• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam Menjalankan Fungsi Legislasi untuk Memperperjuangkan Kepentingan Perempuan Tahun 2009-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam Menjalankan Fungsi Legislasi untuk Memperperjuangkan Kepentingan Perempuan Tahun 2009-2011"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Demokrasi telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demokrasi mengisyaratkan bahwa semua manusia berhak dan bebas dalam menjalankan hak-hak demokrasi seperti hak hidup, hak berpendapat, bahkan hak memilih dan dipilih, begitu juga dengan perempuan. Di dalam Pasal 27 UUD Tahun 1945 menyatakan:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.Pernyataan itu menegaskan

bahwa tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan politik seperti memberikan suara secara bebas di pemilihan umum, ikut dalam partai politik, menjadi elit politik dan turut terlibat dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik.

(2)

Medan jumlah korban trafiking menduduki peringkat pertama dengan perkiraan mencapai 27 kasus. 1

Menurut Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Perempuan Indonesia,untuk kekerasan terhadap perempuan terjadi lebih dari 110.000 kekerasan terhadap perempuan dan 95 persennya adalah KDRT. Komnas Perempuan mencatat, kekerasan moralitas hingga Maret 2012 terjadi 207 PP (Peraturan Pemerintah) yang diskriminatif. Kebanyakan kebijakannya menyasar dan menarget perempuan, membuat perempuan sebagai korban dan mengontrol mobilitas perempuan. Misalnya seperti Perda Prostitusi yang awal dibentuknya melindungi perempuan tetapi perempuan-perempuan yang pulang larut malam mudah sekali diduga sebagai PSK.2

Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah pekerja perempuan di Indonesia tahun 2011, berjumlah 39,95 juta jiwa, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah itu, sekitar 25 juta di antaranya tergolong usia reproduksi (15-45 tahun). Sudah pasti, bagi buruh perempuan yang memiliki anak bayi akan kesulitan memenuhi kebutuhan ASI banyak anaknya itu. Sementara faktanya, rata-rata perusahaan hanya memberikan cuti pasca melahirkan maksimal 2 bulan. Ironisnya, pemberlakuan jam malam masih juga diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk kepada si ibu yang baru saja melahirkan. Hak dan perlindungan terhadap kaum buruh perempuan di negeri ini memang masih sangat rendah. Banyak perusahaan yang masih memperlakukan buruh perempuan sebagai "sapi perahan."3

Membicarakan hubungan perempuan dengan politik masih menjadi wacana yang menarik. Sebelum era reformasi, kondisi politik perempuan sangatlah rendah. Perempuan belum mendapat tempat strategis dalam membuat keputusan politik karena laki-laki masih lebih mendominasi dan menentukan kebijakan publik. Perempuan biasanya hanya menjadi peserta yang sekedar absen dan penikmat kebijakan saja. Kaum perempuan direduksi sedemikian rupa pada tataran simbolis dan struktural dan hanya merupakan mendamping suami. Pencitraan yang dimunculkan melalui pejabat-pejabat publik, dimana sang istri diperankan sebagai orang kedua dibelakang suami.

2

Majalah Forum Keadilan No.14. Jakarta. PT. Forum Adil Mandiri. 29 Juli 2012. Hal 67

3

(3)

Di era reformasi, sedikit demi sedikit ada secercah harapan pada perempuan untuk memasuki ruang publik dan politik sekaligus. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari pemerintahannya selama 32 tahun, arus reformasi mulai menunjukkan perubahan-perubahan termasuk untuk perempuan baik dari kebebasan perempuan untuk berekspresi sampai partisipasi politik perempuan mulai diperhatikan. Perempuan dalam tatanan politik juga mulai berkembang dimana perempuan yang hanya bisa memilih kini dapat memilih dan dipilih. Perempuan juga mulai menunjukkan kemampuan dirinya baik di keluarga bahkan di pemerintah. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi keterwakilan perempuan di politik dan membuat kesadaran perempuan akan pengetahuan politik.

