BAB VII
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN BLITAR
7.1. Identifikasi Permasalahan dan Strategi Pengembangan Ekonomi Sektoral
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion dengan beberapa stakeholder seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Dinas Parawisata, Dinas Pekerjaan Umum, dan dinas lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, dapat diketahui beberapa permasalahan yang bersifat umum maupun khusus beserta strategi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Rancangan strategi atas permasalahan pada sektor ekonomi di Kabupaten Blitar akan menentukan rencana pengembangan ekonomi yang akan disusun pada Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kabupaten Blitar. Uraian permasalahan dan strategi alternatif tersebut akan diuraikan per sektor sebagai berikut.
1. SEKTOR PERTANIAN
Kabupaten Blitar merupakan salah satu lumbung pangan provinsi Jawa Timur, yang memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional di subsektor tanaman pangan dan hortikultura. Dengan potensi sumberdaya lahan yang ada, Kabupaten Blitar mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya (swasembada) dan memberikan kontribusi cukup besar terhadap produksi pangan Jawa Timur seperti beras, jagung dan gula.
dikorbankan. Konverasi lahan pertanian terutama persawahan produktif dengan sistem irigasi yang baik tidak dapat dihindari. Permasalahan selanjutnya adalah tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar, pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat, kecilnya status dan luas kepemilikan lahan (rata-rata 0,36 hektar), terbatasnya kemampuan pembenihan dan pembibitan nasional, terbatasnya akses petani terhadap permodalan, masih lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan energi, rendahnya nilai tukar petani dan kurang harmonisnya koordinasi kerja antar sektor terkait.
Secara lebih spesifik berdasarkan hasil wawancara dengan dinas pertanian, dinas perkebunan, dinas perikanan, dan dinas kehutanan terdapat berbagai masalah seperti yang dimuat dalam tabel 7.1.
Tabel 7.1. Permasalahan dan Rancangan Strategi Peningkatan Sektor Pertanian
No Permasalahan Rancangan Strategi
1 Semakin terbatasnya lahan pertanian produktif
Menerapkan kebijakan strategis pengendalian konverasi lahan pertanian produktif,
persawahan, dan lain sebagainya, ke arah
perlindungan lahan pertanian produktif.
2
Rendahnya nilai tukar produk-produk pertanian dan linkages antara sektor pertanian dan industri yang cenderung asimetris.
Pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura untuk semakin mengoptimalkan potensi melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha untuk
meningkatkan daya saing dan pendapatan petani.
3
Lemahnya tata niaga produk dan panjangnya rantai distribusi produk pertanian yang menyebabkan pemasaran tidak efisien dan merugikan petani.
Menciptakan kebijakan harga (pricing policies) atauregulasi perlindungan harga yang
proporsional untuk produk-produk pertanian khusus dan sistem pemasarannya.
4
Kurang berkembangnya aspek kelembagaan yang mendukung pengembangan sektor pertanian.
Memperkokoh kelembagaan usaha ekonomi produktif di pedesaan.
No Permasalahan Rancangan Strategi
terstandarisasi dan kemasan produk tidak market friendly.
nilai tambah produk pertanian melalui standarisasi dan well packaging
6
Kurangnya sarana dan prasarana wilayah pendukung pengembangan sistem agribisnis.
Memperbaiki dan
mengembangkan infrastruktur lahan dan air serta pembenihan dan pembibitan. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida, alsintan).
7
Degradasi sumberdaya alam, lahan, air. Turunnya tingkat kesuburan dan
kandungan bahan organik yang semakin rendah akibat pemakaian pupuk kimia terus-menerus (dan terkadang berlebihan), dan faktor alam yakni ancaman global waming.
Membudayakan penggunaan pupuk organik dan kimia secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah.
8
Tingkat kehilangan hasil yang masih tinggi (15%) akibat serangan hama dan penyakit, dan penanganan panen dan pasca panen yang kurang baik.
Upaya untuk meminimalkan kehilangan hasil baik melalui pemeliharaan dan penanganan panen dan pascapanen yang baik dan benar
9
Menurunnya produksi rokok dalam beberapa tahun terakhir berdampak pada turunnya daya serap produksi tembakau petani oleh pabrik rokok
Mengupayakan agar terjadi keseimbangan antara produksi tembakau dan kebutuhan pabrikan, melalui inventarisasi kebutuhan masing-masing pabrikan
10
Peraturan daerah tentang rokok menurunkan harga tembakau yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan petani
Pengembangan diversifikasi usaha tani di wilayah yang kurang sesuai dan kurang diminati oleh pabrikan dengan tanaman potensial selain tembakau
11
Animo petani yang tinggi untuk menanam komoditas kakao dan potensi lahan untuk pengembangan yang lebih besar masih belum terfasilitasi.
Mengembangkan tanaman kakao rakyat dengan memberikan
bantuan benih, polybag, pupuk, dan obat-obatan dalam areal yang masih terbatas
12
Masih beragamnya persepsi masyarakat terhadap keberadaan, fungsi, dan peran hutan dalam pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat.
Meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai keberadaan, fungsi, dan peran hutan dalam
No Permasalahan Rancangan Strategi
13
Belum optimalnya pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mewujudkan kawasan hutan yang mantap melalui koordinasi dan sinkronisasi tata ruang, pengukuhan, dan optimalisasi tata guna hutan.
14
Kelembagaan yang belum optimum sehingga jangkauan pembangunan kehutanan bagi masyarakat masih terbatas.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Mengembangkan aneka usaha kehutanan oleh pelaku usaha kecil, menengah, koperasi, dan masyarakat, serta terjalinnya hubungan antara pelaku usaha skala besar, menengah, kecil, koperasi dan masyarakat yang makin integrasi dan harmonis.
15
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) serta produk dari hutan rakyat secara struktural belum secara nyata mendorong
pengembangan/pemberdayaan perekonomian masyarakat.
Meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada bidang pemanfaatan hutan, industri pengolahn hasil hutan,
konservasi, dan jas lingkungan. Meningkatkan pendapatan ril masyarakat yang berusaha dalam pemanfaatan produk dan jasa hutan dan kehutanan, terutama yang berada di dalam dan sekitar hutan.
16
Minat investasi di bidang kehutanan yang kurang kondusif karena sering terhambat oleh permasalahan tenurial, tumpang tindih peraturan (Pusat dengan daerah), dan kurangnya insentif permodalan, perpajakan, dan retribusi.
Mewujudkan reformasi birokrasi Kementrian Kehutanan dan Instansi kehutanan pemerintah daerah, sehingga organisasi berjalan efektif dan efisien sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya.
17
Pengembangan iptek kehutanan belum secara optimal menunjang kebutuhan informasi dalam menetapkan kebijakan dan
operasionalisasi teknis pengelolaan hutan di lapangan.
No Permasalahan Rancangan Strategi
industri perikanan
perikanan unggulan dalam rangka pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan. Pembentukan dan pengembangan klaster
komoditas perikanan unggulan berpotensi ekspor.
Meningkatkan kegiatan
budidaya perikanan di kawasan agropolitan dengan memberikan fasilitas pengembangan
kawasan agropolitan dibidang budidaya ikan.
Berdasarkan permasalahan umum diatas, secara lebih spesifik permasalahan dan strategi sektor pertanian dalam arti luas adalah sebagai berikut
1.1 Subsektor Peternakan
Konsentrasi yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah Kab. Blitar adalah pada peternakan rakyat. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa tipikal peternak rakyat adalah bersifat survival yang dihadapkan pada kerentanan. Di satu sisi, posisi pemerintah, khususnya Dinas Peternakan dapat dikatakan lebih baik. Maka, penyelamat tunggal yang diharapkan dari keadaan yang survival dari peternakan rakyat saat ini adalah pemerintah. Hal ini disandingkan dengan kekuatan dan peluang yang ada.
Dari sini, pemerintah diharapkan mengangkat kelemahan dari peternak rakyat menjadi sesuatu kekuatan. Dari kekuatan ini, langkah berikutnya adalah mendesain agar berdaya saing tinggi hingga mengantarkan pada titik pertumbuhan.
dengan penyediaan lahan khusus bagi pakan hijauan ternak. Dinas Peternakan bisa menjamin ketersediaan pakan ternak melalui investasi publik sebagaimana pada ketersediaan lahan irigasi dan pupuk pada sektor pertanian. (3) usaha pengendalian penyakit, yakni penyakit dalam hal ini bukan hanya berbahaya bagi keberlangsungan ternak, namun juga manusia itu sendiri. Berbagai elemen yang bisa mengatasinya adalah teknologi, instensitas penyuluhan, serta kapasitas SDM (baik penyuluh maupun peternak). (4) Pengembangan agribisnis peternakan, yang dalam hal ini sebenarnya dibedakan menjadi tiga, yakni: agribisnis usaha rakyat, agribisnis usaha menengah, dan agribisnis usaha besar.
