• Tidak ada hasil yang ditemukan

gambar asupan energi dan protein sserta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "gambar asupan energi dan protein sserta"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN SERTA MUTU KONSUMSI MAKANAN PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK

DI RSUD KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

Karya Tulis Ilmiah ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Mata Kuliah Karya Tulis Ilmiah II

Oleh :

Sofyan Wahyu Kumara NIM. 1003000101

KEMENTERIAAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN

SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI D III

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta kemudahan yang diberikan-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah II dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Konsumsi Makanan Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang” untuk memenuhi tugas mata kuliah Karya Tulis Ilmiah II.

Dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah II ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang telah memberikan izin tempat penelitian

2. Kepala Instalasi Gizi RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang telah membantu dalam penelitian ini

3. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,

4. I Dewa Nyoman Supariasa, MPS selaku Ketua Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,

5. Etik Sulistyowati, S.Gz, M.Kes selaku Ketua Penguji

6. Diniyah Kholidah, SST, S.Gz, MPH selaku Pembimbing Utama 7. Endang Widajati, SST,M.Kes selaku Pembimbing Pendamping

8. Tim dosen mata kuliah Karya Tulis Ilmiah Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang,

9. Pasien yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini

10. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan baik berupa material maupun immaterial.

11. Teman-teman serta semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.

Penyusun menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dapat membantu untuk perbaikan selanjutnya.

Malang, Agustus 2013

(4)

iv ABSTRAK

SOFYAN WAHYU KUMARA. 2013. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Serta Mutu Konsumsi Makanan Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Diploma III Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Pembimbing I : Endang Widajati, Pembimbing II : Etik Sulistyowati

Penyakit ginjal kronik merupakan perkembangan gangguan ginjal yang progresif dan lambat. Dalam hal ini, rata-rata pasien tidak dapat pulih atau tidak bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Tindakan pengobatan konservatif ditujukan untuk meredakan atau memperlambat progesifitas kerusakan ginjal. Pengaturan asupan protein, disamping asupan energi, memegang peranan utama dalam penanggulangan gizi atau nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik karena gejala-gejala sindrom uremik terutama disebabkan menumpuknya sisa katabolisme protein tubuh. Protein dengan nilai biologis yang tinggi diharapkan dapat mengurangi sisa metabolisme yang menyebabkan sindroma uremik pada pasein gagal ginjal kronik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi kasus yaitu menganalisis tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik. Mutu konsumsi makanan dianalisis dengan menggunakan NPU dan PER. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari kelima responden, seluruhnya memiliki diagnosis CKD dengan komplikasi yang menyertai. Seluruh responden memiliki status gizi kurang berdasarkan pengukuran LILA. Terapi diet yang diberikan rumah sakit berupa diet rendah protein II dengan nilai energi 2086 kkal dan 35 gram protein. Dari kelima responden, dua responden diberikan diet rendah protein dan rendah garam. Tingkat konsumsi energi tiga responden masuk dalam kategori sedang dan dua responden termasuk dalam kategori kurang. Untuk tingkat konsumsi protein, seluruh responden termasuk dalam kategori baik. Dari hasil perhitungan nilai NPU seluruh responden baik. Nilai PER seluruh responden diatas nilai yang dianjurkan yang berarti energi dari protein lebih besar digunakan daripada energi dari sumber karbohidrat. Dari penelitian ini disarankan kepada ahli gizi rumah sakit untuk memberikan motivasi kepada setiap pasien penyakit ginjal kronik untuk meningkatkan konsumsi makanan dan juga diharapkam untuk dapat menyajikan makanan yang lebih menarik agar pasien lebih menyukai makanan rumah sakit.

(5)

v DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Penyakit Ginjal Kronik ... 5

B. Terapi Diet Rumah Sakit ... 12

BAB III KERANGKA KONSEP ... 18

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

C. Metode Pengambilan Sampel ... 19

D. Definisi Operasional variabel ... 20

E. Instrumen penelitian... 21

F. Teknik Pengumpulan Data ... 21

G. Teknik Pengolahan... 23

H. Teknik Penyajian dan Analisis data ... 23

(6)

vi

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian... 24

B. Gambaran Umum Pasien ... 25

C. Terapi Diet yang Diberikan oleh Rumah Sakit ... 27

D. Tingkat Konsumsi Energi ... 28

E. Tingkat Konsumsi Protein ... 30

F. Mutu Konsumsi Makanan ... 32

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

A. Kesimpulan ... 36

B. Saran ... 36

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronis ... 6

Tabel 2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG ... 7

Tabel 3. Pola kebutuhan asam amino berdasarkan FAO / WHO (1973)... 16

Tabel 4 Mutu Cerna Berbagai Pangan Tunggal ... 17

Tabel 5. Definisi Operasional Variabel ... 20

Tabel 6. Kategori % LILA ... 23

Tabel 7. Nilai Energi dan Zat Gizi Diet Rendah Protein ... 24

Tabel 8. Identitas Pasien ... 25

Tabel 9. Status Gizi Responden ... 26

Tabel 10 Terapi Diet bagi Penyakit Ginjal Kronis ... 27

Tabel 11. Tingkat Konsumsi Energi ... 29

Tabel 12. Tingkat Konsumsi Protein ... 30

Tabel 13. Hasil Perhitungan NPU ... 32

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitan ... 40

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden ... 44

Lampiran 3. Madium LILA... 48

Lampiran 4. Master Tabel Penelitian ... 50

Lampiran 5. Form Comstok ... 52

Lampiran 6. Form Perhitungan Energi... 53

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik merupakan perkembangan gangguan ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun (Price, 2012). Setiap pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik biasanya dikarenakan faal ginjalnya rusak. Dalam hal ini, rata-rata pasien tidak dapat pulih atau tidak bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kerusakan pada faal ginjal ini disebabkan oleh berbagai macam hal (Sinaga, 2012)

Menurut Sibuea (2005), banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama menyebabkan destruksi nefron progresif. Penyebab penyakit ginjal kronik berasal dari berbagai penyakit diantranya penyakit metabolik (diabetes mellitus sebesar 34%, hipertensi sebesar 21%, penyakit peradangan (glomerulonefritis sebesar 17%), infeksi sebesar 3,4%, penyakit ginjal polikistik sebesar 3,4% (Price, 2012). Penyakit ginjal kronik, dapat tanggulangi dengan beberapa cara. Penanggulangan pada penyakit ginjal kronik tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu pengobatan konservatif dan pengobatan pengganti (Sinaga, 2012).

Tindakan pengobatan konservatif ditujukan untuk meredakan atau memperlambat progesifitas kerusakan ginjal. Terapi diet hanya bersifat membantu memperlambat progresifitas penyakit ginjal kronik. Pemberian suplemen seperti zat besi, asam folat, kalsium, dan vitamin D mungkin diperlukan (Hartono, 2006). Selain itu, makronutrient yang paling penting untuk diperhatikan adalah karbohidrat dan protein.

