• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Tubuh Ideologis Analisis Semiotika (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ragam Tubuh Ideologis Analisis Semiotika (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Ragam Tubuh Ideologis:

Analisis Semiotika Mitos-Barthesian dan Wacana Foucauldian

terhadap Representasi Kelelakian dan Keperempuanan

dalam Beberapa Iklan di Media Cetak

*

Ikwan Setiawan

Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember

Awalan: kontestasi perempuan dan laki-laki dalam media

Saat ini, industri media—dalam segala lininya—banyak diwacanakan telah memberikan kesempatan yang sama dalam menjalankan karir bagi laki-laki dan perempuan, baik sebagai tim kreatif, manajer, ataupun model/selebritis yang mengisi acara. Kontestasi perempuan di media—dengan beragam perwujudannya—dianggap sebagai bentuk pembebasan mereka dari segala kekangan ideologi patriarki. Mereka bisa saja berjingkrak-jingkrak dalam sebuah video klip musik, menjadi ratu yang seksi dalam sebuah sinema laga televisi, hingga memamerkan tubuhnya untuk menaklukkan para laki-laki hidung belang. Dalam beberapa hal, itu semua memang bisa dianggap sebagai ‘politik pembebasan’ kalau dibaca dari aspek pendekonstruksian tabu yang ada dalam masyarakat. Sementara laki-laki, dalam banyak tampilan media, tidak semata-mata direpresentasikan sebagai subjek dengan otot yang kuat atau tampang yang macho. Mereka banyak dicitrakan sebagai subjek yang elegan, rapi, dan impresif. Artinya, media kontemporer telah melakukan pencitraan yang lebih plural dari subjek perempuan dan laki-laki.

Citra-citra tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dari eksistensi wacana yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Selama berabad-abad lamanya,

laki-laki dipandang sebagai makhluk rasional yang mempunyai ketepatan pikiran dan tindakan sehingga mereka ‘merasa’ dan ‘dirasa’ perlu untuk berada di depan kaum perempuan yang dipandang lemah, lembut, peka, dan kurang mampu mengoptimalkan daya nalar mereka karena terlalu mengedepankan hati. Ideologi

patriarki, dengan demikian, telah mampu membentuk satu kuasa melalui wacana-wacana yang menyebar dalam struktur sosial sehingga dominasinya tampak sebagai ‘sesuatu yang natural’, dan ‘sudah semestinya seperti itu’. Ketika patriarki sudah menjadi semacam regime of truth (meminjam istilah Foucault), ia

* Artikel ini merupakan tugas akhir mata kuliah “Gender dan Kebudayaan” sewaktu penulis

(2)

akan mempengaruhi sistem dan struktur sosial sehingga menjadikannya sebagai wacana dominan yang berakibat meningkatnya kuasa laki-laki. Media, sadar atau tidak sadar, akan mereproduksi ideologi patriarki tersebut karena mereka adalah bagian dari masyarakat patriarkal dimana mereka berposisi sebagai salah satu

aparatus diskursif –Gramsci menyebutnya sebagai aparatus hegemonik—selain keluarga, sekolah, maupun institusi agama. Namun, yang perlu dicatat, adalah bahwa wacana tidak pernah berhenti pada satu titik. Selalu terjadi resistensi dengan memberikan wacana baru yang kontra terhadap wacana yang sudah mapan. Artinya, saat ini wacana feminisme juga sedikit banyak mampu memberikan pergeseran yang cukup berarti dalam persoalan persamaan hak untuk berkontestasi. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai subjek yang berkutat dalam persoalan domestik. Mereka juga mampu berkontestasi dalam ranah-ranah publik. Dan media sebagai produk populer mampu membaca pergeseran tersebut dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kontestasi perempuan.

Benarkah semua kontestasi perempuan dalam citra media mampu menghapuskan mitos-mitos seputar jagat perempuan sebagai kelas subordinat? Benarkah saat ini sudah terjadi persamaan gender sebagaimana yang dicitrakan oleh media atau jangan-jangan itu semua merupakan wacana baru tentang relasi gender? Berangkat dari asumsi-asumsi itulah tulisan ini dikembangkan. Agar mendapatkan kajian yang terfokus, maka analisis dalam tulisan ini akan diarahkan pada kajian representasi dalam ikaln media cetak. Mengapa iklan? Dalam pertimbangan penulis, iklan merupakan medium yang paling banyak berhubungan dengan publik karena berkaitan dengan penawaran barang-barang produksi. Karena targetnya adalah penjualan, maka banyak tampilan iklan yang kemudian mengambil kode-kode artistiknya dari kode-kode budaya yang berkembang dalam masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan tim kreatif sebuah iklan secara sadar atau tidak sadar merepresentasikan apa-apa yang sudah eksis dalam masyarakat—termasuk persoalan gender—sehingga masyarakat diharapkan akan tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan.

Melalui analisis representasi kelelakian dan keperempuanan dalam iklan— terutama yang berkaitan dengan mitos dan kuasa wacana—kita tidak

(3)

tentang gender yang berkembang. Pada suatu saat, lelaki bisa menjadi ‘lebih rumahan’ dibanding perempuan. Dan pada kesempatan yang lain, perempuan bisa menjadi ‘lebih kantoran’ dibanding laki-laki. Namun, dengan kajian representasi, kita juga akan mengetahui betapa citra-citra iklan pada dasarnya berwajah ganda. Di satu sisi, iklan membebaskan kontestasi perempuan dan laki-laki. Di sisi lain, iklan, ternyata, masih mereproduksi mitos dan wacana purba dalam citra-citra yang lebih modern tentang relasi gender dalam masyarakat.

Representasi gender: kerangka teoretis

Membicarakan gender dengan menggunakan kajian representasi di media, sebenarnya bukan persoalan baru dalam kajian gender. Namun, dalam kasus Indonesia yang seringkali terjadi adalah generalisasi bahwa media telah mengkonstruksi dan menciptakan penampilan perempuan yang semata-mata dianggap sebagai korban eksploitasi kapitalis patriarkal tanpa melihat secara mendalam dari pendekatan representasi yang melibatkan tidak semata-mata ‘begitu adanya’ dan ‘sudah sewajarnya seperti itu’. Lebih dari itu, representasi selama ini banyak disalahpahami sebatas penampilan, tetapi tidak pernah ditelaah

mengapa itu menjadi demikian dan dalam konteks apa itu berlangsung. Padahal dalam perspektif cultural studies representasi merupakan bagian politik penandaan yang melibatkan relasi dan pertarungan-pertarungan ideologis.

Stuart Hall mendefinisikan representasi sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa, dan; (4) produksi makna konsep dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental)

(1997: 17-19). Dari beberapa definisi sederhana tersebut, representasi bisa difokuskan sebagai makna yang diproduksi melalui penggunaan ‘bahasa’. Tentu saja bahasa di sini bukan semata-mata bahasa tulis atau ucap, tetapi bahasa bisa diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas. Lukisan, foto, patung, iklan, tayangan televisi/film, serta tanda-tanda budaya lainnya merupakan bahasa yang dengannya individu hendak menyampaikan makna kepada individu lainnya.

(4)

yang terdiri dari objek-objek, orang-orang, atau peristiwa-peristiwa yang dihubungkan dengan rangkaian konsep yang kita bawa dalam pikiran. Artinya ketika melihat sebuah gambar, di situ kita bisa menemukan figur-figur—baik manusia ataupun benda—maupun kesan yang biasa kita temukan dalam kehidupan nyata ataupun imaji sehari-hari. Setiap individu membawa ‘peta

konseptual’ (conceptual map) ketika menyimak gambar iklan di majalalah ataupun surat kabar. Peta konseptual inilah yang nantinya akan membantu dalam memahami representasi. Kedua, bahasa, dimana di dalamnya terjadi proses menyeluruh dalam mengkonstruksi makna. Bahasa di sini—sebagaimana

dibicarakan di atas—bukan hanya meliputi teks kata atau ucapan, tetapi mencakup tanda-tanda yang terorganisir sehingga bahasa bisa jadi terdiri dari kata-kata, percakapan, ataupun citra-citra visual.

