Gaya Hidup
o Buku dan Film
o Fashion o Griya o Hobi o Karir o Keluarga
o Keuangan
o Makan & Minum o Musik
o Olahraga o Otomotif
o Taman & Kebun Iptek
o Astronomi o Biologi o Elektronik
o Geografi
o Internet & Komputer o Kimia
Kecantikan o Kosmetik
o Perawatan Kulit o Perawatan Rambut o Perawatan Wajah
Kesehatan
o Bugar & Fit
o Kondisi & Penyakit o Sehat Alternatif o Terapi & Obat
Ragam
o Militer
o Pengembangan Diri o Sejarah
o Tokoh
o Satwa Sosbud
o Budaya o Manusia
o Politik Review Amazine.co
Home
Tentang Amazine
You are here: Home / Sosbud / Politik / Inilah 18 Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi
Inilah 18 Kelebihan dan Kekurangan
Demokrasi
Amazine.co - Online Popular Knowledge
Baca juga
Apa itu Aristokrasi? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya Apa itu Plebisit? Arti & Contoh Penerapannya
Apa itu Politik Populisme? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya
Demokrasi, menurut definisi, adalah sistem politik di mana kekuasaan tertinggi terletak pada rakyat yang memiliki hak untuk memilih wakil mereka.
Dalam demokrasi langsung, rakyat mengambil bagian aktif dalam pembuatan undang-undang dan keputusan pemerintah lainnya.
Dalam demokrasi perwakilan, wakil yang dipilih oleh rakyat diberi mandat membuat undang-undang dan keputusan lain.
Berikut akan dibahas berbagai hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan demokrasi.
Kelebihan Demokrasi
1. Melindungi kepentingan rakyat
Demokrasi merupakan sistem yang melindungi kepentingan rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya terletak di tangan orang-orang yang mewakili rakyat banyak.
Para wakil rakyat dipilih dan harus bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Dengan cara ini, kepentingan sosial, ekonomi dan politik rakyat menjadi lebih terjamin di bawah
demokrasi.
2. Berdasarkan prinsip kesetaraan
Demokrasi didasarkan pada prinsip kesetaraan. Semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum.
Semua rakyat memiliki hak sosial, politik dan ekonomi yang sama dan negara tidak boleh membedakan warga negara atas dasar kasta, agama, jenis kelamin, atau kepemilikan.
3. Stabilitas dan tanggung jawab dalam pemerintahan
Demokrasi dikenal sebagai sistem yang stabilitas dan efisien. Pemerintahan berjalan stabil karena didasarkan pada dukungan publik.
Dalam demokrasi perwakilan, wakil rakyat mendiskusikan masalah negara secara menyeluruh dan mengambil keputusan berdasarkan aspirasi rakyat.
Di bawah sistem monarki, elit kerajaan mengambil keputusan sesuai keinginannya sendiri. Sedangkan di bawah kediktatoran, diktator tidak melibatkan rakyat sama sekali dalam pengambilan keputusan.
4. Pendidikan politik kepada rakyat
Demokrasi bisa berfungsi sebagai sekolah pendidikan politik bagi rakyat. Rakyat akan ikut terdorong untuk mengambil bagian dalam urusan negara.
5. Sedikit peluang revolusi
Karena demokrasi didasarkan pada kehendak publik, terdapat kemungkinan kecil terjadi pemberontakan rakyat. Para wakil dipilih oleh rakyat untuk melakukan urusan negara dengan dukungan rakyat.
Jika mereka tidak bekerja dengan baik atau tidak memenuhi harapan rakyat, para wakil bisa saja tidak dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan cara ini, rakyat tidak perlu melakukan pemberontakan saat menginginkan perubahan.
6. Pemerintahan stabil
Demokrasi didasarkan pada kehendak rakyat sehingga penyelenggaraan negara berjalan didasarkan atas dukungan rakyat.
Oleh karena itu, demokrasi dianggap lebih stabil daripada bentuk pemerintahan lain.
7. Membantu membentuk rakyat menjadi warga negara yang baik
Keberhasilan demokrasi terletak pada bertumbuhnya warga negara yang baik.
Demokrasi menciptakan lingkungan yang tepat untuk pengembangan kepribadian dan
menumbuhkan kebiasaan yang baik. Dalam demokrasi, rakyat dilatih untuk memahami hak dan kewajiban mereka.
8. Berdasarkan opini publik
Pemerintahan demokrasi didasarkan pada keinginan publik dan tidak didasarkan pada ketakutan pada penguasa.
Demokrasi berdiri di atas konsensus, bukan pada kekuasaan; dengan warga negara memiliki kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan.
Kekurangan Demokrasi
1. Lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas
Demokrasi tidak didasarkan pada kualitas tetapi pada kuantitas. Partai mayoritas memiliki wewenang memegang pemerintahan.
Selain itu, orang yang tidak memiliki kecerdasan, visi dan korup bisa saja terpilih menjadi penyelenggara negara.
Demokrasi bisa saja dijalankan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Dalam demokrasi, setiap warga negara diperbolehkan untuk mengambil bagian, sedangkan tidak semua orang cocok dengan peran itu.
Segerombolan manipulator yang dapat mengumpulkan suara bisa mendapatkan kekuasaan dalam demokrasi. Hasilnya, demokrasi dijalankan oleh orang bodoh dan tidak kompeten.
3. Berdasarkan kesetaraan yang tidak wajar
Konsep kesetaraan dalam demokrasi dianggap bertentangan dengan hukum alam. Alam memberi setiap individu dengan kecerdasan dan kebijaksanaan yang berbeda.
Faktanya, kemampuan tiap orang berbeda. Sebagian orang berani, lainnya pengecut. Sebagian sehat, yang lain tidak begitu sehat. Sebagian cerdas, yang lain tidak.