Gerakan perempuan dan feminis juga mewarnai perubahan sosial politik di Indonesia. Mereka tidak henti-hentinya menyuarakan kepentingan dan keterwakilan politik perempuan di Indonesia. Untuk mengantisipasi suara dari perempuan Indonesia, pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.12 Pasal 65 Ayat (1) tentang Pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah

pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.4

Namun UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu belum menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut “tidak” atau “belum” memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya affirmative action530%. Untuk itu dikeluarkanlah UU Pemilu No.10 tahun 2008 yaitu pada pada pasal 8 ayat 1 butir (d) yang menyatakan “Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai

politik tingkat pusat”.6

Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk dapat menyertakan sedikitnya 30% kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30% merupakan suatu peluang bagi

4

UU Pemilu No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1)

5

Affirmation action adalah semacam program khusus untuk lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyarakat sesuai kemampuan dan talentabyang dimilikinya sehingga perempuan lebih termotivasi untuk meraih posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.

6

(4)

perempuan dengan keterwakilannya untuk dapat kiranya menyuarakan kepentingannya serta kepentingan umum dengan membawa aspirasi dalam berbagai bidang.

Adapun wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30%, masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan yang ditinjau dengan hitungan statistik yang berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Tetapi sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam dunia politiknya. Dengan adanya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, maka dapat memberikan suatu kemajuan bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Dengan begitu sekarang perempuan bebas mencalonkan dirinya untuk dapat menduduki jabatan politiknya.

Kemudian disahkan pula Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur ketentuan kuota minimal 30% bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik maupun anggota legislatif, dimana setiap tiga nama dalam caleg harus dimasukkan nama perempuan, hal ini tertulis jelas dalam UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2) yang meyatakan “Didalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam ayat satu , setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya terdapat satu orang perempuan

bakal calon”7

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan suatu lembaga atau badan perwakilan rakyat di daerah yang mencerminkan struktur dan sistem demokratis di daerah, sebagaimana terkandung di dalam pasal 18 UUD 1945

Undang-undang pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa pentingnya perhatian khusus ke perempuan. Hal itu tampak dengan adanya ketentuan affirmative action untuk calon anggota legislatif perempuan yang berupa pemberian kuota ke perempuan. Adapun penetapan kuota tersebut dipandang merupakan mekanisme paling efektif untuk menjamin akses perempuan di bidang politik. Kuota tersebut bisa menjadi titik pijak dimulainya pembaruan semua kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berspektif gender dan lebih sensitif atas kepentingan perempuan.

8

7

UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2) 8

Hari Sabarno, memandu otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta. Sinar Grafika. 2008. Hal: 20

(5)

sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagaan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan.

Keseluruhan dari fungsi DPRD telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Melalui fungsi tersebut DPRD sebagai representasi rakyat dalam struktur kelembagaan daerah menjalankan fungsi perundang-undangan dan juga fungsi anggaran/ keuangan yang telah diatur dalam hak anggaran sampai pada fungsi pengawasan. Fungsi DPRD berakar pada subtansi demokrasi yang terus mengingatkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota parlemen adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai politik. Dalam pembahasan ini yang menjadi masalah adalah bagaimana partisispasi perempuan yang duduk di lembaga legislatif dapat melaksanakan fungsi legislasi dengan baik.

Setelah reformasi keterwakilan politik perempuan di Kota Medan masih sulit meningkat. Pada masa orde baru, perempuan belum banyak yang mau berpartisipasi dalam politik. Mereka lebih suka mendukung karir politik suami masing-masing. Untuk mensukseskan karir suaminya, kebanyakan sang istri ikut dalam kegiatan perempuan di PKK dan keagamaan. Karena itu, pada masa Orde Baru masih sedikit bahkan jarang perempuan ikut dalam kegiatan politik yang dinilai sebagai wilayah laki-laki. Pada tahun 1992-1997keterwakilan politik perempuan hanya 3 orang dari 44 anggota terpilih dan untuk tahun1997-1999, jumlah anggota DPRD perempuan Kota Medan hanya 4 orang.