(10)

2

asupan energi, memegang peranan utama dalam penanggulangan gizi atau nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik karena gejala-gejala sindrom uremik terutama disebabkan menumpuknya sisa katabolisme protein tubuh (Sidabutar, 1992). Menurut Moore (1997), pasien yang tidak didialisa (orang dewasa) harus membatasi pemasukan protein mereka menjadi 0,6 g/kgBB. Protein sedikitnya harus mengandung 75% nilai biologis yang tinggi, karena protein dengan nilai biologis yang tinggi memiliki lebih banyak asam amino esensial. Jumlah protein total dan asam amino non esensial yang dibatasi menyebabkan pasien membentuk asam amino esensial sehingga menurunkan jumlah nitrogen yang harus diekskresiakan sebagai urea.

Pasien dengan penyakit ginjal kronik dianjurkan untuk mengkonsumsi protein dengan nilai biologis yang tinggi. Namun tidak banyak pasien yang mengetahui maksud pemberian protein dengan nilai biologis yang tinggi. Protein dengan nilai biologis yang tinggi diharapkan dapat mengurangi sisa metabolisme yang menyebabkan sindroma uremik pada pasein gagal ginjal kronik. Protein dengan nilai biologis yang tinggi merupakan protein dengan komposisi asam amino yang optimal seperti susu, telur, dan sumber protein hewani lain (Sidabutar, 1992). Protein dengan nilai biologis tinggi anjurkan 50% berasal dari asam amino yang mana dapat mencegah dekarbosilasi asam amino, mengalami konversi menjadi asam amino, dan meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen (Sari, 2012)

Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua factor yang menentukan nilai gizi suatu protein yaitu daya cerna atau nilai cernanya dan kandungan asam amino esensialnya. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu protein secara biologis salah satunya adalah NPU (Net Protein Utilization) (Muchtadi, 2010). NPU menunjukkan bagian protein yang dapat dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan protein yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1989).

(11)

3

Sedangkan BUN terutama dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein dalam tubuh (Prince, 2012). Menurut Sari (2012), hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme nitrogen, pada pasien penyakit ginjal kronis akan terjadi intoleransi protein ketika mengkonsumsi protein terlalu banyak.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Kanjuruhan Kabupaten Malang, penatalaksanaan diet pada pasien penyakit ginjal kronis diberikan diet rendah protein, rendah kalium dan rendah garam. Rumah Sakit Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang menggunakan diet rendah garam I, II, dan III tergantung kondisi pasien penyakit ginjal kronis. Namun, untuk penyakit ginjal kronis paling sering diberikan diet rendah protein II dengan komposis zat gizi energi sebesar 2086 kal, protein sebesar 35 g, lemak sebesar 70 g, dan karbohidrat sebesar 327 g, sedangkan standar diet untuk diet rendah protein adalah energi sebesar 1900 kal, protein sebesar 30 g, lemak sebesar 53,8 g, dan karbohidrat sebesar 328,5 g. Pada Rumah Sakit Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang, jumlah pasien peyakit gagal ginjal berkisar antara 5 – 10 orang dalam satu bulan.

Berdasarakan uraian pada latar belakang maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat konsumsi energi, dan protein serta mutu konsumsi makanan yang dikonsumsi oleh pasien penyakit ginjal kronis dengan metode NPU.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein serta mutu konsumsi pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

(12)

4

a. Mengetahui terapi diet pada pasien penyakit ginjal kronik yang diberikan oleh rumah sakit

b. Menghitung tingkat konsumsi enegi dan protein pasien penyakit ginjal kronis

c. Menghitung mutu konsumsi makanan berdasarkan NPU

D. Manfaat Penelitian a. Bagi peneliti

Memberikan pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah, serta digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi pada pasien penyakit ginjal kronik.

b. Bagi institusi

(13)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Pengertian

Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus yang ditandai dengan penurunan LFG (laju filtrasi glomerulus). Awal perjalanan penyakit ginjal kronik, keseimbangan cairan, penanganan natrium dan penimbunan produk sisa masih bervariasi dan tergantung bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun hingga 25% normal, manifestasi klinis penyakit ginjal kronis karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertropi dalam proses tersebut. Semakin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Bersamaan dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan penurunan fungsi ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat, dan bersama dengan kelebihan cairan,dapat menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).

2. Etiologi

(14)

6

Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronis No. Klasifikasi Penyakit Penyakit

1. Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik 2. Penyakit peradangan Glomerulonephritis 3. Penyakit vaskuler hipersensitif Nefroklerosis benigna

Nefroklerosis maligna Stenosis arteria renalis 4. Gangguan jaringan ikat Sistemik lupus eritematosus

Poliarteritis nodosa

Sclerosis sistemik progresif 5. Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik

Renal tubular asidosis 6. Penyakit metabolic Diabetes mellitus

Gout

Hiperparatiroidisme Amyloidosis

7. Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic Nefropati timah

8. Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas (kalkuli, neoplasma, fibrosis retroperitoneal)

Traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat striktura uretra, kelainan kongenital kandung kemih dan uretra)

Sumber : Prince, 2012

(15)

7

(pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik (PKD) masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD (Prince, 2012).

3. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit ginjal kronik bisa didasarkan atas dua penialaian laboratoris yaitu dengan LFG (laju filtrasi glomerulus) dan juga Tes Klirens Kreatinin (TKK). Berdasarkan NKF/KDOQI tahap penyakit ginjal kronik dibagi sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG (laju filtrasi glomerulus)

Derajat Penjelasan GFR (mL/mnt/1,73 m2) 1 Kerusakan ginjal atau normal

dengan LGF meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal ringan dengan LGF menurun

60-89

3 Kerusakan ginjal sedang dengan LGF menurun

30-59

4 Kerusakan ginjal berat dengan LGF menurun

15-29

5 Gagal ginjal < 15

4. Tanda dan Gejala

Penyakit ginjal kronik memiliki berbagai tanda dan gejala yang diderita oleh pasien. Gejala secara umum disebut sindrom uremik, gejala utamanya adalah gejala gastro intestinal seperti rasa mual, muntah, dan menurunnya nafsu makan (Kowalak, 2011). Selain gejala tersebut terdapat tanda dan gejala lain yaitu diantara yaitu :

- Hypervolemia akibat retensi natrium

- Hipokalsemia dan hyperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit - Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogen

- Asidosis metabolic akibat kehilangan bikarbonat

(16)

8

- Neuropati perifer akibat penumpukan zat zat toksik - Mulut yang kering, keadaan mudah lelah, dan mual akibat

hiponatremia

- Hipotensi akibat kehilangan natrium

- Perubahan status kesadaran akibat hiponatremia dan penumpukan zat – zat toksik

- Frekuensi jantung yang tidak regular akibat hyperkalemia - Hipertensi akibat kelebihan muatan cairan

- Luka luka pada gusi dan pendarahan akibat koagulopati

- Kulit berwarna kuning tembaga akibat perubahan proses metabolic - Kulit yang kering serta bersisik dan rasa gatal yang menghebat akibat

uremic frost

- Kram otot dan kedutan (twitching) yang meliputi iritabilitas jantung akibat hyperkalemia

- Pernafasan Kussmaul akibat asidosis metabolic

- Infertilitas, penurunan libido, amenore, dan impotensi akibat gangguan endokrin

- Pendarahan GI, hemoragi, dan keadaan mudah memar akibat trombositopenia dan defek trombosit

- Infeksi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas makrofag. (Kowalak, 2011)

Upaya yang harus dilakukan dalam mendiagnosis penyakit ginjal kronik biasanya tidaklah sulit. Langkah yang harus dilakukan pada diagnosis ini adalah anamnesis yang sangat teliti, pemeriksaan diagnosis khusus, serta pemeriksaan fisik, yang digunakan untuk menentukan tahapan dan penyebab dari penyakit ini (Sinaga, 2012). Berikut acuan utama yang dapat digunakan agar dapat mencapai diagnosis :

1. Keluhan umum

a. Kencing : polyuria / olgoria dan nokturia b. Dermatologik : gatal

(17)

9

e. Kardiovaskuler : edema, nyeri, dan sesak nafas

f. Neuromuskuler : kejang, twitching, rasa tebal, insomnia, kerusakan konsentrasi, dan perubahan kepribadian.