Tabel 7.2 Analisis SWOT Subsektor Peternakan
FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR INTERNAL
PELUANG
1. Laju konsumsi hewani yang terus melonjak di pasaran dunia, nasional, maupun regional.
2. Banyaknya permintaan produk hasil ternak, khususnya industri pengolahan produk ternak tingkat lanjut.
3. Kebijakan pada pengembangan peternakan nasional, khususnya regulasi komoditas ternak unggulan. 4. Rangsangan dari investor yang semakin
banyak, khususnya produk makanan berbahan produk ternak.
5. Semakin sadarnya masyarakat dan pengusaha ternak akan usaha ternak yang ramah lingkungan, sehingga resiko hambatan eksternal usaha ternak menjadi berkurang (bahkan bisa 0%).
KEKUATAN
1. Keunggulan sebagai penghasil komoditas telur hasil produk ternak yang mampu memenuhi 70%
kebutuhan telur Jawa Timur, dan 30% kebutuhan nasional.
2. Terdapat tiga kawasan yang
mempunyai keunggulan komparatif penghasil ternak unggas, ternak besar dan kecil (Kec. Srengat, Ponggok, dan Gandusari).
3. Meratanya produktivitas komoditas ternak, khususnya ternak unggas, sapi potong, dan ternak nonunggulan. 4. Budaya masyarakat (sosiokultural) yang
menjadikan peternakan sebagai tradisi mata pencaharian karena sudah tersistem secara turun-temurun. 5. Kondisi geografis dan topografis yang
mendukung usaha peternakan, khususnya dalam kecukupan pakan hijauan ternak dan iklim untuk sapi perah.
6. Jaringan pemasaran yang sudah terbentuk begitu kuat (khususnya interlinkage seperti kemitraan dan rekanan bisnis).
peternak yang dimediasi Dinas Peternakan.
8. Peran asosiasi pengusaha ternak dalam menularkan informasi input, output, dan pasar.
9. Penyerapan tenaga kerja sektor peternakan yang selalu mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. ANCAMAN
1. Standardisasi global yang cukup sulit untuk dipenuhi produk peternakan rakyat sebagai pelaku mayoritas. 2. Kerentanan harga yang sering jatuh
dalam waktu singkat, khususnya komoditi ternak sebagai komoditas dan penghasil produk.
3. Daerah lain yang mempunyai kesamaan sumberdaya dan sosiokultural
masyarakat seputar peternakan akan menjadi pesaing perebutan pasar. 4. Sifat dari komoditi ternak yang sangat
rentan terhadap penyakit, khususnya ternak unggas dengan flu burung. 5. Resiko usaha peternakan yang tinggi
seperti permodalan, harga, pasar, dan penyakit yang bisa mengurangi rangsangan usaha ternak, khususnya peternakan rakyat.
KELEMAHAN
1. Belum memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan pengembangannya, seperti antara ternak sebagai sumberdaya, sebagai komoditas, dan ternak sebagai penghasil produk.
2. Sifat kemadirian usaha ternak masih belum terwujud karena belum ada model manajemen satu atap (aglomerasi) yang memanajemen sektor hulu hingga hilir.
3. RPH (Rumah Pemotongan Hewan) yang masih minim (belum mencukupi standar kebutuhan minimal.
4. Jumlah UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Dinas Peternakan hanya ada di dua kecamatan.
5. Fasilitas pengembangan seperti pengadaan bibit dan inseminasi ternak masih kurang.
6. Keterbatasan klasik seputar dana pengembangan yang berimbas pada sarana dan prasarana penunjang performa SKPD Dinas Peternakan. 7. SDM Peternak kecil (rakyat) yang
rata-rata rendah, serta karakter peternak yang masih konvensional.
8. SDM tenaga penyuluh yang masih kurang.
9. Pakan ternak masih impor, sedangkan pakan hijauan ternak malah
menimbulkan inefisiensi karena
tersedot pada pengupahan tenaga kerja pencari pakan yang mahal.
10.Penerapan teknologi yang konvensional.
11.Sulitnya pengadaan bibit ternak unggul. 12.Rendahnya pengolahan tahap lanjut
13.Penentu harga masih dipegang oleh peran pedagang
Tabel 7.3 Strategi Pengembangan Subsektor Peternakan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Stengths-S
1. Keunggulan sebagai penghasil komoditas telur hasil produk ternak yang mampu memenuhi 70% kebutuhan telur Jawa Timur, dan 30% kebutuhan nasional. 2. Terdapat tiga kawasan
yang mempunyai keunggulan komparatif penghasil ternak unggas, ternak besar dan kecil (Kec. Srengat, Ponggok, dan Gandusari).
3. Meratanya produktivitas komoditas ternak, khususnya ternak unggas, sapi potong, dan ternak nonunggulan.
4. Budaya masyarakat (sosiokultural) yang menjadikan peternakan sebagai tradisi mata pencaharian karena sudah tersistem secara turun-temurun.
5. Kondisi geografis dan topografis yang mendukung usaha peternakan, khususnya dalam kecukupan pakan hijauan ternak dan iklim untuk sapi perah.
6. Jaringan pemasaran yang sudah terbentuk begitu kuat (khususnya interlinkage seperti kemitraan dan rekanan bisnis).
7. Sudah terbentuknya interlinkage permodalan antara perbankan dan peternak yang dimediasi Dinas Peternakan. 8. Peran asosiasi pengusaha
ternak dalam menularkan
Weaknesses-W
1. Belum memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan
pengembangannya, seperti antara ternak sebagai
sumberdaya, sebagai komoditas, dan ternak sebagai penghasil produk.
2. Sifat kemandirian usaha ternak masih belum terwujud karena belum ada model manajemen satu atap (aglomerasi) yang memanajemen sektor hulu hingga hilir.
3. RPH (Rumah Pemotongan Hewan) yang masih minim (belum mencukupi standar kebutuhan minimal.
4. Jumlah UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Dinas Peternakan hanya ada di dua kecamatan. 5. Fasilitas pengembangan seperti
pengadaan bibit dan inseminasi ternak masih kurang.
6. Keterbatasan klasik seputar dana pengembangan yang berimbas pada sarana dan prasarana penunjang performa SKPD Dinas Peternakan.
7. SDM Peternak kecil (rakyat) yang rata-rata rendah, serta karakter peternak yang masih konvensional.
8. SDM tenaga penyuluh yang masih kurang.
9. Pakan ternak masih impor, sedangkan pakan hijauan ternak malah menimbulkan inefisiensi karena tersedot pada pengupahan tenaga kerja pencari pakan yang mahal. 10.Penerapan teknologi yang
konvensional.
11.Sulitnya pengadaan bibit ternak unggul.
informasi input, output, dan pasar.
9. tenaga kerja sektor peternakan yang selalu mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
lanjut pada komoditas hasil ternak.
13.Penentu harga masih dipegang oleh peran pedagang
Opportunities-O
1. Laju konsumsi hewani yang terus melonjak di pasaran dunia,
nasional, maupun regional.
2. Banyaknya permintaan produk hasil ternak, khususnya industri pengolahan produk ternak tingkat lanjut. 3. Kebijakan pada
pengembangan peternakan nasional, khususnya regulasi komoditas ternak unggulan.
4. Rangsangan dari investor yang semakin banyak, khususnya produk makanan berbahan produk ternak.
5. Semakin sadarnya masyarakat dan pengusaha ternak akan usaha ternak yang ramah lingkungan, sehingga resiko hambatan eksternal usaha ternak menjadi berkurang (bahkan bisa 0%).
Strategi SO
1. Penguatan mediasi dari Dinas Peternakan kepada peternakan rakyat dan pihak permodalan seperti perbankan.
2. Pembentukan koperasi peternak usaha rakyat, khususnya di pedesaan. 3. Pengembangan dan
penguatan model kemitraan kelompok peternak dengan pengusaha.
4. Mentransformasikan asosiasi atau kelompok usaha ternak menjadi kelembagaan formal berbadan hukum.
5. Penguatan model kontrak farming antara peternak dan perusahaan
swasta/negara.
6. Penguatan konsolidasi kelembagaan di tingkat petani.
7. Penguatan jaringan pemasaran dengan Dinas Peternakan sebagai pusat informasi dan fasilitator, maupun mediator. 8. Pembentukan konsultasi
usaha ternak di Dinas Peternakan.
