• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Paradigma Keseimbangan Wilayah (The Regional Self Balance), - PARADIGMA PENGEMBANGAN WILAYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2.1. Paradigma Keseimbangan Wilayah (The Regional Self Balance), - PARADIGMA PENGEMBANGAN WILAYAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA PENGEMBANGAN WILAYAH

Telah banyak teori yang dikembangkan para ahli guna memahami fenomena wilayah, khususnya keterbelakangan dan ketimpangan wilayah1. Berdasarkan kesejajaran

asumsi, visi dan solusi mengenai sebab-sebab dan mekanisme prinsipil dibalik fenomena ketimpangan wilayah, maka teori-teori tersebut dapat dipilah kedalam empat paradigma atau aliran pemikiran, yaitu : (1) paradigma keseimbangan wilayah (the regional self balance), (2) paradigma ketidakseimbangan wilayah (the regional imbalance), (3) paradigma ketergantungan struktural (the structural dependency), dan (4) paradigma kebijaksanaan negara (the state Policies) (Lay, 1990). Berikut akan dijelaskan masing-masing paradigma tersebut, untuk kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena Indonesia.

2.1. Paradigma Keseimbangan Wilayah (The Regional Self Balance),

Paradigma keseimbangan wilayah mendasarkan pada sumsi adanya keseimbangan ekonomi wilayah, dan sepenuhnya percaya pada mekanisme pasar2

sebagai alokator semberdaya paling efisien, sekaligus cara terbaik dalam memberikan kemakmuran bagi semua wilayah.

Penganut paradigma ini percaya bahwa ketimpangan wilayah merupakan fenomena yang pasti hadir pada tahap awal proses pembangunan. Penjelasannya, adalah hal yang wajar, jika masing-masing wilayah dalam suatu negara tidak memiliki potensi yang sama dan sebanding, sebagai modal untuk tumbuh dan berkembang. Terdapat perbedaan kemampuan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, yang merupakan awal penyebab terjadinya ketimpangan antarwilayah.

Paradigma ini juga percaya bahwa padakurun waktu panjang, kekuatan pasar akan mengoreksi kesenjangan tersebut. Dengan kata lain, fenomena ketimpangan wilayah diyakini akan berakhir seiring dengan semakin tingginya kemakmuran suatu wilayah. Dengan kata lain, kesenjangan wilayah merupakan fenomena alamiah yang bersifat sementara (transisional).

Ada sejumlah faktor yang menentukan maju-mundurnya suatu wilayah. Yang terpenting adalah penduduk dan sumberdaya yang tersedia. Kemakmuran dipahami sebagai fungsi dari sumberdaya yang dimiliki. Semakin besar sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah, semakin besar kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang sebagai wilayah makmur. Selain itu, kemampuan mendayagunakan (eksploitasi) dan tingkat produktivitas juga menjadi penentu kemajuan suatu wilayah. Sumberdaya yang melimpah tidak secara otomatis menjamin wilayah akan makmur.

Dari uraian di atas, paradigma ini melihat kesenjangan wilayah dan keseimbangan wilayah akan terjadi secara otomatis. Mekanisme pasar akan menuntun ke arah keseimbangan. Asumsi yang mendasari optimisme ini adalah bahwa modal dan tenaga kerja akan bergerak ke wilayah yang memiliki keuntungan dan upah tinggi. Dengan logika ini, modal akan bergerak ke wilayah pinggiran –dimana tenaga kerja tersedia secara melimpah dan murah-, sedangkan tenaga kerja akan bergerak ke pusat pertumbuhan untuk memperebutkan upah tinggi.

Sebagai akibat gerakan perpindahan modal dan tenaga kerja yang saling berlawanan tersebut, wilayah pinggiran akan mengalami kelangkaan tenaga kerja dan kemelimpahan modal. Akibatnya, tingkat upah menjadi tinggi dan kemakmuran meningkat. Sebaliknya, kelangkaan modal dan kelebihan tenaga kerja akan menjadikan pusat pertumbuhan merosot kemakmurannya karena tingkat upah yang menurun. Hasil akhirnya adalah terbentuknya keseimbangan antarwilayah.

1 Tujuan utama pengembangan wilayah adalah meningkatkan kinerja wilayah dan keseimbangan antar wilayah. Oleh karena itu ketimpangan wilayah merupakan fokus utama kajian wilayah, yang dalam perkembangannya melahirkan beberapa aliran pemikiran .

