• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di dalam wilayah Minangkabau dikenal dengan Luhak Nan Tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Di dalam wilayah Minangkabau dikenal dengan Luhak Nan Tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TOPOLOGI, MORFOLOGI DAN TIPOLOGI PADA RUMAH GADANG MINANGKABAU

Elfida Agus Dosen Tetap Jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta Telp. (0751) 26166 / HP. 0816353865

ABSTRACT: Tradiditonal architecture of Minangkabau has characteristic in the architecture form and philosophy of the buildings. And there has a strong relationship with the social setting and culture of the Minangkabau peoples. Characteristic of the buildings can see from the topology, morphology and typology. The part of the buildings became the characteristic for the area which remind us and all the people to the specific environment.

Key word: Caracteristic, environment.

ABSTRAK: Arsitektur Tradisional Minangkabau mempunyai kekhasan dan ciri tersendiri baik dalam bentuk arsitekturalnya maupun filosofi yang dikandung bentuk bangunannya dan mempunyai hubungan yang erat dengan setting sosial budaya masyarakat. Karakteristik suatu bangunan dapat ditinjau berdasarkan topologi, morfologi dan tipologi. Elemen-elemen arsitektur tradisional dapat menjadi karakteristik dari suatu daerah tersebut. Menjadikan suatu daerah dan mengingatkan orang atau masyarakat terhadap suatu lingkungan tertentu.

Kata kunci: Karakteristik, lingkungan

1. INTERPRETASI

1.1 Arsitektur Tradisional Minangkabau

Di dalam wilayah Minangkabau dikenal dengan Luhak Nan Tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak 50 Kota. Ke tiga Luhak ini sering disebut dengan darek. Wilayah Minangkabau yang sebenarnya bukanlah sebagaimana kita lihat daerah Sumatera Barat sekarang ini, tetapi lebih kecil besaran wilayahnya.

Tatanan masyarakat Minangkabau hidup dalam suatu tatanan sosial berupa keluarga besar (paruik) yang berasal dari satu keturunan ninik, dimana setiap satu keturunan keluarga dipimpin oleh seorang mamak. Setiap keluarga mempunyai rumah gadang masing-masing, dimana didalamnya berlangsung aktifitas keluarga yang didominasi oleh pihak perempuan. Yang menempati rumah gadang tersebut ialah perempuan dan anak-anak, sedangkan yang laki-laki tinggal di surau untuk belajar mengaji dan menuntut ilmu (Navis, 1984).

Membicarakan masalah arsitektur Minangkabau, tidak bisa dilepaskan dari kedua hal di atas, yaitu setting geografisnya dan juga sosial budayanya. Arsitektural Minangkabau mempunyai kaitan yang erat dengan hal tersebut, rumah gadang sebagai tempat tinggal suatu keluarga besar merupakan karya nyata masyarakat Minangkabau yang terdapat pada ke tiga Luhak tersebut. Aktifitas yang dilakukan di dalamnya merupakan pola dan tata budaya yang dianut dalam bersosial. Orang minang hidup berfalsafahkan alam takambang jadi guru (Alam terbentang jadi guru), dimana didalam ini banyak hikmahnya yang bisa diserap sebagai contoh berperilaku dalam hidup dan berbudaya sehari-haari.

Menurut Usman (1995), ada 3 (tiga) point perwujudan hasil budaya Minangkabau yang dapat dirasakan sebagai pengamat, yaitu:

1. Ideal (mengandung nilai-nilai atau norma) 2. Tingkah laku berpola (upacara ceremonial)

3. Fisik (karya nyata)

Yang dimaksud degan arsitekturminangkabau tersebut ialah karya nyata masyarakat Minangkabau kedalam wujud fisik, dimana wujud dan bentuknya marupakan pengejawantahan sistem dan tatanan sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau ke tiga luhak tersebut. Yang sering dikenal masyarakat awam ialah arsitektur rumah bagonjong (bergonjong), dimana atapnya melengkung dan badannya melendut dibagian tengah. Memang bentuk ini banyak dipakai sebagai wujud arsitektur Minangkabau, namun sebenarnya masih mampunyai banyak ragam hias berdasarkan type-typenya.

