanya dana pendamping pendidikan yang disebut BOS (Biaya Operasional Sekolah). Kenyat aannya sekolah masih terus menarik biaya kepada siswa dengan jumlah yang cukup tinggi. (M. Fajar Pramono, September 2014) Biaya pendidikan merupakan isu yang hangat. Sebab pemerintah telah menggelontorkan

apa yang disebut Biaya Operasional Sekolah (BOS) kepada semua sekolah. Tetapi kenyataan-nya penarikan uang sekolah tetap terjadi di hampir semua sekolah. Maka perlu adanya mekanisme dan kebijakan yang jelas tentang uang tarikan lagi. Artinya, munculnya BOS adalah dalam rangka mengurangi beban masyarakat terhadap pendidikan anak-anaknya. Namun jika ternyata begitu ada BOS pihak sekolah lalu melakukan pungutan lagi untuk kepentingan yang lain, lalu apa gunanya ada BOS?

Berkenaan dengan dana BOS salah seoran informan menyatakan:

(16)

murah, tetapi saya was-was juga pak, bagaimana jika dana BOS ini tiba-tiba tidak ada. Itu kan bisa mungkin terjadi kan. Saya berharap dana ini terus diturunkan oleh pemerintah.(Udin, September 2014) BOS memberi gambaran bahwa kebijakan politis sebagai intervensi positif bagi upaya memajukan dunia pendidikan sangat berarti bagi upaya meningkatkan SDM kita. Sebaliknya, intervensi negatif yang yang sifatnya politis juga dapat menghancurkan sistem pendidikan kita. Ini juga pembelajaran bahwa ketika kebijakan politis yang baik dapat mengangkat derajat bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Hal ini mengingat masih cukup dominan warga negara kita yang berada di bawah garis kemiskinan yang membutuhkan bantuan dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Dan bagi sebagian kita sekolah adalah pemutus rantai kemiskinan. Sekarang anggapan ini sirna ketika biaya pendidikan kita semakin tidak terjangkau.

Ekspektasi Terhadap Sistem Penilaian Pendidikan.

Berkenaan dengan sistem penilaian ini seorang informan menuturkan panjang lebar:

Dalam prakteknya pendidikan dasar dan menengah kita masih tampak adanya ke-inginan untuk mengejar prestasi secara kelem bagaan, bukan prest asi siswa. Untuk mengejar ambisi kelembagaan ini banyak sekolah tidak segan-segan untuk melaku kan rekayasa-rekayasa tertentu. Tidak mendorong siswa untuk giat belajar tetapi melakukan permainan-permainan tertentu. Fenomena itu justru banyak dilakukan sekolah-sekolah bonafit yang memiliki nama baik di masyarakat. Di lain pihak, stagnasi inovasi pendidikan dasar dan menengah diwarnai dengan bermunculannya sekolah-sekolah baru dengan inovasi baru yang mencoba memadukan potensi anak yang disebut dengan sekolah-sekolah terpadu, khusus-nya lembaga pendidikan tersebut adalah lembaga pendidikan swasta. Sekolah-sekolah ini menunjukkan kecenderungan lebih baik, lebih segar dan menjunjungi idealisme pendidikan yang tinggi.

Kecenderungan lainnya, hampir sekolah di level dasar dan menengah kit a

menciptakan siswa yang instan yang ditandai oleh beberapa hal, antara lain: siswa harus menguasai begitu banyak materi pelajaran (Matematika, IPA, IPS dan sebagainya, terutama materi untuk Ujian Akhir Nasional/UAN). Akibatnya, siswa tidak memiliki alokasi yang cukup memadai untuk mengembangkan potensi lainnya di luar potensi ilmu pengetahuan tersebut, seperti seni, olahraga, organisasi dan lain-lainnya. Dampak selanjutnya, potensi-potensi tersebut mati dengan sendirinya. Ini sebuah harga mahal yang tidak tergantikan dengan apapun. Dari sisi proses tidak fair, seperti permainan nilai, tidak meluluskan sebagai momok sekolah, tidak meluluskan siswa menjadi beban karena khawatir tidak ada peminat untuk tahun ajaran berikutnya. (M. Fajar Pramono, September 2014)

Mengaitkan dengan sistem penilaian ini salah seorang informan mengatakan dengan mengkaitkan masalah penerimaan siswa baru yaitu:

Yang banyak dibicarakan orang-orang kecil sekarang terutama menyangkut proses penerimaan siswa baru pak. Sekarang dalam penerimaan siswa baru banyak sekolah yang tidak jujur, hanya yang punya uang saja yang bisa sekolah sesuai dengan keinginannya. Sementara yang tidak punya uang terpaksa sekolah yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Seperti saya ini tidak bisa menyekolahkan anak disekolah yang saya inginkan. Soal penilaian secara umum, bagi saya belum kepikiran sampai disana. Memang saya dengar-dengar cara mencari nilai ujian macam-macam. Katanya turun-turunan melalui hp dan semacamnya. Menurut saya itu jelek harus dihindari wong sekolah biar pintar dan jujur kok. (Udin, September 2014)

(17)

nilai atau kompensasi materi tertentu sangat terbuka. Apalagi ada instrumen pendidikan yang memungkinkan itu dapat dan boleh dilakukan.