Kritik berpendapat bahwa akan bertentangan dengan hukum alam untuk memberikan status yang sama kepada semua orang.
4. Pemilih tidak tertarik pada pemilu
Pemilih tidak selalu menunaikan hak pilihnya sebagaimana seharusnya. Umum ditemukan tingkat partisipasi pemilih hanya berada pada kisaran angka 50 sampai 60 persen saja.
5. Menurunkan standar moral
Satu-satunya tujuan kandidat adalah memenangkan pemilihan. Mereka sering menggunakan politik uang dan praktik bawah tangan lainnya agar terpilih.
Kekuatan otot dan uang bekerja bahu-membahu untuk memastikan kemenangan seorang kandidat.
Dengan demikian, moralitas adalah korban pertama dalam pemilu. Apa yang bisa diharapkan setelah moralitas dikorbankan?
6. Demokrasi adalah pemerintahan orang kaya
Demokrasi modern pada kenyataannya adalah kapitalistik. Pemilu dilakukan dengan uang. Para calon kaya membeli suara. Pada akhirnya, rakyat mendapatkan pemerintahan plutokrasi yang berbaju demokrasi.
Pada kondisi ini, orang kaya menguasai media untuk keuntungan mereka sendiri. Kepentingan pemilik modal bisa saja mempengaruhi keputusan politik yang diambil pemerintah.
Demokrasi bisa terjerumus pada pemborosan waktu dan sumber daya. Dibutuhkan banyak waktu dalam perumusan undang-undang. Banyak uang yang dihabiskan selama pemilu.
8. Tidak terjadi pemerintahan yang stabil
Ketika tidak ada partai yang manjadi mayoritas mutlak, pemerintahan koalisi harus dibentuk. Koalisi partai politik dengan pembagian kekuasaan hanya merupakan perkawinan semu. Setiap kali terjadi benturan kepentingan, koalisi hancur dan pemerintahan runtuh. Dengan demikian, pemerintah stabil di bawah demokrasi bisa sulit dicapai.
9. Kediktatoran mayoritas
Demokrasi dikritik karena menjadi legitimasi kediktatoran mayoritas. Mayoritas diharuskan melindungi kepentingan minoritas tetapi dalam praktiknya tidak selalu demikian.
Mayoritas setelah mendapatkan kesuksesan saat pemilu terkadang melupakan minoritas dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
10. Pengaruh buruk dari partai politik
Partai politik merupakan dasar demokrasi. Partai politik bertujuan merebut kekuasaan dengan cara yang sah.
Namun terkadang, anggota partai politik lebih mendahulukan kepentingan partai dibanding kepentingan negara.[]
Terkait
Perbedaan Demokrasi Langsung dengan Demokrasi Perwakilan Perbedaan antara Negara Diktator dengan Demokrasi
Daftar 40 Bentuk Pemerintahan Negara Dunia
9 Fungsi & Tugas Utama Pemerintah Negara Demokratis Apa itu People Power? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya Daftar Lengkap 14 Dalai Lama dari Tibet
7 Penyebab yang Memicu Terjadinya Perang Dingin 16 Fakta & Informasi Menarik tentang Perang Dingin
Sharing is caring:
Filed Under: Politik, Sosbud Tagged With: demokrasi, rakyat
Populer
Ketahui 17 Bagian Sel Tumbuhan & Hewan serta Fungsinya
19 Penyebab Nyeri Punggung Atas dan Bahu (Tulang Belikat)
6 Cara Membuat Bibir Berwarna Merah Muda Alami
Cara Basmi Semut: 14 Resep Alami untuk Mengusir Semut
Cara Mengatasi Bengkak & Gatal akibat Gigitan Semut Api
Kutu Kucing pada Manusia: Gigitan, Pengobatan & Pencegahannya
Karakteristik, Sejarah & Sifat Penyembuhan Batu
Malachite
Malachite atau malasit, dalam Bahasa Indonesia disebut pula sebagai batu biduri … [Baca...]
Berapa Lama Seseorang dapat Bertahan Terjaga Tanpa Tidur? 14 Perbedaan antara Espresso dengan Kopi Biasa
13 Sebab Anda Mengalami Mimpi Buruk & Cara Mengatasinya 18 Fakta & Sejarah Mumi Hewan Mesir Kuno
10 Fakta dan Informasi Menarik tentang Bintang Laut
Tag
Afrika infeksi jantung antioksidan herbal insulin kolesterol madu kimia Hindu gula darah yunani olahraga lemak susu protein Tips Herbal diabetes alkohol Jepang komputer hormon arteri
featured
internet unsur Kehamilan kanker Alergi jerawat kulit mesir kuno sayuran Bakteriwww.Amazine.co - Copyright © 2018
Home Profil Login
Berpacu menjadi yang terbaik
Kritisi Media, Khalayak Kritis
10 January 2013 - dalam Ekpol Media Oleh yayan-s-fisip
Kritisi Media Lewat Khalayak Kritis[1]
Oleh:
Yayan Sakti Suryandaru[2]
Adagium pengaruh media massa pada masyarakat menyatakan, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro, media massa mempunyai dampak yang tidak kecil bagi masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Hal ini menampakkan adanya korelasi tak terbantah antara media massa yang menghasilkan sistem nilai tertentu dengan proses pemaknaan hidup sosial masyarakat.