1.2 Jenis dan Ragam Arsitektural Minangkabau

(2)

Menurut Usman (1995), dulunya Minangkabau ini merupakan satu kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja dan berpusat di Pariangan, raja ini mempunyai seorang panglima yang bernama Cati Bilang Pandai. Raja mempunyai seorang anak yang bernama Datuk Kutumanggungan dan setelah raja wafat, tampuk pimpinan diserahkan kepada Cati Bilang Pandai dan memperistri permaisurinya. Dari permaisuri ini Cati Bilang Pandai mempunyai anak yang diberi nama Datuk Perpatih Nan Sabatang. Ke dua anak ini nantinya berpisah dan memiliki daerah kekuasaan masing-masing dari kerajaan. Ke dua anak ini mempunyai karakter yang berbeda, yang satu demokrat dan satunya lagi aristokrat, dan akhirnya kelak memunculkan dua aliran politik yang ternyata mempengaruhi tatanan sosial budaya pengikutnya. Kedua aliran politik atau disebut keselarasan tersebut ialah:

1. Koto Piliang,dipimpin Datuk Ketumangungan, kepemimpinanya berdasarkan azas Aristokrat, dimana segala sesuatunya itu harus berdasarkan perintah pimpinan (top-down), terdapat tingkatan-tingkatan seperti kasta dalam masyarakatnya.

2. Bodi Caniago, dipimpin Datuk Perpatih Nan Sabatang, berdasarkan azas demokrat, dimana segala sesuatunya dimusyawarahkan dulu untuk mencapai mufakat (bottom-up), tak terdapat lapisan-lapisan seperti kasta dalam masyarakat, karena memang semua kita mempunyai hak sama.

Ada pendapat lain mengatakan, ada satu keselarasan lagi, yaitu keselarasan Lareh Nan Panjang yang berasal dari Pariangan. Analisa sementara kemungkinan keselarasan ini merupakan yang pertama, setelah sekian lama akhirnya keselarasan ini terbagi dua sebagaimana diuraikan di atas. Karena kerajaan yang pertama berpusat di Pariangan. Maka kerajaan Pariangan yang di Batusangkar, diperkirakan masih merupakan salah satu daerah otonomi dari kerajaan di Pariangan. Azas yang dipakai bukan seperti Koto Piliang dan Bodi Caniago, tetapi sepertinya merupakan gabungan kedua keselarasan tersebut. ini baru merupakan satu analisa berdasarkan yang dikisahkan dalam tambo.

Ke dua keselarasan di atas sampai saat ini mempengaruhi bentuk dan pola arsitektural minangkabau, dimana tiap-tiap elemen arsitekturalnya mempunyai perbedaan bentuk berdasarkan azas yang dipakainya. Sedangkan keselarasan Lareh Nan Panjang sampai sekarang belumlah dapat diduga apakah mempengaruhi bentuk arsitektural, sebagaimana perbedaan antara Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bentuk dan ragam arsitektural rumag gadang minangkabau ini dapat kita lihat pada gambar-gambar berikut ini.

Gambar 1. Ragam Rumah Gadang di Luhak Nan Tigo

Sumber: Navis, 1984

2. KAJIAN PUSTAKA

Untuk memahami makna dan nilai suatu tempat (place), menurut Schlutz (dalam Agus, 1999) ada tiga kelompok aspek yang perlu ditinjau, yaitu:

2.1 Topologi

(3)

(place) dalam hal penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu tempat seperti:

1) Setting bangunan fisik,

2) Komposisi dan figurasi bangunan dengan ruang publik,

3) Kehidupan masyarakat setempat.

Perwujudan spatial fisik merupakan produk kolektif dari perilaku budaya masyarakatnya serta pengaruh “kekuasaan” tertentu yang melatar belakanginya. Secara visual elemen lingkungan sebenarnya merupakan ketepaduan atas semangat tempat (the spirit of place) yang berorientasi pada lingkungan lokal.