9. Melakukan promosi sektor peternakan dari Dinas Peternakan dalam berbagai ajang dalam rangka menarik minat investor.
Strategi WO
1. Pengadaan UPT (unit pelaksana teknis) di setiap kecamatan. 2. Pemenuhan kebutuhan dasar
ternak, yakni penyediaan lahan pakan hijauan ternak dan ketersediaan air dengan dukungan investasi publik. 3. Prioritas alokasi anggaran
untuk pembangunan infrastruktur, teknologi, pengadaan sarana dan prasarana peternakan. 4. Capacity Building pada
aparatur, khususnya penyuluh lapang.
5. Intensitas sosialisasi usaha peternakan ramah lingkungan dari Dinas Peternakan.
1. Standardisasi global yang cukup sulit untuk dipenuhi produk peternakan rakyat sebagai pelaku mayoritas.
2. Kerentanan harga yang sering jatuh dalam waktu singkat, khususnya komoditi ternak sebagai komoditas dan penghasil produk. 3. Daerah lain yang
mempunyai kesamaan sumberdaya dan sosiokultural masyarakat seputar peternakan akan menjadi pesaing perebutan pasar. 4. Sifat dari komoditi
ternak yang sangat rentan terhadap penyakit, khususnya ternak unggas dengan flu burungnya.
5. Resiko usaha
peternakan yang tinggi seperti permodalan, harga, pasar, dan penyakit yang bisa mengurangi rangsangan usaha ternak, khususnya peternakan rakyat.
1. Pengembangan agribisnis peternakan dalam sektor agribisnis usaha rakyat, agribisnis usaha
menengah, dan agribisnis usaha besar.
2. Sebaiknya mengadakan regulasi penerapan pilihan komoditas atau kelompok komoditas disesuaikan dengan potensi dan keunggulan komparatif wilayah.
1. Diperlukan pembangunan RPH (Rumah Pemotongan Hewan) dan rehabilitasi berstandar SNI dan bersertifikasi halal dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan pasar.
2. Memposisikan ternak sesuai dengan fungsi pemanfaatan dan pengembangan, yakni ternak sebagai sumberdaya, komoditas, dan penghasil produk.
3. Usaha pengendalian penyakit secara intens melalui teknologi, intensitas penyuluhan, dan pembangunan kapasitas SDM penyuluh dan peternak. 4. Penerapan model manajemen
satu atap yang mengatur dari sektor hulu hingga hilir. 5. Menciptakan kebijakan dan
perlindungan harga pada produk-produk peternakan. 6. Mengusulkan penyediaan
alokasi anggaran DIPA-APBN dalam perbaikan dan
peningkatan jumlah RPH (Rumah Pemotongan Hewan). 7. Penguatan aspek permodalan,
kelembagaan peternak, harga, pemasaran, dan informasi pasar dalam bentuk regulasi dan eksekusi.
1.2 Subsektor Kehutanan dan Perkebunan
yang mempunyai ketinggian wilayah diatas 300 meter di atas permukaan laut, yakni: Kecamatan Wates, Wonotirto, Doko, Gandusari, Nglegok, dan Kecamatan Panggungrejo. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas wilayah diatas 100 km2 adalah Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Panggungrejo, Bakung, Kademangan, serta Kecamatan Ponggok. Dari data ini, dengan demikian yang mempunyai luas wilayah diatas 100 km2 dan dengan ketinggian diatas 300 meter adalah Kecamatan Wonotirto dan Kecamatan Panggungrejo.
Sedangkan daerah pegunungan adalah bagian sebelah selatan hingga ke timur. Di bagian selatan Kabupaten Blitar juga terbentang daerah pantai. Sedangkan gunung yang tidak aktif dan dapat dijadikan lahan hutan rakyat atau konservasi adalah Gunung Betet, Klitik, Gunung Gede, serta Gunung Pegat. Sedangkan gunung yang aktif adalah Gunung Kelud.
Sungai yang membentang mendapatkan Kabupaten Blitar terbagi menjadi dua bagian, yakni utara dan selatan. Bagian utara mempunyai struktur tanah yang lebih subur dibandingkan dengan wilayah bagian selatan.
Sedangkan luas lahan berdasarkan tata guna hutan yakni digolongkan atas hutan tetap dan hutan yang dikonfersikan. Hutan tetap menurut fungsinya dibedakan menjadi empat kategori, yakni hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, serta hutan produksi tetap. Sedangkan perkebunan digolongkan kedalam dua kategori, yakni jenis perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan besar terdiri dari perkebunan milik pemerintah dan perkebunan swasta.
Luas hutan secara umum di Kabupaten Blitar dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Terkecuali untuk tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 43.968,9 Ha yang sebelumnya tahun 2005 masih 34.969,6 Ha. Untuk tahun selanjutnya, yakni 2007 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan hingga menjadi 27.312,2 Ha yang sebelumnya di tahun 2006 sebesar 43.968,9. Dapat dikatakan, selama kurun waktu empat tahun luas hutan mengalami degradasi lahan hingga mencapai 16.656,7 Ha.
pada produktivitas komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan dalam jangka panjangnya.
Tanaman semusim dibedakan menjadi komoditas tebu, tembakau lokal, dan tembakau virginia. Dimana luas areal terbanyak adalah komoditas tebu yang mencapai 6.715,00 Ha. Sedangkan untuk tanaman tahunan yang mempunyai luas lahan terbanyak adalah kakao dengan total luas lahan 2.263,20 Ha, dimana terdiri dari tanaman yang sudah tua (tidak lagi produktif) sebesar 53,75 Ha (proporsi 2,4%), kemudian tanaman yang sudah menghasilkan (produktif) seluas 1.173,25 Ha (proporsi 51,8%), dan sisanya adalah tanaman yang belum menghasilkan (bakal produktif) seluas 1.036,20 Ha atau dengan proporsi 45,8%. Dapat dikatakan, komoditas kakao di Kabupaten Blitar mayoritas lahan masih produktif dengan regenerasi yang cukup baik, begitu juga untuk komoditas unggulan lain untuk tanaman tahunan seperti kopi, kelapa, cengkeh. Bila dilihat, untuk tanaman semusim juga demikian, dimana untuk komoditas tebu mempunyai cakupan lahan yang luas, terkecuali untuk tembakau yang mungkin karena sifatnya pada pergantian pola tanam.
Pada tabel diatas, komoditas subsektor kehutanan yang mempunyai produksi terbanyak adalah komoditas sengon dengan produktivitas yang terus menunjukkan peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan subsektor perkebunan yang mempunyai produksi terbanyak adalah komoditas tebu, dimana di tahun 2010 mencapai 499.712,85 ton dengan produktivitas mencapai 78.600 kg/ha. Komoditas sengon dan jabon bila dapat dikembangkan lagi akan berdampak posistif dalam pengembangan ekonomi rakyat. Hal ini disebabkan permintaan kedua komoditas tersebut untuk bahan baku industri, khususnya sebagai bahan kayu plafon dan sekat rumah, maupun furniture. Apalagi data dari sebuah penelitian menyebutkan Indonesia masih kekurangan sekitar 9 juta m3 kayu per tahun. Sehingga menyebabkan terus naiknya harga kayu. Dari data di lapangan tercatat dalam 9 tahun terakhir kenaikan harga kayu mencapai 300% atau sekitar naik 30% per tahun.
harus disyaratkan adanya teknologi pengolahan dan tempat penjualan yang berprinsip pada aglomerasi berdasarkan keunggulan spasial. Bila hal ini tidak memungkinkan karena keterbatasan anggaran, yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran kelompok tani, seperti gapoktan tanaman kakao, dan sejenisnya. Bila belum terdapat kelompok asosiasi, yang perlu dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah membentuk wadah sebagai media orientasi pemasaran, pengolahan, dan pembinaan. Hal ini bisa dikonsentrasikan pada masing-masing daerah yang notabene mempunyai keunggulan per komoditas.
Namun demikian, produksi dan produktivitas pada komoditas kehutanan dan perkebunan di Kabupaten Blitar belum diimbangi dengan hasil olahan yang terintegrasi yang juga tinggi. Pada tabel diatas, wujud produksi yang mempunyai produksi tinggi adalah tanaman tebu yang mencapai 527.127,50 ton, kemudian diikuti kelapa sebesar 22.062,23 ton. Begitupun dengan produktivitas, komoditas tebu masih menempati peringkat pertama sebesar 78.500,00 kg/ha/thn. Sedangkan komoditas yang mempunyai jumlah petani terbanyak adalah kelapa dengan jumlah 33.713 petani, diikuti kakao sejumlah 3.466, dan kemudian sebesar tebu 3.415.
Selain olahan komoditas utama kehutanan dan perkebunan, yang perlu untuk dilihat adalah potensi berbagai produk hutan yang bisa dikembangkan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta diharapkan dapat mereduksi tekanan pengangguran dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah.