Kemudian pada saat ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan, dan hasilnya pada saat itu adalah 5 orang perempuan yang terpilih dari 45 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sementara itu pada pemilu 2009, anggota DPRD Kota Medan hanya 6 orang perempuan yang terpilih dari 50 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih.9

Kinerja Anggota Dewan perempuan yang dibahas disini adalah kinerja tentang Anggota Dewan perempuan dalam mengambil kebijakan. Kinerja yang dilaksanakanmengacu aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam

Namun salah satu dari enam anggota DPRD Kota Medan perempuan yaitu, Hj Halimatusakdiyah dari partai Demokrat itu meninggal dunia akibat menderita penyakit kanker, jumlah anggota legislatif perempuan di kota Medan menjadi lima orang saja. Kondisi ini memprihatinkan karena persentase keterwakilan politik perempuan yang duduk di DPRD Kota Medan hanya berkisar 12 % saja.

9

(6)

dunia politik.Pembahasan mereka dalam membuat kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan dapat membuktikan pemberian kuota 30% memang layak diberikan atau tidak kepada perempuan. Untuk dapat bertahan di dunia politik, perempuan yang telah duduk di parlemen haruslah memperlihatkan kapasitasnya dengan selalu aktif berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi kerja mereka yaitu di bidang legislasi dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan sesuai dan efektif bagi kebutuhan masyarakat. Jika mereka dapat melaksanakan fungsi ini, kinerja mereka di parlemen akan meningkat. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik dan ingin melihat dan meneliti tentang Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi untuk

memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011

2. Perumusan Masalah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tiga fungsi parlemen yang harus dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Ketiga fungsi itu adalah membuat kebijakan-kebijakan melalui Undang-undang (legislasi), anggaran, dan melakukan pengawasan. Baik buruknya suatu organisasi ditinjau seberapa besar partisipasi mereka melakukan fungsi kerja untuk meningkatkan kinerja mereka. Untuk menunjukkan kemampuan mereka, anggota legislatif perempuan harus menunjukkan seberapa besar prestasinya dalam menjalankan fungsi parlemen.

Anggota DPRD perempuan berkewajiban memperhatikan kepentingan perempuan dalam partisipasi politik dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan membuat kebijakan-kebijakan agar dapat efektif dan efisien. Anggota DPRD Perempuan di Kota Medan hanya berjumlah lima orang saja. Mereka belum maksimal dalam melakukan fungsi kerja untuk membuat kebijakan yang memperjuangkan kepentingan perempuan di Kota Medan. Dari produk-produk legislasi yang telah dihasilkan belum adaperaturan daerah yang membawa isu-isu perempuan dan kepentingan perempuan. Masih banyak hak-hak perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian anggota legislatif perempuan yang berhasil duduk di DPRD. Diskriminasi terhadap perempuan, trafficking, persoalan kesehatan, pendidikan, kemiskinan, partisipasi politik perempuan dan pemberdayaan perempuan adalah persoalan perempuan yang perlu mendapat perhatian khusus.

3. Pertanyaan Penelitian

(7)

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat anggota DPRD Perempuan dalam melaksanakan kinerja?

4. Fokus Penelitian

Penelitian tentang kinerja DPRD dengan perspektif gender ini difokuskan pada pelaksanaan salah satu fungsinya yakni : Fungsi Legislasi. Fungsi ini yang memberikan nama lembaga DPRD sebagai lembaga legislatif atau badan pembuat undang-undang. Adapun rincian masalah yang akan diamati adalah:

1. Kehadiran Anggota Perempuan DPRD di Kota Medan

Kehadiran merupakan faktor utama anggota DPRD Perempuan dalam melaksanakan kinerjanya. Mereka pasti tidak bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik jika mereka tidak hadir di DPRD Kota Medan.

2. Penguasaan Materi tentang Fungsi yang dilaksanakan

Penguasaan materi yang dimaksud adalah seberapa besar mereka faham melaksanakan fungsi legislasi mengenai kepentingan perempuan.

3. Hal inisiatif dan penyampaian gagasan

Seberapa sering Anggota DPRD Perempuan menyampaikan pendapatnya untuk membuat kebijakan-kebijakan khususnya untuk Pemberdayaan Perempuan.