Sistem representasi dalam masyarakat merupakan sebuah proses kultural yang tidak hanya melibatkan persoalan penandaan secara denotatif, tetapi juga penandaan sebagai ‘proses ideologis’ yang melibatkan kode-kode kultural— sistem tanda yang sudah diatur dan menyebar dalam suatu masyarakat. Mereka tersusun dari sebuah relasi sosial kontinyu yang mengkomunikasikan sebuah rangkaian makna, nilai, atau kuasa sehingga membuat individu-individu dalam masyarakat merelasikan dirinya ke dalam makna tersebut. Veron, sebagaimana dikutip Hall, menjelaskan:

Jika ideologi adalah struktur…..maka ia bukanlah ‘citra’ ataupun ‘konsep’ (kita bisa mengatakan bahwa ia juga bukanlah isi/muatan). Ideologi adalah satu rangakaian aturan yang menentukan organisasi dan pemfungsian citra dan konsep….Ideologi adalah sistem pengkodean realitas dan bukanlah rangkaian yang sudah ditentukan dari pesan yang sudah dikodekan…..dengan pengertian itu, ideologi menjadi otonom dalam relasi dengan kesadaran atau tujuan dari agennya. Agen tersebut bisa jadi sadar akan sudut pandangnya terhadap bentuk sosial namun tidak terhadap kondisi semantik (aturan dan kategori atau kodifikasi) yang membuat sudut pandang tersebut menjadi mungkin….Dari sudut pandang tersebut, ‘ideologi’ bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan semantik untuk menghasilkan pesan…..ideologi merupakan salah satu level organisasi pesan, dari sudut pandang kelengkapan semantik pesan-pesan tersebut. (1982: 71)

Dalam konteks tersebut, representasi bisa dipahami sebagai sebuah proses produksi makna yang mempunyai fungsi ideologis—atau bahkan representasi bisa dipahami sebagai salah satu bentuk ideologi itu sendiri. Artinya, terdapat makna yang diintrodusir oleh kelompok-kelompok partikular dalam masyarakat melalui kode-kode sehingga akan tercipta pemahaman—awalnya ‘secara

(5)

tersebut sehingga secara wajar menjadi bagian integral dari masyarakat (Hall, 1996: 26).

Karena masalah ideologi berkaitan dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka ia bukanlah sesuatu yang tunggal. Demikian pula dengan sistem representasi yang ada dalam media. Pertarungan antarkelompok untuk mendapatkan akses dan menciptakan representasi makna ideologis untuk kepentingan kelompok akan terjadi melalui penandaan dalam media. Volosinov menjelaskan bahwa tanda menjadi pertarungan kelas (1973: 23). Setiap kelompok akan berusaha untuk menemukan dan menciptakan kode-kode yang akan diaksentuasikan dan dikontestasikan melalui sistem representasi yang ada di media. Karena dengan cara itu makna dari kelompok partikular akan mendapatkan pengakuan dan akan dianggap sebagai ‘sesuatu’ yang bisa dipahami, diikuti, dan bahkan dijalankan.

Dalam kajian representasi, untuk bisa mencapai posisi tersebut, kelompok partikular bisa melakukannya dengan sistem representasi yang terdiri dari moda representasi/penandaan melalui “penciptaan-penciptaan mitos” dan “penyebaran wacana dalam masyarakat”.

Mitos sebagai sistem representasi

Dalam pemahaman Barthes, mitos merupakan sistem komunikasi, sebuah pesan

sehingga ia bukanlah objek, konsep, atau ide, ia merupakan moda penandaan,

sebuah bentuk. Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara

yang di dalamnya objek menyampaikan pesan. Mitos bisa bersumber dari moda

tulisan (wacana tertulis, liputan tulis, buku-buku terbitan, dan lain-lain) atau

moda representasi piktorial (foto, film, olah raga ataupun pertunjukan). Karena

mitos menyampaikan pesan, maka dengan sendirinya ia merupakan bagian dari

sistem semiologis/tik yang melibatkan penandaan (signification). Menurut

Barthes,

(6)

mempermasalahkan komposisi dari objek-bahasa, tidak perlu lagi terlalu mempertimbangkan detil dari skema linguistik. Ia hanya perlu memahami terma totalnya atau tanda global, dan hanya lantaran itulah terma tersebut meminjamkan dirinya untuk mitos. (1972: 109)

Dari penjelasan tersebut, pada dasarnya, kita bisa menemukan mitos—

tuturan tentang pesan—dalam gambar yang bermakna denotatif dalam

penandaan tingkat pertama (sebagai penanda dalam bahasa iklan). Tanpa harus

menguraikan mana penanda atau petanda secara detil, seorang pengkaji bisa

dengan cepat menguraikan makna-makna mitos yang ada di balik gambar.

Karena mitos memang tidak menyembunyikan apa-apa, ia hanya mendistorsi

sesuatu, tetapi tidak membuatnya musnah. Dengan kata lain mitos merupakan

sistem representasi yang berfungsi untuk mendistorsi dan kemudian

menaturalisasi sebuah ideologi sehingga menjadikannya sebagai sesuatu yang

wajar dalam sebuah relasi sosial. Dengan demikian, yang harus dipahami adalah

bahwa mitos-mitos—melalui tuturan-tuturan mitis—dalam masyarakat modern

tidak pernah bersifat netral karena selalu melibatkan motivasi-motivasi

partikular dari ideologi tertentu sehingga untuk bisa mengkajinya secara

komperhensif dibutuhkan kemampuan untuk menghubungkan mitos-mitos

tersebut dengan kode-kode budaya yang ada dalam masyarakat.

Dengan kerangka teoretis tentang mitos seperti di atas, kita bisa memperlakukan iklan dalam media massa cetak—dalam hal ini surat kabar harian—sebagai material mitos yang menyampaikan satu nilai atau ideologi tertentu dalam masyarakat, tergantung bagaimana cara material tersebut dibahasakan melalui moda representasi. Dalam citra-citra denotatifnya—semisal tentang tubuh laki-laki dan perempuan yang disandingkan dengan barang-barang industrial—iklan tidak semata-mata harus dibaca sebagai sebuah promosi bagi kehidupan konsumtif, lebih dari itu iklan bisa dibaca sedang

(7)

mata berkaitan dengan tubuh denotatif, tetapi tubuh mitis yang ‘dicuri’ untuk merepresentasikan masalah ideologi, yang di dalamnya terjadi pertarungan-pertarungan antarkelompok untuk memperebutkan makna ideologis.

Pengetahuan dan kuasa: representasi melalui wacana

Pembahasan wacana memperoleh posisi strategisnya dalam dunia akademis setelah munculnya serangkaian karya-karya masterpiece Michel Foucault—

pemikir pos-strukturalis Perancis. Pemikiran-pemikiran Foucault berada di seputar persoalan eksistensi wacana dan rentang historis tertentu— diskontinyu—yang melalui serangkaian kondisi dan praktik menciptakan sebuah kuasa yang terus berubah-ubah di dalam masyarakat. Namun, untuk bisa mengambil ‘intisari’ dari pemikiran-pemikirannya, kita akan dihadapkan pada satu benua teks yang dipenuhi sisipan maupun contoh-contoh yang kurang familiar dalam setiap kalimat panjangnya sehingga dibutuhkan ketelitian dalam mengkajinya. Dan berkaitan dengan persoalan representasi, Foucault memang tidak banyak membicarakannya dalam karya-karyanya. Namun, pergulatannya dengan persoalan wacana—sekumpulan pernyataan yang menyediakan sebuah bahasa untuk membicarakan sesuatu, merepresentasikan pengetahuan tentang topik partikular

dalam momen historis partikular—bisa dijadikan satu landasan konseptual untuk

mengkaji sistem representasi baru, selain mitos, yakni sistem representasi melalui wacana (Hall, 1997: 44).