Selain itu, jumlah hutan lindung dan produksi pada tiap BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) juga begitu beragam. Dengan total luas lahan untuk kedua jenis hutan tersebut di Kabupaten Blitar mencapai 57.327,1 Ha, BKPH terbesar adalah Wlingi dengan total 12.380,1 Ha (atau sebesar 21,5%), diikuti Campurdarat sebesar 10.381,6 Ha atau sebesar 18,1%, kemudian yang terbesar ketiga adalah BKPH LodoyoBarat dengan angka 7.983,8 Ha.
pemanfaatan lahan kosong di KPH Blitar mencapai 9.597,5 Ha. Angka di tahun 2009 untuk lahan kosong dimana kecamatan penyumbang terbesar adalah BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) LodoyoBarat sebesar 340,4 Ha, kemudian Kalidawir (274,8 Ha), dan Kesamben (258,4 Ha).
Dari uraian penjelasan berbagai data diatas, sebenarnya beberapa tujuan dalam arah strategi pengembangan sektor kehutanan dan perkebunan adalah mewujudkan fungsi dan manfaat hutan yang optimal dan berkelanjutan, meningkatkan produksi, produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan pendapatan asli daerah. Strategi yang apat diusulkan dari berbagai pernyataan dari uraian data kehutanan dan perkebunan Kabupaten Blitar dengan demikian adalah mengupayakan rehabilitasi hutan dan lahan kritis atau kosong, pemntapan kawasan hutan, tertib dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Tabel 7.4 Analisis SWOT Subsektor Kehutanan dan Perkebunan
FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR INTERNAL
PELUANG
1. Peluang aspek politis berupa UU No. 22 Tahun 1999 sebagai landasan
kemandirian daerah, termasuk pengelolaan sektor kehutanan dan perkebunan.
2. Banyaknya permintaan pasar hasil kayu. Dimana market potensial lebih
mendominasi karena demand yang belum diimbangi dengan supply hasil kayu.
3. Terus meroketnya harga kayu di pasaran hingga 30%/tahun dapat mengotimalkan profit dari hasil hutan. 4. Pengaruh sosiokultur dan semakin
tertariknya masyarakat dengan komoditas perkebunan, khususnya kakao.
5. Pengembangan hutan lindung sebagai kawasan hutan wisata.
6. Potensi kawasan perkebunan sebagai konsep kawasan agrowisata
perkebunan.
7. Potensi lahan kawasan selatan Kab. Blitar yang cocok dengan komoditas kelapa sawit.
KEKUATAN
1. Faktor wilayah geografis yang
mendukung, seperti terdapatnya enam (6) pegunungan yang dapat menjadi hutan rakyat atau konversi.
2. Lahan luas yang mayoritas masih produktif dengan regenerasi yang cukup/sangat baik, sangat potensial untuk spasial pengembangan komoditas unggulan, khususnya perkebunan
3. Banyaknya varian jenis komoditas perkebunan yang mempunyai demand market yang tinggi.
4. Tingginya swadaya kelompok tani perkebunan yang berperan signifikan dalam kesejahteraan anggota.
5. Potensi komoditas hutan nonkayu yang bernilai ekonomi tinggi.
6. Teknik bercocok tanam masyarakat yang sudah mumpuni.
7. Luasnya lahan perkebunan di Kabupaten Blitar.
8. Terus menyusutnya lahan kritis di berbagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).
9. Potensi penghasil atsiri yang bernilai ekonomi tinggi di Kab. Blitar.
ANCAMAN
1. Ancaman degradasi lahan hutan yang terus menurun dalam tahun-tahun mendatang. Dalam kurun empat tahun terakhir sudah mencapai 16.656,7 Ha. 2. Ancaman terhadap produktivitas
berbagai komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan seiring dengan ancaman degradasi lahan. 3. Penebangan dan pembalakan hutan
yang sulit dikontrol.
4. Lemahnya penegakan peraturan seputar kehutanan yang dapat mengancam produktivitas dan
KELEMAHAN
1. Masih rendahnya produktivitas komoditas yang sebenarnya
mempunyai potensial value added dan harga mentah yang tinggi.
2. Rendahnya hasil pengolahan produk kehutanan dan perkebunan.
3. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca produksi (hasil tebangan dan panen).
4. Belum optimalnya bantuan (seperti saprodi komoditi perkebunan) dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
kelestarian hutan.
5. Peningkatan emisi global yang tinggi dan kerentanan perubahan iklim mengancam keberlangsungan sektor kehutanan dan perkebunan.
Pemerintah Daerah Tingkat II. 6. Rendahnya kondisi sarana dan
prasarana penunjang kinerja dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Juga kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki petani.
7. Keterbatasan dana berimbas pada target kinerja yang sulit untuk tercapai. Seperti program rehabilitasi hutan dan lahan, serta program peningkatan produk perkebunan.
8. Rendahnya asosiasi kelompok penghasil komoditas kehutanan dan perkebunan (saat ini hanya asosiasi tembakau, tebu, dan kakao). 9. Lemahnya peraturan dan eksekusi
penebangan hutan ilegal.
10.Sinergisitas yang masih rendah antara kehutanan, perkebunan dan pariwisata. 11.Masih rendahnya produksi hutan
nonkayu yang sebenarnya potensial dalam segi harga dan pasar.
12.Pelaksanaan pembangunan kehutanan masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor dan subsektor untuk keberhasilan seluruh sistem.
Tabel 7.5 Startegi Pengembangan Subsektor Kehutanan dan Perkebunan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Stengths-S
1. Faktor wilayah geografis yang mendukung, seperti terdapatnya enam (6) pegunungan yang dapat menjadi hutan rakyat atau konversi.
2. Lahan luas yang mayoritas masih produktif dengan regenerasi yang
cukup/sangat baik, sangat potensial untuk spasial pengembangan komoditas unggulan, khususnya perkebunan. 3. Banyaknya varian jenis komoditas perkebunan yang mempunyai demand market yang tinggi.
4. Tingginya swadaya pada kelompok tani yang ada yang berperan signifikan dalam kesejahteraan anggota.
5. Potensi komoditas hutan nonkayu yang bernilai ekonomi tinggi.
6. Teknik bercocok tanam masyarakat yang sudah mumpuni.
7. Luasnya lahan
perkebunan di Kabupaten Blitar.
8. Terus menyusutnya lahan kritis di berbagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).
9.Potensi penghasil atsiri yang bernilai ekonomi tinggi di Kab. Blitar.
Weaknesses-W
1. Masih rendahnya produktivitas komoditas yang sebenarnya mempunyai potensial value added dan harga mentah yang tinggi.
2. Rendahnya hasil pengolahan produk kehutanan dan perkebunan.
3. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca produksi (hasil tebangan dan panen). 4. Belum optimalnya bantuan
(seperti saprodi komoditi perkebunan) dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
5. Pola pembinaan yang tidak intensif dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
6. Rendahnya kondisi sarana dan prasarana penunjang kinerja dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Juga kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki petani.
7. Keterbatasan dana berimbas pada target kinerja yang sulit untuk tercapai. Seperti program rehabilitasi hutan dan lahan, serta program peningkatan produk perkebunan.
8. Rendahnya asosiasi kelompok penghasil komoditas kehutanan dan perkebunan (saat ini hanya asosiasi tembakau, tebu, dan kakao).
9. Lemahnya peraturan dan eksekusi penebangan hutan ilegal.
10.Sinergisitas yang masih rendah antara kehutanan, perkebunan dan pariwisata.
11.Masih rendahnya produksi hutan nonkayu yang
sebenarnya potensial dalam segi harga dan pasar.
kehutanan masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor dan subsektor untuk keberhasilan seluruh sistem.
Opportunities-O
1. Peluang politis berupa UU No. 22 Tahun 1999 sebagai landasan kemandirian daerah, termasuk sektor kehutanan dan perkebunan.
2. Banyaknya permintaan pasar hasil kayu. Dimana market potensial lebih mendominasi karena demand yang belum diimbangi dengan supply hasil kayu. 3. Terus meroketnya
harga kayu di pasaran hingga 30%/tahun dapat mengotimalkan profit dari hasil hutan. 4. Pengaruh sosiokultur
dan semakin
tertariknya masyarakat dengan komoditas perkebunan, khususnya kakao. 5. Pengembangan hutan
lindung sebagai kawasan hutan wisata. 6. Potensi kawasan
perkebunan sebagai konsep kawasan agrowisata perkebunan.
7. Potensi lahan kawasan selatan Kab. Blitar yang cocok dengan
komoditas kelapa sawit.
Strategi SO
1. Penegasan program pembangunan hutan rakyat sebagai program prioritas.
2. Diberlakukan diversifikasi pola tanam (sistem wanatani) dalam
menurunkan resiko usaha petani.
