• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi mudik sebagai struktur dan ritus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tradisi mudik sebagai struktur dan ritus"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI MUDIK

SEBAGAI STRUKTUR DAN RITUS BUDAYA

A. PENDAHULUAN

Tradisi mudik Lebaran melekat erat dengan Idul Fitri. Kerinduan pulang kampung menetralisasi kerepotan, bahkan jadi pemanis kemenangan. Mudik merupakan potret dialektika budaya yang sudah berlangsung berabad-abad. Said Aqiel Siradj menempatkannya dalam konteks keberagamaan: kembali ke fitrah sebagai upaya kesalehan yang bersifat spiritualvertikal yang konkret, dimaknai lewat jalan kesalehan sosio-horizontal. Silaturahim menjadi sarana sekaligus hasil. Dalam konteks sosio-horizontal, tradisi mudik bisa menjadi cermin pasang-surutnya kehidupan. Jumlah pemudik bisa dijadikan salah satu faktor walaupun tidak otomatis. Membesarnya jumlah pemudik tidak selalu menjadi cermin kemajuan, bahkan bisa sebaliknya.

Jumlah pemudik dari Jakarta tahun ini hampir 16 juta (tahun lalu 15 juta), tidak otomatis menunjukkan membaiknya pertumbuhan ekonomi. Pertambahan jumlah itu mungkin mengisyaratkan semakin sedikitnya lapangan kerja di pedesaan—berbanding lurus dengan kemiskinan—sehingga semakin banyak orang bermigrasi. Migrasi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Jakarta yang luasnya 0,03 persen, dengan jumlah penduduk sekitar 14,2 persen dari total Indonesia, dalam kenyataan menjadi pusat kegiatan sektor finansial, yang mendorong migrasi.

Ada ahli mengatakan mudik sebagai counterstream (arus balik) migrasi (stream). Membuat keputusan bermigrasi, diikuti kesiapan perubahan psikologis. Kebiasaan-kebiasaan di kampung halaman tidak bisa lagi dilakukan sebagai migran Jakarta. Kerinduan seperti itu dipenuhi saat pulang kampung di kala mudik. Ditambah ibadah Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah—kerinduan yang amat manusiawi—tradisi mudik pun berkelitan antara sosial-budaya-ekonomi dan keberagamaan.

(2)

Meski demikian hilangnya tradisi mudik tersebut tidak dapat diharapkan akan berlangsung cepat, mungkin perlahan-lahan dan membutuhkan waktu relatif lama. Dalam tradisi mudik, masyarakat rela mengantre tiket selama beberapa hari atau berdesak-desakan di terminal dan stasiun demi bertemu dengan kerabat mereka di kampung halaman.

B. TRADISI MUDIK SEBAGAI RITUS BUDAYA

"Mudik adalah sebuah kebiasaan ketika bus dan kereta api sarat penumpang dan kemacetan lalu lintas terjadi di mana-mana di seluruh Jawa," kata Niels Mulder, antropolog kelahiran Belanda tahun 1935 itu memberi makna mudik dengan simbol aktivitas migrasi. Orang bergerak dari Jakarta menuju daerah-daerah di Jawa pada akhir bulan Ramadhan. Penggambaran ini tentu saja sangat sempit karena mudik berlaku pula bagi penduduk di kota-kota besar di Jawa menuju ke Sumatra, Kalimatan, dan daerah lainnya.

Kalau ditelusuri muasal tradisi mudik, komunitas yang mengadakan acara ini umumnya kalangan menengah-bawah. Tetapi, perkembangannya sampai saat ini, mudik bukan lagi dominasi tradisi masyarakat menengah-bawah. Melihat animo calon pemudik pengguna angkutan kereta api eksekutif, pesawat, kereta, bus, serta travel kelas eksekutif dan antrean mobil pribadi di jalan-jalan saat menuju ke kampung, menunjukkan bahwa merea termasuk kalangan orang berkecukupan uang atau menengah atas.

Dari segi statistik kependudukan, pemudik bukan saja orang-orang migran musiman. Orang-orang asal Jawa atau Sumatra dan lainnya yang menetap dan berkartu tanda penduduk Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tetap pulang ke kampung asal. Padahal, rumah dan status penduduknya telah "dihapus" di kampung asal. Bahkan, anak-anak keturunannya pun lahir di "kota baru", di luar kampung asal.

Yang menarik, di antara pemudik bukan dari kalangan menengah ke bawah, seperti pedagang, penjual makanan keliling, karyawan, buruh bangunan, tukang gali sumur, kuli bangunan, pengaspal jalan, pedagang asongan, pembantu rumah tangga, pemulung bahkan pengemis jalanan. Pejabat setingkat menteri sampai pegawai cleaning service di kantoran pemerintah maupun swasta pun turut larut dalam tradisi mudik.

