• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Beragama Kelas Menengah Bawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengalaman Beragama Kelas Menengah Bawah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN BERAGAMA KELAS MENENGAH BAWAH

DI INDONESIA

Oleh :

Almunauwar Bin Rusli1

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Email : edukasipatani@yahoo.com

Mukti Ali mengatakan bahwa corak masyarakat Indonesia adalah tipe

religius. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, demikian juga

pertumbuhan masyarakat ikut mempengaruhi pemikiran terhadap agama2. Gerry

van Klinken menjelaskan populasi kelas menengah Indonesia meningkat pesat

dan pengaruh mereka pun bertambah besar. Mereka senang dengan politik dan

memiliki kecenderungan beragama yang konservatif. Kelas menengah ini tidak

menempati Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Namun menempati

Kota-kota menengah di Provinsi seperti Kupang dan Pekalongan. Gerry

menambahkan umumnya kelas menengah atas puas dengan panghasilannya,

sedangkan kelas menengah bawah menunjukkan korelasi pendidikan dengan

pekerjaan dan penghasilan dalam mempengaruhi pilihan politik sekaligus

mendukung syariat agama3.

Corak relasi dan kontroversi pengalaman beragama kelas menengah bawah

di Indonesia dapat dilihat dari tiga kasus. Pertama, konflik radikalisme agama

yang terjadi di Ambon-Poso pada tahun 1999-2003 memberikan indikasi buruk

terkait masyarakat kelas menengah bawah di tempat itu. Dampak terjadinya

konflik Ambon antara Islam dengan Kristen menurut Wim Manutuhu (2004:1)

telah membawa korban antara 5.000 hingga 12.000 jiwa pada tahun 1999-2003.

John Pieris mencatat adanya ketidakadilan hampir di segala bidang kehidupan di

Ambon selama 32 tahun masa Orde Baru (1966-1998). Sentralisasi kekuasaan

1Almunauwar Bin Rusli, peneliti terkait isu-isu pendidikan Islam kontemporer di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Naskah ini adalah salah satu kontribusi pada Simposium Internasional PPI Dunia, Kairo 2016.

2Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi (editor),

(2)

Orde Baru, militer yang terlalu berpolitik praktis, banjirnya pendatang yang

mengancam posisi warga asli, persaingan di tingkat birokrasi lokal berdasarkan

agama, dan intervensi negara terhadap adat istiadat setempat, menurutnya

merupakan beberapa faktor kekerasan di Ambon.4

Kedua, pembakaran Masjid di Karubaga, Tolikara Papua 17 Juli 2015

menyebabkan masyarakat Islam dan Kristen mengalami ketegangan serius. Ini

tentang kaum pendatang. Pendatang yang berasal dari luar Papua pada

kenyataannya sebagian besar adalah Muslim5. Maka agama kemudian menjadi

isu penting sebagaimana yang pernah terjadi di Jayapura. Konflik ini bukan

karena sifat pemahaman ideologis antar penganut agama yang berbeda,

melainkan akibat dari kecemburuan ekonomi dari penganut agama yang

berbeda. Efek agama terhadap perekonomian pun menjadi terasa. Apalagi

diperparah dengan jumlah populasi pendatang yang naik secara fantastis,

demikian halnya dengan kenaikan signifikan jumlah penganut Islam di Papua

pada tahun 20006.

Ketiga, pembakaran Gereja di Aceh Singkil 13 Oktober 2015 menambah

potret buram umat beragama. Kasus Singkil tidak mencerminkan DNA

religio-antropologis masyarakat7. Secara sosiologis, aktor yang terlibat dalam

4Tri Ratnawati, Maluku : Dalam Catatan Seorang Peneliti, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), h. 3-4

5Budi Asyhari Afwan, Mutiara Terpendam Papua : Potensi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian di Tanah Papua, (CRCS : Yogyakarta, 2015), h. 48-49. Untuk analisis lebih dalam, lihat tulisan Abanggeutanyo berjudul Tolikara, PR Pertama Pangab Gatot Nurmantyo, disitus www.kompasiana.com.

(3)

radikalisme agama merupakan anak muda yang berusia mulai 17-40 tahun.