3. Pembentukan atau pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan di tiap-tiap kecamatan penghasil komoditi mayoritas. 4. Menciptakan jaringan
kelembagaan agribisnis perkebunan serta klinik konsultasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
5. Mentransformasikan asosiasi atau kelompok usaha perkebunan menjadi kelembagaan formal berbadan hukum. 6. Pembangunan dan
pengembangan kapasitas SDM petani melalui pendidikan formal maupun informal. 7. Pemantapan
kawasan-kawasan sentra produksi komoditas unggulan pada wilayah potensial.
8. Rehabilitasi lahan kritis melalui kegiatan penghijauan dan pengembangan hutan rakyat.
Strategi WO
1. Peningkatan produktivitas petani melalui penguatan kelembagaan kelompok tani, manajemen teknis lapangan (penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan), serta pola pembinaan yang bottom up dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan.
2. Pengintegrasian program pembangunan hutan rakyat dengan berbagai program pembangunan hutan yang ada (PHBM, GNRHL, PBSN, dll). 3. Pemantapan kawasan hutan
dalam efisiensi produksi komoditas kehutanan dan perkebunan di Kab. Blitar. 4. Membangun kemitraan dengan
perusahaan pengolah komoditas yang ada (konsep agroforestry).
5. Bantuan teknologi sederhana tepat guna pada petani yang tidak memerlukan biaya tinggi. 6. Pembentukan asosiasi pada
masing-masing komoditas oleh Dinas Kehutanan dan
Perkebunan yang bersifat bottom up dalam rangka penguatan kelembagaan (saat ini masih asosiasi tebu, kakao, dan tembakau).
7. Pemantapan, pembentukan dan Pengembangan kawasan perkebunan (agro) wisata dan hutan wisata (hutan lindung). 8. Pengembangan joint research
domestik, regional, dan internasional secara multisektor untuk
dan berdaya guna. Treaths-T
1. Ancaman degradasi lahan hutan yang terus menurun dalam tahun-tahun mendatang. Dalam kurun empat tahun terakhir sudah mencapai 16.656,7 Ha. 2. Ancaman terhadap
produktivitas berbagai komoditas unggulan kehutanan dan perkebunan seiring dengan ancaman degradasi lahan. 3. Penebangan dan
pembalakan hutan yang sulit dikontrol. 4. Lemahnya penegakan
peraturan seputar kehutanan yang dapat mengancam
produktivitas dan kelestarian hutan. 6. Peningkatan emisi
global yang tinggi dan kerentanan perubahan iklim mengancam keberlangsungan sektor kehutanan dan perkebunan.
Strategi ST
1. Prioritas pengupayaan rehabilitasi hutan dan lahan kritis.
2. Pengembangan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) di seluruh fungsi kawasan hutan. 3. Produksi peratuan dalam
mendorong iklim usaha di bidang kehutanan secara sah dan benar.
4. Mengintensifkan
kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum (TNI-Polisi) dalam penanganan
perlindungan dan pencurian hutan (khususnya illegal
logging dan illegal trade). 5. Meningkatkan produk
peraturan dalam pengelolaan dan fungsi DAS (Daerah Aliran Sungai), khususnya pembentukan unit pengelolaan. 6. Menyediakan eks
kawasan hutan yang tidak berhutan untuk usaha pertanian tanaman pangan/komoditi hasil hutan nonhutan.
Strategi WT
1. Tertib adminsitrasi dalam pengelolaan dan
pengusahaan program kehutanan dan
perkebunan.
2. Meningkatkan peran serta masyarakat dan ruang kelola dalam pengelolaan hutan (konsep masyarakat sekitar hutan).
3. Monitoring dan evaluasi yang bersifat multipihak terhadap program kegiatan kehutanan dan perkebunan yang berkelanjutan.
4. Pengembangan hasil hutan nonkayu dengan upaya perbanyakan vegetatif. 5. Peningkatan pasar
domestik/ekspor hasil hutan melalui promosi, kerjasama pemasaran, dan misi dagang (harus
dibentuk unit pengelolaan).
1.3 Subsektor Pertanian
penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni tanah sawah dan tanah bukan sawah. Penggunaan tanah sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawah dengan pengairan teknis dan pengairan sederhana. Sedangkan tanah nonsawah terdiri atas pekarangan dan halaman, tegalan/kebun/juma, padang rumput, tambak, kolam, dan hutan. Kabupaten Blitar sendiri mempunyai luas lahan sebesar 158.879 Ha yang terbagi menjadi lahan sawah dan nonsawah. Untuk lahan sawah sebesar 19,98%, dan selebihnya sebesar 80,02 adalah lahan nonsawah. Dari total lahan sawah tersebut, 69,41 persen merupakan lahan sawah berpengairan teknis, sedangkan 11,42 persen berpengairan setengah teknis, berpengairan sederhana sebesar 13,83 persen, dan sisanya sebesar 1,96 persen pada desa/Non PU, dan 3,38 persen merupakan tadah hujan. Dapat dikatakan, sistem pengairan di Kabupaten Blitar terbilang cukup bagus dengan dominannya berpengairan teknis dan setengah teknis. Namun demikian, proporsi yang sedikit dari lahan sawah daripada lahan nonsawah di satu sisi cukup berpengaruh signifikan terhadap produksi tanaman pangan strategis.
Untuk lahan nonsawah dilihat dari penggunaannya tampak bahwa luas tegal/kebun menduduki luas terbesar yakni 35,37 persen, diikuti rumah dan pekarangan sebesar 27 persen, sedangkan sisanya untuk penggembalaan/padang rumput, tambak, kolam, sementara tidak diusahakan, hutan perkebunan dan lainnya.
Tabel 7.6 Analisis SWOT Subsektor Pertanian
FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR INTERNAL
PELUANG
1. Kebijakan revitalisasi pertanian secara nasional, pemerintah daerah tingkat I, dan pemerintah daerah tingkat II. 2. Kebijakan ketahanan pangan nasional. 3. Penemuan-penemuan kultivar-kultivar
unggul yang mempunyai potensi keunggulan produktivitas dan kualitas pada tiap-tiap komoditi.
4. Tingginya permintaan produk-produk pertanian, khususnya dari tanaman holtikultura di pasaran nasional maupun global.
5. Tingginya inovasi produk olahan tanaman pangan.
6. Iklim investasi di Indonesia yang kondusif dan prospektif, termasuk untuk terjun ke sektor pertanian. 7. Maraknya pembangunan dan
pengembangan pertanian berbasis sebagai objek wisata
KEKUATAN
1. Faktor sosiokultural dan kondisi geografis yang sangat mendukung dalam perkembangan sektor pertanian (seperti budaya pertanian dan struktur kondisi kesuburan tanah, khususnya di kawasan utara).
2. Sistem pengairan yang cukup bagus dengan mayoritas berpengairan teknis dan setengah teknis pada total lahan sawah.
3. Teknik budidaya petani holtikultura lokal yang sudah dapat mengendalikan masa panen.
4. Terus meningkatnya laju produksi tanaman padi dan palawija.
5. Banyak produk pertanian memiliki nilai ekonomi tinggi, khususnya subsektor tanaman holtikultura.
6. Sudah terbentuknya brand image pada beberapa komoditas unggulan, seperti rambutan dan nanas.
ANCAMAN
1. Ancaman aspek politis berupa
penggenjotan pendapatan daerah yang berdampak pada produk peraturan yang tidak memihak sektor pertanian, khususnya mengenai lahan.
2. Ancaman krisis air yang berimbas pada produksi pertanian akibat maraknya konversi lahan pertanian.
3. Kerentanan konversi jenis tanaman sayur-sayuran oleh petani karena harga yang sangat fluktuatif di pasaran dapat mengancam ketidakstabilan produksi. 4. Acaman hawa wereng yang bersifat
menyebar di Jawa Timur dapat berimbas pada gagal panen dalam jumlah besar.
5. Semakin kecilnya minat masyarakat untuk terjun ke sektor pertanian,
KELEMAHAN
1. Masifnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan bisnis dan
perumahan hingga rata-rata 100 Ha/ tahun di Kab. Blitar.
2. Belum adanya kebijakan tata ruang yang jelas di Kabupaten Blitar yang menyebabkan penyusutan lahan pertanian akibat konversi semakin membesar.
3. Luas lahan pertanian yang sempit (hanya 10% dari total luas wilayah Kab. Blitar).
4. Minoritasnya lahan sawah yang didasarkan atas penggunaannya (hanya 19,98% dari total).
khususnya generasi muda. 6. Iklim yang tidak menentu dapat
menjadi kendala secara teknis. 7. Mahalnya biaya pengembangan
produksi dan pengolahan, khususnya pengolahan komoditi sektor pertanian. 8. Persaingan produk sejenis pada konteks
sektor unggulan wilayah dengan daerah/kabupaten lain.