Sebagaimana refleksi yang diberikan Hall, wacana pada hakekatnya merupakan sekumpulan pertanyaan—namun bukan dalam terma linguistik murni—dalam momen historis partikular. Namun untuk pemahaman yang lebih komperhensif tentang wacana, akan lebih baik kalau kita memetakan beberapa definisi yang diberikan Foucault karena memang ia sendiri tidak pernah memberikan kepastian konseptual dan cenderung menyodorkan beberapa alternatif definisi wacana. Dalam pandangan Foucault (2002: 177), wacana bisa didefinisikan sebagai berikut.

a. Sekelompok pernyataan yang berkaitan erat dengan formulasi tunggal; jadi saya bisa berbicara tentang wacana klinis, wacana ekonomi, wacana tentang sejarah alamiah, dan wacana psikiatris.

(8)

Definisi-definisi tersebut, paling tidak, menegaskan wacana sebagai (a) sekumpulan pernyatan, (b) berkaitan dengan topik tertentu, (c) ada momen dan kondisi historis tertentu, dan (d) mensyaratkan adanya formasi dan praktik diskursif. Ambilah contoh wacana tentang dominasi laki-laki. Wacana itu tidaklah

bisa berdiri sendiri untuk menjadi terma yang begitu kuat dalam masyarakat tanpa adanya pernyataan-pernyataan lain yang dibentuk dalam konsep serupa— semisal jenis kelamin, laki-laki dominan, perempuan subordinat, perempuan di rumah,

laki-laki bekerja, dan lain-lain. Hal itulah yang oleh Foucault disebut formasi diskursif. Lebih jauh Hall menjelaskan Sebuah wacana yang sama, karakteristik

dari cara berpikir atau keadaan pengetahuan pada sebuah masa (yang oleh Foucault disebut episteme), akan melintasi tingkatan teks-teks, dan sebagai bentuk-bentuk pelaksanaan, pada sejumlah medan-medan institusional di dalam masyarakat. Bahkan, kapanpun even-even diskursif ini ‘merujuk pada objek yang sama, berbagi gaya yang sama dan mendukung sebuah strategi. Bentuk institusional, politis, dan administratif yang umum.

Wacana dalam formasi diskursifnya, kemudian, akan menyebar dalam masyarakat dalam waktu historis tertentu serta mempengaruhi kesadaran mereka. Karena berada dalam ruang historis partikular, maka wacana

dipraktikkan dalam kaidah-kaidah dan strategi-strategi (regulasi) yang menggiring penerimaan bersama. Inilah yang disebut “praktik diskursif” (discursive practice). Untuk menjadi sebuah formasi dan praktik diskursif maka

dibutuhkan: (a) person-person yang dianggap mumpuni untuk membicarakan wacana-wacana tersebut dan (b) kehadiran institusi-institusi yang akan menjadi

medan penyemaian wacana-wacana tersebut. Keberadaan person dan institusi tersebutlah yang akan mempertegas hubungan yang ada di antara wacana-wacana tersebut sehingga memungkinkan untuk membicarakan objek-objek, memecahkan persoalan yang muncul, menamai mereka, melakukan analisis terhadap mereka, mengklasifikasi mereka, dan lain-lain. Dari proses itulah yang kemudian melahirkan “pengetahuan” (knowledge). Pengetahuan yang terus disebarkan dalam praktik-praktik diskursif ini kemudian subjek-subjek diskursif, semisal subjek perempuan dan subjek laki-laki. Apa-apa yang dilakukan oleh

(9)

Pengetahuan, dengan demikian, dalam proses pembentukannya membutuhkan campur tangan dari aparatus institusional dan teknik-teknik yang

dihasilkannya. Aparatus dan teknik-teknik tersebut berguna untuk mengatur subjek-subjek diskursif serta subjek liyan yang dianggap tidak masuk atau melawan regulasi-regulasi yang sudah ada. Wajar kiranya ketika dikatakan bahwa pengetahuan berkaitan erat dengan produksi dan operasi kuasa pada kondisi historis partikular masyarakat. Menurut Foucault—semisal ketika ia membicarakan aparatus hukuman—aparatus-aparatus tersebut melibatkan beragam elemen, linguistik maupun non-linguistik:

Wacana-wacana, institusi-institusi, pengaturan-pengaturan arsitektural, regulasi-regulasi, hukum-hukum, administrasi, pernyataan-pernyataan saintifik, proposisi filosofis, moralitas, filantrofi, dan lain-lain. Aparatus tersebut selalu menegaskan sebuah permainan kuasa. Aparatus itu juga selalu dikaitkan dengan koordinat-koordinat pengetahuan tertentu…..Dalam aparatus melibatkan strategi-strategi relasi dari kekuatan yang mendukung dan didukung pengetahuan tertentu. (1980: 194-196)

Penjelasan di atas menunjukkan betapa pengetahuan pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kuasa. Namun, itu tidak berarti bahwa kuasa tidak ikut menentukan pengetahuan. Kuasa juga mempunyai peran yang sangat kuat untuk menentukan dalam kondisi apa sebuah pengetahuan bisa diaplikasikan atau tidak. Bisa dikatakan, bahwa kuasa—dalam kaitannya dengan pengetahuan— tidak berfungsi dalam bentuk sebuah rantai, tetapi menyebar. Penyebaran terus-menerus pengetahuan partikular ke dalam masyarakat dan waktu partikular inilah yang akan menggiring konsepsi-konsepsi spesifik yang akan memberikan

pengaruh bagi subjek-subjek diskursif. Dengan kata lain, pengetahuan—yang didukung formasi dan praktik diskursif—mampu membentuk pemahaman bersama yang menyebar dan ‘diamini’ oleh masyarakat melalui regulasi spesifik berupa kedisiplinan. Maka lahirlah apa yang disebut “rejim kebenaran” (regime of Truth)—tentu bukan kebenaran pengetahuan yang absolut, tetapi kebenaran

yang dibentuk oleh formasi dan praktik diskursif dalam setting masyarakat dan waktu historis partikular (Foucault, 1980: 131).

(10)

Gender dan representasi dalam media: partikularitas dan pluralitas tanda dalam hegemoni dan kontra-hegemoni

Dari pembahasan mitos dan wacana di atas bisa ditarik satu benang merah bahwa keduanya membutuhkan satu kondisi historis dan setting masyarakat

partikular sehingga mampu merepresentasikan pengetahuan dan kuasa yang partikular pula. Begitupula tentang representasi perbedaan gender di dalam iklan, tidak bisa dibaca semata-mata dalam satu kepastian (fixation), namun sebagai satu transformasi.

Dengan mengambil konteks transformasi, kita bisa mengasumsikan bahwa representasi kelelakian dan keperempuanan dalam iklan, selalu mengalami penyesuaian dan perubahan bentuk tanda sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan tentang perbedaan diantara mereka serta pergeseran peran yang berlangsung dalam masyarakat, terutama di dalam media sebagai bentuk budaya populer. Lebih dari itu, meskipun membawa kuasa partikular, representasi kelelakian dan keperempuanan selalu berada dalam tanda-tanda plural yang masing-masing bisa jadi memiliki partikularitas yang tidak bisa disamakan satu sama lain.