4. Kemampuan kerjasama

Bagaimana Anggota DPRD Laki-laki dan Perempuan dapat bekerjasama dalam melaksanakan kinerja mereka di bidang legislasi. 10

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

5.1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini ialah:

1) Untuk mengetahui karakteristik Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi tahun 2009-2011.

2) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dapat menghambat Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi tahun 2009-2011.

10

Amik Amikawati. Skripsi: Analisis Gender Pada Kinerja DPRD Provinsi Jawa Tengah Periode 2004–2009. Universitas

(8)

5.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam pembuatan penelitian ini ialah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan ilmiah mengenai kemampuan dan kinerja perempuan di parlemen dalam melakukan fungsi kerjanya di bidang legislasi. Ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang berada di pemerintahan untuk lebih membuka kesempatan kepada perempuan di kancah perpolitikan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat terutama kaum perempuan agar dapat membuktikan analisis peneliti mengenai kepentingan perempuan berdasarkan fakta-fakta dilapangan dan menambah wawasan bagi peneliti itu sendiri.

6. Kerangka teori

6.1. Politik Gender

6.1.1. Pengertian Gender

Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori gender. Teori gender dipakai sebagai pisau analisis sosial konflik yang mengacu kepada ketidakadilan peran,fungsi,kedudukan,dan struktural karena kondisi sosial, tradisi masyarakat,keyakinan beragama individu,dan kebijakan pemerintah. Istilah gender sering dipakai kalangan Feminis ataupun masyarakat yang tertarik dengan Pergerakan Perempuan. Gender mebicarakan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki. Lebih lengkapnya gender adalah suatu kontruksi antara laki-laki dan perempuan yang mana dilihat bukan dari perbedaan biologisnya namun dari kedudukan, status, tugas dan peranan di antara keduanya ditinjau dari persfektif sosial, ekonomi, hukum, budaya, HAM bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Disini fokusnya tidak hanya untuk perempuan, laki-laki juga mengalaminya. Meskipun, terkadang yang sering mendapat perbedaan dan perlakuan yang tidak adil adalah perempuan.

Secara etimologi gender berasal dari kata Latin genus, Inggris abad pertengahan

gendre, Yunani gen, dan Prancis modern genre. Awalnya secara umum berarti “jenis” (kata

benda) atau “menghasilkan” (kata benda), namun belakangan secara gramatikal lebih sering digunakan untuk menunjuk jenis kelamin atau seks secara sosial daripada biologis. 11

Di

(9)

dalam buku Pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa, karangan Aida Vitalaya

S.Hubeis, Gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan

hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial budaya, politik dan ekonomi. Gender mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan lelaki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki pada pandangan bagaimana kegiatan yang mereka lakukan seharusnya dihargai.12

Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan maka analisis gender dianggap menjadi alat perjuangan kaum perempuan. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender.

Permasalahan-permasalahan ketidakadilan gender diatas adalah kondisi yang terjadi di tengah masyarakat yang saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “tersosialisasi” antara laki dan perempuan dengan baik,yang lambat laun membuat laki-laki dan percaya bahwa ketidakadilan gender itu adalah kodrat manusia. Lambat laun terbentuklah suatu sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai kondisi yang salah. Jika ada yang mempertentangkannya malah dianggap sebagai pihak yang salah dan tidak tahu aturan. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan gender di tengah masyarakat. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi korban dari ketidakadilan gender itu.

13

6.1.2. Budaya Patriarkhi

Alat analisis yang melihat penelitian ini selanjutnya adalah budaya patriarki. Kata Patriarkhi secara harfiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh”, dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu berada di bawah aturan laki-laki yang dominan ini.14

12

Hubeis, Aida vitalaya S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.2010 13

Nur Heffina.050906040. skripsi: Perempuan dan politik. Medan. 2009. Hal:16

Patriarkhi adalah istilah yang dipakai

(10)

untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kaum kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.15

Teori budaya Patriarki sama seperti teori budaya gender dipakai untuk menekankan permasalahan kondisi sosial dan politik perempuan di masyarakat. Namun, budaya patriarki Institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Sebagai unit terkecil dari patriarki, keluarga memberikan kontribusi besar dalam penguatan ideologi ini. Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki.

Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.

Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dia tidak perlu mendapatkan uang dari hasil kerjanya dan berakibat dia selalu tergantung kepada suaminya. Ideologi patriarki tidak dapat diruntuhkan karena secara ekonomi perempuan tergantung pada laki-laki. Ketergantungan itu terjadi dalam seluruh kehidupannya. Secara konvensional laki-laki merupakan sumber utama pendapatan dalam keluarga sedangkan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bekerja di dalam rumah untuk melakukan semua pekerjaan rumah.

Selain itu, keluarga yang menganut sistem patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada perempuan. Biasanya orang tua lebih mementingkan anak laki-lakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Sehingga anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki.

15

(11)

lebih ditunjukkan kepada sisi dominan laki-laki terutama di keluarga. Untuk menghilangkan keterwakilan politik dan partisipasi perempuan yang masih rendah maka ditunjukkan lebih awal di tahap ini lalu dilanjutkan ke tahap yang lebih luas. Sisi dominan laki-laki dan ketidakpercayaan diri perempuan diharapkan sudah dapat dihilangkan di tahap ini.

Dalam konsep ketidakadilan gender, secara terstruktur perempuan selalu menjadi korban. Di dalam budaya Patriarkhi yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, juga telah mempengaruhi pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan streotip perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar dan jauh dari kompetesi pertarungan politik. Ini membuat perempuan sulit untuk bersaing dan mau masuk dalam dunia politik. Dunia politik dikatakan kejam, keras, dan mau melakukan hal-hal kotor.

6.2.Lembaga legislatif

Lembaga legislatif yang sering dikatakan parlemen atau DPR adalah suatu badan birokrasi dimana wakil-wakil rakyat yang mempunyai tugas untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah berada di sana.

6.2.1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRD merupakan lembaga yang berfungsi untuk menyalurka aspirasi masyarakat di daerah kepada pemerintah setempat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap provinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislatif. Namun, fungsi legislatif di daerah tidak lah berada sepenuhnya di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI seperti yang tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) menyatakan Presiden berhak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik dari daerah provinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan legislatif harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemeririntah di daerah.

6.2.2. Fungsi Legislatif

(12)

Sebagai badan legislasi, DPRD berfungsi sebagai badan pembuat peraturan perundang-undangan. Melalui fungsi ini DPRD mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat. DPRD bersama-sama dengan kepala daerah menyusun dan menetapkan peraturan daerah untuk kepentingan daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepala daerah. Rancangan peraturan daerah dapat diajukan oleh kepala daerah atau DPRD.

2. Keuangan

Hak anggaran ini memberi kewenangan kepada DPRD untuk ikut menetapkan dan merumuskan kebijaksanaan daerah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pelaksanaannya, mulai dari perumusan rancangan naskah APBD, perubahan APBD, atau perhitungan APBD. Pembahasan anggaran pada tahap pertama dilakukan oleh Panitia Anggaran untuk dipelajari. Pandangan-pandangan Panitia Anggaran diserahkan kepada komisi-komisi untuk dibahas. Selain Rapat Komisi, diadakan Rapat Fraksi untuk rencana anggaran dari aspek politiknya. Pada pembahasan ini, anggota-anggota DPRD mengambil sikap menerima atau mengamander bagian-bagian tertentu dalam APBD.

3. Pengawasan

Penilaian terhadap pelaksanaaan peraturan-peraturan daerah oleh eksekutif adalah bentuk dari pengawasan. Di dalam hak-hak DPRD ada hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan dan hak penyelidikan. Rangkaian hak ini sebenarnya telah memberi kewenangan bagi DPRD untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Menurut UUD 1945 yang lama, DPR berhak mengajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No. 22/1999 berhak mengajukan rancangan peraturan daerah kepada gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnyatidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan yang utama tetap berada di tangan pemerintah yang dalam hal ini adalah gubernur atau bupati/walikota.

(13)

rancangan peraturan daerah. Fungsi DPRD lebih tercermin dalam mengawasi pererintahan daerah. Di bidang legislasi, lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan dukungan-dukungan yang teknis pula.

