• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH JENIS ELEKTRODA, JARAK ANODA-KATODA, DAN WAKTU PERTUMBUHAN TANAMAN ECENG GONDOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH JENIS ELEKTRODA, JARAK ANODA-KATODA, DAN WAKTU PERTUMBUHAN TANAMAN ECENG GONDOK"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JENIS ELEKTRODA, JARAK ANODA-KATODA,

DAN WAKTU PERTUMBUHAN TANAMAN ECENG

GONDOK (Eichhornia crassipes) PADA TEKNOLOGI PLANT

MICROBIAL FUEL CELL (P-MFC)

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

M. Andiri Hendrawan

102316069

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)
(3)

Universitas Pertamina-ii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir

: Pengaruh Jenis Elektroda, Jarak Anoda-Katoda, dan

Waktu Pertumbuhan Tanaman Eceng Gondok

(Eichhornia crassipes) pada Teknologi Plant

Microbial Fuel Cell (P-MFC)

Nama Mahasiswa

: Muhammad Andiri Hendrawan

Nomor Induk Mahasiswa

: 102316069

Program Studi

: Teknik Kimia

Fakultas

: Teknologi Industri

Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir

: 26 Agustus 2020

Jakarta, 9 September 2020

MENGESAHKAN

Pembimbing I

: Nama

: Eduardus Budi Nursanto, Ph.D

NIP

116116

Pembimbing III

: Nama

: Marcelinus Christwardana, Ph.D

NIDN

0315049003

MENGETAHUI

Ketua Program Studi Teknik Kimia

Eduardus Budi Nusanto, Ph.D

Pembimbing II

: Nama

: Ika Dyah Widharyanti, MS.

(4)

Universitas Pertamina-iii

(5)

Universitas Pertamina-iv

ABSTRAK

M. Andiri Hendrawan. 102316069. Pengaruh Jenis Elektroda, Jarak Anoda-Katoda, dan Waktu

Pertumbuhan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Pada Teknologi Plant Microbial Fuel Cell (PMFC).

Plant Microbial Fuel Cell (PMFC) merupakan pengembangan dari suatu fuel cell dengan memanfaatkan tanaman sebagai media kultivasi mikroorganisme dimana mikroorganisme berperan dalam mendegradasi material organik untuk menghasilkan energi listrik. Tanaman eceng gondok dipilih sebagai media kultivasi mikroorganisme pada penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai maximum power density dari suatu PMFC dengan melakukan variasi jenis material anoda seperti carbon felt, besi, dan seng serta melakukan variasi jarak anoda-katoda menjadi 10 cm dan 20 cm. Pada variasi jenis anoda dihasilkan PMFC Zn-10 dengan anoda bermaterial seng menghasilkan nilai maximum power density tertinggi sebesar 100,2 mW/m2. Selanjutnya, PMFC Fe-10 dengan anoda

bermaterial besi menghasilkan nilai maximum power density sebesar 99,26 mW/m2. PMFC CF-10

dengan elektroda bermaterial carbon felt menghasilkan nilai maximum power density terendah sebesar 3,29 mW/m2. Pada variasi jarak anoda-katoda dihasilkan , PMFC dengan jarak anoda-katoda yang lebih

dekat (10 cm) menghasilkan nilai maximum power density yang lebih besar dibandingkan PMFC dengan jarak anoda katoda yang lebih jauh (20 cm).

Kata kunci: PMFC, mikroorganisme, eceng gondok, seng, besi, carbon felt, anoda, jarak, maximum power density.

(6)

Universitas Pertamina-v

ABSTRACT

M. Andiri Hendrawan. 102316069. The Effect of Electrode Type, Anode-Cathode Distance, and Growth Time of Water Hyacinth Plants (Eichhornia crassipes) on Microbial Fuel Cell (PMFC) Plant Technology.

Plant Microbial Fuel Cell (PMFC) is the development of a fuel cell by utilizing plants as a medium for cultivating microorganisms where microorganisms play a role in degrading organic material to produce electrical energy. Water hyacinth was selected as a medium for cultivating microorganisms in this study. This research was conducted to determine the maximum power density value of a PMFC by varying the types of anode materials such as carbon felt, iron, and zinc as well as varying the anode-cathode distance to 10 cm and 20 cm. In the various types of anodes produced PMFC Zn-10 with zinc anode resulted in the highest maximum power density value of 100.2 mW / m2. Furthermore, PMFC Fe-10 with iron anode produces a maximum power density value of 99.26 mW / m2. PMFC CF-10 with carbon-felt electrodes produces the lowest maximum power density value of 3.29 mW / m2. In the variation of the anode-cathode distance, PMFC with a closer anode-anode-cathode distance (10 cm) produces a maximum power density value that is greater than PMFC with a longer anode-cathode distance (20 cm).

Keywords: PMFC, mikroorganism, water hyacinth, zinc, iron, carbon felt, anode, distance, maximum power density.

(7)

Universitas Pertamina-vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,

rezeki, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang

berjudul “

Pengaruh Jenis Elektroda, Jarak Anoda-Katoda, dan Waktu Pertumbuhan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Pada Teknologi Plant Microbial Fuel Cell (PMFC

)”. Tugas

akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Teknik di Program

Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pertamina. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir ini, antara lain kepada:

1. Eduardus Budi Nursanto, Ph.D selaku Pembimbing I dan Ketua Program Studi Teknik

Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pertamina yang telah menyediakan

waktu, dukungan, dan arahan selama penulisan tugas akhir ini.

2. Ika Dyah Widharyanti, MS selaku Pembimbing II yang telah menyediakan waktu,

dukungan, dan arahan selama penulisan tugas akhir ini.

3. Marcelinus Christwardana, Ph.D selaku Pembimbing III yang telah memberikan ide

penelitian, bimbingan dan arahan selama penyusunan tugas akhir ini.

4. Prof. Ir. Suprihanto, Ph.D selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri, Universitas

Pertamina.

5. Keluarga yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, dan kasih sayang sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Teman-teman Teknik Kimia angkatan 2016 atas bantuan dan motivasi yang diberikan.

7. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini secara langsung maupun

tidak langsung.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan bagi kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia.

Jakarta, September 2020

(8)

Universitas Pertamina-vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR TABEL ... xi BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 2 1.3. Ruang Lingkup ... 2 1.4. Tujuan Penelitian... 3 1.5. Hipotesis ... 3 BAB II ... 4 TINJAUAN TEORI ... 4 2.1. Fuel Cell ... 4

2.2. Microbial Fuel Cell ... 5

2.2.1 Prinsip Kerja MFC ... 5 2.2.2 Desain MFC ... 6 2.2.2.1 Single Chambered MFC ... 7 2.2.2.2 Double Chambered MFC ... 7 2.2.2.3 Stacked MFC ... 8 2.2.3 Elektroda ... 8

2.3. Plant Microbial Fuel Cell ... 8

2.3.1 Prinsip Kerja PMFC ... 9

(9)

Universitas Pertamina-viii

2.3.3 Kurva Pertumbuhan ... 9

2.3.4 Desain PMFC ... 11

2.3.5 Mekanisme Reaksi ... 11

2.3.6 Faktor yang Mempengaruhi ... 12

2.4. Kriteria Tanaman... 12

2.4.1 Eceng Gondok ... 12

BAB III... 14

METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1. Diagram Alir Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 14

3.1.1. Alat ... 14 3.2.1. Bahan ... 15 3.3. Variabel Penelitian ... 15 3.3.1. Variabel Bebas ... 15 3.3.2. Variabel Terikat ... 15 3.3.3. Variabel Kontrol ... 15 3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 15 3.4.1. Perancangan Reaktor ... 15 3.4.2. Preparasi Elektroda ... 16

3.5. Pengambilan Data Penelitian ... 16

3.5.1. Pengukuran Kuat Arus dan Tegangan ... 16

3.5.2. Pengukuran pH ... 16

3.5.3. Pengamatan Laju Pertumbuhan Tanaman ... 16

3.5.4. Pengukuran Power Density ... 17

3.5.5. Pengukuran Biomassa ... 17

BAB IV ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1. Pengukuran Current Density dan Voltase Variasi Jenis Anoda ... 18

4.2. Pengukuran Kuat Arus dan Tegangan Listrik Variasi Jarak Elektroda ... 21

(10)

Universitas Pertamina-ix

4.4. Pengaruh Setiap Kompartmen PMFC pada pH ... 27

4.5. Analisa biomassa ... 29

BAB V ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN ... 39

1. Data Current Density PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC Zn-20 ... 39

2. Data Voltase PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC Zn-20 ... 40

3. Data pH PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC 10, PMFC Zn-20…… ... 41

4. Data Pertumbuhan Batang PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC Zn-20 ... 41

5. Data Polarisasi Resistor PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC Zn-20 ... 42

6. Data Power Density PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC Zn-20 ... 42

7. Dokumentasi Penelitian ... 43

(11)