(3)

Sementara ancaman kejahatan pencurian, penggarongan mengincar rumah mereka setiap saat. Bahkan, polisi sampai dilarang cuti Lebaran untuk mengantisipasi harta pemilik rumah yang ditinggal pemudik. Aparat keamanan diharuskan meningkatkan pengamanan dan patroli di derah-daerah permukiman. Walaupun ancaman harta di rumah dikuras oleh tangan-tangan jahil, mudik tetap menjadi pilihan favorit. Jalan keluarnya, mereka rela menitipkan rumah ke satuan pengaman (satpam) dengan membayar gaji ekstra atau warga sekitar yang kebetulan tidak mudik.

Kalau orang kaya yang tidak mudik, risikonya harus hidup mandiri seperti masak, cuci piring, cuci baju, dan cuci mobil sendiri selama pembantu mereka pulang kampung. Kalau mau memanggil pembantu pun harus membayar ekstra. Itu pun masih ditambah risiko lain, kesulitan belanja di pasar karena pedagang-pedagang pulang kampung. Tidak heran, orang Jakarta yang masuk kategori pendatang dari daerah lebih memilih mudik.

Sesuai ajaran agama Islam, silaturahmi di antara sesama manusia sangatlah penting. Maka, banyak orang desa sengaja mengadakan tali silaturahmi dengan sanak saudara, kerabat, dan handai tolan di kampung halaman minimal setahun sekali berbarengan dengan moment Hari Raya idul Fitri. Sepuluh atau seminggu sebelum hari "H" Lebaran, mereka telah berdatangan di desanya.

Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota pada hari Lebaran dapat bertemu dengan sanak saudara, keluarga, serta kerabat di tempat kelahirannya. Biasanya rasa haru mewarnai ajang tali silaturahmi di hari Idul Fitri. Maklum, setelah berpisah selama setahun atau lebih, mereka dapat berkumpul, bercengkerama, bersendau gurau, serta melepas rindu di antara saudara dan kerabat. Rasa kebersamaan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan pun melingkupi di antara mereka dalam semangat penuh kerukunan dan perdamaian.

Tradisi "mudik" pada hakikatnya merupakan wujud cinta kampung halaman manakala orang-orang desa yang mengadu nasib merantau jauh ke kota kembali ke kampung halaman masing-masing. Banyak di antara mereka telah meraih sukses selama di rantau. Ada yang menjadi pejabat penting, pengusaha dan lain-lain, tetapi mereka toh tetap ingat kampung halaman atau tempat kelahiran masing-masing hingga menyempatkan mudik. Jangan heran, banyak mobil pribadi hilir mudik parkir di pinggir jalan atau di alun-alun desa bahkan di halaman rumah orang-orang desa.

(4)

akrab disebut Lebaran. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi "kebutuhan primer" tahunan masyarakat urban. Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri sebagai ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk warga non-Muslim.

Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana klangenan atau "jembatan nostalgia" dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, diajak bercengkerama dengan romantisme alam pedesaan, yang di dalam konsep antropologi dikenal dengan sebutan close coorporate community. Pemudik merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang mereka temui di kota, karena ketatnya persaingan memburu "status". Itulah, mengapa keinginan pemudik untuk mengenang "sejarah" dirinya barang sejenak selalu dilakukan beriringan dengan perayaan Idul Fitri.

Maklum, selama di perantauan, masyarakat urban "dipaksakan" menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan "kodrat"-nya. Hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rezeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi.

Akhirnya, kita berharap, aktivitas mudik dan silaturahmi tidak hanya menjadi ritual formal semata dan sesaat. Tapi lebih dari itu, bermakna untuk kehidupan kita sampai kapan pun.

C. TRADISI MUDIK DALAM PANDANGAN GIDDENS

Teori strukturasi sendiri mengajarkan konsep tentang individu yang dikatakan sebagai aktor (agency) yang memiliki peran untuk meproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya (resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sosial. Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)).

(5)

ditimbulkan dari tindakan agen. Terbentuknya struktur juga membutuhkan waktu yang panjang, karena melewati satuan waktu dengan tidak membatasi pada ruang-ruang tertentu.