6.3.Kinerja DPRD

6.3.1.Kinerja

Menurut Mangkunegara, Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dipengaruhi oleh sikap dan karakternya dalam menyelesaikan pekerjaanya yang didasari oleh sebuah orientasi16. Sedangkan menurut Prof. Dr. Moeheriono, kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. 17

6.3.2.Pengukuran Kinerja

Kinerja dapat diukur jika sekelompok individu mempunyai kriteria yang ditetapkan oleh organisasi.

Dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan atau kinerja seorang pegawai harus memiliki pedoman dan dasar-dasar penilaian. Pedoman dan dasar-dasar penilaian tersebut dapat dibuat dalam aspek-aspek penilaian.Untuk dapat mengetahui kinerja suatu organisasi, harus diketahui ukuran keberhasilan untuk dapat menilai kinerja tersebut.Ada indikator atau ukuran yang jelas untuk dapat merefleksikan tujuan dan misi dari organisasi yang bersangkutan . Levinne (Dwiyanto) dalam mengukur kinerja organisasi publik ada tiga konsep yaitu responsivitas, responsibility, dan akuntability. 18

Sementara menurut Yeremias T. Keban untuk mengukur kinerja DPRD dapat dilihat dari pendekatan kebijakan, yaitu seberapa jauh kebijakan yang ditetapkan telah secara efektif memecahkan masalah publik. Artinya apakah kebijakan yang dihasilkan DPRD dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan memecahkan masalah publik dengan tepat. Pendapat itu menggambarkan ukuran kinerja DPRD dilihat dari produk kebijakan yang dihasilkan sebab keterlibatan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih pada

policy making”.19

16

A.A Anwar Prabu Mangkunegara, evaluasi Kinerja SDM, cetakan ketiga,. Bangung. PT. Refika Aditama.2010

17

Prof. Dr. Moeheriono, Msi. Pengukuran kinerja berbasis kompetensi. Surabaya. Ghalia Indonesia. 2009

18

Agus Dwiyanto. Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah dalam Seminar Sehari : Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya, Hal : 7

19

Yeremias T Keban. Indikator Kinerja Pemerintah Daerah: pendekatan manajemen dan kebijakan, seminar sehari kerja.

(14)

Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas, baik mengenai konsep-konsep atau pengertian tentang kinerja, pengukuran kinerja dan bagaimana mengukur kinerja, maka penulis akan menggunakan pengukuran kinerja yang disesuaikan dengan tujuan dan misi organisasi yaitu: Akuntabilitas, Responsivitas dan Efektivitas sebagai indikator-indikator dalam penelitian ini.

1. Akuntabilitas

Agus Dwiyanto berpendapat bahwa konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik itu sendiri dapat konsisten dengan kehendak masyarakat yang ada. Kinerja organisasi publik tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaliknya harus dinilai dari ukuran eksternal seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kebijakan yang dibuat oleh organisasi itu benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Affan Gafar bahwa akuntabilitas adalah setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidah hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan yang akan dijalaninya.20

2. Responsivitas

Tujuan pengukuran kinerja akuntabilitas untuk penelitian ini adalah untuk melihat DPRD khususnya di DPRD Kota Medan sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat ikut bertanggung jawab atas kelancaran jalannya roda pemerintahan di daerah demi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mengatur dan mengurus pemerintahan di daerahnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, anggota DPRD perempuan Kota Medan harus memperhatikan apakah pelaksanaan fungsinya telah sesuai dengan harapan, keinginan dan kebutuhan masyarakat. Konsep akuntabilitas ini mengandung makna bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi DPRD kepada masyarakat.