Dalam sejarah perkembangan media massa, nampak bahwa media massa memainkan peranan penting membentuk pranata sosial baru ketika terjadi kemampatan tradisionalisasi masyarakat. Pertama, revolusi mesin cetak memicu perkembangan kapitalisme baru yang dikembangkan setelah revolusi industri. Produksi massal dan distribusi politik ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat pada waktu terdorong dengan adanya media cetak, yang kebanyakan pada waktu diwujudkan dalam bentuk surat kabar, sebagai sarana informasi perkembangan dinamika sosial masyarakat. Data memperlihatkan bahwa perkembangan surat kabar pada abad XIX dapat dikatakan sebagai hal yang menonjol, terutama bagi sejarah pers. Meski tidak tertutup
Kedua, penemuan radio dan “kotak bicara” yang pada akhirnya disebut dengan telepon
mendorong perluasan sistem nilai sosial yang tidak lagi dibatasi dengan ruang dan waktu. Ruang publik dan privat yang tadinya sangat terbatas menjadi ditarik dalam batasan ruang yang lebih longgar. Ini berarti dampak radio dan telepon tidak hanya berhenti pada soal relativisme ruang saja tapi juga pada soal relativisme nilai masyarakat terhadap ruang dan waktu.
Ketiga, penemuan televisi yang didahului dengan penemuan telepon, telegraf, fotografi dan rekaman suara telah membawa pada sensasi sosial yang tidak ditemukan pada teknologi terdahulu. Sensasi sosial televisi ini pada waktu tertentu telah mendorong perubahan yang dramatis pada sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sosial politik yang dipunyai oleh sebuah masyarakat. Setidaknya ada beberapa sensasi imaji sosial yang dibentuk oleh televisi, yaitu proses pembedaan antara fakta dan imajinasi - isi televisi yang tidak lagi dibatasi oleh waktu - dimensi waktu televisi yang semakin bisa mengakselerasi makna kekinian sebuah peristiwa sosial - derajad objektivitas yang relatif tinggi - derajad intimitas televisi pada para audiensnya dan kejelasan watak yang mau ditawarkan oleh televisi pada setiap tokoh yang diekspos (Edward, 2005).
Dari sekedar perkembangan tiga fenomena dalam teknologi komunikasi, terlihat bahwa media massa memainkan peranan yang sangat krusial dalam perkembangan sosial politik, ekonomi masyarakat, terlebih pada soal demokratisasi sosial dan budaya. Setidaknya media massa memainkan peranan kunci untuk mendesentralisasi kekuasaan politik dan sosial, opini atas kekuasaan dan kekuatan, penyediaan sebuah wilayah di mana masyarakat tidak lagi didominasi oleh paradigma kebenaran sosial yang bersifat manipulatif dan monopolistik, karena masyarakat ditempatkan pada situasi untuk mudah memperoleh akses informasi yang cukup memadai untuk mengadakan opini alternatif. Atau dengan kata lain dengan merujuk pendapat Jurgen Habermas (1989), media massa telah membentuk wilayah yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara piranti kekuasaan dalam hal ini negara dengan para anggota warga.
Keragaman pendapat publik, alterasi kebijakan publik, pengembangan nilai akuntabilitas
keputusan sosial, penganekaragaman budaya massa, selera konsumen, gerak dinamis pasar, peran cukup intervensi negara telah menciptakan proses demokrasi sosial yang lebih sehat dan rasional.
Teori Ekonomi-Politik Media
Teori ekonomi-politik media (political economy media theory) banyak berhutang pada kajian yang dilakukan oleh Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998). Menurutnya pendekatan dengan teori ekonomi-politik media pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resources). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Moscow, 1998 : 25).
Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi & Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang
diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media itu sendiri.
Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000:82). Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
Menurut Mosco (1998), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Dewasa ini ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi
(commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak media, pasar, dan negara apabila masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1998). Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1998). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1998).
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya. Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai “tangan tersembunyi” (the invisible hand theory). Media massa menurut pandangan liberal ini benar-benar dilihat sebagai sebuah produk kebudayaan yang harus diberikan kesempatan secara bebas dan luas untuk dimiliki oleh siapapun juga dan untuk berkompetisi secara bebas dalam pasar tersebut. Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang memberikan penekanan pada peran media massa di dalam mempromosikan kebebasan untuk berbicara (freedom of speech). Pemikiran ini memiliki beberapa kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat dipahami sebagai kelompok-kelompok yang saling bersaing. Ini berarti kelompok yang berkuasa atau kelompok yang dominan tidak terdapat. Kriteria kedua adalah media dilihat sebagai sistem organisasi yang memiliki batas, mendapatkan otonomi dari negara, partai-partai politik serta kelompok penekan. Kriteria ketiga adalah kontrol media dimiliki oleh elit manajerial yang otonom, sehingga dapat menciptakan fleksibilitas terhadap profesional media. Kriteria keempat adalah hubungan antara institusi media dan khalayak bersifat simetris.
industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa ekonomi politik kritis) merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa
memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibentuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan
mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan. Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang
Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis
memberikan penekanan pada relasi sosial (social relations) dan kekuasaan (power).
Ideologi Media
Untuk mengkaji apa yang dikandung ideologi secara komprehensif, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat Negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari
pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas pada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya.
Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan
imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dan sebagainya (McQuail, 2002 : 97). Tesis ini memperoleh satu pertanyaan yang sangat menarik yaitu mengapa manusia memerlukan imaginary relationship. Menurut Ludwig Feurbach, dan kemudian
dikembangkan oleh Marx, manusia memerlukan imaginary relationship untuk mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, padahal sebenarnya mereka mengalami penindasan. Kondisi inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.
Tesis kedua, ideologi bisa dipastikan selalu mempunyai eksistensi material dalam segala
keberadaannya. Maksudnya, ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankan praktek ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan. Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama tersebut. (Burton, 2000:176).
Perdebatan mengenai tipologi khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan kajian komunikasi massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif dipahami sebagai masyarakat yang dapat dengan mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif
menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. (Littlejohn, 1996:330).
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca berdasar penelitian yang dilakukannya
sebagaimana termuat dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), menjelaskan beberapa kategori khalayak. Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.
Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) dimana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat
adalah keikutsertaan (involvement), atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media. Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Penonton tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan. Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron misalnya, tidak pernah
langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan
modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.
teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.
Dalam menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya.
Ekopol Produksi Content Media
Analisis ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial, media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial. Kenyataan lain yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi produksi suatu artefak
kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan.
Sebenarnya, analisis ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan perspektif-perspektif lain dalam menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa perspektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya perspektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin bagus.
Saat produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan jumlah episode dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti Cinta Fitri (RCTI) atau
Tersanjung (Indosiar) bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan produk dan iklan layanan masyarakat.
Rating Pendongkrak Iklan
Bagi televisi, “kualitas” program diukur dari angka rating dan share yang pada akhirnya memengaruhi perolehan iklan. Televisi cenderung berkiblat pada rating dan share yang
menentukan layak tidaknya suatu program acara. Rating menjadi faktor utama yang menentukan definisi selera audiens, mutu acara, serta menentukan keputusan dan strategi televisi. Baik-buruk atau nilai-nilai kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar pertimbangan rating.
Di tengah pemujaan rating, sistem rating mendapat banyak kritik tajam karena kelemahan-kelemahan praktik metodologis maupun teknis penyelenggaraan survei yang dilakukan. Secara mendasar, rating misalnya tidak mampu menggambarkan perilaku menonton secara mendalam, seberapa fokus pemirsa menonton acara tersebut, representasi penonton Indonesia yang hanya diukur dari sepuluh kota, teknik pengambilan sampel, dinamika pergantian responden (panel), dan sebagainya.
Sejak keterbukaan informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme; terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating menentukan nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun dengan harga yang tinggi. Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin pengiklan.
Opini publik tentang rating acara televisi selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotetis. Pertama, bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Kedua, sebaliknya, suatu program acara divonis tidak bagus jika capaian angka rating tergolong rendah. Akibat lebih jauh dari wacana media yang mengunggulkan rating membuat para sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang berkecimpung pada produksi tipe program bergenre nonrating, seperti informasi (news) dan acara keagamaan, menjadi turun pamor dan jatuh “harga banderolnya” di mata manajemen TV.
Kondisi ini sejalan dengan pemaparan Mosco tentang kajian ekonomi politik media, yakni praktik media massa saat ini selalu melakukan komodifikasi dengan melakukan serangkaian proses produksi isi media berdasarkan kepentingan pasar (Mosco, 1998: 140-212). Seperti halnya barang dagangan, pengelolaan media sarat akan nilai-nilai ekonomis yang berkiblat pada angka rating, efisiensi dan efektivitas produksi, tiras media, serta pemfokusan target konsumen potensial. Produk media diarahkan untuk menarik perhatian audiens dalam jumlah besar (Mosco, 1998: 140-212). Sejak lama Chesney (1998) mengkritik praktik ini dengan mengatakan bahwa media sekarang menjadikan dirinya sebagai pelayan kepentingan dan kebutuhan pasar daripada kepentingan publik. Penegasan ini tidaklah berlebihan mengingat orientasi produk media hampir semuanya cenderung memenuhi keinginan konsumen dan pemasang iklan. Fakta ini juga
semakin mengokohkan posisi khalayak sebagai produk yang dijual kepada pemasang iklan maupun sebagai buruh yang dieksploitasi kalangan industrialis televisi.
Bayangkan saja penonton kita mengalami cultural brain wash dengan dicekoki kebutuhan-kebutuhan palsu dengan bentuk-bentuk tontonan yang gersang, tidak edukatif-inovatif, serta lebih banyak menonjolkan melankolisme kehidupan. Contoh sederhana bisa dilihat dari salah satu tayangan yang paling digemari masyarakat, yakni sinetron. Praktik-praktik industri sinetron Indonesia, jika ditilik di luar konteks makro, yakni dari aspek internal produksi dan kebijakan pengelola televisi sendiri, menunjukkan beberapa “penyakit” yang kontraproduktif bagi sebuah karya seni. Ironisnya, praktk-praktik ini justru mewabah bergerak progresif dengan angka capaian rating. Jika dirunut sederhana, penyakit itu antara lain tampak dari hal-hal sebagai berikut: epigon (mengekor), jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel yang
dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar, menjual wajah tampan/cantik, berkedok religius-meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi tema/daya tarik sinetron, banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam tayang yang cenderung seragam, menampilkan unsur SARA, Jakartasentris, bias gender, stereotipe yang berlebihan, mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi tubuh perempuan, kekerasan dan sadistis, mistik, dan sebagainya.
Pada perkembangan selanjutnya, kalaupun ada tayangan kontroversial—ber-rating tinggi— dihentikan oleh pengelola televisi, itu terjadi setelah ada keberatan dari masyarakat. Dalam beberapa kasus yang menyangkut acara hiburan misalnya, pihak televisi atau production house mau mendengarnya karena tidak ada pilihan lain. Pihak televisi seolah selalu punya argumen bahwa apa yang mereka tawarkan adalah semata-mata hiburan. Konsep hiburan (entertainment) bagi industri televisi sebagai bahan jualan utama memang sulit dibendung karena secara
mendasar, media hiburan memiliki formula yang ampuh untuk menarik dan mempertahankan perhatian audiens (Potter, 2001: 113).
