BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosial Budaya
2.1.1 Pengertian Sosial Budaya
Sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama. Menurut Enda (2010), sosial
adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut
Daryanto (1998) yang dikutip Naibaho (2012, sosial merupakan sesuatu yang
menyangkut aspek hidup masyarakat.
Menurut Taylor (1989), budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diaturkan
atau diajarkan manusia kepada generasi berikutnya. Sedangkan menurut Sir Eduarel
Baylor (1871) dalam Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks
yang mengandung pengetahuan, kepercaayaan seni, moral, hukum, kebiasaan, dan
kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi
setempat.
Menurut Koentjoroningrat (1998), budaya berarti keseluruhan gagasan dan karya
manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekerti.
Sedangkan menurut Larry dkk kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan
waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang
dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Namun jika
“buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Menurut Muhammad (1996) yang dikutip Naibaho (2012), kondisi sosial budaya
(adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap
kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini, memang tidak
kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia. Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya
sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak
memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,
norma, ilmu pengetahuan, religius, dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut konsep budaya Lainingen (1978-1984) dalam Naibaho (2012),
karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua budaya
yang sama persis.
b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada
generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.
2.1.2 Pembagian Budaya
Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya dibagi menjadi dua yaitu:
1. Budaya Material
Budaya material dapat beruapa objek, seperti makanan, pakaian, seni,
benda-benda kepercayaan.
2. Budaya Non Material
Mencakup kepercayaan, pengetahuan, nilai, norma, dan sebagainya.
a. Kepercayaan
Menurut Rousseau kepercayaan adalah bagian psikologis terdiri dari keadaan
pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku
orang lain. Sedangkan menurut Robinson kepercayaan adalah harapan seseorang,
asumsi-asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat,
menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya
(Koentjaraningrat, 2006).
b. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui
panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
c. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
d. Nilai
Nilai adalah merupakan suatu hal yang nyata yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young
mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa
yang dianggap penting dalam masyarakat.
e. Norma
Norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu
kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa
norma adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi mereka dan
mengendalikan tingkah laku mereka.
2.1.3 Unsur Budaya
Adapun unsur-unsur dari budaya adalah sistem religi. Terdiri dari sistem
kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu
2.2 Perilaku Pernikahan Dini 2.2.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati secara
langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dimana perilaku terdiri dari
persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mechanisme), adaptasi (adaptation) (Notoatmodjo, 2003).
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan hasil dari perubahan dari berbagai faktor, baik internal maupun
eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat terlihat dari 3 aspek
yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial. Dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang
tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci perilaku manusia
sebenarnya merupakan refleks dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap.
2.2.2 Faktor-Faktor Perilaku
Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor
baik dari dalam maupun dari luar subjek. Dalam perilaku kesehatan menurut Lawrence
Green dalam Notoatmodjo (2003) terbagi tiga teori penyebab masalah kesehatan yaitu :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain
pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor pemungkin adalah sarana dan
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
2.2.3 Pengertian Pernikahan Dini
Pernikahan dini yaitu perkawinan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di
bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Di dalam
Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa pasal di antaranya pada pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal 2 menyatakan
bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Usia dini merujuk pada usia remaja. WHO memakai batasan umur 10-20 tahun
sebagai usia dini. Sedangkan pada Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1
pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun, batasan tersebut menegaskan bahwa anak usia dini adalah bagian
dari usia remaja. Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh
departemen kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah.
Sementara itu, menurut Badan Koordinasi keluarga Berencana
(bkkbn) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.
Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun
a. Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan,
salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi, kehilangan kesempatan
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, interaksi dengan lingkungan teman sebaya
menjadi berkurang, sempitnya mendapatkan kesempatan kerja, yang otomatis lebih
mengekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang
minim).
b. Dampak bagi anak, akan melahirkan bayi lahir dengan berat rendah, sebagai
penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi, cedera saat lahir, komplikasi
persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas.
c. Pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap
istri, yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda
tersebut.
d. Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga.
e. Pengetahuan yang kurang akan lembaga perkawinan.