2. Gejala umum

a. Dermatologik : pucat, hiperpigmentasi, patekei, dan skoriasi b. Kardiovaskuler : hipertensi, kardiomegali, friksi perikard, dan

edema

c. Neuromuskular : neropati perifer, mengantuk, dan twitching d. Lain – lain : bau nafas uremik

3. Pemeriksaan khusus laboratorium a. Azotemia

j. Ginjal ciut (Sinaga, 2012)

5. Patofisiologis

Penyakit ginjal kronik sering berlangsung progresif melalui empat stadium. Penurunan cadangan ginjal memperlihatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 35 % hingga 50 % laju filtrasi normal. Insufisiensi renal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 35% laju filtrasi normal. Gagal ginjal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 25% laju filtrasi normal, sementara penyakit ginjal stadium - terminal (end – stage renal disease) memiliki laju filtrasi glomerulus kurang dari 20% laju filtrasi normal (Kowalak, 2011)

(18)

10

berlanjut meskipun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal tidaklah berubah, walaupun jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Selanjutnya nefron yang masih normal akan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. Selanjutnya, jika sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dipertahankan (Prince, 2012).

Selain itu juga terdapat penjelasan terbaru mengenai penyakit ginjal kronik tanpa penyakit ginjal primer yang aktif adalah dugaan hiperfiltrasi. Menurut teori hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFR serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus (Prince, 2012).

Patogenesis penyakit ginjal kronik sebagian besar berasal dari kombinasi efek toksik yaitu tertahannya produk-produk yang normalnya diekskresikan oleh ginjal, produk normal seperti hormone yang terdapat dalam jumlah lebih banyak, dan berkurangnya produk normal ginjal. Kegagalan ekskresi yang terjadi menyebabkan pergeseran cairan, berupa peningkatan Na intrasel dan air serta penurunan K intrasel. Perubahan ini mungkin ikut berperan menyebabkan perubahan samar pada fungsi beragam enzim, system transport, dan sebagainya (Ganong, 2010)

(19)

11 6. Komplikasi

Sama seperti penyakit menahun lainnya, penyakit penyakit ginjal kronik juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang sering lebih berbahaya, komplikasi yang seringkali ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik adalah anemia, osteodistrofi ginjal, gagal jantung, dan disfungsi ereksi (impotensi) (Alam, 2007).

1. Gangguan Hematoligik

Pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik menunjukkan kelainan mencolok pada jumlah sel darah merah, fungsi sel darah putih, dan parameter-parameter pembekuan darah. Anemia normokrom normositer sering kali ditemukan (Ganong, 2010). Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan pada produksi hormone eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Gangguan tersebut mengakibatkan, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan (Alam, 2007)

2. Osteodistrofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Apabila kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal, pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan (Alam, 2007)

3. Gangguan kardiovaskuler (Gagal jantung)

(20)

12

mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sidroma kardiorenal) (Alam, 2007). Peningkatan resiko kardiovaskuler adalah penyulit yang dijumpai pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan tetap menjadi penyebab utama mortalitas pada populasi ini. Gangguan ini menimbulkan infark myocardium, stroke, dan penyakit vaskuler perifer. Faktor resiko kardiovaskuler pada pasien ini mencangkup hipertensi, hyperlipidemia, intoleransi glukosa, peningkatan curah jantung kronik, serta kalsifikasi katup dan miokardium akibat produk kalsium dan fosfat (Ganong, 2010)

4. Disfungsi ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan system endokrin (yang memproduksi hormone testosteron) untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita penyakit ginjal kronik juga mengalami perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria pasien penyakit ginjal kronik adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal (Alam, 2007).

B. Terapi Diet Rumah Sakit 1. Kebutuhan Energi

(21)

13

bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (WNPG, 2004).

Kebanyakan penderita gagal ginjal kronis menunjukkan kekurangan gizi. Hali ini disebabkan oleh berbagai faktor katabolisme dan kurangnya asupan energi. Kebutuhan terhadap energi diusahankan diperoleh dari karbohidrat kurang lebih 60% dan dari asupan lemak sebesar 30% dari total energi (Sidabutar, 1992).

Menurut Almatsier (2006), pada orang dewasa energi yang diberikan yaitu adalah 35-40 kkal/kgBB/hari. Pemberian energi cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena ini tidak saja mengurangi kemampuan jaringan, tetapi juga pelepasan nitrogen yang harus dikeluarkan melalui ginjal (Moore, 1997).

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang, pasien penyakit ginjal kronik mendapat asupan energi sesuai standar rumah sakit yaitu 2086 kkal. Pemberian energi ini juga memperhitungkan komplikasi penyakit yang diderita.

Kriteria untuk menilai tingkat konsumsi energi berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi:

Baik : > 80 % Sedang : 51 > 80 % Kurang : ≤ 50 %

Adapun cara untuk menilai tingkat konsumsi energi menurut Supariasa (2012) yaitu :

Tingkat konsumsi energi : Konsumsi energi

X 100% Kebutuhan energi

2. Kebutuhan Protein

(22)

14

utamanya bagi tubuh adalah membentuk jaringan baru, di samping memelihara jaringan yang telah ada (Muchtadi, 2010).

Pembatasan konsumsi protein pada pasien gagal ginjal kronis sangat penting sekali. Pembatas protein tidak hanya mengurangi kadar ureum tetapi juga mengurangi asupan kalium, dan fosfat yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal (Prince, 2012).

Menurut Almatsier (2006), syarat diet untuk pasein gagal ginjal kronis yaitu protein rendah sebesar 0,6-0,7 g/kgBB dan sebgaian harus bernilai biologis tinggi. Kebutuhan gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis sangat bergantung pada keadaan dan berat badan perorangan, maka jumlah protein yang diberikan dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari pada standar. Selain itu, mutu protein dapat ditingkatkan dengan memberikan asam amino esensial murni.

Fungsi protein sesungguhnya sebagai zat pembangun tubuh karena protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru yang selalu terjadi didalam tubuh.