Lebih lanjut, dilihat dari sisi internal media, para pekerja televisi sering mengedepankan pentingnya rating dan share untuk mendongkrak popularitas stasiun televisi. Kepentingan divisional itu membuat pola pikir pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi tunggal untuk menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan televisi lain. Sementara itu, praktisi sales-marketing berfokus bagaimana secara cepat mampu mengejar dan memenuhi target penjualan spot iklan. Karena tak mau sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara yang
dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark” dari data yang sudah siap saji. Dalam praktiknya, marketing bermodus kreativitas instan seperti ini cenderung mencari kemudahan mendapatkan klien dengan menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara praktis menggambarkan isi acara yang ditawarkannya kepada pengiklan.
menonton televisi. Maka masyarakat penonton televisi Indonesia yang notabene rata-rata
berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, cenderung memilih mengonsumsi media televisi, dibanding media lainnya. Fakta ini didukung pula oleh kekuatan televisi sebagai media
penyampai iklan dengan berbagai kelebihan, terutama kemampuan menggabungkan citra verbal dan nonverbal dalam format audio visual yang mudah diakses sulit ditandingi media manapun. Tak heran bila belanja iklan di televisi jauh mengungguli media lainnya. Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga biaya promosi yang dikeluarkan itu (cost) berpotensi balik dengan jumlah keuntungan (benefit) yang jauh lebih tinggi.
Hasrat beriklan ini mencapai puncaknya pada acara-acara yang berkategori tayang prime time. Menurut Nielsen Media Research (NMR), prime time adalah waktu ketika semua orang sudah pulang ke rumah dan menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time dipercaya akan menghasilkan rating yang lebih tinggi dibanding waktu lain. Pemahaman ini membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi lebih mahal harganya (Panjaitan & Iqbal, 2006: 42). Momen istimewa prime time digunakan televisi untuk menayangkan program acara (sebutlah sinetron sebagaimana disinggung sebelumnya) yang isinya kurang lebih sama. Keseragaman ini bergeser lebih awal pada momen-momen tertentu, misalnya bulan Ramadhan. Akibatnya, publik yang ingin mencari alternatif tayangan tidak diberi kesempatan. Hak publik untuk memperoleh keragaman materi produksi televisi (diversity of content) pada jam-jam tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun televisi.
Permasalahan yang selalu mengemuka mengenai metode rating Nielsen adalah soal akurasi. Ada jutaan televisi yang dimiliki oleh jutaan keluarga di sebuah negara. Sementara, Nielsen hanya mengambil 5000 di antaranya. Apakah sampel sesedikit itu bisa merepresentasikan perilaku menonton masyarakat dengan akurat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah “iya, namun dengan keterbatasan”. Sebuah sampel penelitian tidak perlu terlalu banyak untuk bisa merepresentasikan keseluruhan populasi, selama sampel tersebut representatif. Dominick, dkk (2004: 280) memberi ilustrasi dengan analogi: seseorang yang pergi ke dokter untuk tes darah. Sang dokter tentu tidak perlu mengambil 2 liter darah dari tubuh orang tersebut. Yang diperlukan hanyalah beberapa milimeter saja. Namun dari jumlah yang sedikit itu sang dokter sudah bisa memperkirakan jumlah sel darah merah, tingkat kolesterol, kadar haemoglobin, dan lain-lain.
data sekecil-kecilnya. Akan tetapi, validitas eksternalnya terlalu lemah untuk sampai bisa megatakan bahwa hasil rating ini mewakili gambaran umum se-Indonesia. Hasil rating harus dibaca lebih spesifik, hanya berlaku untuk kota besar di barat negeri yang tercakup pengukuran ini. Lagipula, sampel tidak meliputi wilayah pedesaan yang justru didiami delapan puluh persen masyarakat Indonesia. Selain itu, 55 persen sampel adalah khalayak Jakarta. Jadi, boleh dibilang masyarakat Jakarta “sangat berkuasa” mempengaruhi jenis tayangan televisi, karena hasil rating menjadi acuan siaran stasiun televisi Jakarta, yang daya pancarnya menjangkau hampir seluruh Nusantara (Prakoso, http://www.semestanet.com/2010/06/10/beginilah-cara-rating-dilakukan/).
Di Amerika, Nielsen Media Research menggambarkan dua tipe berbeda dalam mengambil sampel saat ingin mengukur aktivitas menonton TV di Amerika Serikat. Pertama, NTI yang didesain untuk merepresentasikan populasi di sebuah daerah. Hasil datanya bertaraf nasional. Sebagai sampel, Nielsen mula-mula memilih acak lebih dari 6000 area di suatu negara, biasanya berpusat pada area urban, lalu mensensus seluruh rumah tangga yang ada di area itu. Setelah itu, 5000 rumah tangga dari seluruh populasi diambil lagi secara acak. Setiap keluarga dihubungi, dan jika mereka bersedia untuk menjadi responden, Nielsen akan memasang People meter.
Prosedur yang hampir sama di Indonesia juga dilakukan oleh AGB Nielsen yang saat ini wilayah surveinya mencakup 10 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung,
Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Tingkat penyebaran panel (satu set perangkat pencatatan rating pada televisi responden) didasarkan pada survei awal atau Establishment Survey (ES) di 10 kota tersebut untuk menetapkan dan mengidentifikasi profil demografi penonton TV. Dari ES, akan didapatkan jumlah rumah tangga (berusia 5 tahun ke atas) yang memiliki TV yang berfungsi dengan baik atau disebut populasi TV. Penyebaran sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 persen, Surabaya 20 persen, Bandung 5 persen, Yogyakarta 5 persen, Medan 4 persen, Semarang 3 persen, Palembang 3 persen, Makassar 2 persen, Denpasar 2 persen, dan Banjarmasin 1 persen. Angka ini proporsional berdasarkan populasi kepemilikan televisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta, misalnya, 55 persen terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55 persen.
Dari teknik ES ini banyak yang mempertanyakan mengapa pemerataan pada sebaran datanya, tidak diambil jumlah responden yang seimbang misalnya untuk kelas ekonomi atas 33,3%, kelas ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas ekonomi bawah 33,3%, sehingga total 100%? AGB Nilesen yang saat ini sudah beroperasi di lebih dari 30 negara berargumen bahwa penyebaran panel tidak bisa disamaratakan dengan proporsi masing-masing 33,3% karena yang akan terjadi nantinya justru sampel tidak mewakili populasi.