Universitas Pertamina-x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Prinsip Kerja MFC (Slate et al., 2019) ... 6

Gambar 2.2 Single Chamber MFC (Jumma & Patil, 2016) ... 7

Gambar 2.3 Dual Chamber MFC with proton exchange membrane (Jumma & Patil, 2016) .. 7

Gambar 2.4 Stacked MFC (Jumma & Patil, 2016) ... 8

Gambar 2.5 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme (Prado Barragán et al., 2016) ... 10

Gambar 2.6 Desain PMFC Pada Penelitian Ini... 11

Gambar 4.7 pH PMFC Elektroda Carbon Felt Jarak 10 cm dan 20 cm ... 27

Gambar 4.8 pH PMFC Anoda Besi Jarak 10 cm dan 20 cm ... 28

Gambar 4.9 pH PMFC Anoda Seng Jarak 10 cm dan 20 cm ... 28

(12)

Universitas Pertamina-xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Mekanisme Reaksi Penelitian PMFC ... 25

Tabel 6.2 Data Voltase PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10,

PMFC Zn-20 ... 40

Tabel 6.3 Data pH PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, PMFC

Zn-20 ... 41

Tabel 6.4 Data Pertumbuhan Batang PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC

Zn-10, PMFC Zn-20 ... 41

Tabel 6.5 Data Polarisasi Resistor PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC

Zn-10, PMFC Zn-20 ... 42

Tabel 6.6 Data Power Density PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC

(13)
(14)

Universitas Pertamina-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini kebutuhan akan energi menjadi suatu hal yang fundamental dalam menjalankan roda kehidupan manusia yang semakin maju setiap harinya. Sampai saat ini energi fosil yang meliputi minyak bumi, gas alam, dan batubara masih menjadi sumber utama dalam upaya memenuhi kebutuhan energi manusia pada saat ini. Berdasarkan data dari British Petroleum, penggunaan energi fosil dunia pada tahun 2017 mencapai 133.365 Twh (Terawatt-hour). Berdasarkan Kementrian ESDM, Indonesia memproduksi sebesar 7,25 barrel oil equivalen per day (boepd) pada tahun 2014. Tingginya angka tersebut memunculkan problematika yang tidak kalah besar untuk dapat dicari solusinya. Problematika yang muncul antara lain pemanasan global akibat dari efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan fenomena dimana gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, NO2, fluorinated gas, dan

uap air terperangkap di atmosfer. CO2 yang merupakan penyumbang terbesar gas rumah kaca di

atmosfer mayoritas berasal dari emisi bahan bakar fosil dan proses di industri (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014). Hal tersebut menyebabkan energi yang berasal dari sinar matahari yang seharusnya dipantulkan kembali melalui atmosfer terperangkap karena terhalang oleh gas-gas rumah kaca. Akumulasi dari energi yang terperangkap tersebut yang menyebabkan suhu di bumi meningkat. Selain pemanasan global, penggunaan energi fosil secara besar-besaran menyebabkan cadangan energi fosil menjadi berkurang. Energi fosil merupakan non-renewable energy, yang berarti tidak dapat terbarukan dan jumlahnya akan semakin sedikit apabila digunakan secara kontinyu. Berdasarkan Kementrian ESDM pada tahun 2010-2014 produksi minyak bumi Indonesia mengalami penurunan rata-rata produksi sebesar 4,41% per tahun.

Dalam mengatasi problematika yang timbul dari penggunaan energi fosil, saat ini banyak dilakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif yang berpotensi menjadi substitusi dari energi fosil di masa yang akan datang. Energi-energi alternatif memiliki keunggulan seperti dapat terbarukan dari waktu ke waktu dan memiliki kadar emisi yang rendah bahkan untuk beberapa energi alternatif tidak menghasilkan emisi. Energi-energi alternatif meliputi panas bumi, angin, gelombang laut, biodiesel, dan fuel cell.

Fuel cell merupakan salah satu sumber energi alternatif yang cukup banyak dikembangkan akhir-akhir ini. Fuel cell merupakan alat yang memanfaatkan prinsip elektrokimia dalam mengonversi suatu bahan bakar menjadi energi listrik arus searah. Sebagai salah satu sumber energi alternatif, fuel cell menghasilkan emisi yang sangat sedikit terhadap lingkungan (Demirbas, 2007). Pengembangan

(15)

Universitas Pertamina-2 teknologi fuel cell sudah sampai tahap menggunakan mikroba sebagai agen katalis dalam menghasilkan yield yang diharapkan. Jenis fuel cell tersebut dinamakan microbial fuel cell (MFC). MFC memanfaatkan mikroba dalam memecah komponen organik menjadi elektron dan proton. Elektron yang dihasilkan mengalir dari anoda menuju katoda menyebabkan adanya beda potensial sehingga terbentuk energi listrik (Slate et al., 2019).

Saat ini MFC sudah dikembangkan lebih jauh dengan memanfaatkan tanaman sebagai media kultivasi mikroba yang berperan dalam menghasilkan energi listrik. Jenis MFC yang memanfaatkan tanaman sebagai media kultivasi dinamakan Plant Microbial Fuel Cell (P-MFC). Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes). Tanaman eceng gondok dipilih karena merupakan salah satu tanaman yang hidup di perairan sehingga akan mendukung proses perpindahan proton dari bagian anoda menuju katoda. Selain itu tanaman eceng gondok merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan cepat sehingga tanaman ini sering dianggap sebagai gulma karena dapat menyebabkan beberapa masalah seperti mengurangi populasi ikan dan menyumbat saluran irigasi (Gaurav et al., 2020). Padahal tanaman eceng gondok memiliki berbagai potensi seperti biomassa dan menjadi pengurai limbah.

Penelitian ini akan dilakukan dengan memvariasikan jenis elektroda yang digunakan seperti seng, besi, dan carbon felt serta jarak antara anoda dan katoda. Kemudian akan diamati nilai power density dari besarnya beda potensial dan jumlah arus listrik yang dihasilkan setiap harinya selama 30 hari.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh jenis elektroda seng, besi dan carbon felt terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi P-MFC?

2. Bagaimana pengaruh jarak anoda-katoda terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi P-MFC?

3. Bagaimana pengaruh waktu pertumbuhan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi P-MFC?

1.3. Ruang Lingkup

1.

Penelitian ini dilakukan selama 31 hari.

2.

Penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor lain seperti temperatur lingkungan, intensitas cahaya, dan kelembapan.

(16)

Universitas Pertamina-3

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan dari penelitian yang akan dilakukan antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaruh jenis elektroda seng, besi dan carbon felt terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi PMFC.

2. Untuk mengetahui pengaruh jarak anoda-katoda terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi PMFC.

3. Untuk mengetahui pengaruh waktu pertumbuhan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) terhadap power density yang dihasilkan pada teknologi PMFC.

1.5.

Hipotesis

1. Nilai konduktivitas dari material elektroda yang digunakan berpengaruh terhadap nilai power density yang dihasilkan.

2. PMFC dengan jarak lebih dekat mampu menghasilkan nilai power density yang lebih besar dibandingkan PMFC dengan jarak yang lebih jauh.

3. Pertumbuhan tanaman eceng gondok sebagai media kultivasi mikroorganisme akan meningkatkan produksi energi listrik.

(17)
(18)

Universitas Pertamina-4

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Fuel Cell

Fuel cell pertama kali ditemukan oleh Sir William Robert Grove pada tahun 1839, dimana penemuan itu menjadikan beliau sebagai bapak fuel cell. Fuel cell merupakan suatu alat yang dapat merubah energi kimia dari suatu bahan bakar (fuel) menjadi energi listrik arus searah dengan menggunakan prinsip elektrokimia (Patil et al., n.d.). Pada prinsip elektrokimia terjadi perpindahan elektron karena adanya suatu reaksi reduksi dan oksidasi dari suatu larutan ke elektroda yang ada di sekitarnya. Fuel cell tersusun atas sedikitnya 2 elektroda yaitu anoda dan katoda. Untuk fuel cell berbahan bakar hidrogen pada bagian anoda terjadi proses oksidasi hidrogen menjadi elektron dan proton. Sedangkan pada bagian katoda terjadi reaksi reduksi atau yang biasa disebut Oxygen Reduction Reaction (ORR). Reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda umumnya berlangsung sebagai berikut: Anoda : H2 => 2H+ + 2e- (2.1) Katoda : O2 + 4e- => 2O2- (2.2) Hasil : H2 + 1 2O2 => H2O (2.3) Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh teknologi fuel cell seperti tingkat efisinsi yang tinggi jika dibandingkan dengan heat engines dan tingkat emisi yang hampir mendekati nol membuat fuel cell saat ini telah banyak mengalami pengembangan. Berbagai pengembangan tersebut telah menggolongkan fuel cell berdasarkan berbagai kriteria. Fuel cell digolongkan menjadi abiotic fuel cell dan biological fuel cell, perbedaan dari kedua fuel cell ini adalah ada atau tidaknya keterlibatan dari makhluk hidup atau komponen biologi (Mahadevan et al., 2014). Abiotic fuel cell digolongkan Kembali berdasarkan temperatur operasi, bahan bakar yang digunakan, reaksi yang terjadi, dan katalis yang digunakan.