Giddens juga menyatakan konsep rutinisasi. Rutin, hal apapun yang dikerjakan dengan kebiasaan, merupakan elemen paling dasar dari aktivitas sosial sehari-hari. Rutinisasi merupakan hal penting dalam mekanisme psikologis, yaitu rasa percaya atau keselamatan ontologis dilanggengkan dalam aktivitas kehidupan sosial sehari-hari. Dengan membawa secara utama kesadaran praktis, kerutinan berarti menggerakkan sebuah baji, antara isi yang secara potensial eksplosif dari kesadaran dan monitoring refleksif dari tindakan saat agen tersebut ditampilkan. Maka, tindakan mudik yang merupakan rutinitas masyarakat setiap menjelang lebaran lambat laun menjadi sebuah tradisi bangsa Indonesia. Dan tentu saja ini menjadi suatu struktur symbol dalam tradisi itu sendiri.

Dalam teori inipun struktur mempunyai peran yang penting terhadap individu, yaitu membatasi (constrainig) serta membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. Jadi melalui aturan-aturan yang ada, struktur mampu mengekang kebebasan yang dimilki oleh agen. Struktur dalam konteks tindakan sosial berperan sebagai sarana (medium) dan sumber daya (resource) bagi tindakan sosial yang kemudian memebentuk sistem dan institusi sosial.

Strukturasi tidak melepaskan diri dari pembahasan konsep ruang dan waktu dalam kehidupan sosial yang berjalan utamanya pada struktur masyarakat. Giddens melihat aktivitas sosial selalu dijadikan dalam waktu-waktu sebagai berikut. Pertama, secara temporal atau bersifat sementara. Kedua, secara paradigmatik, yaitu membangkitkan struktur yang ditampilkan dalam bentuk contoh-contoh. Ketiga, secara spasial, yaitu berhubungan berhubungan dengan ruang dan tempat. Masing-masing hubungan sangat penting untuk memahami perubahan sosial, karena ketiganya berpengaruh secara kuat pada rentang (jarak) tindakan yang mungkin untuk agen-agen.

(6)

Meski saat ini teknologi komunikasi sudah demikian canggih tampaknya tidak sepenuhnya dapat menggantikan tradisi mudik lebaran di negeri ini. Bagi sebagian orang, berlebaran mungkin tidak hanya cukup dengan mengirim SMS atau bertelepon. Ada motivasi lain yang mengharuskannya pulang mudik, meski harus dilaluinya secara bersusah payah, misalnya harus terpaksa antri karcis kereta yang demikian panjang, perjalanan yang padat merayap bahkan macet berjam-jam, dan aneka resiko lainnya.

Jika ditelusuri lebih dalam tentunya akan ditemukan berbagai alasan yang mendorong mereka mudik, –khususnya bagi mereka yang telah menemukan kehidupan di negeri rantau,– salah satunya adalah panggilan tanah leluhur untuk bisa merayakan lebaran dan bersilaturahim bersama orangtua dan sanak saudara, di kampung halaman.

Ketika seseorang pergi jauh merantau, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tahun lamanya, pada saat-saat tertentu terselip dalam hatinya kerinduan akan kampung halaman. Teringat kasih-sayang yang tak terhingga dari orang tua dan juga saudara-saudaranya. Terbayang pula masa-masa indah ketika bermain di sawah dengan kawan-kawan seperjuangan, dan berbagai pengalaman lainnya. Maka lebaran inilah dijadikan sebagai momentum tepat untuk melepas semua kerinduan itu, sekaligus melanjutkan silaturahim yang sekian lama telah terputus.

Secara disadari atau tidak disadari, pada sebagian orang tertentu menjadikan mudik lebaran sebagai ajang untuk menunjukkan diri bahwa dia adalah orang yang telah sukses, melalui aneka ragam perilaku dan penampilannya, baik mereka yang tampil secara elegan sampai dengan mereka yang tampil norak. Coba saja Anda pancing cerita mereka, kemungkinan yang banyak dibicarakannya adalah hal-hal positif, dan jarang atau sedikit mereka bercerita tentang penderitaan yang dialaminya selama berada di negeri rantau. Cerita dan penampilan positif inilah mungkin bisa dianggap sebagai salah satu pemicu kenapa setiap habis lebaran Jakarta selalu disesaki oleh para pendatang baru, yang mungkin tergiur melihat saudara-saudaranya yang dianggap telah sukses merantau di Jakarta.

Ketidaksadaran pengetahaun ini disebut Giddens sebagai unconcious motives yang menyangkut menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarakan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri.

(7)

berupaya untuk berbagi-bagi rejeki dengan saudara-saudara dan tetangganya di kampung halaman, (termasuk di dalamnya zakat, shadaqah dan infaq). Bahkan ada diantaranya yang sengaja secara royal berbelanja di kampung halaman, dengan nilai rupiah yang tidak sedikit. Tentunya, hal ini akan memicu terjadinya peningkatan perputaran roda ekonomi di kampung halaman.