Pada aspek lain secara teknis pergantian responden selam kurun waktu tertentu juga
memengaruhi kualitas dan akurasi survei. Idealnya sebuah keluarga atau sebuah rumah yang menjadi responden televisi menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal selama 1 tahun. Setelah itu AGB Nielsen harus mencari responden baru. Secara statistik hal itu perlu dilakukan demi menjaga objektivitas data. Di sisi lain bertujuan agar secara psikologis, mood responden tidak mempengaruhi data selanjutnya.
Perdebatan metodologis mengenai akurasi rating menjadi hal yang wajar mengingat secara mendasar terdapat dua model dasar dalam mempelajari audiens dan media, yakni model efek dan penggunaaan-gratifikasi. Kedua model ini memberikan penekanan yang berbeda. Model efek merujuk pada penekanan kekuatan “pesan” yang disampaikan media kepada audiens sehingga memposisikan audiens seolah-olah pasif, sementara model penggunaan dan gratifikasi memberi penekanan pada apa yang dilakukan audiens terhadap media. Ini menunjukkan otoritas dan kekuatan audiens dalam menggunakan media. Berdasarkan perbedaaan mendasar tersebut, dalam mempelajari riset audiens tidak cukup hanya dengan sistem rating yang mendasarkan pada metode penelitian kuantitatif, yang mengukur semua dimensi bedasarkan angka-angka. Untuk itu perlu digagas alternatif lain selain rating yang hanya berbicara mengenai angka-angka statistik yang kental beraroma positivistik.
Pengembangan Media Literacy
Keprihatinan terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor media—baik sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara maju yang memiliki interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun ternyata juga menghadapi permasalahan serupa. Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang hendak
Dalam visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang publik adalah wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau ekonomi (Sudibyo, 2004:70). Potensi demokrasi tercipta dalam ruang publik.
Masalahnya, media sama sekali bukan ruang hampa. Media adalah ajang kontestasi antara pelbagai kepentingan yang berusaha merebut ruang publik, menghegemoni publik. Hal ini diilustrasikan oleh Anthony Giddens dalam Structuration Theory, yang mengandaikan adanya baku sodok (interplay) antara struktur dan agent dalam proses konstruksi ruang sosial. Ini terlihat dalam fenomena media ketika berhadapan dengan kekuatan politis negara dan kekuatan ekonomi pasar. Ketika media dikuasai oleh state regulation, media gagal menciptakan ruang publik. State regulation mendefinisikan kerangka informasi dalam bingkai yang dilegitimasi oleh negara. Hal yang sama juga terjadi ketika media dikuasai oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Media, tatkala berhadapan publik, menjadikan publik sebagai komoditas alih-alih melayani kepentingan publik. Hal sedemikian tidak bisa diterima karena dalam kerangka etiknya, media massa mengemban fungsi sosial-politik di samping fungsi ekonomi.
Mengatasi hal ini, penting kiranya menyimak pendapat Richard Falk (1995). Falk dalam bukunya On Humane Government: Toward A New Global Politics mengidentifikasi tiga kekuatan besar dalam era globalisasi: state, market dan civil. Apabila market dan state bersatu menghadapi civil society, akan terbentuk inhuman governance. Maka, agar terbentuk
pemerintahan yang humane governance, civil society harus bekerjasama dengan market. Kendati demikian, berbicara pasal market media massa di Indonesia, nyata terlihat bahwa jual-beli yang terjadi belum berlangsung dalam proses yang memberikan win-win solution. Dalam pasar media massa saat ini, yang ditandai dengan melemahnya kekuatan state, maka pihak yang senantiasa diuntungkan adalah media massa, sementara publik tetap saja dieksploitasi, dikomodifikasi, dijual ke pengiklan dengan harga mahal. Sebagai balasan atas nilai jualnya, publik tidak disuguhi oleh acara yang mencerdaskan, tapi lebih banyak diberi pilihan sensasionalitas yang hanya mengumbar emosi sesaat.
Menghadapi dunia media massa Indonesia saat ini yang cenderung menyajikan isi tidak
sebagai antivirus menghadapi ‘virus’ media. Dengan demikian, mereka tidak akan terkena ‘penyakit’ alias efek negatif media.
Apabila virus yang dimaksud dalam analogi ini adalah media massa, maka antivirusnya adalah sebuah konsep yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini, yaitu media literacy. Media literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003).” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam
hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam suatu masyarakat media, dimana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan
menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.
Dalam maknanya yang paling luas, literacy (keberaksaraan) termasuk kemampuan untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ dengan trampil dalam pelbagai bentuk-bentuk pesan, terutama
menimbang dominasi media elektronik berbasis citra. Secara sederhana, media literacy termasuk ketrampilan-ketrampilan literacy yang diperluas pada seluruh bentuk pesan, termasuk menulis dan membaca, berbicara dan menyimak, menonton secara kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan pelbagai teknologi. Media literacy bukanlah subyek yang baru, dan juga bukan sekadar tentang televisi, namun merupakan literacy bagi masyarakat informasi. Media literacy adalah semacam code of conduct bagi masyarakat di Era Informasi. Konsep ini dijabarkan dalam tiga kriteria:
Ability to subjectively read and comprehend media content (kecakapan untuk membaca dan memahami isi media secara subjektif), meliputi:
v Ability to understand the various characteristics of media conveying information (kecakapan untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi).
v Ability to communicate through the media, especially an interactive communication ability (kecakapan untuk berkomunikasi melalui media, khususnya suatu kecakapan komunikasi interaktif): ability to express one’s own ideas through media in a way that the recipient can understand (kecakapan untuk mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi melalui media dengan suatu cara yang dapat dipahami oleh penerima pesan).[3]
Meninjau operasionalisasi konsep di atas, tampak jelas bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dijabarkan sesungguhnya diarahkan untuk membuat manusia tidak gamang berhadapan dengan media, tidak menganggap media adalah segalanya, tidak tunduk di depan media, dan karena itu, dapat memanfaatkan media sesuai dengan keperluannya.m Sebagai sebuah payung untuk memahami politik pengemasan isi media, media literacy memiliki konsep-konsep dasar sbb.:
1. Semua media, pada dasarnya, adalah konstruksi. Media tidak menampilkan refleksi sederhana dari realitas eksternal. Media menampilkan konstruksi yang diatur secara rumit berdasarkan pengambilan keputusan atas pelbagai kebijakan dan pilihan yang sangat luas. Media literacy bermaksud melakukan dekonstruksi atas konstruksi ini.