Fuel cell berdasarkan temperatur operasinya dibagi menjadi dua jenis. Fuel cell dengan temperature operasi yang tinggi (berkisar 620-1000 C) meliputi Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) dan Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Sedangkan fuel cell dengan temperature operasi yang rendah (60-220 C) meliputi Alkaline Fuel Cell (AFC), Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC), dan Phosporic Acid Fuel Cell (PAFC). Selanjutnya fuel cell digolongkan berdasarkan bahan bakar yang digunakan seperti hidrogen, hidrokarbon, metanol, dan karbon monoksida. Berdasarkan katalis yang umum digunakan antara lain karbon yang disupport platinum (Pt) dan karbon yang disupport oleh alloy campuran platinum-ruthenium (Pt-Ru). Sedangkan fuel cell berdasarkan beberapa reaksi yang terjadi sebagai berikut (Patil et al., n.d.):

(19)

Universitas Pertamina-5 H2 + 1 2O2 => H2O (2.4) CH4 + 2O2 => CO2 + H2O (2.5) CH3OH + 3 2O2 => CO2 + H2O (2.6) CO + 1 2O2 => CO2 (2.7)

Biological fuel cell dibagi menjadi dua jenis yaitu enzymatic fuel cell dimana fuel cell ini memanfaatkan enzim sebagai katalisnya dan microbial fuel cell yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalisnya. Biological fuel cell mengubah substrat organik menjadi energi listrik. Pada praktiknya beberapa kondisi lingkungan seperti pH dan temperatur perlu disesuaikan dengan kemampuan bertahan hidup dari komponen biologi karena komponen biologi tersebut memiliki peran vital dalam proses reaksi elektrokimia dari suatu fuel cell (Mahadevan et al., 2014).

2.2. Microbial Fuel Cell

Microbial fuel cell (MFC) merupakan suatu sistem bioelektrokimia yang dapat mengonversi energi kimia dari bahan bakar (fuel) yang terdapat pada komponen organik menjadi energi listrik melalui reaksi katalitik dari suatu mikroorganisme (Du et al., 2007). Mikroorganisme pada MFC menggantikan peran enzim pada enzymatic fuel cell. Hal ini menjadi opsi alternatif yang lebih murah dalam penggunaan substrat pada biological fuel cell (Shukla et al., 2004). Kompartmen penyusun MFC umumnya terdiri dari anoda, katoda, membrane penukar proton (proton exchange membrane), sistem sirkuit listrik dan larutan elektrolit.

MFC memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sistem fuel cell pada umumnya. Mikroorganisme pada MFC berperan sebagai biokatalis, dimana pada suatu fuel cell umumnya menggunakan logam platina (Pt) sebagai katalis. Selain itu bahan bakar yang digunakan pada sistem MFC berupa material organik sehingga limbah organik termasuk kedalam bahan bakar yang dapat didegradasi menjadi energi listrik. Mikroorganisme yang berperan sebagai biokatalis memiliki kemampuan dalam beradaptasi terhadap berbagai jenis material organik (Lovley, 2006).

2.2.1 Prinsip Kerja MFC

Pada MFC mikroorganisme mengonversi bahan bakar (fuel) yang digunakan berupa substrat organik seperti glukosa menjadi energi beserta CO2 dan H2O. Mikroorganisme hidup pada bagian

anoda dari suatu MFC, dimana pada lokasi itu terjadi proses konversi suatu substrat organik menjadi CO2 beserta proton dan elektron. Proses konversi terkatalisis melalui metabolisme mikroorganisme

yang hidup. Metabolisme mikroorganisme dilakukan secara anaerob dikarenakan pada bagian anoda tidak terdapat oksigen. Elektron hasil metabolisme dari mikroorganisme dialirkan anoda melalui sistem sirkuit listrik menuju katoda. Sedangkan proton dialirkan melalui membrane penukar proton

(20)

Universitas Pertamina-6 menuju katoda. Jenis membrane yang umum digunakan adalah membran nafion 117. Katoda terekspos secara langsung dengan oksigen sehingga terjadi reaksi pembentukan H2O dari oksigen beserta proton

dan elektron.

Gambar 2.1 Prinsip Kerja MFC (Slate et al., 2019)

Reaksi keseluruhan dari suatu MFC dengan substrat organik berupa glukosa sebagai berikut (Ramanjaneyulu & Reddy, 2019):

Anoda: C6H12O + 6H2O => 6CO2 + 24H+ + 24e- (2.8)

Katoda: O2 + 4H+ + 4e- => 2H2O (2.9)

Hasil: C6H12O + 6O2 => 6CO2 + 2H2O (2.10)

2.2.2 Desain MFC

Jembatan garam memiliki peran yang cukup besar pada sistem elektrokimia. Dimana peran suatu jembatan garam pada suatu MFC dapat digantikan oleh membran penukar proton. Oleh karena itu mulai banyak penelitian dengan memvariasikan konfisurasi dari suatu jembatan garam pada MFC untuk menghasilkan energi seoptimal mungkin (Jumma & Patil, 2016). Dari sekian banyaknya desain, MFC digolongkan menjadi 3 bagian:

(21)

Universitas Pertamina-7

2.2.2.1 Single Chambered MFC

MFC bilik tunggal merupakan desain MFC yang paling simple dan mudah untuk dirakit. Pada desain ini anoda dan katoda terdapat pada bagian yang sama, namun terpisah oleh suatu lapisan pemisah. Oleh karena itu desain ini tidak perlu menggunakan membrane penukar proton. Katoda diposisikan sedemikian mungkin untuk dapat tetap terekspos dengan udara agar dapat terjadi reaksi reduksi oksigen (Jumma & Patil, 2016).

Gambar 2.2 Single Chamber MFC (Jumma & Patil, 2016)

2.2.2.2 Double Chambered MFC

MFC bilik ganda terdiri dari dua bagian untuk anoda dan katoda. Kedua bagian tersebur dipisahkan oleh membran penukar proton atau jembatan garam. Penggunaan jembatan garam pada MFC cukup umum digunakan dikarenakan membrane penukar proton memiliki harga yang cukup tinggi. Pada MFC bilik ganda proton berpindah dari anoda menuju katoda melalui jembatan garam atau membrane penukar proton bergantung dari pemisah dari dua bagian yang digunakan. Pada bagian katoda dialirkan oksigen agar dapat terjadi reaksi reduksi oksigen.

(22)

Universitas Pertamina-8

2.2.2.3 Stacked MFC

MFC tipe tumpuk memiliki konfigurasi dimana perangkat listrik disusun secara menumpuk. Pada desain ini memerlukan suatu paking (gasket) dalam merekatkan perangkat listrik yang tertumpuk. Perangkat listrik yang digunakan dapat ditumpuk secara seri atau pun paralel.

Gambar 2.4Stacked MFC (Jumma & Patil, 2016)

2.2.3 Elektroda

Elektroda menjadi salah satu faktor lain yang mempengaruhi hasil akhir pada PMFC, baik itu jenis, bentuk, maupun jarak dari elektroda. Jenis elektroda yang umum digunakan adalah elektroda berbasis karbon karena memiliki memiliki sifat permukaan yang cocok dalam perkembangan biofilm (Liu, 2008). Elektroda berbasis logam dapat digunakan selama tidak korosif dan tidak bersifat toksik terhadap mikroorganisme agar tidak mempengaruhi kinerja mikroorganisme yang hidup.

2.3. Plant Microbial Fuel Cell

Plant Microbial Fuel Cell (PMFC) merupakan pengembangan dari penelitian mengenai MFC. Pada PMFC digunakan tanaman sebagai media kultivasi bakteri pada daerah sekitar akar dari suatu tanaman. Bakteri yang hidup di sekitar tanaman tersebut berperan sebagai biokatalis yang dapat mendegradasi material organik menjadi suatu energi listrik.

PMFC merupakan salah satu jenis energi alternatif yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan jenis energi alternatif lainnya seperti tidak membutuhkan perombakan pada suatu lahan, proses yang rumit, dan kondisi geografis tertentu (Chiranjeevi et al., 2019). Selain itu PMFC juga hanya menghasilkan emisi dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan mendekati nol, sehingga sangat cocok untuk menjadi opsi energi alternatif di masa depan.