f. Relasi yang buruk dengan keluarga.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini
Menurut Alfiah (2010) dalam Jannah (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi
pernikahan dini yaitu:
a. Faktor Ekonomi
Terjadi pada masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Biasanya berawal
dari ketidakmampuan mereka melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih
tinggi. Terkadang mereka hanya bisa melanjutkan sampai sekolah menengah saja atau
merupakan sebuah solusi dari kesulitan yang mereka hadapi. Terutama bagi perempuan,
dimana kondisi ekonomi yang sulit, para orangtua lebih memilih mengantarkan putri
mereka untuk menikah, karena paling tidak beban mereka akan berkurang. Tetapi
berbeda bagi anak laki-laki yang mempunyai peran dalam kehidupan berumah tangga
sangatlah besar, sehingga bagi kaum adam minimal harus mempunyai keterampilan
terlebih dahulu sebagai modal awal membangun rumah tangga mereka. Bagi sebuah
keluarga yang miskin, pernikahan usia dini dapat menyelamatkan masalah sosial
ekonomi keluarga.
b. Faktor Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai
dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki
bekal yang cukup tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu.
Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD.
Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia dini. Hal ini
bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul perkembangan reproduksi
mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi mereka, dan kapan atau pada usia
berapa mereka sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat.
c. Kekhawatiran Orang Tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki sangat dekat sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media Massa
Banyaknya media massa yang menayangkan seks menyebabkan remaja modern
h. Faktor Adat
Faktor adat juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena kebudayaan ini
diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam adat setempat
mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah, itu akan memalukan
keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya. Atau jika ada orang yang
secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang anak mereka, dengan tidak
memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan orangtua menerima pinangan
tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia
diharapkan bisa mengurangi beban sang orangtua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja
banyak dampak yang tidak terpikir oleh mereka sebelumnya.
Menurut R.T. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia
muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi
mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan
orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya
karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan
oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis
akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan,
pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992).
Menurut teori Syafrudin dan Mariam, 2010. Faktor yang menyebabkan pernikahan usia
dini adalah :
1. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan secara umum dapat didefenisikan adalah suatu usaha pembelajaran yang
direncanakan untuk mempengaruhi individu ataupun kelompok sehingga mau melaksanakan
tindakan-tindakan untuk menghadapi masalah-masalah dan meningkatkan kesehatannya.
Berkaitan dengan defenisi tersebut, maka pendidikan dibedakan atas tiga jenis yaitu
pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan pendidikan formal
berstatus swasta.
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai
oleh seorang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah,
karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan sebagai calon ibu, atau
kepala keluarga dan calon ayah, yang lebih banyak berperan mengurus rumah tangga dan
berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab
orangtua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya (UNICEF, 2006). Dari berbagai
penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan yang rendah dan usia
saat menikah.
2. Ekonomi
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah
menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2001). Secara
umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi
pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait
dengan kemiskinan. Sayangnya, pernikahan gadis ini juga menikah dengan dengan pria
berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan kemiskinan baru.
3. Sosial Budaya
Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk didalamnya pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, adat istiadat, dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperolah
manusia sebagai anggota masyarakat. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang
penting terhadap aspek kehidupan manusia, yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa,
agama, bentuk keluarga, diet, pakian, bahasa tubuh
• Adat Istiadat
Di banyak daerah di Indonesia ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa
belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para
orangtua berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada
akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini.
Di banyak daerah masih ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah,
misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa
status janda lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan
seseorang dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.
UNICEF mengemukakan dua alasan utama terjadinya pernikahan dini (early marriage):
1. Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara ekonomi (early marriage as a strategy for economic survival).
Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini.
Ketika kemiskinan semakin tinggi, remaja putri yang dianggap menjadi beban
ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya dan bahkan sangat
jauh jarak usianya. Hal ini adalah strategi bertahan sebuah keluarga.
2. Untuk melindungi wanita (protecting girls)
Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa anak perempuan yang
telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan anak yang sah, ikatan perasaan
yang kuat dengan pasangan, dan sebagainya. Menikahkan anak di usia muda merupan
salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pranikah. Kebanyakan
masyarakat sangat menghargai nilai keperawanan dan dengan sendirinya hal ini
memunculkan sejumlah tindakan untuk melindungi anak perempuan mereka dari
perilaku seksual pranikah.
Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan merupakan suatu
periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi sejumlah tekanan yang
menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan mengalami kehidupan
seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada sebagian besar masyarakat
menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa remaja untuk berhasil di sekolah,
membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam olahraga dan aktivitas fisik,
mengembangkan kelompok sosial dengan teman sebayanya, menunjukkan
kemampuan mereka dalam menangani ekonomi keluarga dan tanggung jawab
finansial. Remaja putri mengalami hal yang berlawanan. Pengalamam masa remaja
bagi para remaja putri di banyak negara berkembang lebih difokuskan pada masalah
pernikahan, menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan kepatuhan, serta sifat yang
baik untuk menjadi istri dan ibu.
2. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity)
Beberapa budaya di dunia, wanita tidak memiliki kontrol terhadap seksualitasnya,
tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, keluarga, atau kelompok etnis mereka.
Oleh karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan aktivitas seksual, biasanya
anggota keluarga yang menentukan, karena perawan atau tidaknya seseorang sebelum
menikah menentukan harga diri keluarga. Ketika anak perempuan mengalami
menstruasi, ketakutan akan aktivitas seksual sebelum menikah dan kehamilan menjadi
perhatian utama keluarga.
Tekanan menggunakan pernikahan untuk memperkuat keluarga, kasta, atau
persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi, dan sosial
cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya. Transaksi ekonomi
juga menjadi bagian integral dalam proses pernikahan.
4. Kemiskinan (the role of proverty)
Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan yang penting
menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang tinggal di
keluarga yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan untuk
meringankan beban keluarga.
Adapun pernikahan usia remaja yang disebabkan oleh faktor dari diri sendiri,
yaitu:
1. Menurut Sarwono (2006), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi pada
masa pubertas karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang membuat
mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga menyebabkan
kehamilan yang kemudian solusinya adalah dengan menikahkan mereka.
2. Sanderowitz dan Paxman dalam Sarwono (2006) menyatakan bahwa pernikahan muda
juga sering terjadi karena remaja berpikir secara emosional untuk melakukan
pernikahan. Mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Faktor
penyebab lain pernikahan muda adalah perjodohan orangtua. Perjodohan sering terjadi
akibat putus sekolah dan permasalahan ekonomi.
3. Menurut Surjandi (2002), pernikahan usia remaja juga sering disebabkan oleh rasa
ingin coba-coba, perubahan organobiologik yang dialami remaja mempunyai sifat
2.2.5 Dampak Akibat Pernikahan Dini 1. Dampak Positif
a. Dukungan Emosional
Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan
spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan Keuangan
Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih
menghemat.
c. Kebebasan yang Lebih
Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal
sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
d. Belajar Memikul Tanggung Jawab di Usia Dini
Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil
karena ada orang tua mereka. Dengan menikah, mereka harus dapat mengatur
urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
e. Terbebas dari Perbuatan Maksiat
Dengan menikah akan menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat seperti
zina dan lain-lain.
2. Dampak Negatif
a. Segi Pendidikan
Seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu
akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Jika sesorang
keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang
lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar
yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas
yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini
dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenagakerjaan, seperti realita yang ada di dalam
masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja
sebagai buruh saja. Dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan
yang dimilikinya.
b. Segi Kesehatan
Perempuan yang menikah di bawah umur 20 tahun mempunyai resiko terhadap alat
reproduksinya sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid karena pada
masa remaja ini, alat reproduksinya belum matang untuk melakukan fungsinya.
Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur di atas 20 tahun sampai dengan usia 35 tahun, karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa
yang maksimal. Pada usia 14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup
baik kekuatan dan kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat
rupture (robek). Pada usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil, mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian
janin. Usia kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia
reproduksi aktif.
Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni
Dalam laporan WHO kanker leher rahim setidaknya sudah merenggut jiwa
wanita hingga 5 juta, sedangkan di Indonesia walaupun belum jelas berapa
angka pastinya, diperkirakan 90-100 jiwa dari 100 ribu penduduk mengindap
kanker leher rahim. Hal ini menjadikan kanker leher rahim pembunuh wanita
nomer dua setelah kanker payudara.