2. Media mengonstruksi realitas. Bagian terbesar dari media literacy, karena itu, bukanlah ditujukan untuk mempelajari aspek produksi media, melainkan untuk memperlihatkan pada kita bagaimana media melakukan proses konstruksi realitas, sehingga kita bisa mengenali preconstruction reality (realitas yang belum dikonstruksi). Media literacy bermaksud menanamkan kesadaran bahwa medialah yang selama ini telah mengonstruksi realitas kita, bukan kita sendiri. Karena itu, media literacy bertujuan mengembalikan kuasa konstruksi realitas itu pada kita sendiri selaku publik atau khalayak media. 3. Khalayak menegosiasikan makna dalam media. Setiap orang memberikan makna yang
berbeda pada apa yang diperolehnya dari media. Setuju, tidak setuju, tidak berpendapat, semua adalah bagian dari proses negosiasi khalayak pada media didasarkan latar
belakang kultural, keluarga, preferensi sikap dan nilai, faktor gender, dan sebagainya. 4. Media memiliki implikasi-implikasi komersial. Media literacy, karena itu, memasukkan
kesadaran akan ‘dasar ekonomi produksi media massa dan bagaimana hal itu
berimplikasi pada isi, teknik, serta distribusi.’ Produksi media adalah sebuah bisnis yang bertujuan akhir mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. Media literacy
menginvestigasi pertanyaan seputar kepemilikan, kontrol, dan efek-efek terkait. Bukan pada efek media semata, tapi pada sosiologi media, yaitu kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menentukan isi media.
5. Media berisi pesan-pesan bersifat ideologis dengan nilai-nilai tertentu. Tidak ada media yang netral. Semua produk media dalam taraf tertentu melakukan promosi—untuk dirinya sendiri maupun untuk menawarkan gaya hidup tertentu. Ini meliputi iklan-iklan produk atas nama kesejahteraan hidup—a good life—di balik bayang-bayang
status quo budaya patriarkis, atau peneguhan peran politis dan ideologi partai tertentu yang mengatasnamakan pesan-pesan ‘kebangsaan’ dan nilai-nilai ‘patriotisme.’
6. Media memiliki implikasi sosial politik. Media adalah ajang kontestasi kekuatan sosial politik masyarakat. Media punya kekuatan yang bisa mengarahkan opini publik pada isu-isu tertentu. Misalnya, menggiring opini publik pada kandidat presiden tertentu melalui polling SMS, atau melibatkan partisipasi publik pada isu hak-hak sipil global seperti epidemi AIDS, kelaparan di Dunia Ketiga, sampai pada pemberantasan terorisme internasional.
7. Bentuk dan isi berkaitan erat dengan media. Setiap media, seperti dinyatakan McLuhan, memiliki tatabahasa tersendiri dan mengodifikasikan realitas dalam cara-cara yang unik. Media bisa melaporkan peristiwa serupa, namun kemasan pesannya berbeda-beda. Maka, dengan sendirinya, impresi atas kemasan pesan itupun akan berbeda-beda.
8. Setiap medium memiliki bentuk estetik yang unik. Ekspresi keindahan setiap media berbeda-beda, dan kita dimungkinkan untuk menikmati semuanya, kendati kesan dan preferensi orang akan berbeda-beda hingga efeknya pun tak sama.
Prinsip-prinsip ini harus dicakup dalam upaya mengimplementasikan media literacy, entah itu dalam ranah publik secara informal maupun dalam ranah cultural maintenance secara formal yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga pendidikan. *** [email protected] ***
Referensi
Baran, Stanley J., 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment and Future, New York:Wadsworth
Boyd-Barret, Oliver, (eds), 1995, Approach to Media: A Reader, New York:St. Martin Press
Burton, Graeme. 2000. Talking Television : An Introduction to The Study of Television. London : Arnold
Curran and Gurevitch (eds), 1991, Mass Media and Society, London:Edward Arnold.
Dominic, Strinati, 2004, An Introduction to Theories of Popular Culure, New York: Routledge
Edwards, D. & D. Cromwell, 2005. Guardians of power: the myth of the liberal media. London: Pluto Press.
Feintuck, Mike, 1998, Media Regulation, Public Interest, and The Law, London:Edinburg University Press
Giddens, Anthony, 2000, Sociology, Cambridge:Polity Press
Habermas, J. 1989. The structural transformation of the public sphere: an inquiry into a category of Bourgeois society. Cambridge: Polity Press.
Hall, Stuart (Ed.), 1997, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices,
Sage Publications, London,
Jolls, Tessa. Media Literacy Core Concepts. Diakses dari www.learnlb.org/media/core. Tanggal akses terakhir 12 Juni 2010.
Kellner, Douglas. 1997. Television and The Crisis of Democracy. Boulder: Westview Press.