(23)

Universitas Pertamina-9

2.3.1 Prinsip Kerja PMFC

Prinsip kerja dari suatu PMFC tidak jauh berbeda dengan suatu MFC, hanya terdapat perbedaan berupa penggunaan tumbuhan sebagai media pertumbuhan dari suatu mikroorganisme. Pada PMFC energi listrik dihasilkan melalui proses oksidasi substrat organik dari suatu tumbuhan. Pada dasarnya suatu tumbuhan akan menghasilkan material organik melalui proses fotosintesis. Sekitar 20-60% material organik berakhir di akar melalui proses rhizodeposisi. Di sekitar akar dari tumbuhan terdapat mikroorganisme yang dapat mengoksidasi substrat organik menjadi proton, elektron, dan karbon dioksida (Wetser et al., 2016).

Proses oksidasi subtrat organik menjadi proton, elektron, dan karbon dioksida berlangsung di bagian anoda dari suatu PMFC. Elektron kemudian akan mengalir melalui sistem sirkuit listrik menuju katoda. Proton terlarut bebas pada elektrolit akan menuju bagian katoda. Dimana pada bagian katoda terjadi proses oksidasi oksigen membentuk H2O.

2.3.2 Mikroorganisme

Mikroorganisme berupa bakteri di sekitar akar tumbuhan mengubah substrat organik menjadi energi listrik yang kemudian disalurkan ke bagian anoda dari suatu PMFC. Tanaman dengan efisiensi fotosintesis yang tinggi dapat menghasilkan performa yang lebih baik pada PMFC. Hal ini dikarenakan jumlah substrat bagi bakteri akan semakin banyak (Chiranjeevi et al., 2019).

Rumitnya lingkungan hidup dari suatu mikroorganisme mempersulit langkah dalam menghitung populasi dari suatu mikroorganisme pada daerah sekitar akar tumbuhan. Sebuah studi mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 4600 genom dari bakteri yang terdapat pada 1 gram tanah (De Schamphelaire et al., 2010). Kelompok bakteri yang dapat diandalkan dalam menghasilkan energi seperti α, β, γ, atau δ Proteobacteria dan Firmicutes (Logan & Regan, 2006). Namun jenis dari bakteri yang hidup pada tumbuhan bergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan sebagai media dan jenis tanah yang digunakan.

Terdapat penelitian PMFC dengan media tanaman berupa padi (O. Sativa). Pada daerah sekitar akar dari tanaman padi terdapat bakteri yang dapat mengubah substrat menjadi energi listrik seperti Natronocella acetinitrilica, Beijerinckiaceae, Rhizobiales, dan Rhodobacter gluconicum (Kaku et al., 2008). Sedangkan pada PMFC dengan media tanaman berupa Glyceria maxima terdapat bakteri Geobacter sulfurreducens and Geobacter metallireducens yang aktif dalam mengubah substrat organik menjadi energi listrik (Holmes et al., 2004).

2.3.3 Kurva Pertumbuhan

suatu mikroorganisme akan mengalami suatu siklus mulai dari hidup hingga mikroorganisme tersebut mati. Apabila mikroorganisme tersebut hidup pada kondisi lingkungan yang memadai dan terdapat ketersediaan substrat yang mencukupi sebagai sumber makanan akan membuat

(24)

Universitas Pertamina-10 mikroorganisme dapat memperbanyak diri. Siklus kehidupan suatu mikroorganisme dapat dilihat melalui gambar 2.5 yang telah dialurkan dengan nilai log10 sebagai berikut:

Gambar 2.5 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme (Prado Barragán et al., 2016)

Setiap mikroorganisme mengalami fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian.

• Fase Lag

Pada fase lag, mikroorganisme baru diinokulasi pada suatu media. Pada fase ini mikroorganisme masih melakukan adaptasi dengan media baru. Terjadi proses peningkatan massa dan volume beserta peningkatan aktivitas metabolic dari suaru mikroorganisme namun belum terjadi duplikasi melalui proses pembelahan.

• Fase Eksponensial

Pada fase eksponensial, mikroorganisme mulai melakukan proses pembelahan secara biner dengan jumlah yang eksponensial. Jumlah mikroorganisme baru yang muncul sebanding dengan jumlah mikroorganisme yang ada, dimana lama kelamaan jumlahnya akan berkali-kali lipat jumlah mikroorganisme yang ada pada awal diinokulasi apabila tidak terdapat faktor yang dapat menghambat pertumbuhan. Laju pertumbuhan pada fase ini bergantung pada ketersediaan substrat dan aerasi.

• Fase Stasioner

Pada fase stasioner, laju pertumbuhan dan laju kematian dari suatu mikroorganisme bernilai sama. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor seperti ketersediaan substrat sebagi sumber nutrisi dari

(25)

Universitas Pertamina-11 mikroorganisme yang mulai habis, munculnya metabolit yang menghambat pertumbuhan, dan terbatasnya ruang gerak mikroorganisme.

• Fase Kematian

Pada fase kematian, laju pertumbuhan dari suatu mikroorganisme jauh lebih sedikit dari laju kematian. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan substrat yang sudah menipis bahkan habis dan meningkatnya metabolit penghambat yang menjadi limbah.

2.3.4 Desain PMFC

Pada penelitian ini desain dari reaktor PMFC yang digunakan bertipe bilik tunggal (single chamber) sehingga tidak memerlukan membran penukar proton pada pengoperasiannya. Posisi dari anoda dan katoda sejajar secara vertical dimana katoda terletak dibagian atas agar dapat terekspos dengan oksigen. Desain dari reaktor PMFC pada penelitian ini dapat dilihat melalui gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Desain PMFC Pada Penelitian Ini

2.3.5 Mekanisme Reaksi

Aktivitas mikroorganisme berlangsung sepuluh kali lebih besar di sekitar akar tumbuhan dibandingkan di tanah (Helder et al., 2012). Karena pada permukaan akar tumbuhan, material organik dioksidasi secara langsung oleh mikroorganisme. Material organik yang dilepas melalui akar merupakan campuran substrat yang kompleks sehingga cukup sulit untuk mengetahui material apa yang didegradasi oleh mikroorganisme. Material organik yang dilepas melalui akar bisa berupa asetat, glukosa, atau campuran lainnya.

(26)

Universitas Pertamina-12 Material organik yang dilepas kemudian dioksidasi menghasilkan proton dan elektron. Selanjutnya mikroorganisme melakukan donor elektron ke anoda. Pada saat melakukan donor elektron, mikroorganisme akan memperoleh energi.

2.3.6 Faktor yang Mempengaruhi

Pada pengoperasian PMFC terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil akhir berupa energi listrik yang dihasilkan. Faktor-faktor seperti jenis tanaman, komunitas mikroorganisme yang hidup, jenis elektroda yang digunakan, desain dari reaktor PMFC, dan penempatan dari elektroda memberi pengaruh besar terhadap hasil akhir dari suatu PMFC. Selain itu terdapat beberapa faktor fisiokimia yang belum terlalu mendapat perhatian penuh seperti temperatur, pH, kelembapan, dan konduktivitas.

2.4. Kriteria Tanaman

Pemilihan tanaman pada PMFC dapat memaksimalkan energi listrik yang dihasilkan. Karena proses rhizodeposisi dan alur fotosintesis merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi pada PMFC (Nitisoravut & Regmi, 2017). Tanaman dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan fiksasi karbondioksida menjadi C3, C4, dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism).

Perbedaan dari tanaman C3 dan C4 adalah cara tanaman tersebut mengikat karbondioksida dan produk awal yang dihasilkan dari proses asimilasi. Tanaman C3 bersifat lebih adaptif dibandingkan tanaman C4 dan CAM terhadap kondisi dimana terdapat kandungan karbondioksida yang lebih tinggi di atmosfer. Pada tanaman C3 proses fotorespirasi akan mengikat karbondioksida memanfaatkan substrat RuBp yang bersamaan dengan proses pengikatan oksigen . Ketika kadar karbondioksida lebih di atmosfer lebih tinggi maka kemampuan untuk melakukan proses fotorespirasi menjadi lebih rendah. Contoh dari tanaman C3 adalah durian dan sri rezeki.

Tanaman C4 dan CAM cenderung lebih adaptif dengan kondisi lingkungan yang panas dan kering. Tanaman C4 memiliki suatu enzim yang dapat mengikat karbondioksida bernama PEP. Tanaman C4 tidak dapat mengikat oksigen sehingga hanya karbondioksida yang dapat terikat. Contoh tanaman C4 adalah jagung dan tebu.