2.2 Morfologi

Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Dengan melihat kaitan ini akan bisa dirasakan adanya kaitan yang erat antara organisasi ruang, hubungan ruang, bentuk ruang dan nilai ruang. Menyangkut kualitas figural dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarkhi dan hubungan-hubungan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan pada cara mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang diwujudkan melalui bentuk bangunan. Menurut Ching, FDK (1979) sistem tata nilai keruangan bisa tercipta dengan adanya 3 (tiga) hal yaitu:

1. Besaran dan ukuran yang luar biasa, 2. Bentuk yang unik,

3. Lokasi yang strategis.

Namun demikian juga dapat dicapai dengan cara lain yaitu: 1. Perbedaan plat lantai yang bertingkat-tingkat, 2. Tingkat kebersihan terhadap dekorasi ruang, 3. Pewarnaan yang terang.

2.3 Tipologi

Trancik (1986) dalam “Finding Lost Space”,menyatakan bahwa tipologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan tipe bangunan dalam suatu situasi khusus dalam kota (typology is concerned with the constructions types in a particulur urban situation). Tipologi merujuk pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenal bagian-bagian arsitektur. Hal ini berarti ada satu tipe-tipe tertentu dari suatu bangunan yang akan membentuk satu karakter, ciri atau image. Ada satu hal yang sangat “general” yang dapat dijadikan patokan untuk dapat dapat dikelompokan, dalam skala kota yaitu: 1) Warna, 2) Skala, 3) Tekstur, 4) Line dan bentuk, 5) Potongan-potongan bidang maupun ruang. Didalamnya termasuk pengertian pokok dari pengulangan sebagai suatu alat untuk mengorganisir ruang dan bentuk. Hampir semua bangunan memasukkan unsur-unsur yang sifatnya berulang, kolom dan balok berulang mengikuti modular tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Ching, FDK (1979) bahwa ada kecenderungan mengelompokan unsur-unsur didalam suatu posisi ramdom, yang berdasarkan kepada:

1. Kekompakkan perletakkan, 2. Karakteristik visual yang dimiliki.

Prinsip pengulangan memanfaatkan keduanya dari konsepsi untuk mengatur sesuatu yang berulang didalam suatu komposisi. Seperti contoh bentuk yang paling sederhana adalah pengulangan suatu pola linier dari berbagai unsur-unsur yang ada.

Jika kita kaitkan dengan kajian di atas mengenai arsitektural tradisional minangkabau, dapat dikatakan bahwa: 1). Aspek Topologi yaitu: orientasi kegiatan manusia tempat tertentu berdasarkan tatanan spasial dan organisasi ruangnya, 2). Aspek Morfologiyaitu: identifikasi karakter lingkungan yang diwujudkan melalui bentuk bangunan, dimana kualitas figuralnya dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu sama lainnya, 3). Aspek Tipologi yaitu: tinjauan terhadap konsep dan konsitensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenal elemen-elemen arsitekturnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Aspek Topologi

(4)

sampai tempat pengobatan, dan juga tempat pertemuan-pertemuan adat ataupun perkawinan. Karena banyak aktifitas yang dilakukan rumah gadang, akhirnya rumah gadang itu dikatakan gadang (besar), artian simbolis.

Lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah gadang ini memakai lahan kaum tersebut. Karena rumah gadang ini diperuntukkan untuk kegiatan kelompok/kaum/keluarga tersebut. Dan kepemilikan bangunan menjadi hak milik kaum tersebut sampai generasi yang akan datang, dimana setiap generasi saling bergantian memakainya. Hal di atas menggambarkan eratnya kebersamaan suatu kaum/keluarga dalam beraktifitas, sampai-sampai untuk tempat tinggal pun selalu bersam-sama.