Mereka dikenal kelompok prekariat melalui berbagai aktivitas keagamaan,

bantuan sosial, jaringan bisnis, diskursus populis, dan bahasa yang mudah

dipahami. Sedangkan kaum agamawan moderat lebih sibuk dengan politik elite.

Radikalisme agama hanya dapat diatasi dengan menata kembali industrialisasi

modernisasi yang jadi lahan subur bagi tumbuhnya anak muda prekariat.

Menurut Standing (2011) prekariat adalah mereka yang kerja dan hidupnya

secara umum tak aman, tak stabil, sehingga secara psikologis sering marah,

terasing dari hidup sekaligus rentan terlibat dalam aktivitas ekstrimis. Tanpa

penataan seperti itu, radikalisme agama tetap jadi ancaman Indonesia kini dan

nanti karena sebagian besar penduduk Indonesia berusia muda8.

Saya mencoba membuat tiga kerangka berpikir terkait problem praksis di

atas. Pertama, politik transnasional9. Contoh konkret ialah gerakan Jamaah

Islamiyah yang ditangkap kepolisian Indonesia. Jama’ah Islamiyah adalah

organisasi riil, dirintis Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir sejak 1992

dengan cikal bakal basis gerakan Darul Islam dan dinyatakan resmi berdiri tahun

1996 di Malaysia. Mereka mengakui memiliki hubungan dengan Osama bin

Laden, Mujahidin Afghanistan dan Moro selama kurun waktu 1985-2000 dalam

hal ideologis-politis, dan bukan dalam struktur organisasi. Demikian pula

keterlibatan mereka dalam konflik Maluku, Ambon, dan Poso10. Pada peta lokal,

gerakan Islam radikal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari isu “negara

-bangsa”. Menurut Esposito, ini didorong oleh tiga hal : (1) adanya krisis identitas

yang menimbulkan ketidakpercayaan, kekecawaan, dan kehilangan rasa harga

diri (2) kecewa dengan Barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara

cukup akan kebutuhan-kebutuhan politik dan sosio ekonomi masyarakat dan (3)

8Andi Rahman Alamsyah, Anak Muda dan Radikalisme, Opini Kompas, Rabu 4 November 2015, h.6

9Hal ini senada dengan analisis Martin Van Bruinessen, “The roots of most present

Muslim radical groups in Indonesia can be traced to two relatively “indigenous” Muslim

political movements, the Darul Islam movement and the Masyumi party, and to a number

of more recent transnational Islamic networks”. Lihat Abdul Mukti Ro’uf, Mengurai Radikalisme Agama di Indonesia Pasca Orde Baru, dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Volume XI, Nomor 1, Juni 2007, h.169

(4)

tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri akibat

sukses militer (Arab-Israel) dan ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973.11

Kedua, mental transaksional. Corak relasi kelas menengah bawah dengan

orang yang berbeda budaya, agama, ras, dan etnisitas sudah bukan lagi

didorong oleh rasa kepedulian sekaligus keberpihakan, melainkan oleh ambisi

kepentingan dan keuntungan. Mental ini berujung pada individualisme bahkan

materialisme. Sejak 1980-an, perubahan sosial-ekonomi telah menciptakan

jurang kontroversi. Banyak pribumi yang tidak sanggup bersaing dalam bidang

pendidikan sekaligus lapangan pekerjaan. Developmentalisme dan globalisasi

telah membenturkan masyarakat industri-pasca industri dengan masyarakat

agrikultural-tradisional dalam tiga point (a) munculnya reifikasi, obyektivikasi,

urbanisasi (b) anomi dan kontradiksi budaya (c) pengaburan identitas komunitas.

Kondisi ini menurut Weber menyebabkan tumpang-tindih antara tingkatan magi,

agama dan ilmu pengetahuan.12

Ketiga, sistem pendidikan paradoksial. Ada anggapan umum bahwa

seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga

bangsa Indonesia yang baik. Islam dalam konteks ini terbagi atas dua tipologi

yaitu Islam personal dan Islam publik. Islam personal sangat mementingkan

bentuk, simbol, dan ornamen keagamaan. Problemnya adalah ketika karakter

subjektif dan individual itu masuk ke dunia publik (Negara) maka fungsinya

sudah berbeda. Islam personal digunakan sebagai garis pemisah yang

membedakan keyakinan. Kelas menengah bawah di Indonesia dalam

pengamatan saya cenderung terjebak pada tipologi Islam personal ini. Sehingga,

mereka gagal merangkai relasi antara nilai keagamaan sekaligus

kewarganegaraan. Negara Islam Vs Negara Pancasila selalu melahirkan

kontroversi serta pelabelan-pelabelan negatif antar golongan. Azyumardi Azra

menjelaskan mereka mengaku merepresentasikan the pristine Islam dibanding

11Abdul Mukti Ro’uf, Mengurai Radikalisme Agama di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 170-171