2.4.1 Eceng Gondok

Eceng gondok yang memiliki nama latin Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan yang hidup di perairan. Eceng gondok dapat ditemukan di lebih dari 50 negara di 5 benua dengan berbagai kondisi iklim yang berbeda-beda (Gaurav et al., 2020). Tumbuhan ini memiliki ukuran rata-rata sebesar 40 cm dengan ukuran maksimal sebesar 1 m. Tumbuhan eceng gondok memiliki klasifikasi sebagai berikut (Gay, 1960):

Domain : Eukaryota

(27)

Universitas Pertamina-13 Phylum : Spermatophyta Subphylum : Angiospermae Class : Monocotyledonae Order : Pontederiales Family : Pontederiaceae Genus : Eichhornia

Species : Eichhornia crassipes

Tumbuhan eceng gondok dapat tumbuh di lingkungan dengan kondisi pH 4-10, namun akan lebih baik apabila kondisi lingkungan memiliki pH netral. Suhu pertumbuhan optimum dari tumbuhan eceng gondok adalah 28-30 C untuk air dan 21-30 C untuk kondisi udara di sekitar (Gaurav et al., 2020). Apabila kondisi lingkungan sesuai dengan kondisi optimum, eceng gondok dapat tumbuh dengan cepat hingga menjadi dua kali populasinya dalam jangka waktu dua minggu.

(28)
(29)

Universitas Pertamina-14

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

3.2. Alat dan Bahan

3.1.1. Alat

1. Tabung Plastik 2. Multimeter Digital 3. Kabel dan Jepit Buaya

4. Resistor 100 ohm, 1000 ohm, 10000 ohm, 100000 ohm 5. Elektroda Carbon Felt

(30)

Universitas Pertamina-15 7. Elektroda Besi 8. Timbangan Digital 9. pH meter 10. Wadah plastik 11. Gunting 12. Penggaris

3.2.1. Bahan

1. Tanaman Eceng Gondok 2. Air

3. Tanah Lumpur 4. Karbon Aktif

3.3. Variabel Penelitian

3.3.1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang dibuat dengan variasi nilai tertentu. Pada penelitian ini variabel bebas merupakan jarak antara anoda-katoda dan jenis elektroda yang digunakan.

3.3.2. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang disebabkan oleh adanya variabel bebas. Pada penelitian ini variabel terikat merupakan kuat arus dan besar tegangan dari PMFC.

3.3.3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau pun diatur dalam kondisi tetap. Pada penelitian ini variabel kontrol merupakan volume lumpur.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan selama 31 hari dimulai pada tanggal 4 Juni 2020 sampai 4 Juli 2020.

3.4.1. Perancangan Reaktor

Reaktor yang terbuat dari tabung plastik disesuaikan ketinggiannya untuk mengakomodir jarak antara anoda dan katoda (10 cm dan 20 cm) dengan cara dipotong. Kemudian reaktor yang telah terbentuk diisi dengan tanah lumpur pada bagian dasar reaktor. Selanjutnya di dalam reaktor diletakkan anoda yang telah disambungkan dengan kabel untuk mentransfer elektron. Bubuk karbon aktif dituangkan di sekitar anoda sampai menutupi permukaan anoda. Tanah lumpur kembali dimasukkan hingga ketinggian 2 cm di bawah katoda. Tanaman eceng gondok sebagai media kultivasi mikroorganisme dimasukkan pada permukaan reaktor. Air ditambahkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman air hingga ketinggian katoda. Katoda yang telah disambungkan dengan kabel diletakkan di permukaan reaktor. Resistor sebesar 1000 ohm sebagai hambatan harian dipasangkan

(31)

Universitas Pertamina-16 dengan kabel yang terhubung dengan kedua elektroda. Adapun visualisasi reaktor dapat dilihat melalui gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Sketsa Desain Reaktor PMFC Pada Penelitian Ini

3.4.2. Preparasi Elektroda

Elektroda yang akan digunakan dipotong hingga memeiliki luas permukaan yang sama sebesar 24 cm2. Elektroda berbasis logam dapat mengandung impurities sehingga dilakukan preparasi

untuk menghilangkan impurities di permukaan elektroda berbasis logam. Pertama elektroda diampelas menggunakan ampelas halus untuk menghilangkan partikel pengotor yang menempel. Selanjutnya elektroda dicuci menggunakan sikat lalu dibilas dengan air. Sebelum digunakan elektroda dikeringkan terlebih dahulu.

3.5. Pengambilan Data Penelitian

3.5.1. Pengukuran Kuat Arus dan Tegangan

Pengukuran kuat arus dan tegangan dilakukan menggunakan multimeter digital. Pengambilan data dilakukan setiap hari selama 31 hari waktu penelitian. Pengambilan data dilakukan pada 1 waktu yang sama setiap harinya yaitu sekitar pukul 13.00-14.00 WIB.

3.5.2. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Pengambilan data pH

dilakukan selama 3 hari sekali dimulai dari hari pertama dilakukannya penelitian.

3.5.3. Pengamatan Laju Pertumbuhan Tanaman

Eceng gondok yang digunakan pada penelitian ini memiliki ukuran awal yang relatif sama dengan jumlah batang yang sama (6). Kemudian dilakukan pengamatan laju pertumbuhan masing-masing tanaman eceng gondok dengan menghitung jumlah percabangan batang dari batang utama tanaman eceng gondok selama 4 hari sekali.

(32)

Universitas Pertamina-17

3.5.4. Pengukuran Power Density

Pengukuran power density dari masing-masing PMFC dilakukan pada hari ke 30. Pengukuran power density dilakukan dengan memvariasikan resistor mulai dari 100 ohm hingga 100000 ohm setiap 15 menit sekali untuk mencapai kondisi pseudo-steady-state. Pada menit ke 15 dilakukan pengambilan data berupa kuat arus dan besar tegangan menggunakan multimeter digital.

3.5.5. Pengukuran Biomassa

Pengukuran biomassa dilakukan ketika penelitian telah selesai dilakukan. Pengukuran biomassa yang dilakukan meliputi pengukuran berat kering biomassa awal (W1) dan berat kering biomassa akhir (W2). Setelah penelitian selesai dilakukan, eceng gondok dari masing-masing reaktor diambil lalu dicuci dengan air hingga bersih. Eceng gondok kemudian dikeringkan. Eceng gondok yang telah kering lalu ditimbang untuk mengetahui berat kering biomassa akhir (W2). Selanjutnya diambil 6 batang dari masing-masing eceng gondok untuk ditimbang sebagai berat kering biomassa awal (W1).

(33)
(34)

Universitas Pertamina-18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengukuran Current Density dan Voltase Variasi Jenis Anoda

Output dari penelitian PMFC adalah current density yaitu besarnya kuat arus per satuan luas dari elektroda yang digunakan dan besar voltase. Besarnya current density dan voltase yang dihasilkan pada penelitian PMFC variasi jenis anoda digambarkan pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 berikut:

Gambar 4.1 Current Density PMFC CF-10, PMFC Fe-10, dan PMFC Zn-10 Variasi Jenis Anoda

Gambar 4.1 di atas menunjukkan nilai current density dari hari ke-0 hingga hari ke-30 dilakukannya penelitian PMFC dengan variasi jenis anoda. Dari grafik tersebut terlihat nilai current density yang fluktuatif pada hari ke-0 hingga hari ke-16. Pada hari ke-16 hingga hari ke-30 nilai current density yang didapat mulai stabil. Dari grafik terlihat bahwa PMFC Zn-10 dengan anoda bermaterial seng menjadi PMFC dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil tertinggi sebesar 185.4 mA/m2. Selanjutnya terdapat PMFC Fe-10 dengan anoda bermaterial besi yang memiliki nilai rata-rata

current density pada kondisi stabil sebesar 141.1 mA/m2. Terakhir terdapat PMFC CF-10 dengan

elektroda bermaterial carbon felt menjadi PMFC dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil terendah sebesar 26.0 mA/m2.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Curr en t De n sity / m A/m 2

Waktu Pengamatan / Hari

(35)

Universitas Pertamina-19

Gambar 4.2 Voltase PMFC CF-10, PMFC Fe-10, dan PMFC Zn-10 Variasi Jenis Anoda

Gambar 4.2 di atas menunjukkan nilai voltase dari hari ke-0 hingga hari ke-30 dilakukannya penelitian PMFC variasi jenis anoda. Dari grafik tersebut terlihat nilai voltase yang fluktuatif pada hari ke-0 hingga hari ke-16. Pada hari ke-16 hingga hari ke-30 nilai voltase yang didapat mulai stabil. Dari grafik terlihat bahwa PMFC Zn-10 dengan anoda bermaterial seng menjadi PMFC dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil tertinggi sebesar 244.8 mV. Selanjutnya terdapat PMFC Fe-10 dengan anoda bermaterial besi yang memiliki nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 152.2 mV. Terakhir terdapat PMFC CF-10 dengan elektroda bermaterial carbon felt menjadi PMFC dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil terendah sebesar 79.6 mV.