Perkawinan dalam usia muda merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
keganasan mulut rahim. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang bagian
ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina. Kanker serviks merupakan kanker
yang berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan
berkembang dari serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh di
luar serviks bahkan terus tumbuh sampai dinding panggul. Pada usia remaja,
sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Sekitar 70% – 80% dari
pengidap kanker serviks disebabkan oleh virus HPV 16 dan HPV 18 sebagai
penyebab utamanya.
Infeksi HPV paling sering terjadi pada kalangan dewasa muda (18-28 tahun).
Perkembangan HPV ke arah kanker serviks pada infeksi pertama tergantung dari
jenis HPV-nya. HPV tipe risiko rendah atau tinggi dapat menyebabkan kelainan
yang disebut pra-kanker.
2. Resiko Tinggi Ibu Hamil
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh
usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun,
artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami
prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik
maupun mental, kebutaan dan ketulian, berisiko pada kematian, pendarahan,
keguguran, hamil anggur. Selain itu, risiko kematian akibat keracunan
kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah
satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau
hipertensi.
Remaja tahap awal beresiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam
masa hamil dan melahirkan anak, BBLR, kematian bayi dan abortus, remaja
tahap awal cenderung memulai perawatan prenatal lebih lambat daripada remaja
berusia lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa
banyak kerugian. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk
kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
c. Segi Psikologi
Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi
harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak
darah muda, dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari
berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya,
pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16
2.3 Remaja
2.3.1 Pengertian Remaja
Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan
pengenalan dan petualangan akan hal-hal yang baru termasuk pengalaman berinteraksi
dengan lawan jenis sebagai bekal untuk mengisi kehidupan kelak.
Remaja selalu berusaha untuk menemukan pengalaman baru karena rasa
keingintahuan yang besar dari remaja. Sayangnya, banyak di antara mereka yang tidak
sadar bahwa terkadang pengalaman yang menyenangkan justru dapat menjerumuskan.
Dalam masa remaja terjadi masa strom and stress di mana terjadi pergolakan emosi yang
disebabkan karena perubahan fisik dan perubahan psikis yang cepat. Pergolakan emosi
yang terjadi ini akan berpengaruh terhadap munculnya perilaku.
Beberapa pengertian tentang remaja:
a. Menurut Daradjat (2003) remaja adalah anak yang ada pada masa peralihan di antara
masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di
segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara
berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang.
b. Menurut WHO remaja adalah usia 12 tahun sampai 24 tahun. Namun jika pada usia
remaja sudah menikah maka ia tergolong dalam dewasa, atau bukan lagi remaja.
Sebaliknya jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih bergantung pada orngtua
(tidak mandiri) maka dimasukkan dalam remaja.
c. Menurut Konopka (1973) yang dikutip Pikunas (1976) menjelaskan bahwa masa
d. Menurut Monks (1998) remaja berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan
pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan,
18-21 tahun masa muda akhir.
e. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,
remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
f. Menurut Stanley Hall dalam Santrock (2003), usia remaja berada pada rentang 12-23
tahun.
g. Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia
12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal 21 tahun.
h. Menurut bkkbn (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi), batasan usia
remaja adalah 10-21 tahun.
i. Menurut Soetjiningsih (2004), berdasarkan kematangan psikososial dan seksual
dalam tumbuh kembang menuju dewasa, semua remaja akan melewati tahapan
berikut:
1. Masa remaja awal/dini (early adolescence): umur 11-13 tahun 2. Masa remaja pertengahan (middle adolescence): umur 14-16 tahun 3. Masa remaja lanjut (late adolescence): umur 17-20 tahun.
j. Menurut Sarwono (2006), batasan usia remaja adalah usia 11 sampai 24 tahun dan
belum menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder
2. Pada masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh baik adat
maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai
anak-anak.
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa.
4. Batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimum untuk memberi peluang
kepada mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada
orang tua.
5. Remaja yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan sebagai dewasa penuh
dilihat dari sudut pandang hukum.
2.3.2 Ciri-Ciri Masa Remaja
a. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting
Pada masa remaja sebagai akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang
sama penting. Perkembangan fisik yang cepat disertai dengan cepatnya perkembangan
mental terutama pada awal masa remaja, dimana perkembangan itu dapat menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru
(Hurlock,1999).