(2)

Penjelasan di atas diyakini oleh paradigma keseimbangan wilayah sebagai mekanisme prinsipil yang akan menentukan langkah kerja kekuatan pasar dalam menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah. Beberapa ahli penggagas paradigma ini antara lain : Field (1969), Richardson (1973), Williamson (1968), dan Forbes (1984)..

Argumentasi dan logika paradigma ini bukan tanpa cacat berarti. Meningkatnya kesenjangan wilayah dan lemahnya asumsi paradigma ini telah melahirkan sejumlah reaksi yang luas, antara lain memunculkan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru, yaitu paradigma ketidakseimbangan wilayah.

Beberapa kritik paradigma keseimbangan wilayah antara lain : (1) kecenderungan pasar yang monopolistik dan eksploitatif terhadap wilayah pinggiran, atau mekanisme pasar tidak terjadi sebagaimana mestinya; (2) hambatan pergerakan modal dan tenaga kerja antar wilayah, (3) terabaikannya biaya transportasi (transport cost); (4) prasarat terciptanya kondisi kesempatan kerja yang melimpah di pusat pertumbuhan; (5) tenaga kerja diasumsikan homogen, (6) informasi terdistribusi merata, dan (7) rasionalitas ekonomi (seers, 1983).

Menurut para pengritik paradigma ini, kondisi yang diasumsikan di atas tidak sepenuhnya terjadi dalam realitas. Karena itu, kondisi ideal yang disyaratkan bagi terciptanya keseimbangan wilayah adalah mustahil terwujud seperti diramalkan secara optimis oleh paradigma ini.

Kasus Indonesia

Paradigma ini berprinsip bahwa kemakmuran suatu wilayah merupakan fungsi dari potensi Sumberdaya Alam dan pendayagunaannya. Contoh paling cocok adalah NTT dan NTB. Sebaliknya kasus Kaltim, Riau, Aceh, dan Irian Jaya, meskipun kaya SDA, tapi kemakmuran penduduknya rendah. Sedangkan DIY, miskin SDA, tapi kemakmuran tinggi. Bagaimana fenomena seperti ini dapat dijelaskan dengan paradigma di atas. Kunci membahas kesenjangan wilayah di Indonesia dengan paradigma ini adalah distribusi SDA, pendayagunaan SDA, hambatan geografis (transportasi), mekanisme pasar tidak berjalan wajar (monopoli).

2.2. Paradigma Ketidakseimbangan Wilayah (The Regional Imbalance)

Bertolak belakang dengan keyakinan paradigma keseimbangan wilayah, teori-teori dibawah naungan paradigma ketidakseimbangan wilayah justru memahami ketimpangan wilayah sebagai suatu yang melekat (inherent) dalam mekanisme pasar. Bekerjanya mekanisme pasar akan mengakibatkan terjadinya eksodus (pergerakan keluar) modal, tenaga kerja, dan keuntungan yang dihasilkan wilayah pinggiran ke wilayah pusat atau pusat pertumbuhan.

Paradigma ini melihat mekanisme pasar sebagai penyebab kesenjangan wilayah. Seers (1983) menyatakan bahwa persoalan ketimpangan wilayah berpangkal pada sebab-sebab yang bersifat struktural yang melekat pada sistem kapitalisme. Ditegaskan, bekerjanya kekuatan pasar pada tataran internasional, nasional, dan wilayah adalah kunci untuk memahami dan menjelaskan fenomena di atas.

Paradima ketidaksimbangan wilayah menyakini bahwa ketimpangan wilayah adalah gejala yang bersifat permanen (tetap). Kita dapat menganggap bahwa ketimpangan wilayah tidak terpisahkan (melekat) pada sistem pasar. Ketimpangan wilayah merupahan muara (hasil akhir) sistem pasat. Selama mekanisme pasar diberi peluang bekerja secara leluasa (bebas, seperti free trade atau free figh liberalism), maka keseimbangan wilayah akan semakin memburuk atau ketimpangan wilayah semakin melebar.