Dari kedua grafik di atas terlihat bahwa PMFC Zn-10 dengan anoda bermaterial seng menghasilkan nilai rata-rata current density dan voltase tertinggi pada kondisi stabil. PMFC Fe-10 dengan anoda bermaterial besi menghasilkan nilai rata-rata current density dan voltase kedua tertinggi pada kondisi stabil. PMFC CF-10 dengan eletroda bermaterial carbon felt menghasilkan nilai rata-rata current density dan voltase terendah pada kondisi stabil. Dari nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan material penyusun elektroda berperan dalam menghasilkan nilai current density dan voltase yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: nilai potensial standar reduksi dari material berbasis logam, zeta potensial material berbasis non-logam (carbon-felt), nilai konduktivitas listrik logam, dan nilai resistivitas masing-masing material.

Berdasarkan nilai potensial standar reduksi, logam seng memiliki nilai terkecil sebesar -0.77 V ( Reddy, T. B. (2011). Untuk logam besi memiliki nilai potensial standar reduksi sebesar -0.44 V untuk Fe2+ dan +0.77 V untuk Fe3+. Nilai potensial standar reduksi yang semakin kecil menunjukkan bahwa

logam tersebut memiliki kecenderungan untuk semakin sulit tereduksi (Bhatt, 2016). Selain itu nilai

0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Volt age / mV

Waktu Pengamatan / Hari

(36)

Universitas Pertamina-20 potensial standar reduksi yang semakin kecil menandakan semakin mudahnya proses transfer elektron. Elektroda carbon felt memiliki nilai zeta potensial mendekati nol pada kondisi pH dan temperatur yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan (J. Park et al., 2014). Nilai zeta potensial menggambarkan potensial antara permukaan partikel solid pada suatu cairan dengan cairan itu sendiri. Nilai zeta potensial yang semakin tinggi (negatif atau positif) menunjukkan besarnya gaya penolakan elektrostatis dari suatu partikel semakin besar (Lu & Gao, 2010). Nilai zeta potensial yang mendekati nol menunjukkan bahwa material tersebut cenderung tidak stabil (Rawle, Alan. 2017). Selain itu nilai zeta potensial berbanding berbanding lurus dengan konduktivitas listrik (Novikov et al., 2015). Sehingga nilai zeta potensial yang rendah tidak terlalu bagus dalam menghantarkan listrik.

Seng memiliki nilai konduktivitas listrik sebesar 1,69 x 107 S/m (ASM International, 1990).

sedangkan besi memiliki nilai konduktivitas listrik sebesar 1 x 107 S/m. Besarnya nilai konduktivitas

listrik menandakan bahwa material tersebut lebih baik dalam menghantarkan muatan listrik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa katoda bermaterial seng lebih baik dalam menghantarkan muatan listrik dibandingkan material besi dan carbon felt. Faktor lain yang mempengaruhi adalah resistivitas listrik yang merupakan besarnya resistensi terhadap arus listrik dari suatu material. Seng memiliki nilai resistivitas listrik terendah sebesar 5,9 x 10-8 Ω m (ASM International, 1990). Selanjutnya besi memiliki

nilai resistivitas listrik sebesar 1 x 10-7 Ω m. Carbon felt memiliki nilai resistivitas listrik tertinggi sekitar

30 Ω mm atau 0.03 Ω m (Md Khudzari et al., 2019). Nilai resistivitas listrik yang semakin rendah menunjukkan bahwa material tersebut memiliki resistensi terhadap arus listrik yang semakin rendah. Sehingga hal tersebut menjadi faktor lain dari output dari parameter jenis material pada penelitian PMFC.

Dari grafik di atas terlihat pula tren kuat arus dan beda potensial yang cenderung turun dari pertama dimulainya penelitian hingga hari terakhir. Walau demikian terdapat fluktuasi output pada beberapa hari tertentu. Penurunan voltase dan current density dikarenakan pengaruh mikroorganisme di sekitar akar tanaman yang sedang dalam proses tahap adaptasi. Setelah 16 hari, mikroorganisme memasuki fase pertumbuhan dan stasioner sehingga nilai voltase dan current density menjadi lebih stabil walaupun tetap terdapat sedikit fluktuasi. Mikroorganisme tersebut berperan sebagai biokatalis dalam mendegradasi material organik menjadi elektron dan proton. Menurunnya jumlah mikroorganisme yang hidup di sekitar akar tanaman akan mempengaruhi juga nilai current density dan voltase dari PMFC.

Secara umum, fase hidup suatu mikroorganisme terdiri dari 4 fase yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Proses diawali dengan fase lag dimana mikroorganisme sedang dalam tahap adaptasi dengan media. Pada grafik tersebut terlihat pengaruh ketika fase lag

(37)

Universitas Pertamina-21 ditandai dengan menurunnya nilai current density dan voltase. Fase lag akan mempengaruhi potensial di anoda dan katoda, sehingga akan terjadi penurunan nilai current density dan voltase. Selanjutnya terdapat fase eksponensial dimana terjadi duplikasi pembelahan mikroorganisme secara masif. Berdasarkan grafik kuat arus yang dihasilkan terlihat nilai yang cenderung turun. Selanjutnya terdapat fase stasioner dimana jumlah kematian dan duplikasi mikroorganisme cenderung sama. Kedua fase tersebut ditandai dengan nilai current density dan voltase yang cukup stabil pada hari ke 16 hingga hari ke 30. Selanjutnya terdapat fase kematian dimana mikroorganisme mulai banyak yang mati. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketersediaan nutrisi yang menipis dan terbentuknya metabolit penghambat pertumbuhan mikroorganisme. Dari jangka waktu penelitian selama 30 hari belum terlihat kondisi dimana tidak adanya produksi listrik yang muncul sama sekali. Hal ini diduga dikarenakan jangka waktu 30 hari belum mencapai kondisi dimana mikroorganisme memasuki fase kematian atau dikarenakan substrat yang menjadi sumber nutrisi mikroorganisme tersuplai secara konstan melalui hasil fotosintesis.

4.2. Pengukuran Kuat Arus dan Tegangan Listrik Variasi Jarak Elektroda

Dari ketiga jenis material anoda yang digunakan, dilakukan tambahan variasi untuk setiap jenis material berupa jarak dari elektroda yang digunakan. Jarak dari elektroda divariasikan menjadi 10 cm dan 20 cm. Dari setiap jarak yang diaplikasikan, nilai current density dan voltase yang diamati ditampilkan melalui gambar 4.3 dan gambar 4.4 berikut:

Gambar 4.3 Current Density PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20,

PMFC Zn-10, dan PMFC Zn-20 Variasi Jarak Elektroda

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Curr en t De n sity / m A/m 2

Waktu Pengamatan / Hari

PMFC CF-10 PMFC CF-20 PMFC Fe-10

(38)

Universitas Pertamina-22 Gambar 4.3 di atas menunjukkan nilai current density dari hari ke-0 hingga hari ke-30 dilakukannya penelitian PMFC pada variasi jarak elektroda. Sama halnya dengan gambar 4.1 variasi jenis anoda, terlihat nilai current density yang fluktuatif pada hari 0 hingga hari 16. Pada hari ke-16 hingga hari ke-30 nilai current density yang didapat mulai stabil. PMFC CF-10 dan PMFC CF-20 merupakan PMFC dengan elektroda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC CF-10 dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil sebesar 26.0 mA/m2. PMFC

CF-20 dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil sebesar 13.0 mA/m2. PMFC Fe-10 dan

PMFC Fe-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial besi dan katoda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Fe-10 dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil sebesar 141.1 mA/m2. PMFC Fe-20 dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil

sebesar 108.6 mA/m2. PMFC Zn-10 dan PMFC Zn-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial

sama berupa seng dan katoda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Zn-10 dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil sebesar 185.4 mA/m2. PMFC Zn-20

dengan nilai rata-rata current density pada kondisi stabil sebesar 147.5 mA/m2.

Gambar 4.4 Voltase PMFC CF-10, PMFC CF-20, PMFC Fe-10, PMFC Fe-20, PMFC Zn-10, dan

PMFC Zn-20 Variasi Jarak Elektroda

Gambar 4.4 di atas menunjukkan nilai voltase dari hari ke-0 hingga hari ke-30 dilakukannya penelitian PMFC variasi jarak elektroda. Sama halnya dengan gambar 4.2 variasi jenis elektroda, terlihat nilai voltase yang fluktuatif pada hari 0 hingga hari 16. Pada hari 16 hingga hari ke-30 nilai voltase yang didapat mulai stabil. PMFC CF-10 dan PMFC CF-20 merupakan PMFC dengan elektroda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC CF-10 dengan nilai

0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Volt age / mV

Waktu Pengamatan / Hari

PMFC CF-10 PMFC CF-20 PMFC Fe-10

(39)

Universitas Pertamina-23 rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 79.6 mV. PMFC CF-20 dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 41.1 mV. PMFC Fe-10 dan PMFC Fe-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial besi dan katoda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Fe-10 dengan nilai rata voltase pada kondisi stabil sebesar 152.2 mV. PMFC Fe-20 dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 103.3 mV. PMFC Zn-10 dan PMFC Zn-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial seng dan katoda bermaterial carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Zn-10 dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 244.8 mV. PMFC Zn-20 dengan nilai rata-rata voltase pada kondisi stabil sebesar 222.3 mV.