Suatu organisasi yang mempunyai peran pelayanan publik dituntut harus peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas menurut S.P Siagian adalah kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aturan baru,

20

(15)

perkembangan baru, tuntutan baru dan pengetahuan baru, birokrasi harus segera merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.21

3. Efektivitas

Organisasi harus mampu dan mau mendengarkan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi masyarakat. Tingkat responsivitas yang akan diteliti adalah kemampuan anggota DPRD perempuan di Kota Medan dalam mengenali kebutuhan masyarakat, merespon persoalan yang muncul di tengah masyarakat, memahami kemauan masyarakat dan kemudian dikembangkan dan dituangkan dalam kebijakan-kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat itu. Organisasi yang mempunyai responsivitas yang rendah akan menunjukkan kinerja yang jelek dan menunjukkan organisasi itu telah gagal. Di dalam DPRD untuk menunjukkan reponsivitas yang baik haruslah dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, memberikan pelayanan yang dapat memuaskan keinginan masyarakat dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Menurut Kumorotomo, efektivitas adalah menyangkut apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai. Hal ini ada kaitannya dengan teknis, nilai, misi dan tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.22

7. Metode Penelitian

Dari uraian di atas, pengukuran efektivitas dari DPRD dapat dilihat dari seberapa besar peran angggota legislatif perempuan ini dalam merespon kepentingan masyarakat khususnya perempuan itu sendiri yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di legislasi, anggaran, dan pengawasan. Di legislasi, yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Di anggaran, menetapkan anggaran yang tinggi dan sesuai untuk kepentingan perempuan. Di pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah, pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan menampung aspirasi dari masyarakat untuk menyalurkannya kepada pejabat dan pihak yang berwenang.

Penelitian ini adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan melakukan metode-metode ilmiah.23

7.1. Jenis Penelitian

21

P. Sondang Siagian. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta. PT Gunung Agung. 2000. Hal: 165

22

Wahyudi kumorotomo, Dkk. Sistem informasi management dalam organisasi publik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Perss. Hal: 25.2009

23

(16)

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis yaitu suatu metode dalam meneliti suatu objek, kondisi, suatu sistem pemikiran atau sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa yang terjadi pada masa sekarang. Menurut Whitney, Metode Deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan dan proses yang sedang berlangsung juga pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.24

7.2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan DPRD Kota Medan Sumatera Utara. Sebelumnya kantor DPRD Kota Medan berada di Jl. Namun karena dirasakan tidak memenuhi kapasitas lagi dalam menampung keseluruhan anggota DPRD yang sekarang berjumlah 50 orang anggota maka lokasi DPRD Kota Medan dipindahkan sementara selama setahun dari tahun 2012-2013 ke Jl. Krakatau No. 17 Medan yang mana merupakan bekas kantor PELNI.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu data primer dan data

sekunder.25

Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yaitu suatu cara pengumpulan data dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan serta melakukan proses tanya jawab secara langsung dengan para informan yang terkait dalam penelitin ini. Data-data yang dimaksud adalah data tentang DPRD Kota Medan dan penulis akan melakukan wawancara dengan anggota perempuan DPRD periode 2009-2011. Pada awalnya anggota DPRD perempuan Kota Medan berjumlah enam orang. Namun karena salah satu anggota dewan perempuan di lembaga itu yaitu Hj. Halimatuksahdiah dari partai Demokrat meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya sehingga yang dapat saya wawancarai hanya tinggal lima anggota dewan perempuan saja.

Untuk memperoleh data dan fakta yang berupa informasi yang jelas, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

24

M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1998. Hal: 64

25

(17)

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: 1. Dra. Lily, MBA. MH (Partai Perjuangan Indonesia Baru) 2. Hj. Srijati Pohan ( Partai Demokrat)

3. Damai Yona Nainggolan ( Partai Demokrat) 4. Ainal Mardiah ( Partai Golkar)

5. JanLie, SE Ak (Partai Perjuangan Indonesia Baru)

6. Pihak-pihak terkait yang dapat membantu penelitian berjalan dengan baik.

Dengan demikian, data yang nantinya diperoleh dari hasil wawancara tersebut merupakan data pendukung bagi terlaksananya penelitian ini.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan tinjauan kepustakaan dan dokumentasi. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dan informasi melalui referensi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, undang-undang, peraturan-peraturan, artikel-artikel dalam majalah, koran, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yang nantinya teori-teori yang didapat tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan suatu penelitian.