(5)

kelompok Islam diluar mereka. Pada akhirnya, gerakan ini tidak ragu-ragu

melaksanakan gerakan mati syahid (martyrdom) sebagai strategi melawan

Barat.13 Berangkat dari kerangka berpikir di atas, maka ada tiga gagasan aktual

sebagai upaya merespon problem radikaslime agama dan pengaruhnya

terhadap desintegrasi bangsa.

1. Rumah Ibadah

Rumah ibadah adalah basis kekuatan warga dalam hal ritual-transendental.

Maka manajemen penataan Masjid, Gereja, Kuil, Klenteng, hingga Vihara perlu

dimodifikasi oleh Kementerian Agama. Setiap Kota di satu Provinsi wajib memiliki

rumah ibadah pusat untuk mengontrol serta mengakreditasi14 rumah ibadah

yang ada di tingkat Kecamatan dan Desa berdasarkan wilayahnya. Sehingga,

terciptalah hirarki yang legal sekaligus terkoordinasi dalam melaksanakan misi

profetis sosial-ekonomi-pendidikan dari masing-masing penganut agama kelas

menengah bawah di Indonesia. Perlu dibentuk juga Badan Intelijen Agama (BIA)

yang memiliki kewenangan menyusun kurikulum dakwah disetiap rumah ibadah

dan dijadikan pedoman wajib secara merata. Di sisi lain, BIA berhak menyeleksi

materi-materi dakwah yang dibawa oleh kelompok non WNI. Dengan begitu,

paham-paham radikal tidak akan mudah berkembang. Ketika ada yang

melanggar atau tidak sesuai aturan, maka hukum langsung bertindak tanpa

kompromi.

2. Sekolah

Sekolah adalah produsen ilmu pengetahuan dalam membentuk karakter

generasi bangsa yang tercerahkan serta memiliki kesadaran demokratik. Maka

Kementerian Pendidikan harus memberikan kesempatan kepada kelas

menengah bawah di Indonesia untuk memperoleh pengajaran agama dan

13Chaider S. Bamualim & Ridwan al-Makassary, Nexus Antara Fundamentalisme Islam Dan Terorisme, dalam Jurnal Studi Agama Millah, Vol. VI, Nomor. 1, Agustus 2006, h. 42

(6)

kewarganegaraan secara akurat-komprehensif termasuk keterampilan hidup atau

melanjutkan ke jenjang lanjutan. Selanjutnya, perlu dibuat kebijakan bahwa

komposisi peserta didik dalam sebuah kelas harus heterogen dari segi etnis,

budaya, ras, dan agama. Pola cooperative learning serta learning society perlu

diadaptasi. Cooperative learning adalah pembelajaran berbasis magang.

Sedangkan learning society adalah pembelajaran berbasis banyak sumber. Dua

pola ini akan membuat kelas menengah bawah di Indonesia bisa bertukar

pengalaman, pemahaman bahkan perasaan dengan masyarakat luas termasuk

orang lain dalam satu institusi. Dengan demikian, terwujudlah kehidupan yang

inklusif, produktif, serta menemukan prinsip-prinsip kerja yang aktual dan tidak

terjebak pada paham radikal.