Kriteria untuk menilai tingkat konsumsi protein berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi :

Baik : > 80 % Sedang : 51 > 80 % Kurang : ≤ 50 %

Adapun cara untuk menilai tingkat konsumsi protein menurut Supariasa (2012) yaitu :

Tingkat konsumsi protein : Konsumsi protein

X 100% Kebutuhan protein

(23)

15

Selain kebutuhan protein yang harus disesuaikan dengan kebutuhan individu perlu diperhtikan juga mengenai nilai mutu protein yang diberikan kepada pasien

Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk disintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein yaitu daya cerna atau nilai cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Suatu protein dikatakan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam-asam amino esensial yang susunannya lengkap serta komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh serta asam-asam amino tersebut dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 2010).

Menurut Sidabutar (1992) dari 0,56 g/kgBB/hari hendaknya diusahakan sekurang-kurangnya 60% atau 0,35 g/kgBB/hari berupa protein dengan nilai biologis tinggi. Protein dengan nilai biologis tinggi mempunyai kadar asam amino esensial optimal. Karena asam amino esensial tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, maka asam amino esensial ini perlu diberikan dari luar melalui makanan.

Skor asam amino (SAA) merupakan cara teoritis yang umum digunakan untuk menghampiri nilai biologis (biological value) dari protein yang dikonsumsi. SAA menunjukkan bagian (proporsi) asam amino esensial yang dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan dengan yang diserap. Untuk menghitung SAA ini diperlukan data dasar tentang kandungan asam amino esensial dari beragam pangan dan pola kecukupan asam amino esensial seseorang (Hardinsyah, 1989)

(24)

16

Tabel 3. Pola kebutuhan asam amino berdasarkan estimasi dan pola referensi asam amino yang direkomendasikan oleh FAO / WHO (1973)

Asam amino esensial

Pola kebutuhan asam amino

Referensi

Sumber : Heckler (1977) dalam Muchtadi (2010)

Skor untuk masing-masing asam amino esensial dinyatakan sebagai persentase konsentrasi yang terdapat dalam protein standar, menggunakan rumus seperti dibawah ini :

Skor asam amino = Jumlah AAE dalam protein sampel X 100 Jumlah AAE dalam protein standar

Menurut Hardinsyah (1989) skor asam amino yang baik adalah skor asam amino yang dapat diserap tubuh secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan contoh bahwa skor asam amino pada bahan makanan yang telah dihitung menunjukkan nilai 80 dengan asam amino pembatas lisin berarti asam amino tersebut telah dapat diserap oleh tubuh sebesar 80 persen

(25)

17

Tabel 4. Mutu Cerna Berbagai Pangan Tunggal

No. Jenis Pangan Mutu Cerna

1 Beras 90

2 Terigu 96

3 Jagung 82

4 Umbi-umbian 76

5 Tepung umbi-umbian 86

6 Ikan 97

7 Daging 97

8 Telur dan susu 100

9 Tempe 90

10 Kedelai (kacang-kacangan) 82 11 Tepung kedelai (tepung kacang-kacangan) 90

12 Sayuran 67

13 Buah-buahan 88

Sumber : Hardinsyah (1989)

NPU teoritis menunjukkan bagian protein yang dapat dimafaatkan tubuh dibandingkan protein yang dikonsumsi. Berikut hubungan skor asam amino dan mutu cerna dalam penentuan NPU Teoritis menurut Hardinsyah (1989) :

NPU Teoritis = SAA x C 100

(26)

18 BAB III

KERANGKA KONSEP

Keterangan :

--- : Tidak diteliti __________ : Diteliti

Karakteristik pasien penyakit ginjal kronik berbeda-beda demikian juga dengan terapi diet dan terapi medis yang berbeda pula sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal yang dialami dan juga komplikasi yang diderita. Dengan perbedaan tersebut akan berpengaruh pada tingkat konsumsi energi dan protein setiap pasien. Protein yang memberikan pengaruh besar pada penyakit ini akan dinilai mutu konsumsi makanan dengan metode NPU. Diharapkan dengan tingkat konsumsi energi, protein baik dan mutu konsumsi makanan baik akan memberikan dampak pada berkurangnya kerusakan ginjal.

Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Karakteristik Pasien Terapi Medis Terapi Diet

Tingkat konsumsi energi Tingkat konsumsi protein

Mutu Protein

(27)

19 BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi kasus yaitu menganalisis tingkat konsumsi energi, protein dan mutu konsumsi makanan pada pasien penyakit ginjal kronik.

B. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelas III Ruang Rawat Inap Imam Bonjol RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 1 bulan yaitu pada bulan Juli 2013

C. Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penyakit ginjal kronik

2. Sampel

Sampel yang dipilih adalah pasien yang memenuhi kriteria sebagai berikut a. Pasien menderita penyakit ginjal kronis tanpa hemodialisis tanpa atau

dengan komplikasi

b. Pasien dengan usia dewasa (18-60 tahun)

c. Pasien berjenis kelamin laki-laki atau perempuan d. Pasien bersedia untuk menjadi responden

e. Pasien mendapat diet rendah protein I, II maupun III 3. Teknik pengambilan sampel

(28)

20 4. Besar sampel

Responden pada penelitian ini sebanyak 5 orang yang telah memenuhi kriteria.

D. Definisi Operasional variabel Tabel 5. Definisi Operasional Variabel

Variabel

Peneliti Definisi Kategori Cara ukur

(29)

21 Variabel

Peneliti Definisi Kategori Cara ukur

Skala

Dalam penelitian ini, alat dan bahan yang digunakan yaitu:

1) Form kesediaan pasien untuk menjadi sampel dalam penelitian 2) Form karakteristik pasien

3) Alat tulis menulis dan alat hitung (kalkulator) 4) Form Comstock

5) Form perhitungan energi dan protein 6) Tabel penentuan SAA konsumsi pangan 7) TKPI (Tabel Komposisi Pangan Indonesia) 8) DKAA (Daftar Komposisi Asam Amino) 9) Komputer (Software Nutrysurvey)

F. Teknik Pengumpulan Data

(30)

22

a. Data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, dan diagnosis medis diperoleh dengan wawancara dan observasi rekam medik pasien dan juga melihat data laboratorium.

b. Data status gizi pasien diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas (LILA) dan tinggi lutut. Selanjutnya dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

% LILA = Hasil Pengukuran (cm) X 100% Nilai Medium

2. Data tingkat konsumsi energi dan protein diperoleh dengan cara :

a. Mengamati asupan energi dan protein pasien dengan metode comstock yaitu melihat sisa makanan yang dikonsumsi pasien

b. Menghitung kebutuhan energi dan protein pada setiap pasien penyakit ginjal kronik

Perhitungan kebutuhan energi dan protein pasien ditentukan dengan cara menghitung berat badan pasien berdasarkan berat badan ideal pasien kemudian dikalikan dengan standar energi dan protein yang diberikan rumah sakit.

c. Membandingkan antara asupan energi dan protein rata-rata selama 3 hari dengan kebutuhan energi dan protein dikalikan 100%. Sesuai rumus menurut Supariasa (2012) yaitu :

Tingkat konsumsi energi dan protein =

Konsumsi energi dan protein

x 100 % Kebutuhan energi dan protein

3. Data mutu protein diperoleh dengan cara :

a. Menghitung konsumsi protein setiap jenis bahan makanan yang dikonsumsi

b. Menghitung konsumsi asam amino berdasarkan DKAA

c. Menghitung konsumsi asam amino dalam satuan mg asam amino per gram protein

d. Membandingkan masing-masing asam amino dengan asam amino standar

(31)

