Mengubah Teks Ulasan Film dan
Drama dalam Bentuk Resensi
[Type the document subtitle]
Nama : Nurul Fuada
Kelas : XI MIPA 2
SMA NEGERI 2 BUKITTINGGI
A.Contoh Teks Ulasan Film
Di Balik ‘98
Orientasi
Di Balik '98 adalah sebuah film produksi MNC Pictures yang bercerita tentang peristiwa rusuh 1998. Rakyat Indonesia tentu tahu mengenai peristiwa Mei 1998. Ya, waktu itu adalah waktu-waktu yang genting bagi tahta kepresidenan Soeharto dan Orde Baru. Tetapi Di balik 98, dibalik panasnya situasi politik, ada cerita-cerita yang bisa dipetik nilai kemanusiaannya.
Tafsiran
Dikisahkan, Diana (Chelsea Islan), seorang mahasiswi Trisakti akhirnya memutuskan untuk menjadi demonstran. Masa kekuasaan Soeharto, menurutnya harus segera diakhiri. Memilih untuk menjadi demonstran merupakan aplikasi yang kurang tepat, mengingat Diana kini tinggal dengan kakaknya, Salma (Ririn Ekawati), seorang pegawai Istana Negara, dan suami Salma, Bagus (Donny Alamsyah), seorang Letnan Dua, Angkatan Darat.
Sejak awal krisis moneter, Diana sudah menjadi bagian dari gerakan gabungan seluruh mahasiswa Indonesia yang menuntut turunnya
presiden Soeharta. Ini adalah salah satu bentuk dari ketakutan masyarakat, dan puncaknya terjadi saat 13-14 Mei, dimana 4 orang mahasiswa tertembak mati oleh aparat.
Di tengah kondisi yang sangat kacau ini, presiden Soeharto (Amoro Katamsi) memutuskan untuk pergi ke Kairo, menghadiri KTT G-15.
Sedangkan wakil presiden, B.J. Habibie dikejutkan oleh insiden penembakan di Trisakti yang berbuntut kerusuhan besar.
Semuanya kian pelik saat Daniel (Boy William), pacar Diana, seorang keturunan Tionghoa, harus juga merasakan pedihnya hari-hari kala itu. Ayah dan adiknya menghilang dalam kerusuhan 14 Mei. Bahkan Daniel juga nyaris terjebak sweeping warga dalam penyaringan orang-orang Non Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue rasial di Indonesia. Disisi lain, rakyat sekelas gembel dan pengemis pun harus turut
merasakan bagaimana imbas politik yang terjadi, dan dampak buruknya bagi mereka.
Evaluasi
Film yang dirilis pada 15 Januari 2015 lalu ini bukanlah film politik, tetapi film drama keluarga, percintaan, yang dibalut dengan latar
belakang kekisruhan Mei 1998. Dan karena ini adalah film, memiliki paradigma yang berbeda dengan kejadian kerusuhan Mei '98 tersebut. Dengan memasukkan bumbu-bumbu fiksi berupa kisah Diana, Daniel, dan yang lainnya, akan melengkapi film Dibalik 98 menjadi lebih sempurna.
Kisah genting 1998 memang sampai saat ini masih terkenang
dengan baik, khususnya bagi mereka yang mengalami atau menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Namun Lukman Sardi, sang sutradara,
mencoba menggambarkan problematika lain yang terdapat Dibalik 98 untuk diketahui masyarakat. Kehadiran Chelsea Islan yang namanya sedang naik daun, berbanding lurus dengan kualitas aktingnya yang semakin mumpuni. Boy William pun tak kalah hebatnya memainkan
mahasiswa turunan Tionghoa yang ikut merasakan kepahitan 1998. Untuk masalah pemain, Dibalik 98 memberikan yang terbaik. Verdi Solaiman, Alya Rohali, Fauzi Baadilla, Teuku Rifnu Wikana, Bima Azriel, dan masih banyak yang lainnya juga akan tampil di sini.
Rangkuman
Jika Anda belum mengetahui bagaimana kira-kira situasi pada Mei 1998, Dibalik 98 juga memberikan jawabannya. Karena meskipun
mengedepankan kisah drama, film ini tetap memiliki latar belakang politik yang dapat dipercaya demi keutuhan cerita. Bagaimana para demonstran akhirnya dijamu oleh MPR/DPR, bagaimana perbincangan empat mata presiden dengan wakil presiden, juga bagaimana keresahan yang
Itu adalah nilai tambah lain untuk film dari MNC Pictures yang satu ini. Jadi, keputusan menonton film ini ada di tangan Anda.
B. Contoh Teks Ulasan Drama
Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis
Orientasi
Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah
disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang, temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.
Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi
dari cerpen karya Asma Nadia, mengambil model biner dari dongeng moral Mark Twain: The Prince and The Pauper. Sang pangeran adalah Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-raya dengan sindrom mental tak terjelaskan yang membuatnya mengalami ‘penolakan’ dari komunitasnya (anggota keluarga).
Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Tafsiran Isi
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan
banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’ atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita).
Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak
perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’ rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial. Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik berjilbab bernama Bu Alya).
Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak. Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda ‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo). Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun
antar-komunitas (konflik antara keluarga Aldo dan antar-komunitas Rara). Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa
Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi
realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun,
permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan
penyederhanaan.
Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki
berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu, sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam
Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’ sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut siapa?
Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa
Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih
mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia ‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia.
Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang
tak-berpunya.
Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’ pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan
kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa
Jendela memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas
sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini
yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth) atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini
diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-grantedatau bersifat takdir, dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih
mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat
kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapang-dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure
activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi
borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya
termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tak tampak’ di depan mata.
Evaluasi
Sayang, sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini,kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakilioleh scene-scene
musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif adalah energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikalkebanyakan merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilantunggal (solo). Penekanan
interkomunitas(konflik keluarga Aldo) maupun antarkomunitas (konflik antarakeluarga Aldo dan komunitas Rara).
Rangkuman
Dari paparan tadi, dapat disimpulkan bahwa film “Rumah Tanpa Jendela”
memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial ekonomi lewat model film mesikal klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model utopia dalam
merespons kondisi masyawakat Indonesia yang teragmentasi dalam kelas sosial ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang di bayangkan oleh kelas menngah atas.
Resensi Film Di Balik ‘98
Kisah perjuangan keluarga dan pengorbanan cinta melewati tragedi Mei 1998.
Letnan Dua Bagus bimbang ketika harus berhadapan dengan situasi luar biasa itu. Tanggung jawab sebagai petugas pengamanan harus
Kerusuhan memaksa Presiden Soeharto pulang dari Kairo lebih awal. Pemerintah dihadapkan pada situasi yang sulit. Tokoh masyarakat dan beberapa perwakilan Ormas secara langsung meminta Presiden Soeharto mundur. Namun ia bergeming dan berencana membentuk komite dan kabinet reformasi untuk menjawab tuntutan tersebut.
Sementara itu, nasib baik enggan untuk berpihak kepada Bagus. Diana, adik iparnya, aktivis reformasi, harus berbenturan pendapat dengan kakaknya ketika mengetahui Salma kakaknya hilang di tengah peristiwa kerusuhan. Diana menuduh Bagus tidak bisa menjaga Salma. Keadaan semakin pelik ketika Daniel, pacar Diana, keturunan Tionghoa yang juga ikut berjuang menuntut perubahan, harus kehilangan ayah dan adiknya dalam kerusuhan. Bahkan Daniel hampir terjebak sweeping warga yang menyaring orang-orang Non Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue rasial di Indonesia. Untungnya Daniel selamat dan menemukan
keluarganya lalu ikut exodus meninggalkan Indonesia.
Presiden Soeharto membentuk komite dan kabinet reformasi yang tidak mendapat tanggapan positif. Bahkan ketua MPR Harmoko meminta Presiden untuk mengundurkan diri. Selain itu ada 14 menteri menolak tergabung dalam kabinet reformasi.
Salma terselamatkan dan dibawa ke sebuah rumah sakit. Di saat detik kelahiran anak pertamanya, Bagus dan Diana menemukan Salma. Bayi yang mereka nantikan dilahirkan.
17 Tahun berlalu. Daniel kembali ke Jakarta dengan membawa abu kremasi ayahnya. Ayahnya ingin beristirahat untuk selama-lamanya di tanah kelahirannya itu. Daniel menemukan Diana. Keduanya masih memiliki semangat yang sama untuk melanjutkan semangat reformasi. Data tidak lengkap atau salah?
Bantu kami melengkapi/membenarkan data di laman ini. Kami sangat menghargai setiap data yang Anda bagi dengan kami. Silakan lihat laman Kontribusi untuk keterangan lebih lanjut.
Resensi Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis
Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah
disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang, temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.
Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi
Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan
bersahabat lewat peristiwaaccidentally on purpose (strategi naratif yang banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’ atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita).
Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak
perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’ rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial. Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik berjilbab bernama Bu Alya).
Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak. Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda ‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo). Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun
antar-komunitas (konflik antara keluarga Aldo dan antar-komunitas Rara). Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa
Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi
realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun,
permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan
Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki
berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu, sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam
segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya, kerja sampingan. Maka, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’ sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut siapa?
Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa
Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih
mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia ‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia.
Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang
tak-berpunya.
Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’ pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan
kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa
sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini
menawarkan model utopia dalam merespon kondisi masyarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth) atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini
diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-grantedatau bersifat takdir, dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih
mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat
kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapang-dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure
activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi
borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya
Membandingkan Teks Ulasan Film dan Teks Ulasan Drama
Perbedaan Film dan Drama
1. Pementasan drama secara langsung melalui media Durasi waktu biasanya tidak lebih dari 1 jam. Sedangkan durasi waktu film sekitar 1-2 jam.
2. Drama dapat dilakukan di tempat terbuka maupun tertutup. Film dapat dilihat di tempat tertutup seperti bioskop
3. Drama biasanya menceritakan kehidupan sehari-hari atau cerita dongeng yang terkenal.
4. Pada drama biasanya pemeran dapat berinteraksi langsung dengan penonton. Sedangkan film tidak dapat berinteraksi langsung karena berada dalam layar.
5. Drama jarang menggunakan sutradara dan jika ada biasanya hanya memberikan arahan saja. Sutradara bertugas untuk mengatur