Dari nilai rata-rata current density dan voltase yang didapat, terlihat fenomena di mana setiap PMFC bermaterial sama dengan jarak antara elektroda yang lebih dekat (10 cm) menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan PMFC bermaterial sama dengan jarak antara elektroda yang lebih jauh (20 cm). Hal ini dikarenakan pada PMFC dengan jarak yang lebih jauh, proton yang dihasilkan pada bagian anoda (dasar reaktor PMFC) perlu menempuh jarak yang lebih jauh untuk sampai ke bagian katoda (permukaan reaktor PMFC) (Sangeetha & Muthukumar, 2013). Dalam upaya mencapai bagian katoda, proton perlu menghadapi hambatan berupa gaya gravitasi yang menghambat proses perpindahan dari bagian anoda. Sehingga pada PMFC dengan jarak lebih jauh laju perpindahan proton untuk sampai ke bagian katoda akan semakin lambat yang akan menambah besar hambatan internal sehingga proses oxygen reduction reaction (ORR) akan semakin terhambat.

Besarnya jarak dari kedua elektroda pada suatu fuel cell dapat mempengaruhi power density yang dihasilkan. Pada suatu fuel cell dengan jarak elektroda yang semakin besar akan mengakibatkan bertambahnya nilai nilai internal resistance (J.-G. Park et al., 2017). Bertambahnya nilai internal resistance dari suatu fuel cell dapat menyebabkan nilai voltase dari fuel cell tersebut semakin kecil sebagaimana persamaan 4.3 berlaku. Sehingga nilai power yang merupakan hubungan dari besar voltase dan current density sebagaimana pada persamaan 4.5 berlaku, maka nilai power density yang dihasilkan akan semakin kecil apabila nilai voltase pun lebih kecil.

4.3. Pengukuran Maximum Power Density

Selanjutnya dilakukan pengukuran maximum power density dengan melakukan variasi eksternal resistor yang digunakan pada hari ke 30. Eksternal resistor diaplikasikan kepada setiap PMFC lalu didiamkan selama sekktar 15 menit untuk mencapai kondisi pseudo-steady-state. Dari variasi eksternal resistor didapatkan kurva polarisasi. Dimana kurva polarisasi menampilkan nilai voltase sebagai fungsi dari current density. Gambar 4.5 merupakan nilai dari current density dan voltase yang dilakukan menggunakan variasi eksternal resistor:

(40)

Universitas Pertamina-24

Gambar 4.5 Kurva Polarisasi PMFC Variasi Jenis Anoda dan Jarak Elektroda

Suatu kurva polarisasi terbagi menjadi 3 bagian: (i) zona OCV (Open Circuit Voltage) dimana tidak adanya arus, (ii) zona dimana nilai voltase mulai turun sedikit demi sedikit secara linear dengan bertambahnya nilai current density, (iii) zona dimana terjadi penurunan nilai voltase secara drastis pada nilai current density yang semakin tinggi (Logan et al., 2006). Pada zona OCV didapat nilai voltase ketika tidak ada arus yang mengalir karena nilai dari hambatan sangat maksimum sebagaimana berlakunya hukum Ohm sebagai berikut:

V = I x R (4.1)

PMFC CF-10 dan PMFC CF-20 merupakan PMFC dengan elektroda bermaterial sama berupa carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC CF-10 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0,275 V. PMFC CF-20 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0.225 V. PMFC Fe-10 dan PMFC Fe-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial sama berupa besi dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Fe-10 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0,465 V. PMFC Fe-20 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0.347 V. PMFC Zn-10 dan PMFC Zn-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial sama berupa seng dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Zn-10 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0,493 V. PMFC Zn-20 memiliki nilai voltase pada saat OCV sebesar 0.542 V.

Berdasarkan variasi material anoda terlihat bahwa PMFC dengan material seng menghasilkan nilai voltase pada saat OCV tertinggi. PMFC dengan material besi dengan nilai OCV kedua tertinggi. PMFC dengan material carbon felt menghasilkan nilai OCV terendah. Berdasarkan variasi jarak elektroda, PMFC bermaterial besi dan carbon felt dengan jarak yang lebih dekat menghasilkan nilai OCV yang lebih tinggi dibandingkan PMFC dengan jarak yang lebih jauh. Namun hal ini tidak berlaku

(41)

Universitas Pertamina-25 bagi PMFC bermaterial seng dimana nilai OCV pada PMFC dengan jarak yang lebih dekat dihasilkan nilai OCV yang lebih rendah.

Nilai OCV seharusnya mendekati nilai overall cell electromotive force (Eemf) yang merupakan

perbedaan potensial dari anoda dan katoda (Logan et al., 2006). Nilai Eemf didapat ketika tidak ada arus

yang mengalir. Nilai Eemf dapat dicari dengan persamaan berikut :

Eemf = Ecat – Ean (4.2)

Nilai Eemf didapat melalui perhitungan teoritis sehingga nilainya merupakan nilai potensial

tertinggi dari suatu fuel cell. Berbeda dengan nilai OCV yang lebih rendah dari nilai Eemf yang

seharusnya karena diambil secara praktik sehingga terdapat pengaruh dari berbagai potential losses. Pada suatu PMFC nilai voltase yang terukur merupakan persamaan linear nilai current sebagaimana persamaan berikut:

Ecell = OCV - IRint (4.3)

IRint merupakan jumlah internal losses yang meliputi nilai current dan hambatan internal pada

sistem tersebut. Ohmic losses merupakan salah satu internal losses pada suatu fuel cell. Ohmic losses dapat meliputi hambatan dalam proses perpindahan elektron. Menurut referensi (Logan, 2008) penelitian ini memiliki mekanisme reaksi dengan nilai Eemf sebagai berikut:

Tabel 4.1 Mekanisme Reaksi Penelitian PMFC

Elektroda Mekanisme Reaksi E (V)

Anoda 6CO2 + 24H+ + 24e- C6H12O6 + 6H2O - 0.428

Katoda O2 + 4H+ + 4e- 2H2O 0.805

Berdasarkan data di atas, maka nilai Eemf sebesar:

Eemf = 0,805 – (-0,428) (4.4)

Eemf = 1,233 V

Sedangkan berdasarkan kurva polarisasi di atas, nilai OCV tidak sama dengan nilai Eemf. Hal

ini disebabkan oleh internal losses pada setiap PMFC, seperti jarak dari elektroda. Jarak elektroda yang semakin dekat dapat mengurangi besar ohmic losses (Logan, 2008). Sehingga sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, PMFC dengan material besi dan carbon felt dengan jarak elektroda yang lebih dekat menghasilkan nilai voltase yang lebih besar karena ohmic losses pada PMFC tersebut lebih rendah. Selain itu proses perpindahan proton pada PMFC dengan jarak yang lebih jauh memungkinkan proses transfer proton menuju katoda menjadi tertunda, sehingga nilai internal resistance akan semakin besar. Tapi hal ini tidak terbukti pada PMFC bermaterial seng dimana PMFC dengan jarak lebih dekat menghasilkan nilai voltase yang lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari aktivitas

(42)

Universitas Pertamina-26 metabolis dari mikroorganisme, dimana hal tersebut juga merupakan salah satu ohmic losses (Logan et al., 2006).

Dari kedua nilai voltase dan current density tersebut dapat diketahui nilai dari maximum power density dengan menggunakan rumus:

𝑃 = 𝑉 𝑥 𝐼 (4.5) Nilai P merupakan power yang kemudian dihubungkan dengan nilai dari current density untuk mendapatkan nilai maximum power density. Nilai maximum power density ditampilkan melalui gambar 4.6 berikut:

Gambar 4.6 Power Density dari PMFC Variasi Jenis Anoda

dan Jarak Elektroda

Dari gambar 4.6 di atas terlihat nilai maximum power density dari masing-masing PMFC. PMFC CF-10 dan PMFC CF-20 merupakan PMFC dengan elektroda bermaterial sama berupa carbon felt dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC CF-10 memiliki nilai maximum power density sebesar 3,29 mW/m2. PMFC CF-20 memiliki nilai maximum power density sebesar 1,39 mW/m2. PMFC Fe-10

dan PMFC Fe-20 merupakan PMFC dengan anoda bermaterial sama berupa besi dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Fe-10 memiliki nilai maximum power density sebesar 99,26 mW/m2. PMFC

Fe-20 memiliki maximum power density sebesar 37,73 mW/m2. PMFC Zn-10 dan PMFC Zn-20

merupakan PMFC dengan anoda bermaterial sama berupa seng dengan jarak sebesar 10 cm dan 20 cm. PMFC Zn-10 memiliki nilai maximum power density sebesar 100,2 mW/m2. PMFC Zn-20 memiliki

nilai maximum power density sebesar 80,64 mW/m2.