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya,
tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.
Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang
terjadi sekarang dan yang akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa
harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap
yang sudah ditinggalkan (Hurlock,1999).
c. Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah
Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu (1)
sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua
dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi
masalah. (2) Para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru-guru. Ketidakmampuan remaja untuk
mangatasi sendiri masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini.
Banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai
dengan harapan mereka. Banyak kegagalan yang seringkali disertai akibat tragis, bukan
karena ketidakmampuan individu tetapi kenyataan bahwa tuntutan yang diajukan
kepadanya, justru pada saat semua tenaganya telah dihabiskan untuk mencoba mengatasi
masalah pokok, yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang
normal (Hurlock, 1999).
d. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas
Sepanjang usia kelompok pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan
standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada
individualitas. Seperti bagi anak yang lebih besar, ingin cepat seperti teman-teman
kelompoknya. Tiap penyimpangan dari standar kelompok dapat mengancam
2.3.3 Masa Pubertas Remaja
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu faal, remaja dikenal sebagai suatu tahap
perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangan, secara
anatomis berarti alat kelamin pada khususnya dan keadaan tubuh yang sempurna dan
secara faal alat–alat kelamin sudah berfungsi secara sempurna pula. Tahap ini dinamakan
masa pubertas (Sarwono, 2006).
Masa pubertas adalah masa yang khusus dimana seorang anak merasakan adanya
kebutuhan yang sangat kuat pada lawan jenis atau keinginan bercinta begitu mendalam.
Dan masa ini disebut juga sebagai masa perkembangan seksual anak yang berada pada
masa yang mengalami perubahan fisik dan psikis dengan cepat (Sarwono, 2006).
Penyebab munculnya pubertas ini adalah hormon yang dipengaruhi oleh hipofisis (pusat
dari seluruh sistem kelenjer penghasil hormon tubuh). Berkat kerja hormon ini, remaja
memasuki masa pubertas sehingga mulai muncul ciri-ciri kelamin sekunder yang dapat
membedakan antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, pubertas terjadi karena
tubuh mulai memproduksi hormon-hormon seks sehingga alat reproduksi telah berfungsi
dan tubuh mengalami perubahan.
Pubertas berasal dari bahasa Inggris “puberty”yang artinya usia kedewasaan (the age of manhord) dan berasal dari bahasa latin “pubescere” yang artinya masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “pusic” (di wilayah kemaluan) (Sarwono, 2006).
Pertumbuhan fisik pada remaja ini lebih dikenal sebagai tanda-tanda
seksualsekunder. Perubahan fisik yang dialami antara lain:
a. Pada remaja perempuan akan mengalami menstruasi, pertumbuhan payudara, tumbuh
b. Pada remaja laki–laki akan mengalami mimpi basah, perubahan suara, tumbuh
rambut halus di wajah dan daerah lainnya, dan lain–lain.
2.3.4 Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst dalam Santrock (2003), tugas perkembangan adalah
tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu,
dan apabila berhasil mencapainya akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas
perkembangan selanjutnya. Tetapi jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada
individu yang bersangkutan dan mengalami kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas
berikutnya. Adapaun yang menjadi sumber daripada tugas-tugas perkembangan adalah
kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya, dan nilai-nilai, serta aspirasi
individu. Tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
b. Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.
d. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
e. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
f. Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan).
g. Belajar merencanakan hidup berkeluarga.
h. Mengembangkan keterampilan intelektual.
i. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
j. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam
k. Mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari, baik pribadi maupun sosial.
Menurut Hurlock (1999), tugas-tugas dalam perkembangan mempunyai tiga
macam tujuan, yaitu:
a. Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat
dari mereka pada usia-usia tertentu.
b. Dalam memberi motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang
diharapkan dari mereka oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang kehidupan
mereka.
c. Menunjukkan kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan
apa yang diharapkan dari mereka kalau sampai pada tingkat perkembangan
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian diambil dari teori Syafrudin dan Mariam (2010),
sehingga didapatkan kerangka konsep sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Pernikahan Dini Tingkat Pendidikan
Ekonomi