Pada akhirnya ketika siswa-siswa kita itu akan lulus dengan menghadapi UAN, proses pelaksanaan UAN disoroti tidak fair juga. Ada guru yang dengan sengaja membantu menyelesai-kan soal-soal ujian siswanya secara sistematis. Ini proses pendidi kan yang sangat memilukan kita sebagai bangsa yang dikenal adiluhung

kebudayaan dan kepribadiannya sehingga harus ada upaya memperbaiki mental kita, terutama kalangan pendidik.

Harapannya terhadap proses penilaian penerimaan siswa ada standarisasi yang jelas sebagaimana yang dikatakan oleh Udin yaitu:

Kalau bisa sekolah memiliki kesamaan-kesamaan sehingga tidak ada perbedaan ant ara sekolah sat u dengan sekolah lainnya. Misalnya, sekolah umum juga memiliki pelajaran agama yang cukup, bukan hanya justru jam agamanya lebih sedikit. (Udin, September 2014)

Kesimpulan

Secara umum persepsi masyarakat terhadap kualit as pelaksanaan program pendidikan dasar dan menengah yang menyangkut 8 aspek menyatakan masih jauh yang kita harapkan. Ada 65 % informan menyatakan kualitas pendidikan dasar dan menengah kita belum baik, sebab ada kesan yang sangat kuat bahwa sekolah-sekolah dasar dan menengah kita lebih mengedepankan dan t erlalu menjaga cit ranya. Akibat nya, sebenarnya banyak siswa yang mestinya tidak lulus harus lulus dengan berbagai cara yang ditempuh. Ini dilakukan karena pertimbangan beberapa hal: pertama, jika sekolah tersebut siswanya banyak tidak lulus akan mempengaruhi minat siswa baru untuk mendaftarkan diri disekolah tersebut. Mereka khawatir jangan-jangan besok juga tidak lulus seperti kakak-kakak kelasnya. Akhirnya pihak sekolah menjadi takut jika banyak siswanya tidak lulus; kedua, dengan prestasi kelulusan yang baik, maka berujung pada pendongkrakan uang sekolah bukan menjadi persoalan. Sebaliknya jika banyak siswanya tidak lulusan,pihak sekolah tidak leluasa untuk menarik uang tarikan.

Jika kita amati dari pendapat masyarakat baik masyarakat kelas atas, menengah dan kelas bawah bahwa mereka ingin anak-anaknya menjadi orang yang baik dengan masa depan yang terjamin namun harapan tersebut belum bisa terpenuhi dengan sistem pendidikan yang ada sekarang. Hal ini tentu dengan alasan yang logis terutama berkaitan dengan kenyataan; Pertama, kondisi kehidupan sosial kita sudah menunjukan kondisi yang memprihatinkan dengan beberapa yang telah terjadi seperti pergaulan bebas, narkoba, HIV/AIDS, tawuran dan sebagainya. Kedua, kompetisi hidup semakin berat sehingga sebenarnya sekolahpun juga belum memberikan jaminan 100 persen seorang itu bisa langsung dapat pekerjaan yang layak.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 2002. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, Algensindo Offset.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakart a: Rineka Cipta.

Depdiknas, 2000, Panduan manajemen Sekolah, Dikmenum: Jakarta.

Depart emen Pendidikan Nasional, 2008,

Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008: Buku 6 Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur pendidikan, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, Jakarta. Hamalik, Oemar. 2002. Pendekatan Baru

Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru Alegensindo. Irwanto. 2005. Mau ke Mana Pendidikan Dasar

Kita?, http://www.kompas.com. Diakses tanggal 20 Pebruari 2014.

Mar’at, 2010. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Ghalia Indonesia, Jakarta. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: CV Tamita Utama.

Ridwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian, Bandung: Alfabeta. Schacter, Daniel (2011). Psychology. Worth

Publishers.

(18)

Usman, Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, Yogyakarta.

https://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi.

h t t p : / / b e l a j a r p s i k o l o g i . c o m / p e n g e r t i a n -persepsi-menurut-ahli/.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian (Efendi, 2014)[6] yang berjudul Aplikasi Fuzzy Database Model Tahani Dalam Memberikan Rekomendasi Pembelian Rumah Berbasis Web Fuzzy Dalam penelitian ini,

[r]

Blitar, Risalah Nahdliyyah Membentengi Diri dari Doktrin dan Ajaran Wahabiyah, (Blitar: Aswaja Center PCNU Kab.. Al Qur‟an menjadi petunjuk ba gi manusia secara umum,

Diyah maftuhah (UIN Sunan Kalijaga: 2009) dalam sekripsinya yang berjudul Pelaksanaan Kurikulum Terpadu di Madrasah Tsanawiyah Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta. Hasil

Saat proses pemintalan peneliti membuat tali /benang dari rumput bundung dengan apanjang 20 cm kemuadian dipotong-potong dengan panjang empat cm untuk

Membuktikan bahwa MET dilakukan dalam kala waktu 2 jam sekali dengan 8 kali hitungan 5 – 10 pengulangan selama 4 hari selama perawatan di rumah sakitdan mobilisasi

Dari hasil pengujian, kebutuhan pengguna yang penulis analisis yaitu dibutuhkannya alat pendeteksi kebocoran gas dan asap yang apabila terjadi kebocoran gas dan kepulan asap

Sementara pada tahun 2002 dengan pertumbuhan net income negatif 77% sedangkan pertumbuhan total equity negatif 1,27% maka ROE tahun 2002 turun menjadi 3,21% seperti tampak