Berdasarkan variasi jarak elektroda, PMFC bermaterial besi, seng, dan carbon felt dengan jarak yang lebih dekat menghasilkan nilai maximum power density yang lebih tinggi dibandingkan PMFC dengan jarak yang lebih jauh. Berdasarkan variasi material anoda terlihat bahwa PMFC dengan anoda

(43)

Universitas Pertamina-27 bermaterial seng menghasilkan nilai maximum power density tertinggi. PMFC dengan anoda bermaterial besi dengan nilai maximum power density kedua tertinggi. PMFC dengan elektroda bermaterial carbon felt menghasilkan nilai maximum power density terendah.

Nilai maximum power density digambarkan melalui titik puncak dari power density yang linear dengan bertambahnya current density. Setelah mencapai titik puncak yang menggambarkan nilai maximum power density, akan terjadi penurunan nilai power density pada nilai current density yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ohmic losses yang semakin besar. Besarnya ohmic losses salah satunya disebabkan oleh jarak antara elektroda yang semakin jauh. Selain itu penurunan nilai power density bisa diakibatkan oleh overpotensial dari suatu elektroda.

4.4.

Pengaruh Setiap Kompartmen PMFC pada pH

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran pH secara berkala setiap 3 hari sekali. Dari hasil pH yang terukur dilakukan analisa hubungan pH dengan jarak setiap PMFC. Data pengamatan nilai pH setiap jenis material ditampilkan melalui gambar 4.7, 4.8, dan 4.9 berikut:

Gambar 4.7 pH PMFC Elektroda Carbon Felt Jarak 10 cm dan 20 cm

7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 30 pH

Waktu Pengamatan / Hari

pH PMFC-Carbon Felt

(44)

Universitas Pertamina-28

Gambar 4.8 pH PMFC Anoda Besi Jarak 10 cm dan 20 cm

Gambar 4.9 pH PMFC Anoda Seng Jarak 10 cm dan 20 cm

Dari gambar 4.7, 4.8, 4.9 di atas terlihat nilai pH dari setiap PMFC bermaterial sama. Dari gambar 4.7 terlihat bahwa PMFC CF-10 dengan jarak elektroda yang lebih dekat menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan PMFC CF-20 dengan jarak yang lebih jauh. Fenomena yang sama juga terlihat pada gambar 4.8 dimana PMFC Fe-10 dengan jarak elektroda yang lebih dekat menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan PMFC Fe-20 dengan jarak yang lebih jauh. Mengacu pada pembahasan mengenai variasi jarak elektroda terhadap output PMFC, pada PMFC dengan jarak lebih jauh menyebabkan adanya jarak yang lebih jauh bagi proton untuk berpindah dari

7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 30 pH

Waktu Pengamatan / Hari

pH PMFC-Iron

PMFC Fe-10 PMFC Fe-20 7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 30 pH

Waktu Pengamatan / Hari

pH PMFC-Zinc

(45)

Universitas Pertamina-29 bagian anoda menuju katoda. Sehingga terdapat kemungkinan lebih banyak proton [H+] yang terlarut

pada elektrolit karena adanya driving force berupa gaya gravitasi yang menghambat laju perpindahan proton. Mengutip pada teori Bronsted-Lowry, asam merupakan pendonor proton (Kauffrnan, n.d.). Sehingga akumulasi proton yang lebih banyak mengakibatkan suatu larutan menjadi lebih asam. Secara umum kondisi berikut juga terlihat pada grafik 4.9. Namun pada beberapa hari terakhir terlihat kondisi dimana PMFC Zn-20 dengan jarak elektroda lebih jauh menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan PMFC Zn-10 dengan jarak elektroda lebih dekat. Hal ini disebabkan oleh kemampuan suatu tumbuhan untuk mengubah pH di sekitar menjadi lebih asam dengan cara melepas proton [H+]

atau menjadi lebih basa dengan cara melepas ion hidroxyl [OH-] melalui akar (Neina, 2019). Namun

diantara proses tersebut, akar tumbuhan memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam menaikkan nilai pH dibandingkan menurunkan nilai pH (Neina, 2019).

Berdasarkan referensi (He et al., 2008), pH dapat mempengaruhi power output dari suatu MFC. Berdasarkan penelitian tersebut, reaksi reduksi oksigen di bagian katoda pada suatu MFC berkisar 8-10. Pada range pH tersebut nilai power yang dihasilkan tidak akan terpengaruh secara signifikan karena terdapat pengaruh buffer dari aktivitas mikroorganisme. Berdasarkan referensi (Tang et al., 2014) nilai power yang dihasilkan pada suatu MFC dapat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorgansime di bagian anoda. pH yang semakin rendah menunjukkan kondisi keasaman sekitar yang lebih tinggi dapat menghambat aktivitas mikroorganisme dalam menghasilkan energi listrik. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini dimana PMFC dengan pH yang lebih tinggi menghasilkan nilai power yang lebih tinggi.

4.5. Analisa biomassa

Pada analisa biomassa dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung jumlah batang tanaman pada saat awal dilakukan penelitian dan akhir secara berkala setiap empat hari sekali dan secara kualitatif dengan mengukur berat biomassa awal dan akhir dari tumbuhan tersebut. Jumlah batang yang tumbuh dari setiap PMFC ditampilkan melalui gambar 4.10 berikut:

(46)

Universitas Pertamina-30

Gambar 4.10 Pertumbuhan Batang Tanaman Selama 30 Hari

Dari gambar 4.10 di atas terlihat bahwa setiap PMFC diawali dengan tanaman eceng gondok dengan jumlah batang yang sama (enam). Selanjutnya terjadi penambahan jumlah batang seiring berjalannya waktu sampai hari terakhir dilakukannya penelitian terdapat jumlah batang dari setiap tanaman pada setiap reaktor PMFC. Jumlah batang pada hari terakhir dilakukannya penelitian berkisar 10 sampai 13 batang dari setiap tanaman eceng gondok. Hal ini menandakan bahwa tanaman tersebut mengalami pertumbuhan dengan bertambahnya jumlah batang dari setiap tanaman.

Gambar 4.11 Grafik Berat Kering Biomassa

0 2 4 6 8 10 12 14 16 1 5 9 13 17 21 25 30 Ju m lah Bat an g

Waktu Pengamatan / Hari

Kurva Pertumbuhan Batang Tanaman

PMFC CF-10 PMFC CF-20 PMFC Fe-10 PMFC Fe-20 PMFC Zn-10 PMFC Zn-20 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 PMFC CF-10 PMFC CF-20 PMFC Fe-10 PMFC Fe-20 PMFC Zn-10 PMFC Zn-20 Be ra t Ke rin g Biom ass a (gram )

Grafik Berat Kering Biomassa

Gambar

Tabel 4.1 Mekanisme Reaksi Penelitian PMFC ....................................................................
Gambar 2.1 Prinsip Kerja MFC (Slate et al., 2019)
Gambar 2.2 Single Chamber MFC (Jumma & Patil, 2016)
Gambar 2.4 Stacked MFC (Jumma & Patil, 2016) 2.2.3  Elektroda
+7

Referensi

Dokumen terkait

nutup tanah bertujuan untuk  mengetahui  pengaruh  jenis dan  waktu  tanam kacangan  penutup tanah terhadap pertumbuhan dan  produksi  jagung  varietas Arjuna. 

Percobaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah jarak tanam kapas dan pemakaian jenis pupuk KG, Fosfo N dan M-Dext mempunyai pengaruh terhadap

Perlakuan kombinasi jarak tanam dan jenis pupuk kandang memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume akar umur 28 HST.Volume akar umur 28 HST tertinggi

Penelitian ini mengenai pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas Ciherang serta jenis hama, patogen penyakit, dan musuh alaminya yang ditanam pada dua waktu

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data Tabel 4 dan 5 menunjukkan jenis batang atas tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit tanaman jarak pagar pada

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data Tabel 4 dan 5 menunjukkan jenis batang atas tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit tanaman jarak pagar pada semua

Interaksi perlakuan interbal waktu pemberian dan jenis pupuk daw1 yang digunakan tidak menunjukkan pengaruh yang nyat hterhadap semua parameter yang diamati, tetapi dari semua kombinasi

Uji Beda Rataan Perlakuan Interval Waktu Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Daun Terhadap Hasil Pengamatan Berat Basah Tongkol per Plot gram Setelah Pancn Pada Umur 60 Hari ... Rangkukan