23

f. Mengkalikan nilai mutu cerna dengan skor asam amino terkecil

G. Teknik Pengolahan

1. Data hasil perhitungan status gizi berdasarkan LILA yang telah didapatkan dapat dikategorikan sesuai pada tabel berikut :

Tabel 6. Kategori % LILA

Kategori %LILA

Gizi obesitas >120 %

Gizi overweight 110 - 120 %

Gizi normal 90 – 110 %

Gizi kurang 60 – 90 %

Gizi buruk < 60 %

2. Data tingkat konsumsi energi dan protein yang telah dihitung dikategorikan dengan standar tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein berdasarkan Gibson (2005) dengan modifikasi :

Baik : > 80 % Sedang : 51 - 80 % Kurang : ≤ 50 %

3. Data mutu konsumsi makanan dihitung dengan metode NPU. Data diolah dengan menggunakan tabel penentuan skor asam amino konsumsi pangan yang terdapat pada lampiran 3 yang selanjutnya dilakukan penghitungan mutu cerna dan NPU. Dari hasil penghitungan didapatkan nilai NPU yang mana menurut Hardinsyah (1989) nilai NPU yang baik harus > 100

4. Data nilai PER (Protein Energy Ratio) diolah dengan cara menghitung PST (Protein Setara Telur) yang selanjutnya dikalikan dengan 4 dibandingkan dengan total konsumsi energi dikalikan 100

H. Teknik Penyajian dan Analisis data

(32)

24 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang terletak di Jalan Panji nomor 100 Kepanjen Kabupaten Malang, rumah sakit tipe B ini memiliki jumlah tempat tidur 201. Salah satu pelayanan yang ada di rumah sakit ini yaitu instalasi gizi dimana instalasi gizi RSUD Kanjuruhan memiliki 4 kegiatan utama. Pertama pengadaan makanan (kegiatannya meliputi perencanaan, pemesanan, penerimaan, prsiapan, pengolahan, penyajian, sampai dengan distribusi makanan sampai ruang perawatan), pelayanan gizi ruang rawat inap (yaitu pelaksanaan asuhan nutrisi untuk pasien rawat inap dengan kasus-kasus tertentu), pengembangan dan penelitian gizi terapan (kegiatan ini akan dilaksanakan bila tenaga dan waktu memnungkinkan), dan yang terakhir yaitu konsultasi, penyuluhan dan rujukan gizi diman kegiatan yang memberikan konsultasi gizi khususnya bagi pasien yang berobat jalan.

Salah satu kegiatan pelayanan gizi ruang rawat inap yaitu memberikan terapi diet bagi pasien yang menjalani rawat inap dimana salah satunya memberikan pelayanan terapi diet bagi penyakit ginjal kronik. Terapi diet yang diberikan berupa memberikan makanan yang menunjang kesembuhan penyakit. Di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang memiliki tiga standar diet bagi pasien penyakit ginjal kronik, yang disajikan pada tabel berikut :

Tabel 7. Nilai Energi dan Zat Gizi Diet Rendah Protein

No. Jenis Diet Energi (kkal) Protein (gr)

1. Diet Rendah Protein I 1729 30

2. Diet Rendah Protein II 2086 35

3. Diet Rendah Protein III 2265 42

(33)

25

penyerta tersebut seperti diet RG (Rendah Garam) bagi pasien dengan komplikasi hipertensi dan gangguan jantung.

B. Gambaran Umum Pasien 1. Identitas Pasien

Penelitian ini dilakukan observasi tentang identitas pasien yang meliputi nama, jenis kelamin, usia, dan diagnosis medis dengan melihat rekam medis masing-masing responden. Pasien yang diteliti merupakan pasien yang berusia dewasa menjalani diet rendah protein, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dengan atau tanpa komplikasi dan bersedia menjadi responden. Berikut data gambaran umum identitas pasien yang disajikan pada tabel 8 sebagai berikut :

Tabel 8. Identitas Pasien

No. Kode Responden

Jenis

Kelamin Usia (tahun) Diagnosis

1. A P 32 CKD + PP

2. B L 58 CKD + HT

3. C L 55 CKD + Hepatomegali

4. D P 51 CKD + Hepatitis

5. E P 39 CKD + DC

Keterangan : CKD = Chronic Kidney Disease PP = Post Partum

HT = Hipertensi

DC = Decompesasio Cordis

(34)

26

menurun terjadi pada usia dewasa yang mana akan berhubungan juga dengan komplikasi yang dialami.

Berdasarkan hasil data yang diperoleh, seluruh responden memiliki komplikasi pada penyakit yang diderita. Penyakit ginjal kronik juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang sering lebih berbahaya (Alam, 2007).

2. Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi dapat diperoleh secara langsung atupun tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung yaitu salah satunya dengan antropometri (Supariasa, 2012). Tujuan pengukuran status gizi di rumah sakit adalah untuk menentukan secara akurat status gizi pasien, menentukan tanda-tanda klinis yang berhubungan dengan malnutrisi, dan untuk memonitor perubahan status gizi selama mendapat asuhan gizi di rumah sakit (Supariasa, 2012). Penelitian ini menggunakan penilaian status gizi secara langsung, yaitu menggunakan parameter lingkar lengan atas responden yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai median. Selain lingkar lengan atas, juga menggunakan parameter tinggi lutut yang digunakan untuk mengetahui tinggi badan estimasi responden. Dari hasil tinggi badan estimasi dihitung berat badan ideal responden. Tinggi badan estimasi dan berat badan ideal dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi responden. Adapun kriteria status gizi berdasarkan LILA yang digunakan menurut Jelliffe adalah obesitas, overweight, baik, kurang, dan buruk. Data status gizi responden disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Status Gizi Responden

(35)

27

Berdasarkan tabel diatas, seluruh reponden masuk dalam kategori status gizi kurang. Sedangkan untuk hasil pengukuran tinggi lutut, tinggi badan estimasi responden berkisar antara 152-166 cm. Status gizi yang kurang pada seluruh responden merupakan salah satu akibat dari kurangnya konsumsi makanan. Dalam penelitian Kresnawan (2010), pasien dengan konsumsi makanan yang berkurang beresiko 4,8 sampai dengan 11,61 kali untuk menjadi kurang gizi dibanding dengan pasien dengan konsumsi makanannya baik.

Menurut Sidabutar (1992), masalah-masalah yang timbul pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu kesulitan dalam mempertahankan gizi yang adekuat sehingga diperlukan pengawasan dalam konsumsi makanan.