Seperti yang diungkapkan oleh Schutz (dalam Agus, 1999) tergambar bahwa rumah gadang menjadi pusat dan orientasi aktifitas suatu kaum mulai dari hunian sampai ke pertemuan dan pengobatan. Sehingga tempat-tempat lainnya hanya bersifat penunjang dan pelengkap. Rumah gadang menjadi pusat orientasi disebabkan adanya kerukunan dan kekeluargaan yang tinggi dalam suatu kaum, sehingga tempat-tempat untuk beraktifitas sosial semata dalam suatu nagari, baik untuk beribadah, bergaul, bekerja. Rumah Gadang mempunyai bentuk dan pola denah dari bentuk persegi panjang, hal ini diasumsikan untuk dapat menampung semua aktifitas dan luas untuk ruang gerak. Seluruh ruang dalam rumah gadang merupakan ruang lepas, terkecuali kamar tidur yang disekat dengan dinding pembatas. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang, yang ditandai dengan pembatasan tiang. Material yang dipakai ialah material alam.

Gambar 2. Denah Rumah Gadang

Sumber: Konfigurasi penulis, 2005

Ruang tengah menjadi pusat orientasi kegiatan yang bersifat in-door, dimana diruang ini menjadi tempat menjamu tamu, rapat kaum, dan juga tempat makan. Dari ruang tengah alur gerak diarahkan ke bilik-bilik (kamar tidur) dan juga untuk kedapur di bagian belakang. Setiapa lanjar atau ruang mempunyai fungsi tetentu. Dimana diatur dalam tambo dan juga adat istiadat yang berlaku. Dimana hal ini mencerminkan adanya norma yang mengatur demi ketertiban bersama.

3.2 Aspek Morpologi

Falsafah yang dianut masyarakat Minangkabau adalah alam takambang jadi guru, dimana alam siciptakan dengan sempurna dan didalamnya terdapat banyak contoh pengajaran yang baik. masyarakat Minangkabau juga demikian mencoba hidup selars dengan alam lingkungannya, dinamais, dan terdapt hubungan timbal balik sebagaimana disebut “bakarang bakarangko” (sebab akibat), sehingga setiap buah karya yang dihasilkannya selalu mencoba mengambil dari alam dan menyelaraskannya dengan lingkungan yang ada, baik itu buatan maupun yang alami.

Demikian juga dengan arsitektural minangkabau, bentuk yang dikenal luas adalah rumah bagonjong, dimana atapnya melengkung dan badan rumah yang melendut dibagian tengahnya. Rata-rata bentuk arsitektural minangkabau memang mempunyai bentuk yang demikian, baik itu untuk rumah gadangnya, balai adat, tabuah, rangkiang, balai ruang, dan lain-lain. Ada beberapa pendapat masalah bentuk atap gonjong ini, yaitu ada yang mengatakan berasal dari tanduk kerbau, daun sirih, layar kapal, dan bentuk rebung muda.

Lanjar

(5)

Bentuk gonjong yang meruncing ke atas bekesan berlawanan dengan bentuk bukit barisan alam minangkabau, tetapi dari segi estetika mempunyai bentuk yang menarik dan harmonis.

3.3 Aspek Tipologi

Untuk mengenal fungsi bangunan tertentu, kita sering terpaku pada beberapa elemen tertentu dari bengunan tersebut, seperti bentuk kubah untuk mesjid dan elemen lainnya yang mudah untuk diingat. Arsitektur tradisional minangkabau kita kenal dengan elemen gonjongnya, atau badannya yang melendut. Sehingga setiap kali melihat elemen tersebut, image akan minangkabau langsung terbayang, seperti yang diungkapkan oleh Trancik (1986) dalam “Finding Lost Space”,menyatakan bahwa tipologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan tipe bangunan dalam suatu situasi khusus dalam kota (typology is concerned with the constructions types in a particulur urban situation). Dikatakan juga bahwa rumah gadang dapat dilihat berdasarkan 5 (lima) komponen yaitu: 1) Warna, 2) Skala, 3) Tekstur, 4) Line dan bentuk, 5) Potongan-potongan bidang maupun ruang.