Mudik telah datang seiring tutup bulan Ramadhan kali ini, tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau. Kenapa demikian, budaya kalau boleh dibilang begitu karena ya memang dari dulu sudah seperti itu. Namun jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan saja. Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja Mr Nobody atau sekedar nomor saja, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak.

Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.

Duta Kota

Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi Duta Kota. Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang kampung akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal.

(8)

pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.

Lantas apakah proses pembelajaran itu akan jadi searah saja, dari mereka yang mudik kepada mereka yang diudik? Tidak dapatkah arah itu dibalik, justru yang mudik lah belajar dari yang udik? Tidak dapatkah kita menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘duta kota besar,’ melainkan sebagai warga yang kini ingin kembali menggali nilai-nilai dan banyak hal lain yang (mungkin) telah lama hilang?

Nampaknya para pertumbuhan ekonomi acap kali di klaim sebagai jerih payah mereka para pejabat maupun pembisnis besar kota. Para anggota parlemen, yang mulai dari busa tempat duduk di ruang sidang hingga air yang ia gunakan mandi di rumah dinasnya dibayari oleh publik, bisa berkaca tentang apa artinya hidup di udik dengan segala keterbatasannya. Apa harapan dan keprihatinan mereka yang tertinggal itu.

Para pebisnis barangkali bisa pula menggali nilai-nilai yang selama ini terabaikan, baik dalam memilih lahan bisnis, dalam mengiklankan produk, dalam mematok harga dan banyak hal lagi. Saatnya mungkin kita mengukur kejujuran, apakah bahan baku produk kita seperti air, sayuran dan sejenisnya yang kita katakan berasal dari pegunungan, benar-benar berasal dari sana.

Tak kalah penting pula, apakah kita telah memberi imbalan yang pantas kepada mereka yang menghasilkannya, yang secara tidak langsung telah medukung citra produk mau pun perusahaan kita.

Budaya Urbanisasi

Barangkali piar-piar kota tersebut sangat ahli menceritakan bagaimana gaya hidup dikota yang begitu gemerlap, sampai pada ukuran kesuksesan yang disimbolkan dengan merek jins buatan luar negeri seharga setengah kwintal beras mereka. Sedangkan volume arus mudik bisa dipastikan akan lebih besar menyerbu kota-kota besar. Perantau-perantau baru selalu menjai masalah pemerintah kota seperi Jakarta. Namun pernahkan kita semua berpikir apa yang sedang terjadi di kampung-kampung udik seperti sekarang ini? Jawabanya,sama seperti kota-kota besar, dengan keterbaasan potensi daerah yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan, banyak kemelaratan terjadi di kampung, harga minyak ataupun listrik sama menyekiknya yang terjadi di kota.

(9)

D. REFERENSI

Giddens, Anthony. 1994. Masyarakat Post-Tradisional. Jogjakarta: Ircisod

---. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia

---. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Jogjakarta: Kreasi Wacana

Priyono, B. Herry. 2003. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

http://vgsiahaya.wordpress.com/2008/09/28/tradisi-mudik-lebaran/

http://jurnalisindie.blogspot.com/2007/11/budaya-mudik-seterusnya-budaya.html

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/15/cerita-lain-di-balik-tradisi-mudik-lebaran/

http://nasional.kompas.com/read/2008/09/25/07422291/tradisi.mudik.tak.bisa.diganti.sms

Referensi

Dokumen terkait

Sarana pembuangan air limbah masih relatif terbatas dan tidak memadai Sebagian besar warga kota membuang limbah kakus atau yang juga dikenal sebagai black water ke

Menurut Wibowo (2011:95) kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,

Dilaksanakan oleh petugas PHN yang dikoordinasikan dengan Pembina desa, bidan desa dan program lain dalam rangka melaksanakan kunjungan rumah pada kelompok masyarakat yang

5/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan danKesehatan Kerja (SMK3). Pengembangan dalam pelaksanaan sistem K3 berrgantung pada faktor- faktor tertentu, seperti kebijakan

Generator fungsi ini mampu menghasilkan gelombang sinus dan kotak sampai 65Khz Desain juga berhasil menunjukkan hasil yang diinginkan yaitu selisih antara

Dalam simulasi ini, tiga variasi muatan LNG dalam tangki yang meliputi: kondisi muatan kosong yaitu muatan LNG 10% dari ketinggian tangki (h), kondisi muatan setengah penuh,

Terdapat perbedaan lama penyimpanan dan jumlah total mikroba yang bermakna pada setiap variasi perlakuan (p <0.05). Nilai TPC selama 4 minggu penyimpanan masih dalam batas