7.4 Teknik Analisa Data

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. Dalam penelitian kualitatif ini juga penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman. 26

Dalam kerangka penelitian kualitatif, data yang nantinya didapat dari hasil wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dijelaskan secara mendalam selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan tujuan memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, dimana jenis penelitian ini biasanya diiringi dengan jenis analisis data secara kualitatif. Sehingga

26

(18)

nantinya yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi terkumpul dan kemudian dianalisis.27

Defenisi konsep adalah hal penting dalam penelitian yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.

7.5 Defenisi Konsep dan Operasional

1. Defenisi konsep

28

• Gender adalah konstruksi masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan

perempuan berdasarkan peran, fungsi, dan kedudukan mereka yang berubah dari waktu ke waktu.

Defenisi pada peneltian ini adalah:

• Budaya Patriarki adalah budaya yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang dominan daripada perempuan.

• Kinerja DPRD adalah hasil kerja yang dicapau oleh lembaga DPRD sesuai dengan

fungsi dan tugasnya dengan memakai pengukuran kinerja yaitu Akuntabilitas, Responsivitas, dan Efektifitas yang dapat digunakan dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional dijelaskan sebagai spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur variabel. Defenisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator pengukuran variabel.

Defenisi operasional ini adalah:

 Gender

Pengukuran teori gender di sini adalahPemahaman Anggota DPRD Perempuan tentang isu-isu perempuan dan kebebasan Anggota DPRD Perempuan dalam membuat kebijakan-kebijakan di DPRD Medan.

 Budaya Patriarki

Pengukuran teori budaya patriarki adalah dominasi anggota DPRD laki-laki dengan anggota DPRD perempuan di DPRD Kota Medan. Sisi dominan anggota DPRD laki-laki ini dapat membuat partisipasi kinerja anggota DPRD perempuan tidak berkembang.

27

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.4

28

(19)

Sedikitnya penempatan jabatan-jabatan strategis yang dapat diikuti oleh anggota DPRD Perempuan.

 Kinerja

1. Akuntabilitas

Anggota DPRD perempuan melaksanakan fungsi legislasi untuk kepentingan perempuan dengan baik dengan mempergunakan sarana dan prasarana yang ada. 2. Responsivitas

Respon Anggota DPRD perempuan dalam menanggapi aspirasi masyarakat, khususnya untuk kepentingan perempuan.

3. Efektifitas

Kebijakan-kebijakan dan program-program yang dibuat Anggota DPRD perempuan benar-benar efektif untuk kepentingan masyarakat khususnya untuk perempuan.

7.6.Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup.

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Susunan Keanggotaan DPRD Kota Medan tahun 2009-2014

Pada bab ini akan memaparkan penjelasan tentang Profil Kota Medan, struktur pimpinanya, keterwakilan politik perempuan serta profil anggota DPRD Perempuan Kota Medan.

BAB III : Kinerja Dewan Perempuan Kota Medan tahun 2009-2011

(20)

BAB IV : Penutup

Referensi

Dokumen terkait

hasil analisis kuantitatif dan hasil analisis kualitatif. Hasil analisis kuantitatif adalah gambaran tingkat penguasaan siswa melalui tes hasil belajar sebagai

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Relationship Marketing yang merupakan strategi pemasaran yang diterapkan oleh Bank Central Asia Kantor Cabang Pembantu Dinoyo

Berdasarkan survei ini pula, dapat dikatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia adalah pasar yang sangat potensial bagi kelompok radikal yang menggunakan media sosial

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Status Pencemaran

Setelah diberikan penyuluhan tingkat pengetahuan responden mengalami peningkatan, pada saat posttest yang terbanyak adalah pada kategori baik dengan jumlah

Pembelajaran bahasa Inggris di SMP Yanggandur, SMP Negeri 11 Sota, dan SMK Negeri 1 Sota belum berjalan dengan baik. Terungkap bahwa persoalan pembelajaran bahasa

Berdasarkan hasil perhitungan dari analisis beban kerja ( work load analysis ) dan analisis kebutuhan tenaga kerja ( work force analysis) dapat ditarik simpulan bahwa tenaga kerja

Setelah menyimak materi dan video perangkat lunak pembuatan slide peserta didik mampu menganalisis fitur-fitur yang digunakan untuk pembuatan slide dengan benar dan