9. Kebijakan liberalisai berbagai sektor, termasuk sektor pertanian yang mengadakan impor dan dapat menekan harga lokal.
10.Lemahnya sistem perbenihan dan pembibitan nasional (deptan.go.id). 11.Belum berjalannya diversifikasi pangan
dengan baik, khususnya karena pengaruh kultural masyarakat yang sulit beralih dari komoditi beras. 12.Ketergantungan terhadap bahan baku
impor bagi industri pengolah produk agribisnis.
dan andalan di Kabupaten Blitar. 6. Tingkat pengolahan produk pertanian
yang masih rendah (masih dalam satu tahap pengolahan).
7. Belum adanya industri pengolahan bahan baku komoditi
unggulan/potensial.
8. Keterbatasan SDM pengolahan sektor pertanian yang tepat guna.
9. Keterbatasan anggaran dalam pengembangan produk prioritas pengembangan (umbi-umbian) di Kabupaten Blitar.
10.Kondisi sarana dan prasarana
pengembangan dan pengolahan produk prioritas pengembangan masih
terpusat pada desa (pada program P2KP di tiap-tiap desa).
11.Sifat dari pasar pertanian di Kabupaten Blitar yang masih bersifat monopsoni di tingkat hulu (petani).
12.Kapasitas sarana distribusi petani yang terbatas, bahkan sebagian tidak mempunyai sarana distribusi.
13.Sifat dari pasar pertanian di Kabupaten Blitar yang masih bersifat oligopsoni di tingkat hilir (pengepul).
14.Sifat penyuluhan pertanian oleh para PPL yang masih bersifat top down. 15.Sempitnya kepemilikan lahan budidaya
oleh petani (mayoritas masih buruh dan penyakap).
16.Lemahnya kekuatan kelompok tani sebagai wadah penyuluhan secara teknis dan aspek pasar.
17.Akses gerak yang terbatas dari para petani dalam mengembangkan usaha tani karena faktor terbatasnya akses permodalan dengan bunga lunak. 18.Keperluan pengadaan bibit dan pupuk
yang rentan diselewengkan oleh para pelaku pasar.
19.Belum adanya asosiasi yang
memayungi komoditi umbia-umbian sebagai produk pengembangan Kab. Blitar.
kemarau akan berubah menjadi lahan kritis.
21.Belum padunya berbagai elemen (Dinas Pertanian, BP4K, Disperindag, Dinas Koperasi, dan masyarakat) dalam pengembangan komoditas andalan, khususnya subsektor pengembangan ketahanan pangan.
Berdasarkan pemaparan diatas dan hasil analisis SWOT diatas, maka dapat disimpulkan strategi pengembangan sebagai berikut :
Tabel 7.7 Strategi Pengembangan Subsektor Pertanian
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Stengths-S
1.Faktor sosiokultural dan kondisi geografis yang sangat mendukung dalam perkembangan sektor pertanian (seperti budaya pertanian dan struktur kondisi kesuburan tanah, khususnya di kawasan utara).
2. Sistem pengairan yang cukup bagus dengan mayoritas berpengairan teknis dan setengah teknis pada total lahan sawah. 3. Teknik budidaya petani holtikultura lokal yang sudah dapat
mengendalikan masa panen.
4. Terus meningkatnya laju produksi tanaman padi dan palawija.
5. Banyak produk pertanian memiliki nilai ekonomi tinggi, khususnya subsektor tanaman holtikultura.
6. Sudah terbentuknya brand image pada beberapa komoditas unggulan, seperti rambutan dan nanas.
Weaknesses-W
1.Masifnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan bisnis dan perumahan hingga rata-rata 100 Ha/ tahun di Kab. Blitar.
2. Belum adanya kebijakan tata ruang yang jelas di Kabupaten Blitar yang menyebabkan penyusutan lahan pertanian akibat konversi semakin membesar.
3. Luas lahan pertanian yang sempit (hanya 10% dari total luas wilayah Kab. Blitar). 4. Minoritasnya lahan sawah yang
didasarkan atas
penggunaannya (hanya 19,98% dari total).
5. Proporsi yang terus menurun pada produksi komoditi ubi jalar yang dijadikan sebagai komoditi potensial dan andalan di Kabupaten Blitar.
6. Tingkat pengolahan produk pertanian yang masih rendah (masih dalam satu tahap pengolahan).
7. Belum adanya industri pengolahan bahan baku komoditi unggulan/potensial. 8. Keterbatasan SDM pengolahan
sektor pertanian yang tepat guna.
pengembangan produk
prioritas pengembangan (umbi-umbian) di Kabupaten Blitar. 10.Kondisi sarana dan prasarana
pengembangan dan
pengolahan produk prioritas pengembangan masih terpusat pada desa (pada program P2KP di tiap-tiap desa).
11.Sifat dari pasar pertanian di Kabupaten Blitar yang masih bersifat monopsoni di tingkat hulu (petani).
12.Kapasitas sarana distribusi petani yang terbatas, bahkan sebagian tidak mempunyai sarana distribusi.
13.Sifat dari pasar pertanian di Kabupaten Blitar yang masih bersifat oligopsoni di tingkat hilir (pengepul).
14.Sifat penyuluhan pertanian oleh para PPL yang masih bersifat top down.
15.Sempitnya kepemilikan lahan budidaya oleh petani
(mayoritas masih buruh dan penyakap).
16.Kesenjangan yang cukup tinggi antara potensi produksi dan capaian produksi yang telah dilakukan.
17.Lemahnya kekuatan kelompok tani sebagai wadah penyuluhan secara teknis dan aspek pasar. 18.Akses gerak yang terbatas dari
para petani dalam
mengembangkan usaha tani karena faktor terbatasnya akses permodalan dengan bunga lunak.
19.Keperluan pengadaan bibit dan pupuk yang rentan
diselewengkan oleh para pelaku pasar.
21.Belum optimalnya
pemanfaatan lahan, seperti tegalan yang masih ditanami tanaman musiman, dan jika musim kemarau akan berubah menjadi lahan kritis.
22.Belum padunya berbagai elemen (Dinas Pertanian, BP4K, Disperindag, Dinas Koperasi, dan masyarakat) dalam pengembangan komoditas andalan, khususnya subsektor pengembangan ketahanan pangan.
Opportunities-O
1. Kebijakan revitalisasi pertanian secara nasional, pemerintah daerah tingkat I, dan pemerintah daerah tingkat II.
2. Kebijakan ketahanan pangan nasional. 3.
Penemuan-penemuan kultivar-kultivar unggul yang mempunyai potensi keunggulan
produktivitas dan kualitas pada tiap-tiap komoditi.
4. Tingginya permintaan produk-produk pertanian, khususnya dari tanaman
holtikultura di pasaran nasional maupun global. 5. Tingginya inovasi
produk olahan tanaman pangan. 6. Iklim investasi di
Indonesia yang kondusif dan
prospektif, termasuk untuk terjun ke sektor pertanian.
Strategi SO
1. Mentransformasikan peran gapoktan menjadi lembaga koperasi tingkat desa.
2. Strategi promosi untuk lebih memperkenalkan brand komoditi unggulan Kab. Blitar sebagai langkah value creation.
3. Pembentukan konsep agrowisata, khususnya di kecamatan penghasil komoditas unggulan seperti Kecamatan Wonotirto dan Panggungrejo yang berdataran tinggi. 4.Penyediaan klinik
konsultasi dan sistem data dan informasi
pembangunan pertanian yang integratif dan mudah diakses oleh petani (personal/gapoktan).
Strategi WO
1.Pembentukan peraturan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pengembangan kawasan agropolitan
berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Tata Ruang.
2.Penyediaan layanan informasi perijinan usaha dan konsultasi usaha bidang pertanian oleh Dinas Pertanian yang meliputi usaha pengolahan dan
penyimpanan pasca panen. 3.Intensifikasi pembinaan
terhadap gapoktan/poktan, khususnya dalam merangsang kegiatan kelompok seperti mendirikan kios saprotan yang menyediakan sarana produksi yang dikelola
gapoktan/poktan.
4.Pengembangan SDM petani melalui gapoktan/poktan melalui pendidikan informal. 5.Menyediakan jaringan usaha
antara gapoktan dengan pihak swasta ataupun pemerintah daerah dalam orientasi kerjasama antar pelaku agribisnis.
tiap-7. Maraknya
pembangunan dan pengembangan pertanian berbasis sebagai objek wisata.
tiap kecamatan.