C. Terapi Diet yang Diberikan oleh Rumah Sakit

Terapi diet merupakan preskripsi atau terapi yang memanfaatkan diet yang berbeda dengan diet orang normal untuk mempercepat kesembuhan dan memperbaiki status gizi (Hartono, 2006). Terapi diet yang diberikan dari Rumah Sakit terdiri dari jenis diet, bentuk makanan, jumlah energi dan zat gizi (protein). Setiap pasien mendapat jenis diet yang sesuai dengan penyakit dan komplikasi yang sesuai, jenis diet yang diberikan adalah diet rendah protein dengan rendah garam untuk pasien dengan komplikasi hipertensi dan gangguan jantung. Bentuk makanan yang diberikan oleh rumah sakit berupa makanan biasa dengan nilai kandungan gizi sesuai dengan standar rumah sakit. Berikut terapi diet yang diberikan oleh rumah sakit disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Terapi Diet bagi Penyakit Ginjal Kronis

No. Kode

Responden Jenis Diet

(36)

28

Tabel 10 menunjukkan bahwa jenis diet, bentuk makanan, dan jumlah energi dan protein yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yaitu diet rendah protein. Seluruh responden mendapat diet rendah protein II dengan jumlah energi dan protein yang sama yaitu 2086 kkal dan 35 gram. Seluruh responden mendapat diet dengan bentuk makanan biasa dimana kondisi pasien yang masih stabil. Pemberian diet ini juga memperhatikan komplikasi yang dialami oleh responden. Dimana responden B dan responden E mendapat diet rendah protein II dan diet RG. Diet RG diberikan karena responden A mengalami komplikasi Hipertensi dan responden E mengalami komplikasi gangguan jantung (decompensasio cordis).

Jumlah energi dan protein yang digunakan RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang bagi pasien penyakit ginjal kronis sebesar 35 kkal/kgBB dan 0,75 gram/kgBB. Menurut Almatsier (2010), syarat diet bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu sebesar 35 kkal/kg BB energi dan 0,6 – 0,75 g/kg BB protein.

Secara umum tujuan dari penatalaksanaan gizi bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu menyediakan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit, kebiasaan makanan serta kemampuan pasien untuk menerimanya, mengupayakan perubahan sikap serta perilaku sehat terhadap makanan bagi pasien dan keluarganya, mencapai keadaan gizi yang optimal untuk mempercepat penyembuhan (Sidabutar, 1992). Secara khusus, penatalaksanaan gizi pada pasien penyakit ginjal kronik bertujuan untuk menurunkan produksi sampah yang harus diekskresikan oleh ginjal dan menghindari ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang tidak didialisis, langkah-langkah pengaturan makanan merupakan tujuan yang umum dipakai untuk menunda dialisis (Moore, 1997).

D. Tingkat Konsumsi Energi

(37)

29

terhadap energi dalam persentase. Hasil pengamatan terhadap sisa makan pasien, diperoleh rata-rata tingkat konsumsi energi selama 3 hari. Rata-rata tingkat konsumsi energi secara terperinci pada tabel 11.

Tabel 11. Tingkat Konsumsi Energi

No. Kode

Menurut data yang diperoleh diatas, kebutuhan energi responden berkisar antara 1840 kkal hingga 2200 kkal. Perhitungan kebutuhan energi responden menurut standar yang digunakan rumah sakit sebesar 35 kkal/kgBB. Selanjutnya, untuk rata-rata konsumsi energi responden berkisar antara 754 kkal hingga 1634 kkal.

Selanjutnya, hasil penghitungan tingkat konsumsi energi responden, seluruh responden tidak termasuk dalam kategori tingkat konsumsi baik. Dua dari lima responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi kurang dan tiga responden lain termasuk dalam kategori sedang.

Setelah dilakukan wawancara terhadap kelima responden, seluruhnya memiliki gangguan pada gastrointestinal seperti mual dan muntah. Selain adanya gangguan tersebut, secara umum responden mengalami penurunan nafsu makan yang menyebabkan pasien tidak mau makan. Gangguan-gangguan tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap status gizi pasien. Upaya yang dilakukan untuk mencegah penurunan status gizi pada pasien penyakit ginjal kronik maka diperlukan penatalaksanaan konsumsi energi yang tepat dan juga adanya motivasi dari ahli gizi maupun keluarga.

(38)

30

disebut sindrom uremik. Gejala-gejala sindrom uremik ini terutama disebabkan penumpukan sisa-sisa katabolisme protein dalam tubuh. Sindrom uremik dapat terlihat pada gejala gastrointestinal berupa rasa mual, mutah dan kehilangan nafsu makan (Sidabutar, 1992)

Kebanyakan penderita gagal ginjal kronik memiliki status gizi kurang. Hali ini disebabkan oleh berbagai faktor katabolisme dan kurangnya asupan energi. Kebutuhan terhadap energi diusahankan diperoleh dari karbohidrat kurang lebih 60% dan dari asupan lemak sebesar 30% dari total energi (Sidabutar, 1992).

Energi untuk orang dewasa yang diperbolehkan adalah 35-40 kkal/kgBB/hari. Pemberian energi cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena ini tidak saja mengurangi kemampuan jaringan, tetapi juga pelepasan nitrogen yang harus dikeluarkan melalui ginjal (Moore, 1997). Konsumsi energi harus ditentukan pada tingkat yang bisa mencegah pemecahan lean tissue (protein) untuk memenuhi kebutuhsn enrgi. Jika energi dari makanan yang dikonsumsi tidak cukup, tubuh cenderung akan menggunakan simpanan protein dalam otot untuk menghasilkan energi (Hartono, 2006).

Tubuh perlu mengkonsumsi makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi yang seimbang untuk mencapai serta memelihara kesehatan dan status gizi optimal. Bila tubuh dapat mencerna, mengabsorbsi dan memetabolisme zat gizi tersebut secara baik, maka akan tercapai keadaan gizi yang seimbang. Tetapi dalam keadaan sakit, melalui modifikasi diet diupayakan agar gizi seimbang tetap bisa dicapai (Almatsier, 2010).

E. Tingkat Konsumsi Protein

Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2002). Setelah dilakukan pengamatan terhadap sisa makanan pasien maka didapatkan rata-rata konsumsi protein selama 3 hari. Rata-rata asupan protein ditunjukkan dalam tabel 12.

(39)

31

Berdasarkan data dari tabel diatas, tingkat konsumsi diperoleh dari perbandingan antara rata-rata konsumsi protein dengan kebutuhan protein dalam persentase. Konsumsi protein yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pasien penyakit ginjal kronik untuk mengurangi metabolisme dari protein yang dapat memperburuk keadaan ginjal.

Berdasarkan data yang diperoleh, kebutuhan protein responden berkisar antara 33,38 gr hingga 45,15 gr. Kebutuhan protein tersebut sesuai dengan standar rumah sakit, sebesar 0,75 gr/kg BB. Sedangkan untuk rata-rata konsumsi protein responden berkisar antara 30,6 gr hingga 41,97 gr. Sehinggan seluruh responden termasuk dalam kategori baik. Menurut Almatsier (2010), syarat diet bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu protein rendah, sebesar 0,6-0,75 g/kgBB dan sebagian bernilai bioligis tinggi.

Menurut hasil wawancara, responden lebih memilih mengkonsumsi lauk hewani dari pada sumber karbohidrat. Beberapa responden menyatakan lebih menyukai lauk hewani dan kurang menyukai sayur dan nasi yang disediakan oleh rumah sakit. Seperti responden B dan responden C, kedua responden tersebut mengungkapkan bahwa lauk hewani yang disediakan oleh rumah sakit lebih disukai. Sedangkan untuk sayur dan nasi kurang disukai karena kurang menarik.