Ketika gender didefinisikan sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang

dipengaruhi bukan semata-mata oleh faktor jenis kelamin, tetapi juga faktor sosio-kultural yang ada di dalam masyarakat, maka definisi itu sendiri sudah menyiratkan satu konsepsi transformasi. Kondisi sosio-kultural—termasuk di dalamnya simbol, praktik, dan relasi kultural maupun pemikiran—tidak akan selalu berada dalam kepastian, karena sebagai sebuah kondisi ia akan selalu bergerak mengikuti perkembangan jaman yang tengah berlangsung. Pada sebuah masa, bisa jadi dominasi patriarki menjadi kekuatan yang mampu mengungkung tindakan dan pemikiran anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga apa-apa yang direpresentasikan dalam media adalah betapa kuat dan sahnya kekuasaan laki-laki, sedangkan perempuan selalu berkutat dalam ranah domestik (Walby: 1989)—di dapur, di kasur, dan di sumur.

(11)

konteks itulah, patriarki kemudian bertransformasi dengan melakukan hegemoni melalui artikulasi dan negosiasi (Gray dalam Bennet, 1986: xv).

Dengan konsep artikulasi, representasi gender dalam media melakukan penandaan terhadap potensi-potensi yang dimiliki perempuan dalam ranah publik—sebuah ruang yang dulunya hanya dimiliki laki-laki. Tujuan utama dari proses artikulasi ini adalah munculnya konsensus dari kelas subordinat (perempuan) maupun oposisional (para pemikir dan aktivis feminis) sehingga kuasa patriarki bisa disepakati dengan sekian sintesa-sintesanya.

Konteks hegemoni kelas patriarki tersebut tidak selamanya berada dalam kemapanannya. Ketika ia sudah terlampau hegemonik dan cenderung untuk menjadi dominasi kembali, maka akan muncul pemikiran dan gerakan yang lebih aktif untuk melawan kuasa tersebut. Inilah yang kemudian harus dibaca sebagai

“kontra-hegemoni” (counter-hegemony). Representasi perempuan dalam media yang terlalu menonjolkan unsur sensualitas dan seksualitas perempuan dianggap sebagai ‘eksploitasi tubuh perempuan’ tahap lanjut demi kepentingan kapitalisme patriarki belaka. Munculnya reaksi tersebut turut merubah kontestasi dan representasi perempuan dan laki-laki dalam media dalam kode-kode yang berbeda dengan konteks sebelumnya. Dengan demikian, representasi laki-laki dan perempuan dalam media kontemporer, sekali lagi, harus dibaca dalam konteks pluralitas dan partikularitas yang membawa konteks dan sejarahnya serta tidak bisa diasumsikan sebagai satu grand design yang selalu pasti, tetapi

(12)

Laki-laki dan perempuan dalam kerja kantoran

Iklan permen Cylitol di atas, secara ekonomi tidak bisa disangkal, memang

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa untuk mengurangi gangguan stress pada gigi dan gusi, permen Cylitol adalah solusinya. Namun kalau diperhatikan secara

teliti bagaimana figur laki-laki dan perempuan tersebut direpresentasikan, maka akan ada makna atau pesan yang bisa jadi berbeda sama sekali dengan maksud ekonomis iklan tersebut. Sesuai dengan analisis mitos-Barthesian, kita bisa membacanya dari kehadiran bentuk yakni seorang perempuan dan seorang laki-laki

tengah tersenyum sambil memandang layar komputer, sementara si perempuan hendak menyuguhkan secangkir kopi dan si laki-laki hendak memakan sebutir permen.

Bentuk denotatif tersebut pada dasarnya ingin merepresentasikan sebuah naturalisasi konsep bahwa perempuan selalu menjadi kelas pelengkap. Bentuk citra yang mengedepankan senyum dan keharmonisan dalam menjalankan fungsi kerja, mampu mendistorsi dan menaturalisasi pemposisian perempuan sebagai sebagai kelas pelengkap—dengan membawakan cangkir. Sebagai kelas pelengkap dalam kerja kantoran, misalnya, perempuan tetap tersenyum dan menjalaninya dengan penuh kegembiraan, sementara laki-laki tetap menjadi kelas pertama yang berhak untuk dilayani sepenuh hati. Mitos tersebut bisa juga dibaca sebagai naturalisasi dari ideologi patriarki yang bertransformasi dalam

sistem ekonomi modern yang juga memberikan kesempatan bagi perempuan Gambar 1. Iklan permen Cylitol, repro dari Kompas,

(13)

sebuah praktik kuasa hegemonik dengan cara mengartikulasikan kepentingan

perempuan sebagai kelas subordinat sehingga dianggap telah melakukan politik ekualitas. Perempuan dalam menegosiasikan kepentingannya ternyata tidak mampu merombak secara total nilai ideologis yang sudah mapan dalam tradisi laki-laki. Perempuan tetap bisa menerima meskipun ia hanya mendapatkan posisi sebagai ‘penyuguh kopi’.

Dari perspektif pengetahuan/kuasa, representasi perempuan dan laki-laki tersebut menandakan betapa masih kuatnya wacana tentang dominasi laki-laki dalam masyarakat kita saat ini. Meskipun Foucault menyatakan bahwa pengetahuan bersifat diskontinyu—berada dalam setting tempat dan historis partikular—namun ia tidak sepenuhnya diskontinyu dan akan terus mentransformasi dirinya dalam sistem representasi kontemporer. Instintusi kantor yang nota-bene-nya merupakan lembaga yang diharapkan sebagai

penyemai persamaan antara perempuan dan laki-laki, ternyata dalam beberapa hal masih mewarisi dan melanjutkan kuasa subjek laki-laki. Namun, dalam perspektif partikular lainnya, gambar tersebut merupakan representasi dari perkembangan pengetahuan tentang persamaan perempuan (meskipun belum sepenuhnya) dalam akses pekerjaan. Ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjuangan institusi-institusi dan person-person yang terus mengembangkan pemikiran feminis di Indonesia. Dari konteks tersebut, pemahaman tersebut, bisa dilihat sebagai paradoks persoalan gender di Indonesia—atau bahkan di negara-negara lain.

“Perempuan-perempuan baru”: yang mandiri, aktif, dan seksi

(14)

itu semua dilakukan untuk mengakomodasi sekaligus ‘merayu’ kelompok-kelompok perempuan mandiri agar berkenan menonton atau membeli produk yang disuguhkan. Namun dari sisi mitos dan pengetahuan yang disuguhkan, kita bisa membacanya dalam perspektif lain.

Gambar 2 ini dimaksudkan untuk

memberikan pelayanan kepada para

pelanggannya setelah membeli mobil yang

berada dalam manajemennya. Target dari

iklan ini adalah para perempuan yang cukup

aktif dalam kehidupannya—terutama dalam

hal bisnis. Hal ini bisa dimaklumi karena saat

ini semakin banyak perempuan-perempuan

yang memperoleh prestasi prestisius dalam

bisnis modern sehingga untuk mengerjakan

hal-hal sekunder—dalam hal ini memperbaiki

mobil—sudah tidak ada waktu lagi.

Bentuk dari mitos di atas adalah seorang

perempuan yang dengan suka cita tetap melakukan aktivitas fitness sementara seorang laki-laki

sedang memperbaiki mobilnya. Hal itu bisa

terjadi karena tidak ada waktu untuk pergi ke bengkel. Dengan representasi seperti itu,

gambar tersebut merupakan naturalisasi konsep mitis bahwa perempuan modern harus menjaga kebugaran dan keseksiannya. Dunia modern telah memberikan kesempatan

kepada perempuan untuk megembangkan potensinya, namun, betapapun sibuknya perempuan dalam capaian-capaian profesionalnya, ia harus tetap memperhatikan kesehatan, terlebih lagi penampilan fisiknya dengan senang hati. Mitos tersebut hendak menaturalisasi satu makna ideologis bahwa kebugaran dan tuntutan akan penampilan tubuh yang seksi dan cantik merupakan syarat wajib bagi perempuan-perempuan yang ingin memperoleh karir berjenjang tinggi dalam bisnis, terlepas dari kecerdasan dan potensi diri yang mereka miliki. Lagi-lagi, ini merupakan konstruksi yang diciptakan oleh kuasa patriarki tentang

Gambar 2. Iklan Auto 2000,

(15)

sosok sensual perempuan, yang tidak hanya mengisi ranah domestik, tetapi juga ranah kerja.