(3)

penyeimbang (counter poles). Dengan adanya counter poles diyakini akan menarik masuk modal, tenaga kerja, dan keuntungan sehingga tidak bergerak ke pusat. Paradigma ini memberikan posisi yang sangat kuat kepada negara untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru. Dengan rekayasa tertentu, diharapkan ketimpangan wilayah dapat diakhiri.

Myrdall (1964) mengemukakan bahwa mekanisme kekuatan pasar adalah kunci untuk memahami kesenjangan wilayah. Mekanisme pasar telah melahirkan dua akibat timbal balik, yaitu : (1) backwash effect, yaitu efek aliran balik dari pinggiran ke pusat, yang tercermin dari gerakan perpindahan penduduk, perdagangan, dan modal; (2) spread effect, yaitu efek sebar dari pusat ke pinggiran, melalui hubungan perdagangan dan komplenetaritas (saling melengkapi) yang diperankan oleh wilayah-wilayah pinggiran.

Menurut Myrdal, kedua kecenderungan itu dalam realitas berjalan sangat tidak seimbang, backwash effect lebih mendominasi proses yang ada dibandingkan spread effect. Tenaga kerja, modal, dan keuntungan tersedot dari wilayah pinggiran ke wilayah pusat. Secara kumulatif wilayah maju akan terus berkembang, sementara wilayah pinggiran semakin tersisih. Kalaupun sama-sama mengalami kemajuan, maka kemajuan wilayah pusat jauh lebih tinggi dan cepat dibandingkan wilayah pinggiran. Hal ini menunjukkan menajamnya kesenjangan wilayah. Selanjutnya, Myrdal melihat masa depan masalah keterbelakangan dan ketimpangan wilayah dalam nuansa pesimis, karena fenomena ini dipahami sebagai kejadian permanen yang akan terus memburuk.

Selain Myrdal, penganut paradigma ini adalah Hirschman. Ia mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya berasal dari sektor-sektor unggulan. Konsepsi Hirschman dikenak dengan interindustries forward and backward linkages dengan sektor industri unggulan berfungsi sebagai motor penggerak sektor ekonomi lainnya. Hubungan antarkedua sektor (industri dan non industri) ini akan dipertemukan oleh efek tetesan ke bawah (trickledown effect), suatu mekanisme perembesan (mengalirnya) keuntungan sektor unggulan di pusat pertumbuhan ke sektor bukan unggulan di wilayah pinggiran, untuk mencapai keseimbangan wilayah. Dari uraian tersebut tampak bahwa Hirschman lebih optimis dibandingkan Myrdall.

Menurut Hirschman, dalam jangka panjang perbedaan antara wilayah maju dan terbelakang akan dapat dikurangi. Ia melihat kedudukan pemerintah sebagai pengendali pasar (perlu intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar). Pertimbangan keadilan dan persatuan nasional akan memaksa campur tangan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.

Perroux (1964) adalah pemikir utama lainnya yang medukung paradigma ini. Ia berpendapat, pertumbuhan tidak dapat terjadi di semua wilayah pada saat bersamaan. Pertumbuhan di atas terjadi pada sejumlah pusat pertumbuhan (growth center atau growth poles), untuk kemudian menyebar ke wilayah di sekitarnya melalui beberapa kegiatan ekonomi. Perroux percaya bahwa bergesernya waktu akan diikuti oleh lahirnya semakin banyak pusat pertumbuhan baru dengan serangkaian pengaruh yang sama ke semua wilayah. Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan dimaksudkan untuk mencegah meluasnya kecenderungan pergerakan modal, tenaga kerja, dan keuntungan ke wilayah pusat. Perroux percaya bahwa dengan strategi pembentukan pusat pertumbuhan , ketimpangan wilayah akan dapat dikurangi dan wilayah pinggiran akan diuntungkan.

Paradigma ini lebih mengadopsi pola Eropa atau Amerika, dengan persyaratan advanced technology dan struktur kontinental, serta akses informasi yang relatif tersebar merata. Bagaimana untuk Indonesia

Kasus Indonesia

(4)

2.3. Paradigma Ketergantungan Struktural (The Structural Dependency)

Bagi para penganut paradigma ketergantungan struktural, ketimpangan wilayah merupakan konsekuensi (akibat) yang logis (wajar) dari berkembangnya pusat-pusat kapitalis. Ketimpangan wilayah merupakan harga yang harus dibayar oleh wilayah pinggiran, demi kepentingan pembangunan atau kemajuan pusat kapitalis (Lay, 1993).