(40)

32

Berdasarkan tabel seluruh responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi baik yang berarti bahwa kebutuhan protein responden telah terpenuhi oleh makanan yang disajikan oleh rumah sakit. Pemberian diet rendah protein II yang memiliki jumlah protein 35 gram, telah memenuhi kebutuhan responden. Kebutuhan gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis sangat bergantung pada keadaan dan berat badan perorangan, maka jumlah protein yang diberikan dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari pada standar (Almatsier, 2006).

F. Mutu Konsumsi Makanan

Mutu konsumsi makanan dalam penelitian ini dinilai dengan NPU (Net Protein Utilization). NPU merupakan bagian dari protein yang dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan protein yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penghitungan NPU pada konsumsi responden didapatkan hasil sesuai pada tabel 13.

Tabel 13. Hasil Perhitungan NPU

No. Kode Responden Rata-Rata NPU Kriteria

1. A 174,60 Baik

2. B 155,43 Baik

3. C 154,14 Baik

4. D 162,18 Baik

5. E 160,92 Baik

Berdasarkan hasil perhitungan NPU pada asupan makanan responden didapatkan bahwa seluruh responden memiliki nilai NPU lebih dari 100 yang berarti masuk dalam kategori baik. Nilai NPU yang berbeda-beda dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya siklus menu rumah sakit dan penggunaan bahan makanan yang berbeda.

(41)

33

Bagi pasien penyakit ginjal kronik, nilai NPU yang tinggi menunjukkan bahwa konsumsi makanan rumah sakit yang disediakan telah dikonsumsi dengan baik. Selain itu juga makanan yang disediakan rumah sakit telah memenuhi nilai NPU minimal yang dianjurkan.

Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk disintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein yaitu daya cerna atau nilai cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Suatu protein dikatakan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam-asam amino esensial yang susunannya lengkap serta komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh serta asam-asam amino tersebut dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 2010).

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan hasil bahwa terdapat tiga responden yang memiliki tingkat konsumsi energi need improvement dan juga responden tersebut memilki tingkat konsumsi protein good diet serta nilai NPU yang masuk kategori baik. Untuk responden yang lain, memiliki tingakat konsumsi energi poor diet, sedangkan tingkat konsumsi proteinnya termasuk dalam kategori good diet serta nilai NPU yang termasuk dalam kategori baik.

Tabel 14. Nilai PER

No. Kode Respoden Rata – Rata PER Nilai PER yang dianjurkan

1. A 26.28 7.9

2. B 26.42 7.0

3. C 23.85 7.0

4. D 42.18 7.9

5. E 24.02 7.9

(42)

34

Nilai PER merupakan perbandingan energi dari protein senilai telur (PST) terhadap total energi yang dikonsumsi dalam sehari (Hardinsyah, 1989). Hal ini berarti setiap responden menggunakan energi dari protein sebagai pemenuhan kebutuhan energi saat kebutuhan dari energi tidak mencukupi. Bagi pasien ginjal kronik, kebutuhan energi yang kurang akan memanfaatkan energi dari protein sehingga akan meningkatkan sisa metabolisme yang banyak. Dari nilai PER ini dapat dilihat bahwa seluruh responden memiliki nilai PER yang diatas yang dianjurkan, sehingga seluruh pasien menggunakan energi dari protein lebih besar dari pada dari sumber enrgi yang lain. Hasil konsumsi protein responden akan menghasilkan sisa metabolisme yang tinggi jika energi yang dikonsumsi tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan tingkat konsumsi protein responden yang seluruhnya termasuk dalam kategori baik, dan tingkat konsumsi energi responden dalam kategori kurang dan sedang.

Setiap pasien penyakit ginjal kronik harus menghindari konsumsi protein yang berlebihan dan kurang mengkonsumsi energi karena akan meningkatkan progresivitas kerusakan ginjal. Sehingga setiap pasien penyakit ginjal kronik menigkatkan asupan energi sesuai kebutuhan dan mengkonsumsi protein sesuai yang kebutuhan pula agar tidak ada pemecahan energi dari protein

(43)

35

(44)

36 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Terapi diet yang diberikan oleh rumah sakit kepada seluruh responden adalah diet rendah protein II dengan nilai energi 2086 kkal dan protein 35 gram. Terdapat 2 responden yang diberikan diet rendah garam karena disertai komplikasi.

2. Tingkat konsumsi energi seluruh responden termasuk dalam kategori kurang namun tingkat konsumsi protein responden termasuk dalam kategori baik

3. Mutu konsumsi makanan responden didapatkan hasil bahwa nilai NPU responden termasuk dalam kategori baik namun berdasarkan penghitungan nilai PER (Protein Energy Ratio) seluruh responden menggunakan energi dari protein diatas angka yang dianjurkan.

B. Saran

1. Disarankan kepada ahli gizi rumah sakit untuk memberikan motivasi kepada pasien untuk meningkatkan konsumsi makanan demi penurunan progresivitas kerusakan ginjal.

(45)

37 Daftar Pustaka

Alam, Syamsir, dkk. 2007. Gagal Ginjal : Informasi LengkapUntuk Penderita dan Keluarga. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Almatsier, Sunita. 2002. Ilmu Gizi Dasar. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Almatsier, Sunita. 2010. Penuntun Diet. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Chadijah, Siti. 2011. Perbedaan Status Gizi Ureum dan Kreatinin Pada Pasien gagal Ginjal Kronik dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta. EGC

Dwijayanthi, Linda. 2008. Ilmu Gizi Menjadi Sangat Mudah. Jakarta. EGC

Ganong, William F, dkk.2010. Patofisiologi Penyakit. Jakarta. EGC

Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press

Hardinsyah, dkk. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. IPB

Hartono, dr Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta. EGC

Kresnawan, Triyani. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Asupan Makanan dan Status Gizi pada Pasien Gagal Ginjal Terminal dengan Terapi Hemodialisis di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta : Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi dan Penelitian RS Edisi 2. Jakarta. Balai Penerbit FKUI

Kowalak, Jennifer P, dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta. EGC

Moore, Mary Courtney. 1997. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi Ed II. Jakarta Hipokrates

Muchtadi, Deddy. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung. Alfabeta

NKF/KDOQI. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disesae :

Evaluation, Classification and Stratification. New York. National

Kidney Foundation Inc.

Persagi. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Jakarta

(46)

38

Sari, Maridya. 2012. Manajemen Penyakit Ginjal Kronik Stadium V Pre Dialisis. (Online). Available : Diakses (16 Agustus 2013) http://ipdusu.blogspot.com/2012/06/manajemen-penyakit-ginjal-kronik.html/m=1

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi Jilid I. Jakarta. Dian Rakyat

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2010. Ilmu Gizi Jilid II. Jakarta. Dian Rakyat

Sibuea, Dr W Herdin, dkk. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Rineka Cipta

Sidabutar. 1992. Gizi Pada Gagal Ginjal Kronik. Jakarta. Pernefri

Sinaga, Sholeh S. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta. Diva Press

(47)

39

(48)
(49)
(50)
(51)
(52)

44 Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Sunami

Alamat : -

Usia : 32 tahun Jenis Kelamin : P

Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sofyan Wahyu Kumara dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi, dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang”. Penelitian ini berlangsung secara sukarela tanpa paksaan.