Makna ideologis tersebut memang terkesan sebagai sebuah tuntutan di masa kini, dan banyak perempuan yang mungkin menganggapnya sebagai sebuah kewajaran karena penampilan menarik merupakan kunci dalam jagat bisnis. Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di negara-negara yang lebih maju. Tentang persoalan itu, Wolf menjelaskan:

Perempuan-perempuan liberal, berpendidikan, dan berpengaruh yang hidup di Dunia Pertama (negara maju), yang dapat menikmati kebebasan yang tidak dialami perempuan-perempuan di masa sebelumnya, sesungguhnya tidak benar-benar merasa bebas seperti yang mereka impikan. Dan mereka tidak bisa terus-menerus meyakinkan diri bahwa kurangnya kebebasan ini adalah sesuatu yang berhubungan dengan isu yang tampak sebagai sesuatu tidak penting. Banyak perempuan yang merasa malu karena mereka memberikan perhatian perhatian khusus terhadap hal-hal semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Meskipun ada perasaan malu, bersalah, dan terganggu, lebih banyak perempuan tetap saja membayangkan, bukankah kenyataan bahwa mereka sendirian dan ketakutan itu saja yang menghantui, melainkan ada sesuatu yang jauh lebih penting, yang berhubungan dengan adanya pertentangan antara kebebasan dan kecantikan perempuan. (2004: 22-24)

Meskipun kasus tersebut terjadi di Amerika, namun paling tidak bisa digunakan untuk merefleksikan kondisi di kota-kota besar Indonesia dimana semakin banyak perempuan yang memerlukan institusi-institusi perawatan tubuh ataupun alat-alat finess di rumah sendiri karena kesibukan kerja. Menjaga penampilan tubuh ideal dan wajah cantik merupakan gaya hidup yang saat ini semakin berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dan para perempuan karir, sekali lagi, merasakan itu sebagai satu ‘kewajiban’ yang wajar ketika mereka hendak memperoleh satu karir cemerlang dalam dunia kerja.

Wacana yang bisa dibaca dari iklan tersebut adalah tentang disiplin tubuh

(16)

seperti kuku, alis mata, mata, kuku, maupun rambut. Dan, subjek pertama yang menjadi target beroperasinya wacana disiplin tubuh adalah perempuan. Perempuan yang aktif dalam kerja-kerja dengan mobilitas tinggi dituntut untuk melakukan kesiapan-kesiapan fisik sehingga mereka mampu melakukan persaingan dengan subjek laki-laki.

Berbeda dengan iklan sebelumnya, Gambar 3

merupakan iklan dari produk yang sama, Auto

2000. Bentuk mitos dari iklan ini adalah seorang

perempuan yang sedang menelepon untuk keperluan—

service mobil, tentunya—sembari duduk santai,

tangan kanannya memegang buku telepon, sedangkan

tangan kirinya memegang telepon. Ia duduk di atas

sebuah sofa, sedangkan di depannya terdapat sebuah

laptop di atas sebuah meja. Dengan representasi itu,

bentuk citra tersebut berusaha menaturalisasi

konsep ideologi feminisme tentang kehebatan

perempuan karir masa kini. Seorang perempuan

direpresentasikan sebagai sosok yang aktif dalam

karir dan mempunyai posisi strategis dalam

pekerjaannya. Ia bisa memutuskan beragam

persoalan dengan santai, tenang, tetap tersenyum, namun tetap mampu

menampilkan citra keeleganan yang luar biasa. Perempuan karir masa kini

ditandakan sebagai sosok yang hebat dan mampu mengikuti perkembangan

zaman yang memasuki abad informasi—keberadaan laptop menjadi penandanya.

Tanpa harus tahu, apakah yang membuat iklan ini perempuan atau laki-laki,

pro-feminisme atau tidak, iklan ini dengan sangat halus dan natural mampu

merepresentasikan kehebatan perempuan karir masa kini, yang tetap tenang dan

tersenyum dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.

Perempuan-perempuan—baik yang sudah berkarir mapan atau masih merintis—dengan

demikian, diajak untuk mengkonstruk diri mereka seperti perempuan dalam iklan

tersebut.

Sedangkan wacana yang hendak disampaikan iklan tersebut adalah tentang kemampuan perempuan dalam mengatur dan mengendalikan

persoalan-Gambar 3. Iklan Auto 2000, repro dari Kompas, 2

(17)

persoalan yang ada di dalam kerja. Pengetahuan tentang persoalan tersebut sangat tidak mungkin kita temukan dalam wacana-wacana yang direpresentasikan dalam iklan-iklan pada era 80-an. Namun, ketika perjuangan kaum feminis semakin menguat, baik melalui pemikiran maupun gerakan-gerakan advokasi maupun mediasi, wacana-wacana tentang kemampuan peran perempuan dalam posisi-posisi strategis perusahaan, misalnya, semakin menguat. Kita kemudian sangat familiar dengan sebuah pengetahuan baru bernama

feminisme. Peran perempuan tidak bisa dibatasi lagi pada semata-mata urusan domestik keluarga, karena dengan daya nalar dan intelejensianya, mereka sebenarnya mampu berkiprah dan tidak kalah dalam kontestasi dengan laki-laki. Pengatahuan feminisme—dalam segala bentuk dan atributnya—kemudian menyebar dan menjadi kesadaran yang mulai berkembang dalam masyarakat kita. Meskipun tidak semua bangsa ini tahu apa itu feminisme, namun mereka akan dengan mudah mengerti ketika berbicara tentang peran perempuan dan potensi perempuan di dunia kerja. Dengan kata lain, representasi kemampuan perempuan dalam dunia karir melalui media—iklan—telah menjadi sistem yang berhasil dalam mengoperasikan pengetahuan feminisme ke dalam masyarakat, meskipun tetap saja terdapat pihak-pihak kurang atau tidak mendukungnya. Hal itu menandakan bahwa media—sebagai alat representasi—memang tidak pernah berada dalam wilayah statis, ia berubah karena menjadi medan pertarungan. Kekuatan patriarki ingin menghegemoni dengan menampilkan citra-citra perempuan melalui media, namun kekuatan subordinat—perempuan— melakukan kontra-hegemoni melalui politik penandaan yang ada di media.

Perempuan seksi di jalanan

Gambar 4, tidak jauh berbeda dengan iklan

sebelumnya, menunjukkan satu semangat

emansipatoris perempuan dalam dunia modern.

Namun dari mitos yang disampaikan, bisa

diperoleh pesan yang berbeda tentang

keperempuanan dalam dunia kerja. Bentuk dari

mitos tersebut

adalah seorang

perempuan Gambar 4. Iklan Tumi, repro

(18)

seksi—ditunjukkan dengan betis dan tangan yang—yang membonceng seorang laki-laki

berbaju lengkap dan mengantarkan tas—merk Tumi—kepada seorang petugas dari

sebuah hotel. Yang harus pula dicatat adalah keberadaan sebuah motor scooter jenis

vespa. Meskipun apa yang hendak dipromosikan melalui iklan ini adalah sebuah

produk luar negeri—Italia—yang sekarang sudah diperoleh di Indonesia, namun

mitos dari iklan ini sebenarnya ingin menyampaikan satu makna kepada khalayak

di negeri ini.