Menurut paradigma ini, tidak ada jalan pintas ke arah keseimbangan wilayah, kecuali langkah pengunduran diri dari keterkaitan dengan sistem kapitalis. Asumsinya adalah persoalan ketimpangan wilayah, bukan pada banyaknya memperoduksi, tetapi apa dan bagaimana suatu produk dihasilkan termasuk kelembagaan penyebar hasil pembangunan.

Tokoh utama paradigma ini adalah Raul Prebish yang menghasilkan konsepsi Center-Periphery (Pusat-Pinggiran). Analisisnya bertumpu pada konsep World System (Sistem Dunia), yaitu negara-negara berkembang terjerat dalam sistem hubungan internasional yang bersifat eksploitatif dan berperan sebagai objek penderita. Sistem dunia ditandai oleh dominasi sistem kapitalis.

Meskipun paradigma ini tidak secara langsung membahas masalah ketimpangan wilayah dalam suatu negara, tapi konsep-konsepnya dapat diturunkan untuk memahami persoalan wilayah, karena perbedaan wilayah dalam suatu negara merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses proses global yang lebih luas. Dengan kata lain, pada masa mendatang –globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas- tidak ada satupun wilayah di satu negara yang terlepas dari perkembangan global.

Salah satu teori yang dikembangkan oleh Prebish (1980) adalah The Adverse Terms of Trade For Primary Exporters, yaitu teori hubungan perdagangan internasional dengan komoditi perdagangan dari negara-negara terbelakang atau sedang berkembang. Teori ini membicarakan kecenderungan harga-harga produk pertanian dan bahan mentah dari negara-negara sedang berkembang yang terus merosot, tidak sebanding dengan harga produk industri dari negara maju (problem nilai tukar). Hal ini bersumber dari monopoli hasil industri oleh negara-negara maju. Sebaliknya, negara-negara sedang berkembang, karena jumlahnya banyak dengan produk yang sama, terpaksa saling bersaing, sehingga harga-harga yang ditawarkan terus merosot. Nilai tukar harga produk negara berkembang dan negara maju tidak seimbang.

Mekanisme perdagangan internasional yang timpang tersebut mengakibatkan kesenjangan antara negara maju dan berkembang semakin melebar. Dari argumentasi Prebisch di atas, dapat dipahami bahwa faktor kunci terjadinya keterbelakangan dan kesenjangan adalah melekat dalam sistem kapitalis dunia. Alur logika ini dapat digunakan untuk memahami kesenjangan wilayah pada level negara. Sebagai contoh kesenjangan wilayah di Indonesia antara Jawa dan Luar Jawa.

Sejalan dengan paradigma ini, Frank memunculkan teori The Structural Dependency (Ketergantungan Struktural). Teori ini memahami masalah ketimpangan sebagai produk proses sejarah pertumbuhan kapitalisme. Ekonomi negara-negara dunia ketiga, melalui jalinan hubungan Metropolis-Satelit ke dalam sistem kapitalis dunia. Hubungan ini adalah hubungan kekuasaan asimetris, dimana Metropolis selalu untung, dan Satelit selalu merugi. Dengan kata lain, terdapat hubungan eksploitatif berjenjang, dimana wilayah pinggiran hanya berfungsi sebagai satelit bagi pusat-pusat kapitalisme dalam suatu negara (wilayah maju).

(5)

Todaro (1989) mengatakan bahwa perdagangan internasional selalu menguntungkan negara yang lebih kaya, bahwa perdagangan bebas diharapkan dapat memperkecil ketimpangan antar negara adalah suatu yang secara teoritis tidak benar.

Wilayah dengan upah buruh tinggi bisa menikmati tingkat pendapatan yang tinggi sehingga dapat menarik dan mengumpulkan modal lebih banyak. Sebaliknya wilayah dengan upah rendah dengan sendirinya terjebak ke lingkaran tingkat pendapatan rencdah, sehingga tidak berdaya dalam menarik modal. Akibatnya, ketimpangan antar wilayah semakin melebar.