7.Sistem pengemasan dan standarisasi produk untuk orientasi ekspor.
8.Pengadaan peralatan alsintan tepat guna dan berbiaya murah.
9.Pengadaan dan pembinaan pengembangan teknologi tepat guna berbiaya murah di tingkat gapoktan/poktan.
10. Penyediaan benih unggul tanaman.
11. Optimalisasi pelayanan perijinan dan investasi di sektor pertanian.
12. Pembentukan
asosiasi/gapoktan yang belum terwujud (khususnya komoditi umbi-umbian).
13. Pengembangan sistem distribusi melalui penguatan lembaga distribusi pangan tingkat desa.
14. Pengembangan industri pengolahan hasil pertanian berskala kecil maupun menengah.
15. Mengembangkan sentra usaha pertanian di tiap-tiap titik kawasan potensial. Treaths-T
1. Ancaman aspek politis berupa penggenjotan pendapatan daerah yang berdampak pada produk peraturan yang tidak memihak sektor pertanian, khususnya mengenai lahan.
2. Ancaman krisis air yang berimbas pada produksi pertanian akibat maraknya konversi lahan pertanian.
Strategi ST
1. Perlunya lembaga pusat informasi dan pelayanan produk agribisnis sebagai penguatan posisi tawar terhadap berbgai
sumberdaya seperti pasar eksternal, permodalam, teknologi, dan hubungan kemitraan.
2. Peningkatan produktivitas lahan dengan cara
pemupukan rasional dengan mendominasi penambahan bahan organik seperti pupuk hasil
Strategi WT
1. Pembangunan saluran permanen dan rehabilitasi jaringan irigasi di tiap-tiap kecamatan.
2. Pengadaan alat pembuat pupuk organik sebagai kemandirian input usahatani petani.
3. Pembentukan/pengembangan jaringan kemitraan usaha antara gapoktan dan pihak swasta.
4. Pembuatan
3. Kerentanan konversi jenis tanaman sayur-sayuran oleh petani karena harga yang sangat fluktuatif di pasaran dapat mengancam ketidakstabilan produksi.
4. Acaman hawa wereng yang bersifat
menyebar di Jawa Timur dapat berimbas pada gagal panen dalam jumlah besar. 5. Semakin kecilnya
minat masyarakat untuk terjun ke sektor pertanian, khususnya generasi muda. 6. Iklim yang tidak
menentu dapat menjadi kendala secara teknis. 7. Mahalnya biaya
pengembangan produksi dan pengolahan, khususnya
pengolahan komoditi sektor pertanian. 8. Persaingan produk
sejenis pada konteks sektor unggulan wilayah dengan daerah/kabupaten lain.
9. Kebijakan liberalisai berbagai sektor, termasuk sektor pertanian yang mengadakan impor dan dapat menekan harga lokal.
10.Lemahnya sistem perbenihan dan pembibitan nasional (deptan.go.id). 11.Belum berjalannya
sektor peternakan. 3. Rehabilitasi kerusakan
daerah hulu sungai melalui penghijauan dan reboisasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
4. Optimalisasi/maksimalisasi penggunaan sumberdaya lokal dalam proses bahan baku/input teknis
manufakturing komoditi pertanian.
5. Mengembangkan penganekaragaman (diversifikasi) pengolahan dan konsumsi pangan di tiap-tiap kecamatan. 6. Pembangunan
sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani dan peternak (kerjasama dengan Dinas Peternakan). 7.Peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan/merangsa ng minat masyarakat, khususnya generasi muda dalam berwirausaha tani.
tata ruang yang jelas.
diversifikasi pangan dengan baik, khususnya karena pengaruh kultural masyarakat yang sulit beralih dari komoditi beras.
12.Ketergantungan terhadap bahan baku impor bagi industri pengolah produk agribisnis.
1.4 Sektor Perikanan dan Kelautan
Dalam konteks ini, perikanan dibedakan atas perikanan laut dan perikanan darat. Perikanan darat dirinci menjadi penangkapan ikan di perairan umum dan budidaya pemeliharaan ikan di tambak, kolam, kerambah, dan sawah. Sedangkan perikanan laut ditangkap secara bebas ataupun juga dengan budidaya. Yang perlu diketahui, Kabupaten Blitar sendiri memiliki pantai terbentang sepanjang 45 km dengan luas 4 mil laut = 26.100 ha luas 12 mil laut = 63.330 hektar dan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) = 1.305.500 ha. Ini berarti potensi sumberdaya laut yang ada di Kabupaten Blitar untuk 4 mil laut mencapai 1.044 ton/tahun, untuk 12 mil laut mencapai 3.133 ton/tahun dan ZEE sebesar 52.220 ton/tahun.
sekitar dengan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Kelautan. Potensi lain yang mempunyai nilai produktif adalah budidaya tambak udang didaerah serang.
Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan khususnya perikanan laut di Kabupaten Blitar disebabkan sangat terbatasnya sarana perasarana dan infrastruktur diantaranya adanya Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI). Nelayan Blitar masih ragu untuk mengembangkan usahanya karena belum ada tempat pendaratan yang memadahi dan memberikan rasa aman sehingga nelayan Blitar yang memperoleh hasil tangkapan yang banyak lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Sendang Baru (Kabupaten Malang) dan PPI Prihi (Kabupaten Trengalek) yang memiliki fasilitas lengkap.
Oleh sebab itu mulai Tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Blitar secara bertahap membangun Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) yang berlokasi di Pantai Tambakrejo Kecamatan Wonotirto. Pembagunan PPI Tambakrejo diharapkan akan mampu mengungkit perekonomian di Kabupaten Blitar khususnya wilayah Blitar Selatan yang selama ini relatif tertinggal. PPI Tambakrejo dimasa mendatang akan sangat stategis bagi pengembangan Kabupaten Blitar apalagi dengan dibangunnya (dibukanya Jalur lintas selatan (JLS) di Kabupaten Blitar.
Komitmen Pemerintah Daerah untuk segera merealisasikan pembangunan PPI Tambakrejo terbentur oleh kondisi penganggaran yang relatif kecil setiap tahunnya baik dari APBN, APBD I maupun APBD II. Agar proses tersebut dapat dipercepat, Kabupaten Blitar sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari investor domestik maupun mancanegara yang memiliki proyeksi jangka panjang pembangunan sektor maritime di Indonesia, khususnya di Kabupaten Blitar. Beberapa peluang yang ditawarkan antara lain: pembangunan pabrik pembuatan kapal, pabrik pengolahan/pengalengan ikan, pergudangan dan pendinginan ikan, fasilitas perparkiran, fasilitas perumahan/hotel/restoran, peningkatan sarana jalan, air bersih dan kelistrikan, dll sesuai dengan kesepakatan dengan Pemerintah Daerah.
untuk masuk menggarap sub sektor ini. Untuk mencukupi kekurangan benih ikan, petani ikan di Kabupaten Blitar harus mendatangkan benih dari luar seperti Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang sehingga memakan ongkos biaya transportasi yang tidak sedikit secara kontinyu.
Sedangkan untuk ekspor ikan hias Koi, sebagai produsen utama ikan hias Koi di Indonesia, bisnis ini pernah mencapai puncaknya pada tahun 2000-an kemudian secara drastis turun karena wabah penyakit yang membuat ikan Koi Kabupaten Blitar terisolasi. Sekarang setelah penyakit ini bisa teratasi dan produksi ikan Koi mulai menanjak, dibutuhkan eksportir – eksportir yang kompeten dan memiliki jaringan pemasaran yang luas.
Tabel 7.8 Analisis SWOT Subsektor Perikanan dan Kelautan
FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR INTERNAL
PELUANG
1. Tingginya permintaan global hasil ikan, baik jenis ikan konsumsi maupun ikan hias .
2. Dicanangkannya pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan berbasis masyarakat.
3. Akses pasar yang sangat luas dari sektor perikanan.
4. Penggalakan industri berbasis
sumberdaya alam, khususnyaa industri berbasis perikanan (fisheries-based industries) oleh pemerintah.
5. Semakin gencarnya dunia perbankan dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan, khususnya program kredit.
6. Potensi laut selatan yang begitu besar, dan belum digali secara optimal. 7. Banyaknya industri subsektoral yang
dapat dibangun/dikembangkan melalui sektor perikanan dan kelautan (seperti pengalengan, galangan, pengolahan per komoditi, dll).
KEKUATAN
1. Kabupaten Blitar mempunyai
bentangan pantai yang panjang dengan potensi yang sangat besar pada perikanan laut.
2. Potensi ikan darat yang juga begitu besar, khususnya ditinjau dari sosiokultural masyarakat serta tipikal lahan yang mempunyai sumber air dangkaldi kawasan utara.