Iklan tersebut dengan cerdas mampu mengarahkan kognisi pembaca kepada satu konsep keseksian yang mampu menaklukkan jalanan. Selama ini kerja-kerja di luaran—pekerjaan kasar—selalu diidentikkan dengan kerja-kerja laki dengan penampilan pria-pria perkasa. Dalam konteks Indonesia, memang kita bisa menemukan betapa banyak perempuan yang melakukan ‘pekerjaan kasar’ seperti

berjualan atau menjadi juru gendong (tukang mengangkut barang) di pasar-pasar. Namun yang harus diperhatikan, mereka selama ini lebih banyak mengenakan pakaian seadanya. Perkembangan zaman telah memberikan perubahan signifikan dalam hal keterlibatan perempuan dalam pekerjaan kasar. Banyak perempuan muda yang kemudian menjadi sales promotion girls (SPG) dengan

lenggak-lenggok gaya dan pakaian seksinya sembari menawarkan barang-barang dagangannya. Citra perempuan dalam iklan tersebut, rupanya sesuai dengan perkembangan tersebut. Dengan tubuh seksinya perempuan tidak harus hanya berada dalam ruang kantor—sembari menemani para direktur meeting, misalnya. Lebih dari itu mereka bisa menaklukkan jalanan, bahkan tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi mereka juga mampu ‘nyetir’—mengendalikan—motor vespa.

Sementara dari perspektif wacana, iklan ini merupakan representasi lain dari semangat feminisme yang semakin berkembang. Kalau pada iklan sebelumnya, representasi yang diciptakan berkaitan dengan kemampuan perempuan dalam mengendalikan pekerjaan kantor dan pekerjaan luar kantor dengan tetap tenang dan tersenyum, maka semangat feminisme yang berkembang dalam iklan ini adalah bahwa dengan tubuh seksinya—bukan dalam konteks sensual, tetapi pilihan—seorang perempuan sebenarnya mampu menempati posisi kerja luaran yang penuh tantangan dan mendobrak tabu tubuh yang selama ini berlangsung dalam masyarakat.

(19)

auratnya ketika keluar rumah. Iklan ini, dengan kata lain, merupakan bagian dari formasi diskursif yang hendak melawan hegemoni tabuh tubuh perempuan sejalan denagn wacana-wacana lain yang berkembang dalam novel Indonesia kontemporer —semisal Saman karya Ayu Utami—yang banyak menggunakan

‘eksploitasi tubuh dan seksualitas’ untuk memberikan ‘letupan’ bagi konservatisme masyarakat.

Laki-laki dan kematangan pikiran, perempuan dan belanja

Laki-laki sejak zaman Yunani hingga saat ini, banyak digambarkan sebagai makluk pintar yang lebih banyak menggunakan akal pikirannya dalam menentukan persoalan-persoalan penting. Mereka adalah turunan Adam yang diyakini mempunyai kematangan dalam memutuskan pilihan-pilihan rasional dalam hidup. Wacana tersebut menyebar dan diyakini oleh hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi.

Gambar 5, iklan kredit BII, merupakan representasi dari konsep-konsep tersebut. Bentuk citra yang diciptakan sangat jelas

merepresentasikan konsep tersebut. Seorang laki-laki dengan pakaian kerja elegannya

memandang empat pintu masuk yang berisi pilihan-pilihan yang berkaitan dengan

penggunaan uang—pintu 1 “café”, pintu 2 “distro”, pintu 3 “pertambangan”, dan pintu 4 “argibisnis”. Yang harus diperhatikan

pula adalah ukuran masing-masing pintu tersebut. Pintu 1 dan 4 berukuran sama, pintu 3 paling besar, dan pintu 2 berukuran paling kecil dan terletak paling jauh. Dari model pencitraan tersebut bisa jadi kita menangkap makna bahwa si laki-laki akan memilih salah satu dari pintu tersebut, atau bahkan memilih untuk masuk ke semua pintu itu karena ia mendapatkan pinjaman investasi dari bank. Namun dari sisi mitos, iklan tersebut menyampaikan satu pandangan ideologis tentang kematangan rasionalitas laki-laki dalam bisnis. Mengapa demikian?

Perhatikan ukuran masing-masing pintu. Pintu “pertambangan” dicitrakan dalam ukuran yang paling besar. Hal itu menandakan bahwa pintu inilah yang

Gambar 5. Iklan BII, Edisi

UKM dan Komersril, repro dari

(20)

kemungkinan akan dipilih si laki-laki pertama kali ketika ia mendapatkan pinjaman dari bank. Pertambangan, bagaimanapun, merupakan sasaran investasi yang menjanjikan keuntungan finansial yang cukup besar, apalagi dengan melimpahkan sumber daya mineral di Indonesia yang setiap saat dieksplorasi dengan beragam kemudahan regulasinya. Pilihan kedua, bisa jadi akan jatuh pada nomor 4 dan 2. Namun, dari segi prioritas bisa ditebak bahwa yang akan dipilih adalah pintu “agribisnis”. Dalam konteks bisnis, peluang agrobisnis sampai saat ini masih terbuka karena potensi lahan yang cukup subur di Indonesia dan potensi pasar domestik maupun internasional. Pintu “café” sangat mungkin menjadi pilihan berikutnya. Kontekstualisasi dari café adalah sebagai tempat untuk melepas kepenatan dari semua aktivitas bisnis ataupun menjamu relasi-relasi bisnis. Pintu “distro” merupakan pilihan terakhir karena tempat ini behubungan dengan kebutuhan pakaian-pakaian modis untuk

keperluan-keperluan aktivitas kasual.

Hal itu menandakan betapa laki-laki mengutamakan pertimbangan-pertimbangan yang serba matang dalam menginvesatasikan kekayaan yang mereka miliki. Mereka tidak semata-mata menggunakannya untuk keperluan-keperluan sekunder, tetapi lebih memilih pada penggunaan untuk melipatgandakan keuntungan finansial. Artinya, rasionalitas laki-laki melalui iklan ini hendak ditegaskan lagi sebagai bentuk yang memang sudah seperti itu adanya. Superioritas patriarki kembali berlangsung dalam representasi tersebut.

(21)

Namun, meskipun sama-sama menampilkan fasilitas kredit, iklan dari Standard Chartered Bank (SCB), Gambar 6, ternyata menampilkan mitos yang

berbeda. Kalau dalam iklan BII, laki-laki dimitoskan sebagai sosok yang matang dalam hal pertimbangan-pertimbangan finansial, terutama investasi, dalam iklan SCB, sebaliknya. Dengan menampilkan satu gambar denotatif, seorang

perempuan karir tersenyum ceria sehabis belanja, dengan menenteng tas dari sebuah pusat perbelanjaan. Citra tersebut memang digunakan untuk menarik minat para perempuan karir agar mau menggunakan kartu kredit yang

dikeluarkan SCB, karena memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan seorang perempuan karir.

Gambar denotatif tersebut, dengan jelas, ingin menaturalisasi pandangan mitis yang menempatkan perempuan boros dan gemar

berbelanja. Dalam hampir sebagian beras kebudayaan, pandangan tersebut banyak dijumpai, bahkan sampai sekarang, meskipun konteks dan partikularitasnya berbeda. Bahkan terdapat anggapan pada sebagian masyarakat kita bahwa perempuan memang terlahir sebagai makhluk yang suka berbelanja. Pandangan tersebut selalu bertransformasi dari waktu ke waktu. Dalam jagat modern, saat ini, perempuan karir diposisikan sebagai subjek yang semakin dimanjakan oleh kemajuan jaman, karena perkembangan industri dan ekonomi—terutama dengan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan—

memberikan kemudahan-kemudahan, terkait dengan kebutuhan-kebutuhan serba instan.