Malang, ………..2013 Peneliti

Sofyan Wahyu Kumara 1003000101

Yang memberikan persetujuan

ttd

(53)

45

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Solikin

Alamat : -

Usia : 61 tahun Jenis Kelamin : L

Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sofyan Wahyu Kumara dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi, dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang”. Penelitian ini berlangsung secara sukarela tanpa paksaan.

Malang, ………..2013 Peneliti

Sofyan Wahyu Kumara 1003000101

Yang memberikan persetujuan

ttd

(54)

46

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rumani

Alamat : -

Usia : 58 tahun Jenis Kelamin : L

Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sofyan Wahyu Kumara dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi, dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang”. Penelitian ini berlangsung secara sukarela tanpa paksaan.

Malang, ………..2013 Peneliti

Sofyan Wahyu Kumara 1003000101

Yang memberikan persetujuan

ttd

(55)

47

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Seti

Alamat : -

Usia : 60 tahun Jenis Kelamin : P

Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sofyan Wahyu Kumara dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi, dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang”. Penelitian ini berlangsung secara sukarela tanpa paksaan.

Malang, ………..2013 Peneliti

Sofyan Wahyu Kumara 1003000101

Yang memberikan persetujuan

ttd

(56)

48

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di

RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang

Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Sumiatun

Alamat : -

Usia : 39 tahun Jenis Kelamin : P

Menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sofyan Wahyu Kumara dengan judul “Tingkat Konsumsi Energi, dan Protein serta Mutu Protein Diet terhadap Kadar BUN (Blood Ureum Nitrogen) pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang”. Penelitian ini berlangsung secara sukarela tanpa paksaan.

Malang, ………..2013 Peneliti

Sofyan Wahyu Kumara 1003000101

Yang memberikan persetujuan

ttd

(57)

49 Lampiran 3. Medium LILA

Umur (tahun) Nilai Medium (cm)

Pria Wanita

18 – 24,9 30,7 26,8

25 – 29,9 31,8 27,6

30 – 34,9 32,5 28,6

35 – 39,9 32,9 29,4

40 – 44,9 32,8 29,7

45 – 49,9 32,6 30,1

50 – 54,9 32,3 30,6

55 – 59,9 32,3 30,9

60 – 64,9 32,0 30,8

65 – 69,9 31,1 30,5

(58)

50 Lampiran 4. Master Tabel Penelitian

(59)

51 No. Data yang

Diambil

Kode Pasien

A B C D E

Perhitungan Kebutuhan Protein 20. Jumlah Protein

(gr/kg BB)

0,75 0,75 0,75 0,75 0,75

21. BBI (kg) 47 60,2 51,2 44,5 47,1

22. Kebutuhan

Protein (gr) 35,25 45,15 38,40 33,38 35,63 Asupan Protein

23. Hari 1 28,5 37,8 35,7 31,4 38,8

24. Hari 2 30,9 40,3 34,2 35,1 45,1

25. Hari 3 32,4 47,8 44,9 16,4 24,6

26. Rata-Rata (gr) 30,6 41,9 38,2 27,6 34,8 Nilai NPU

(60)

52 Lampiran 5. Form Comstok

FORM COMSTOCK Nama : ...

Tanggal : ...

Waktu Menu

Waste Pasien (%)

0 25 50 75 100

Pagi

Nasi √

Lauk Hewani √ Lauk Nabati

Sayur √

Buah Snack Pagi

Siang

Nasi √

Lauk Hewani √

Lauk Nabati

Sayur √

Buah Snack Sore

Malam

Nasi √

Lauk Hewani √

Lauk Nabati

Sayur √

(61)

53 Lampiran 6. Form Perhitungan Energi

(62)

54 Waktu Menu Bahan

Makanan Berat

Nilai Gizi

Energi Protein

Malam

Nasi Beras 100 130 2,4

Lauk Hewani

Bandeng 0 0 0

Lauk Nabati

Sayur

Wortel Sawi Kol Minyak

13 13 13 5

3,4 2 2,9 43,1

0,1 0,3 0,1 0 Buah

(63)

55 Lampiran 7. Tabel Penentuan SAA Konsumsi Pangan

Nama : Ny. Sunami Hari Ke : 1

No Jenis Pangan

Konsumsi Asam amino (AA) Berat (g) Konsumsi

Protein (g)

Mutu

Cerna LYS THR TRP AAS

Mutu Cerna Tertimbang

1 Beras 50 4.75 90 146.30 167.68 41.80 146.78 427.50

2 Telur Ayam 25 3.10 100 189.10 132.99 38.13 131.75 310.00

3 Kacang Panjang 15 0.47 67 27.76 16.60 4.65 8.32 31.16

4 Kembang Kol 15 0.36 67 0.00 0.00 0.00 0.00 24.12

5 Sosis 7 1.02 97 73.08 38.98 11.37 33.29 98.46

6 Minyak Kelapa 5 0.05 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

7

8 Beras 50 4.75 90 146.30 167.68 41.80 146.78 427.50

9 Ayam 25 4.55 97 348.53 214.31 43.23 163.35 441.35

10 Tomat 5 0.07 67 2.73 2.15 0.59 0.59 4.36

11 Minyak Kelapa 5 0.05 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

12 Wortel 12 0.12 67 3.60 4.93 0.94 2.14 8.04

13 Kangkung 12 0.41 67 12.04 19.54 8.36 8.36 27.34

(64)

56 No Jenis Pangan

Konsumsi Asam amino (AA) Berat (g) Konsumsi

Protein (g)

Mutu

Cerna LYS THR TRP AAS

Mutu Cerna Tertimbang

15

16 Beras 50 4.75 90 146.30 167.68 41.80 146.78 427.50

17 Daging Sapi 30 5.64 97 443.30 263.39 49.07 242.52 547.08

18 Santan 37 0.00 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

19 Daun Singkong 23 1.43 67 80.43 63.31 29.52 29.09 95.54

20 Kacang Panjang 15 0.47 67 27.76 16.60 4.65 8.32 31.16

21 Santan 50 0.00 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jumlah 32.23 1657.00 1286.59 317.53 1079.46 2918.78

Konsumsi Asam Amino Per Gram Protein (Mg/G) 51.41 39.92 9.85 33.49

Pola Kecukupan 16 9 5 17

Tkae Lisin (%) 321.34

Mutu Cerna Teoritis =

2918.78

= 90.6

Tkae Treonin 443.57 32.23

Tkae Triptofan 197.05

NPU = 90.6 x 197.03 = 178.51

(65)

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronis
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG (laju filtrasi glomerulus)
Tabel 3. Pola kebutuhan asam amino berdasarkan estimasi dan pola
Tabel 4. Mutu Cerna Berbagai Pangan Tunggal
+6

Referensi

Dokumen terkait

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapatakan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai studi kasus yang akan dilakukan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapatakan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai studi kasus yang akan dilakukan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti penelitian yang akan dilakukan oleh Nahidha

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sarjiyem

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sarjiyem

Informed Consent INFORMED CONSENT Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang

Informed Consent INFORMED CONSENT Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Alamat : Menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan telah mengerti