3. Rekonstruksi Tempat Tinggal

Rumah merupakan tempat lahirnya masyarakat beradab. Lingkungan rumah

yang rusak dan terkotak-kotak dalam segmen profesi, etnis, ras, dan agama

akan berakibat buruk terhadap partisipasi sipil, partisipasi sosial, dan partisipasi

politik. Maka Pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan tegas bagi kelas

menengah bawah yang wilayahnya sering berkonflik untuk tidak lagi tinggal

dalam satu lingkungan tertentu yang membedakan diri mereka dengan orang

lain. Misalnya, kampung Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Akan

tetapi mereka diatur untuk tinggal bersama dalam satu apartemen yang telah

dirancang khusus. Dengan cara ini, pola hidup mereka akan berubah dan saling

berhubungan bahkan ketergantungan satu sama lain15. Rekonstruksi tempat

tinggal mesti mengacu kepada (a) kebutuhan fisiologis (b) kebutuhan rasa

aman (c) kebutuhan sosial (d) kebutuhan penghargaan, (e) kebutuhan aktualisasi

diri. Singapura telah menerapkan modifikasi seperti ini sejak Lee Kuan Yew

15Kriesberg mengatakan, “Semakin tinggi tingkat interaksi dan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik akan semakin membatasi

(7)

berkuasa, sehingga keragaman dan stabilitas bangsa mereka terjaga dengan

baik dan terukur di bawah kendali sistem dan hukum.

Relasi kelas menengah bawah di Indonesia kurang harmonis dengan

pemerintah dari segi kebijakan politik-pembangunan, akses pendidikan, peluang

ekonomi, dan pengakuan identitas sosial. Potret relasi ini membuat mereka

mudah terjebak dengan politik transnasional, mental transaksional, sekaligus

pola pikir yang sektarian. Akibatnya, kontroversi berbau radikalisme agama

terjadi di sana-sini. Negara Kesatuan Republik Indonesia pun seperti kehilangan

kendali. Oleh sebab itu, upaya merespon problem radikalisme agama dan

pengaruhnya terhadap desintegrasi bangsa perlu dipusatkan kepada desain tiga

lokus keadaban Indonesia yaitu rumah ibadah, sekolah, dan rekonstruksi

tempat tinggal berdasarkan prinsip sistem dan hukum yang tegas dari

Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Presiden, serta seluruh aparat

(8)

Bibliography

Abduh, Umar (editors), 2003. Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal, Jakarta : Center for Democracy and Social Justice Studies.

Afwan, Budi Asyhari, 2015. Mutiara Terpendam Papua : Potensi Kearifan Lokal

Untuk Perdamaian di Tanah Papua, CRCS : Yogyakarta.

Alamsyah, Andi Rahman, 2015. Anak Muda dan Radikalisme, Opini Kompas, Rabu 4 November.

Ali, Mukti. 1982. “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi (editor), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Jakarta : Sinar Harapan.

Bamualim, Chaider S. & al-Makassary, Ridwan, 2006. Nexus Antara

Fundamentalisme Islam Dan Terorisme, dalam Jurnal Studi Agama Millah,

Vol. VI, Nomor. 1, Agustus.

Fasya, Teuku Kemal. 2015. Memperbaiki Keberagamaan Singkil, Opini Kompas, Senin, 19 Oktober.

Ismail, Nawari. 1999. Agama dan Globalisasi Antara Revitalisasi dan Degradasi

: Studi Atas Gerakan Sempalan Keagamaan, dalam Jurnal Studi Islam

Mukaddimah No. 7 TH. V.

Ratnawati, Tri. 2006. Maluku : Dalam Catatan Seorang Peneliti, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ro’uf, Abdul Mukti. 2007. Mengurai Radikalisme Agama di Indonesia Pasca Orde Baru, dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Volume XI, Nomor 1, Juni.

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan meliputi semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sabagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Taman Rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai jenis fasilitas untuk memberikan kesegaran jasmani dan rohani yang mengandung unsur

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan modul bimbingan belajar yang layak dan efektif sebagai pengembangan media layanan bimbingan belajar untuk

Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian meliputi kearifan lokal konsepsi tanah, tata guna tanah, zonasi hutan (leuweung), kelembagaan buyut

Hasil dari penelitian yang dapat disimpulkan adalah (1) dalam video pementasan wayang santri lakon “Ajaran Wali” dalang Ki Enthus Susmono mengandung pesan dakwah

Salah satu cara yang digunakan oleh toko ritel modern XYZ untuk memperkuat positioning yang dimiliki adalah dengan bekerja sama dengan Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia

Penelitian lain menghasilkan kesimpulan yang relatif sama, harga berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian terlihat dari semakin sesuai harga yang diberikan

Pendekatan intermediasi yang lebih umum melihat bank sebagai financial intermediary, dengan output yang diukur dalam unit Rupiah dan dalam hal ini input-input bank yang