Tentu saja, banyak perempuan karir yang beranggapan bahwa mereka berhak membelanjakan apa yang telah mereka peroleh dari kerja. Memang itu benar dan sah dalam konteks kontestasi ekonomi. Namun, dengan pandangan itu, mitos bahwa perempuan sebagai ‘makhluk belanja’, semakin menjadi wajar, meski dengan menggunakan kartu kredit yang sangat mungkin memberatkan keuangan mereka. Artinya mereka telah masuk ke dalam formasi diskursif sebuah wacana besar yang menempatkan perempuan dalam posisi subjek yang memang harus mengikuti ‘kodrat’ suka berbelanja. Sehingga, sehebat apapun

(22)

perempuan dalam karirnya, toh, ia tetap tidak bisa lepas dari tindakan untuk berbelanja.

Perempuan ‘yang menendang’

Gambar 7 adalah iklan dari telepon seluler Sony Ericsson generasi baru yang memadukan antara kemampuan komunikasi dan entertainmen—dalam hal ini

musik. Terlepas dari pesan tersebut, gambar perempuan yang melakukan gerakan akrobatik menendang—semacam gerakan beladiri capuera dari Brasil— dengan memunculkan mitos tentang kebebasan ekspresif perempuan. Tentu saja

representasi seperti itu jarang kita jumpai ketika wacana feminisme belum berkembang. Pada masa lampau, perempuan yang berperilaku ‘liar’ dan terlibat dalam olah raga yang biasa dimainkan laki-laki, seperti bela diri, akan dianggap sebagai berperilaku menyimpang, dan dengan demikian diposisikan sebagai liyan yang bisa saja dikucilkan dari masyarakat.

Namun, dalam kondisi kekinian—di mana kebebasan pilihan ekspresif bagi perempuan lebih dihargai--perilaku-perilaku atau aktivitas yang dulu menjadi dominasi laki-laki, mulai banyak dikerjakan pula oleh perempuan. Beladiri

ataupun ataupun aktivitas-aktivitas publik yang mengandalkan kekuatan tubuh ataupun mengekspresikan kebebasan mulai banyak diisi oleh kaum perempuan yang dinamis, kuat, dan tidak semata-mata ‘menggunakan’ keseksian mereka untuk berkontestasi. Mereka adalah subjek-subjek dari sebuah wacana jaman yang mulai bergeser menuju community of choice. Artinya dari jenis kelamin apapun orang, mereka bisa merelasikan diri dengan pilihan-pilihan yang tidak lagi dibatasi oleh hitam putih konsensus tradisi lama. Dengan mengedepankan kemampuan, mereka bisa memilih untuk berkontestasi dalam mengekspresikan

(23)

bukan berarti bahwa seorang perempuan harus merelasikan dirinya dengan struktur dan pola aktivitas laki-laki untuk bisa ‘dilihat’ dalam arena publik—atau untuk mengatakan bahwa perempuan yang merdeka tetap saja harus merelasikan dirinya dengan tradisi patriarki sehingga mereka tetap saja terhegemoni. Perempuan, dalam konteks tersebut, bisa dikatakan sedang melakukan kontestasi untuk menegosiasikan kemampuannya, yang tidak sekedar berada dalam wilayah domestik. Dengan menggunakan tubuhnya sebagai wujud ekspresi, perempuan memperoleh kebebasan yang selama ini banyak dipenjara oleh norma-norma sosial yang diproduksi dan direproduksi oleh tradisi laki-laki.

Keharmonisan dalam berbagi

Terlepas dari masih kuatnya, tradisi patriarki dalam budaya yang berkembang pada kelompok-kelompok masyarakat partikular, sebenarnya terdapat satu wacana yang mulai berkembang—dan sangat

mungkin dalam kelompok-kelompok masyarakat partikular di Indonesia sudah eksis sebelumnya—dan menjadi satu tren tersendiri, yakni relasi harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, masyarakat, maupun negara.

Gambar 8 merupkaan iklan telepon seluler, Samsung, secara denotatif bercerita tentang sepasang kekasih yang tiduran di atas tanah lapang, sembari mendengarkan musik dari masing-masing telepon mereka—dan dengan lagu yang sama. Dengan mengusung Semangat berbagi dalam kebersamaan, diharapkan mampu menarik minat anak muda untuk membelinya telepon jenis ini.

Terlepas dari pesan rayuan tersebut, dalam

makna mitis, iklan ini berusaha menawarkan satu ideologi keharmonisan dalam berbagi, yang semestinya dipunyai oleh manusia, terutama dalam konteks relasi antara perempuan dan laki-laki. Pesan mitis tersebut, merupakan wacana besar

yang bersifat idealistis, di tengah-tengah ketimpangan gender yang masih berlangsung hingga hari ini pada sebagian masyarakat dunia. Meskipun demikian, dalam konteks lokalitas, konsep keharmonisan bukanlah hal yang baru,

Gambar 8. Iklan HP Samsung,

(24)

namun sayang, selama ini tidak banyak diungkap oleh para pejuang feminis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di masyarakat Tengger (di Desa Wonokerso, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), penulis menemukan data betapa relasi perempuan dan laki-laki bisa berjalan dengan harmonis, karena adanya kekuatan tradisi yang dijalankan turun-temurun. Perempuan dan laki-laki bahu-membahu dalam menjalankan aktivitas pertanian maupun kehidupan sosial. Dalam banyak masyarakat di pedesaan Jawa Timur, konsep keharmonisan tersebut juga masih bisa dijumpai.

Dalam kehidupan masyarakat modern, wacana tersebut sebenarnya juga mulai banyak dikembangkan. Tidak hanya sebatas dalam hal memaduh kasih yang mensyaratkan kesalingpahaman, tetapi juga dalam persoalan pekerjaan. Wacana yang berkembang bukan lagi konteks dominasi dimana dalam pekerjaan kaum laki-laki lebih banyak memperoleh akses dengan meng-ekskorporasi peran

perempuan dalam aspek-aspek minor, tetapi juga meng-inkorporasi peran perempuan dalam peran-peran strategis pekerjaan. Dan, konsep keharmonisan tersebut, bukan dalam hal perempuan dengan keseksiannya berperan penting dalam transaksi-transaksi bisnis serta mengimbangi pertimbangan-pertimbangan rasional laki-laki, tetapi perempuan sebenarnya juga mampu menggunakan kecerdasannya dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Prinsip yang dikedepankan adalah kerjasama yang saling melengkapi

berdasarkan kemampuan, dan bukan berdasarkan tubuh semata. Memang wacana tersebut belum sepenuhnya diterima dan dilaksanakan, tetapi bisa menjadi semangat yang terus disosialisasikan di wilayah-wilayah pekerjaan.

Gambar 9 merupakan iklan Deposito BTPN yang dengan jelas menggambarkan seorang suami dan istri yang bersama-sama mengasuh anak semata wayangnya dalam nuansa kebahagiaan. Nuansa keharmonisan dan ketenangan menjadi target dari BTPN karena

ingin menekankan betapa dengan deposito yang

ditawarkan, suami istri akan tenang dalam memenuhi keperluan rumah tangganya, termasuk keperluan anaknya. Sekali lagi, ini adalah sebuah Gambar 9. Iklan Deposito

(25)

mitos tentang keharmonisan dalam berbagi, terutama dalam mengatur persoalan

rumah tangga—lebih khusus bagaimana mendidik anak. Seorang suami bersama-sama istrinya sangat mungkin dan memang bisa untuk berbagi dalam bermacam persoalan rumah tangga. Artinya, mitos ini mendukung wacana tentang keutuhan rumah tangga dalam relasi gender yang adil dan stara, bukan lagi didasarkan pada dominasi, tetapi kesepahaman untuk menjalankan fungsi dan peran kooperatif.