Lichtenberg, Judith, 1990, Democracy and The Mass Media, London:Cambridge
Littlejohn, Stephen W, 1994. Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont CA,Wadsworth Publising Company
Lindlof, Thomas R dan Taylor, Brian C, 2002. Qualitative Communication Research Methods,
2nd Edition. London, Sage Publication
Limburg, Val L,1994. Electronic Media Ethic. New York, Routhledge
Livingstone, Sonia, The Changing Nature and Uses of Media Literacy. Diakses dari www. lse.ac.uk/collections/media@lse/mediaWorkingPaper/ewpNumber4. Tanggal akses terakhir 12 Juni 2010.
McChesney, R. W. 1999. Rich media, poor democracy: communication politics in dubious times.
Urbana, University of Illinois Press.
McQuail, Denis, 2005, McQuail’s Mass Communication Theory, London, Sage Publications
Newcomb, Horace, 2000, Television: The Critical Reading, Oxford:Oxford University Press
Potter, James W. 2002. Media Literacy. New York: SAGE Publication
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jogjakarta: LkiS.
Shoemaker, Pamela J. and Reese, Stephen D. 1991. Mediating the Massage : Theories of Influence on Mass Media Content, 2nd Edition. New York, Longman Publisher
Straubhaar, Joseph and Larose, Robert, 1997. Communication Media in The Information Society. California, Wadsworth Publishing
Straubhar, 2002, Media Now: Communication Media in the Information Age, New York:Wadsworth
Schiller, Herbert, 1997, Whose New International Economics and Information Order, in Golding, Peter (eds), The Political Economy of The Media, Brookfield: Edward Elgar Publishing.
Webster, Franck, 1995, Theories of The Information Society, London:Routledge
Wheeler, M. C, 1997, Politics and the mass media. Cambridge, Mass.: Blackwell Press.
[2] Mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Jogjakarta
[3] Jolls, Tessa. Media Literacy Core Concepts. Diakses dari www.learnlb.org/media/core. Tanggal akses terakhir 12 Juni 2010.
Read More | Respon : 0 komentar
Tinggalkan Komentar
Nama :
E-mail :
Web : tanpa http://
Komentar :
Verification Code :
Pengumuman
Kategori
Ekpol Media (4) Gender (8) Jurnalisme (12) Kompol (11) komsosbang (22) media (26)
Media Relations PR (5) riset medkom (2) SDM (11)
Survey Opini Publik (6)
Artikel Terbaru
Komunikasi Politik Mencari simpati untuk merebut hati publik Teknik Komunikasi Efektif dengan Konstituen
Menggugah Inspirasi Lewat Penulisan “Lesson Learned” TEKNIK SAMPLING RISET OPINI PUBLIK
PROSEDUR DAN TEKNIK WAWANCARA
Artikel Terpopuler
Komentar Terbaru
Arsip
March 2012 December 2012
Blogroll
UNAIR
Pengunjung
219.416
Home | Profil | LoginCopyright � 2011 DSI | Website Templates by Free CSS Templates
Kekurangan Demokrasi :
1. Lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas.
Demokrasi tidak didasarkan pada kualitas tetapi pada kuantitas. Partai mayoritas memiliki wewenang memegang pemerintahan. Selain itu, orang yang tidak memiliki kecerdasan, visi dan misi untuk korupsi dan tindak penyelewengan lainnya bisa terpilih menjadi penyelenggara negara.
2. Pemerintahan oleh orang tidak kompeten.
Demokrasi bisa saja dijalankan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Dalam
demokrasi, setiap warga negara diperbolehkan untuk mengambil bagian, sedangkan tidak semua orang cocok dengan peran itu. Oknum manipulator misalnya yang dapat
mengumpulkan suara bisa mendapatkan kekuasaan dalam demokrasi. Hasilnya, demokrasi dijalankan oleh orang bodoh dan tidak jujur.
3. Berdasarkan kesetaraan yang tidak wajar.
Konsep kesetaraan dalam demokrasi dianggap bertentangan dengan hukum alam. Alam memberi setiap individu dengan kecerdasan dan kebijaksanaan yang berbeda. Faktanya, kemampuan tiap orang berbeda. Sebagian orang berani, lainnya pengecut. Sebagian sehat, yang lain tidak begitu sehat. Sebagian cerdas, yang lain tidak. Kritik berpendapat bahwa akan bertentangan dengan hukum alam untuk memberikan status yang sama kepada semua orang.
4. Pemilih tidak tertarik pada pemilu.
5. Menurunkan standar moral.
Satu-satunya tujuan kandidat adalah memenangkan pemilihan. Mereka sering
menggunakan politik uang dan praktik bawah tangan lainnya agar terpilih. Kekuatan otot dan uang bekerja bahu-membahu untuk memastikan kemenangan seorang kandidat. 6. Demokrasi adalah pemerintahan orang kaya.
Demokrasi modern pada kenyataannya adalah kapitalistik. Pemilu dilakukan dengan uang. Para calon kaya membeli suara. Pada akhirnya, rakyat mendapatkan pemerintahan plutokrasi yang berbaju demokrasi. Pada kondisi ini, orang kaya menguasai media untuk keuntungan mereka sendiri. Kepentingan pemilik modal bisa saja mempengaruhi
keputusan politik yang diambil pemerintah. 7. Kediktatoran mayoritas.
Demokrasi dikritik karena menjadi legitimasi kediktatoran mayoritas. Mayoritas diharuskan melindungi kepentingan minoritas tetapi dalam praktiknya tidak selalu demikian. Mayoritas setelah mendapatkan kesuksesan saat pemilu terkadang melupakan minoritas dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Mayoritas disini adalah mereka yang bergelut didunia partai.
8. Pengaruh buruk dari partai politik.
Partai politik merupakan dasar demokrasi. Partai politik bertujuan merebut kekuasaan dengan cara yang sah.Namun terkadang, anggota partai politik lebih mendahulukan kepentingan partai dibanding kepentingan Negara.