Dalam arsitektur minangkabau, banyak elemen yang bisa dijadikan untuk memudahklan image tipe-tipenya, seperti pemakaian warna yang menyolok (merah, hitam, kuning), kolong-kolong pada bagian bawahnya, kolong persegi delapan, enam atau bulat dari kayu dengan nama-nama khusus, tangga yang kecil, demikian pintu bilik yang kecil, dimana ukiran diseluruh dinding.

Kesemuanya itu menjadikan bentuk dan ciri khas arsitektural minangkabau mudah dikenal dari tipe elemenya tersebut, setiap elemen mempunyai arti dan falsafahnya sendiri, umumnya diambil dari perumpamaan alam atau sifat manusia dan hewan, sebagaimana falsafah yang dianutnya alam takambang jadi guru.

Bentuk atap yang landai membuat curah hujan deras jatuh tidak menepis dinding dan sepat jatuh kebagian bawah. Bangunan yang membesar keatas membebaskan bagian dinding tidak terkena tempiasan air hujan. Kolong yang tinggi membuat sirkulasi udara dibagian bawah lantai menjadi lancar, sehingga kelembapan udara yang tinggi di daerah tropis bisa diantisipasi dengan baik. Pada umumnya bangunan di minangkabau mengarah berjajar menurut utara-selatan, hal ini di perkirakan untuk mencegah sinar matahari yang panas terlalu mudah memasuki ruang dan lanjar dalam bangunan, sehingga kebutuhan sinar matahari dapat dicapai dengan ideal.

Bentuk yang demikian menjadikan bentuk arsitektural minangkabau menjadi mudah diingat dan dikenal dimana saja. Karena apa-apa saja yang dibuat mempunyai landasan yang kuat dan benar-benar khas.

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Arsitektur Minangkau benar-benar merupakan ungkapan dan cerminan sosial budaya masyarakatnya, sebagaimana dijelaskan didalam tambo-tambo. Sehingga setiap hasil karya yang diciptakan tersebut benar-benar mempunyai landasan yang kuat dan khas, baik strukturnya, bentuk, tata ruang, dan juga pemakaian ornamen-ornamennya. Bentuk yang khas dan sfesifik tersebut mampu menampilkan bentuk yang selaras dengan lingkungannya, walapun ada kontradiksi bentuk yang ditemukan tetapi ada keserasian antara alam dan lingkungan binaan yang diciptakan. Sehingga bentuk yang mempunyai dasar yang kuat dan ciri khas tersebut mudah diingat dan dikenal orang/pengamat sebagaimana elemen-elemen yang ditampilkannya secara kompak dan menyatu.

4.1 S aran

Pada saat ini dapat dikatakan bahwa adat istiadat minangkabau lambat laun mulai hilang secara perlahan, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi sekarang. Terbukti dengan tidak berfungsinya rumah gadang sebagaimana aslinya, malah sekarang manfaatnya telah beralih sebagai objek wisata. Untuk itu disarankan agar Ilmu Pengetahuan Tradisional ini tetap dipelajari dan dikembangkan, terutama langsung diaplikasikan kedalam wujud nyata, sehingga nilai-nilai yang dikandungnya tidak hilang begitu saja dan warisan nenek moyang kita tetap dapat dikenal sepanjang masa.

Mengingat perkembangan dan kemajuan teknologi sekarang ini, ilmu pengetahuan tradisional perlu dilestarikan dengan mempelajarinya secara khusus dan terpadu dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini untuk mencegah hilangnya nilai-nilai luhur nenek moyang kita dulu.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Elfida 1999, Diktat kuliah Tipologi dan Morfologi Arsitektur, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta.

Ching, FDK, 1979, Architecture Form, Space and Order, 1985.Edisi I, Van Nostrand Reinhold Company,New York. Usman, Ibenzani 1995, Diktat Kuliah Perkembangan Arsitektur III, Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Universitas Bung

Hatta, Padang.

Navis, 1984, Alam Takambang Jadi Guru, Grafiti Pers, Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Ragam Rumah Gadang di Luhak Nan Tigo
Gambar 2. Denah Rumah Gadang

Referensi

Dokumen terkait