Iklan dan ragam tubuh ideologis: simpulan

Ragam analisis yang sudah disampaikan, paling tidak, menunjukkan betapa iklan dalam media tidak bisa semata-mata dianggap sebagai institusi ‘penyubur’ hegemoni patriarki—sebagaimana yang selama ini banyak digeneralisir oleh beberapa kajian, meskipun masih ada juga iklan yang masih berusaha menyuburkan hegemoni patriarki. Iklan, bagaimanapun, merupakan sebuah

medium representasi yang diperebutkan kekuatan-kekuatan wacana yang ada dalam masyarakat. Iklan, dengan beragam tubuh laki-laki dan perempuan yang pada awalnya ditujukan untuk ‘merayu massa’—meminjam istilah Garin

Nugroho—dari analisis representasi ternyata bisa ‘menawarkan’ muatan-muatan ideologis yang mungkin dianggap wajar oleh para pembaca. Dan memang kewajaran itulah yang menjadikan persoalan ideologi terkonstruk sebagai sesuatu yang natural sehingga interplasi subjek berjalan dengan tanpa disadari. Artinya iklan tidak bisa lagi digeneralisir semata-mata menjadi medium penyebaran dan penguatan ideologi kapitalis, tetapi bisa berpotensi subversif, melawan dan memberikan kejutan bagi hegemoni ideologi patriarki. Wacana feminis, melalui iklan, mampu memberikan tawaran baru tentang peran strategis perempuan dalam kontestasi. Dengan kata lain, tubuh dalam iklan merupakan tubuh ideologis yang ‘terpecah-pecah’ (fragmented) sebagai akibat negosiasi ragam wacana ideologis yang berkembang dalam masyarakat.

Dari kajian partikular ini, paling tidak bisa dikonseptualisasikan beberapa

temuan berkaitan dengan kelelakian dan keperempuanan serta perannya dalam pemunculan ragam mitos dan wacana ideologis kepada subjek-subjek pembaca. Tubuh laki-laki dalam wujudnya yang lebih rapi, sopan, elegan, dan intelek—dalam arti tidak semata-mata menonjolkan penonjolan otot dan keperkasaan—dalam iklan (Gambar 1 dan 2) merupakan alat representasi, berupa tanda visual, yang cukup efektif dalam memapankan keberlangsungan dan keberlanjutan hegemoni

(26)

Serupa dengan kelelakian, keperempuanan dalam iklan juga menjadikan tubuh sebagai sebuah alat negosiasi mitos dan wacana ideologis yang tengah berkembang. Pertama, dengan pencitraan dinamis, tetapi tetap harus seksi

(Gambar 2), tubuh perempuan menjadi boomerang bagi subjek perempuan karena cenderung mengurungnya dalam panoptikon gaya baru yang di satu sisi memberi kebebasan bagi perempuan berkontestasi dalam wilayah kerja, tetapi

dengan catatan harus tetap menjaga keseksiannya agar tetap sedap dipandang mata. Artinya ideologi patriarki tetap memainkan hegemoninya melalui ‘politik seolah-olah’ memberikan kebebasan, sehingga subjek perempuan merasa dihargai

dan berkenan untuk tetap merawat tubuhnya untuk kemudian dijadikan ‘objek pandangan’ laki-laki. Kedua, tubuh perempuan dalam citra elegan dan dinamisnya (Gambar 3) mampu menjadi tanda bagi kedinamisan, kecerdasan, dan kemampuan perempuan dalam dunia karir. Ketiga, citra liar perempuan (Gambar

4 dan 7) merupakan alat subversif untuk mendobrak tatanan mapan bercampur tabu dari kuasa patriarkal yang menganggap perempuan tidak pantas melakukan pekerjaan ataupun aktivitas di luar kodratnya yang lemah lembut.

Dalam konteks kedua dan ketiga representasi perempuan dalam iklan-iklan

tersebut bisa diasumsikan sebagai alat negosiasi bagi kepentingan perempuan. Apabila kondisi ini mampu terus disebarkan sebagai wacana, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi ‘blok historis’ (historcial bloc) baru yang akan mampu

menawarkan hegemoni baru/tandingan untuk melawan hegemoni lama dalam pertarungan wacana ideologis. Namun, itu semua membutuhkan perjuangan yang mampu menjadi kesadaran dari para perempuan—terutama mereka yang mempunyai akses terhadap institusi publik, seperti lembaga pendidikan ataupun media—dan juga sinergitas dengan kekuatan-kekuatan reformatif lainnya— kelompok akademisi kritis/organik maupun LSM.

Yang tidak kalah penting adalah representasi kelelakian dan keperempuanan dalam citra harmonis (Gambar 8 dan 9). Tubuh laki-laki dan perempuan dalam citra yang akrab dan ramah menunjukkan betapa sebenarnya laki-dan perempuan mampu melakukan sharing dalam suasana yang cukup harmonis,

padu, dan setara. Ini merupakan satu nilai ideal yang bisa menjadi alternatif perjuangan bagi kesetaraan gender yang tidak harus semata-mata menyalahkan laki-laki. Karena, toh, laki-laki juga merupakan subjek dari wacana ideologis yang sudah berlangsung dan bertransformasi turun-temurun.

(27)

wacana, dan memunculkan wacana baru dan bisa berperan dalam memperluas kesadaran publik tentang kesetaraan gender, tentu saja, kalau para pembuatnya mampu mengapresiasi dan menegosiasikan wacana kesetaraan gender dalam karya iklan mereka. Kesadaran itulah yang ke depan harus diperjuangkan, khususnya di jagat media. Karena media merupakan budaya populer yang mampu mempengaruhi perubahan. Sudah saatnya para aktivis dan pemikir feminis melakuakn gerakan untuk mengkampanyekan kesadaran gender kepada para praktisi iklan—dan media—untuk menciptakan produk-produk yang secara kreatif mampu menyebarkan kesadaran gender di tengah-tengah masyarakat.

Strategi dan teknik representasi bisa dijadikan sebagai entry point karena persoalan itu akan berkaitan langsung dengan politik penandaan yang disampaikan kepada publik. Sekapitalis apapun sesutau, selalu tersisa nilai subversif

yang bisa dinegosiasikan, tentu kalau ada keberanian untuk berpikir dan bertindak, sehingga muncul karya-karya kreatif yang tidak hanya melayani modal, tetapi juga

sedikit banyak menawarkan pencerahan dengan cara-cara yang populis.

Bahan bacaan

Abdullah, Irwan.2002. “Tubuh: Ekspansi Pasar dan Reproduksi Ketimpangan Gender”, dalam Adi Wicaksono, dkk (ed). Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Identitas Budaya Massa. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Barthes, Roland.1972. Mythologies. New York: Hill and Wang.

Bennet, Tony.1986. “Introduction: the turn to Gramsci” dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott. Popular Culture and Social Relation. Philadelphia: The Open University Press.

Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.

______________ 2002. Arkeologi Pengetahuan. (terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni). Yogyakarta: Qalam.

Hall, Stuart.1982. “Rediscovery of ideology: the return of the repressed”, dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (eds). Culture, Society, and the Media. London: Metheun.

___________1996. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen. Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.

___________1997. “The Work of Representation” dalam Stuart Hall (ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University Press.

Sunardi, ST.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

(28)

Whinsip, Jenice.1997. “Handling Sex”, dalam Paul Marris and Sue Thornham. Media Studies: Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Gambar

Gambar 1. Iklan permen Cylitol, repro dari Kompas,
Gambar 2
Gambar 3. Iklan Auto 2000,
Gambar 4, tidak jauh berbeda dengan iklan
+6

Referensi

Dokumen terkait