Kasus Indonesia

Bagaimana mengelaborasi paradigma ini pada tingkat regional, misalnya untuk menerangkan pola Metropolis-Satelit dari ketergantungan luar Jawa terhadap Jawa. Selanjutnya bagaimanakah kemerosotan ekonomi dan kemakmuran di wilayah-wilayah yang SDAnya melimpah, seperti Riau, Aceh, Kaltim, Sumsel, Irian Jaya. Wilayah tersebut secara langsung bermain pada sistem perdagangan internasional (bersentuhan langsung dengan kapitalisme dunia).

2.4. Paradigma Kebijaksanaan Negara (The State Policies)

Paradigma kebijaksanaan negara menempatkan peran negara secara khusus, sebagai pemegang kendali pembangunan. Keterbelakangan dan ketimpangan wilayah bersumber dari kebijaksanaan negara yang bias, tidak tepat, diskriminatif, dan sebagainya. Oleh karena itu, persoalan ketimpangan wilayah bergantung pada kebijaksanaan negara. Kebijaksanaan negara yang tepat, tidak bias, dan adil, diyakini akan dapat menjadi jalan pemecahan.

Paradigma kebijaksanaan negara tidak pernah secara tegas dan utuh diformulasikan. Ia menyebar diberbagai teori atau menjadi bagian dari teori lain. Salah satu contoh paradigma ini adalah teori Urban Bias Theory yang dikemukakan oleh Lipton (1977). Meskipun fokus teori ini bukan pada kesenjangan antarwilayah, tetapi antara kota dan desa, namun terminologinya dapat dianalogikan dengan wilayah.

Argumentasi teori Lipton adalah kemiskinan dan kesenjangan yang manandai negara berkembang, berasal dari sumber tunggal, yaitu kebijaksanaan negara yang bias kota. Bias kota adalah kesalahan pengambilan keputusan pembangunan mengenai alokasi sumberdaya yang lebih memfokuskan pada wilayah perkotaan. Bias kota tercermin pada teori pertumbuhan ekonomi yang memfavoritkan sektor industri dan kota serta mengabaikan sektor pertanian dan wilayah perdesaan.

Selain itu bias kota muncul dalam bentuk tekanan politik yang lebih besar yang dimiliki warga kota dalam mempengaruhi pengambilan kebijaksanaan. Pembuat kebijakan umumnya adalah orang-orang kota, yang akan mendapat keuntungan dari kebijaksanaan yang mereka hasilkan sendiri.

Bias kota menurut Lipton, berpangkal pada hak tunggal (monopoli) atas institusi-institusi pemerintah, partai politik, birokrasi, pendidikan, organisasi bisnis, dan sebagainya oleh para elit kota. Akibatnya, terjadi proses pemindahan pendapatan dari desa ke kota yang mengakibatkan kondisi desa semakin memburuk. Mamalakis (1980) memodifikasi teori bias kota menjadi Sectoral Clashes, yaitu benturan antara sektor industri yang berada di kota dengan sektor pertanian di desa.

Teminologi kota dan desa dalam teori bias kota memungkinkan diperluas kearah pengertian wilayah. Dengan demikian, kesenjangan wilayah terutama disebabkan oleh kebijaksanaan negara yang bias.

KASUS INDONESIA (Kebijakan Bias Jawa)

 Dominasi peran Politisi-Birokrat (plus militer) dengan Client Borjuis (konglomerat),

sebagai patron-client. Sebagian besar terkonsentrasi di Jawa.

 Kebijaksanaan Industri substitusi impor, yang mewajibkan adanya proteksi

(6)

impor di Jawa, sehingga Jawa menikmati subsidi, sehingga harga bisa murah. Sebaliknya luar Jawa tidak memperoleh subsidi, sehingga menanggung harga yang mahal (padahal ada yang berorientasi ekspor).

 Konsentrasi pengambilan keputusan di Jawa dan peraturan-peraturan (deregulasi).

Misalnya : Diabaikannya sektor perdesaan, ekspor harus melalui pelabuhan di Jawa, kebijakan cengkeh, menetapkan Surabaya, Jakarta, Medan sebagai processing center bagi produk rotan.

 Mac. Andrew : kekuasaan politik di Indonesia sangat terkonsentrasi, merupakan

refleksi dominasi Jawa dan kultur Jawa dalam sistem politik Indonesia. Sistem pengambilan keputusan sepenuhnya ditangan pejabat negara (tidak ada partisipasi seperti sekarang), dengan pola patron-client, sehingga menyuburkan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).

Referensi

Dokumen terkait