3. Sudah terbentuknya brand image Kabupaten Blitar sebagai penghasil ikan hias koi terbaik di Indonesia. 4. Cukup tingginya jumlah masyarakat
pesisir yang bekerja sebagai nelayan dan buruh nelayan.
5. Tingginya potensi rumput laut berkualitas tingi di sepanjang pantai pesisir selatan Kab. Blitar.
ANCAMAN
1. Kebanyakan nelayan masih menyerahkan hasil tangkapan ke Pelabuhan Pendaratan Ikan di Malang (PPI sendang biru) dan Trenggalek (PPI Prihi).
2. Penurunan hasil produksi karena faktor anomali iklim yang tak menentu menyebabkan migrasi ikan di Samudera Hindia.
3. Daya beli masyarakat sekitar/dalam negeri yang rendah terhadap produk perikanan.
4. Ancaman produksi perikanan darat budidaya ikan karena faktor anomali iklim, berkurangnya tingkat kesuburan lahan, menyusutnya luas lahan ikan, serta masih mahalnya harga pakan ikan. 5. Aspek politis berupa otonomi daerah dapat memperumit perbatasan wilayah laut antar daerah/kabupaten.
6. Semakin ketatnya persyaratan ekspor hasil perikanan terkait mutu dan keamanan pangan.
7. Tingkat persaingan produk perikanan di pasaran global makin tinggi.
KELEMAHAN
1. Masih rendahnya pemanfaatan ikan laut oleh nelayan lokal yang sampai saat ini masih sekitar 10%.
2. Armada atau kapal yang dipergunakan para nelayan masih sangat sederhana dengan ukuran relatif kecil dengan perlengkapan sederhana sehingga belum mampu menjaga fishing-ground yang luas dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
3. Terbatasnya sarana prasarana, serta infrastruktur seperti Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tambakrejo. 4. Terbatasnya anggaran untuk pegadaan
infrastruktur, baik APBN, APBD I dan APBD II.
5. Sistem pemasaran masih perorangan dan sulit diorganisasi, khususnya pemantauan dari pemerintah.
6. Masih rendahnya jumlah kapal perasional nelayan (masih 400 kapal) jika dibandingkan dengan jumlah nelayan.
7. Skala kepemilikan budidaya ikan tawar rata-rata sangat kecil (kurang lebih 0,1 Ha) yang bersifat terpencar.
8. Hasil ikan tangkap sulit berkembang karena faktor alam seperti ombak besar dan angin kencang yang berdampak pendeknya hari operasional nelayan.
9. Sarana perahu nelayan yang rata-rata masih di bawah standar, seperti kekuatan perahu yang masih kurang dari 2 GT (grasston).
11.Kerentanan proses produksi pembudidaya karena keterbatasan permodalan kredit, sarana produksi, informasi pasar, serta teknologi. 12.Rendahnya konsep penangkapan ikan
yang ramah lingkungan di lingkungan nelayan.
13.Masih mahalnya harga pakan ikan. 14.Masih awamnya nelayan lokal dengan
permodalan dunia perbankan.
15.Kondisi Balai Benih Ikan (BBI) di Kecamatan Wlingi belum mampu memenuhi seluruh permintaan benih ikan.
16.Kerentanan penyakit pada komoditas ikan hias karena peredaran ikan dari berbagai daerah.
Berdasarkan pemaparan di atas dan analisis SWOT, maka dapat dirumuskan strategi pengembangan sebagai berikut :
Tabel 7.9 Strategi Pengembangan Subsektor Perikanan dan Kelautan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Stengths-S
1. Kabupaten Blitar mempunyai bentangan pantai yang panjang dengan potensi yang sangat besar pada perikanan laut.
2. Potensi ikan darat yang juga begitu besar, khususnya ditinjau dari sosiokultural
masyarakat serta tipikal lahan yang mempunyai sumber air dangkal di kawasan utara. 3. Sudah terbentuknya
brand image Kabupaten Blitar sebagai penghasil ikan hias koi terbaik di Indonesia.
4. Cukup tingginya jumlah
Weaknesses-W
1. Masih rendahnya pemanfaatan ikan laut oleh nelayan lokal yang sampai saat ini masih sekitar 10%. 2. Armada atau kapal yang
dipergunakan para nelayan masih sangat sederhana dengan ukuran relatif kecil dengan perlengkapan sederhana sehingga belum mampu menjaga fishing-ground yang luas dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
3. Terbatasnya sarana prasarana, serta infrastruktur seperti Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tambakrejo.
4. Terbatasnya anggaran untuk pegadaan infrastruktur, baik APBN, APBD I dan APBD II.
masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan dan buruh nelayan. 5. Tingginya potensi
rumput laut berkualitas tingi di sepanjang pantai pesisir selatan Kab. Blitar.
6. Jaringan pemasaran yang luas dan sudah terbentuk dari para eksportir ikan koi di Kab. Blitar.
khususnya pemantauan dari pemerintah.
6. Masih rendahnya jumlah kapal perasional nelayan (masih 400 kapal) jika dibandingkan dengan jumlah nelayan.
7. Skala kepemilikan budidaya ikan tawar rata-rata sangat kecil (kurang lebih 0,1 Ha) yang bersifat terpencar.
8. Hasil ikan tangkap sulit berkembang karena faktor alam seperti ombak besar dan angin kencang yang berdampak pendeknya hari operasional nelayan.
9. Sarana perahu nelayan yang rata-rata masih di bawah standar, seperti kekuatan perahu yang masih kurang dari 2 GT (grasston). 10.Kurang layaknya tempat berlabuh
kapal yang ada.
11.Kerentanan proses produksi pembudidaya karena keterbatasan permodalan kredit, sarana produksi, informasi pasar, serta teknologi.
12.Rendahnya konsep penangkapan ikan yang ramah lingkungan di lingkungan nelayan.
13.Masih mahalnya harga pakan ikan.
14.Masih awamnya nelayan lokal dengan permodalan dunia perbankan.
15.Kondisi Balai Benih Ikan (BBI) di Kecamatan Wlingi belum mampu memenuhi seluruh permintaan benih ikan.
daerah.
Opportunities-O
1. Tingginya permintaan global hasil ikan, baik jenis ikan konsumsi maupun ikan hias . 2. Dicanangkannya
pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan berbasis masyarakat.
3. Akses pasar yang sangat luas dari sektor perikanan.
4. Penggalakan industri berbasis sumberdaya alam, khususnyaa industri berbasis perikanan ( fisheries-based industries) oleh pemerintah.
5. Semakin gencarnya dunia perbankan dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan, khususnya program kredit. 6. Potensi laut selatan
yang begitu besar, dan belum digali secara optimal.
7. Banyaknya industri subsektoral yang dapat
dibangun/dikembangk an melalui sektor perikanan dan kelautan (seperti pengalengan,
galangan, pengolahan per komoditi, dll).
Strategi SO
1. Memperbesar skala usaha dengan membangun dan mengembangkan kawasan sentra berpola intensifikasi dan
diversifikasi usaha perikanan dan kelautan. 2. Pengembangan kawasan
agrobisnis dan agroindustri sesuai dengan komoditas unggulan spesifik lokal. 3. Pengembangan kluster
rumput laut di kawasan pesisir.
4. Program peningkatan kualitas, produktivitas serta
penganekaragaman hasil dan produk olahan perikanan melalui promosi ke investor dalam rangka
memenuhi permintaan pasar.
5. Pola pembudidayaan dengan kemitraan usaha seperti pengembangan Anti Proverty Program (APP) yang sudah
dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Blitar.
6. Memperluas jaringan pemasaran ikan hias di antara kelompok pecinta ikan hias,
Strategi WO
1. Prioritas pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sarana prasarana penunjang dalam membantu nelayan mengatasi ruang gerak produksi.
2. Transfer teknologi tepat guna dan berbiaya murah, dan ketrampilan budidaya, penangkapan dan pengolahan ikan/bahan olahan asal ikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan/rekanan hasil kemitraan. 3. Pembentukan Kelompok
Pembudidaya Ikan (KPI) dan Nelayan (KPN), serta koperasi dengan manajemen modern dalam menunjang ketangguhan inisiasi, bergaining power, akses permodalan, sarana produksi, teknologi, jaringan pemasaran, serta lobi kebijakan pemerintah. 4. Intensifikasi penyuluhan pada
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terhadap pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit ikan.
5. Pelatihan penganekaragaman usaha perikanan dan kelautan. 6. Pengembangan usaha perikanan
dan kelautan melalui usaha pemberian modal serta pemberian sarana dan prasarana kerja lunak. 7. Optimalisasi keberadaan Balai
Benih Ikan (BBI) di Kec. Wlingi, khususnya menyangkut prasarana kolam, gudang, peralatan