• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG KARAKTERISTIK ENDAPAN EMAS OROGENIK DI DAERAH BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI TENTANG KARAKTERISTIK ENDAPAN EMAS OROGENIK DI DAERAH BOMBANA, SULAWESI TENGGARA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

268

STUDI TENTANG KARAKTERISTIK ENDAPAN EMAS OROGENIK DI DAERAH

BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

Sayyed Faturahman*, Sutrisno

Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea - Makassar, 90245

Telp./Fax: (0411) 580202

*corresponding author: sayyedfaturahman1@gmail.com

ABSTRAK

Awal mula ditemukanya endapan emas pada Sungai Tahi Ite daerah Bombana berawal ketika seekor buaya dengan permukaan kulit yang dilapisi pasir emas ditangkap penduduk Desa Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu, pada tahun 2008. Sejak saat itu, kabupaten yang terbentuk tahun 2003 dari hasil pemekaran Kabupaten Buton ini terus diserbu pendatang (Iqbal E. Putra, 2015). Setelah diteliti pada daerah tersebut ternyata penemuan endapan emas ini bersifat anomali dan unik karena di Indonesia tidak umum ditemukanya cebakan emas pada batuan metamorf. Para Ahli Geologi menduga bahwa endapan ini merupakan endapan emas orogenik karena daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas struktur pada batuan metamorf yang merupakan batuan samping. Berdasarkan data lapangan menunjukan bahwa endapan emas letakan berhubungan dengan urat/uratan kuarsa dalam batuan metamorf, khususnya sekis mika dan metasedimen di daerah tersebut. Urat/uratan kuarsa sekarang ditemukan di Pegunungan Wumbubangka, pada sayap utara rangkaian Pegunungan Rumbia. Urat/uratan kuarsa yang tergerus dan tersegmentasi tersebut memiliki ketebalan dari 2 cm sampai 2 m dengan kadar emas antara 2 sampai 61 g/t (Idrus dkk, 2011). Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami pola-pola mineralisasi, zona-zona alterasi beserta karakteristik endapan emas orogenik. Terdapat tiga generasi urat pada daerah Bombana Sulawesi Tenggara yaitu generasi pertama adalah urat yang sejajar foliasi. Sedangkan urat generasi kedua adalah urat kuarsa yang memotong foliasi, memiliki kandungan mineral sulfide yang cukup dominan serta memiliki kadar emas yang cukup potensi disebandingkan dengan urat generasi pertama. Urat generasi ketiga yaitu urat kalsit-kuarsa, merupakan fase akhir dari endapan emas orogenik yang ada di lokasi penelitian (Fadlin, 2012). Urat kuarsa tersebut, terbentuk yang khas secara fisik yaitu masif, sigmoidal dan breksiasi. Endapan emas orogenik pada daerah ini berada pada zona epizonal-mesozonal.

I.

PENDAHULUAN

Daerah studi berada di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini menjadi pusat perhatian bagi para ahli geologi karena ditemukannya endapan emas pada Sungai Tahi Ite berawal dari seekor buaya dengan permukaan kulit yang dilapisi emas ditangkap penduduk Desa Tahi Ite, Kecamatan Rowatu pada tahun 2008 diberitakan pada Artikel geologi Populer (c 2015). Penemuan endapan emas ini bersifat anomali dan unik karena di Indonesia tidak umum ditemukan cebakan emas pada batuan metamorf. Endapan ini merupakan endapan emas orogenik karena daerah tersebut dipengaruhi oleh struktur pada betuan metamorf yang

merupakan batuan samping. Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami pola-pola mineralisasi, zona-zona alterasi, beserta karakteristik endapan emas orogenik.

II.

KONDISI GEOLOGI REGIONAL

Geologi daerah studi termasuk geologi daerah Wumbubangka dan Rau-rau, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang telah diteliti sebelumnya oleh Kisman, (2009). Pembahasan geologi daerah penelitian meliputi pembahasan geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.

(2)

269 Morfologi daerah Bombana terdiri dari morfologi perbukitan terjal dan morfologi pedataran. Morfologi pegunungan terjal menempati bagian Selatan, bagian sisi Barat, Barat Laut hingga agak ke tengah pada daerah studi (Gambar 2). Pegunungan yang menempati bagian terluas kawasan ini yaitu Pegunungan Rumbia yang mempunyai topografi yang sangat kasar dan kemiringan lereng yang sangat tinggi, pegunungan dalam satuan ini memiliki pola yang hampir sejajar berarah Barat Laut – Tenggara. Arah ini sejajar dengan struktur sesar regional di kawasan ini. Pola tersebut mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi pegunungan ini erat hubungannya dengan sesar regional. Pegunungan ini dibentuk oleh batuan malihan dan memiliki bentuk morfologi yang khas yaitu punggung gunungnya terputus pendek-pendek dengan lerang yang tidak rata walaupun bersudut tajam.

Stratigrafi

Pembagian satuan batuan di daerah studi didasarkan pada sistem pembagian tatanama tidak resmi, yaitu pengelompokan lapisan batuan secara bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan ciri-ciri litologinya. Meliputi jenis dan kombinasi batuan, serta kesamaan ciri atau gejala litologi batuan yang dapat diamati di lapangan. Pembagian satuan batuan juga didasarkan pada dominasi batuan yang tersingkap di daerah studi. Berdasarkan ciri-ciri litologi yang dominan, perbedaan antara batuan yang satu dengan batuan lainnya, serta posisi stratigrafi yang diamati di lapangan, maka stratigrafi daerah studi dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan batuan yaitu satuan sekis yang beranggotakan sekis muskovit, sekis epidot, serta metalimestone, dan satuan batupasir yang beranggotakan konglomerat (Pasomba, 2015).

1. Satuan sekis

Satuan sekis ini terdiri dari sekis epidot, sekis muskovit, dan metalimestone dengan struktur foliasi. Di dalam satuan batuan metamorf ini

terdapat bongkahan-bongkahan batuan tersilisifikasi dengan kuarsa bertekstur saccharoidal mengisi foliasi dan rekahan-rekahannya.

Kenampakan lapangan dari batuan sekis (Gambar2) memperlihatkan warna segar abu-abu kebiruan sampai kehijauan, warna lapuk coklat, dengan tekstur lepidoblastik, struktur foliasi (schistose), isian kekar berupa kuarsa dan dengan kedudukan foliasi batuan N 65o E, 29o. Berdasarkan klasifikasi batuan metamorf menurut Travis, (1955), batuan ini dinamakan sekis epidot (Pasomba, 2015).

2. Satuan batupasir

Satuan batupasir Formasi Langkowala ini diusulkan oleh Simandjuntak dkk, (1980), dengan runtunan sedimen yang didominasi batupasir dengan sisipan serpih, batulanau, dan juga konglomerat pada Formasi Langkowala ini. Anggota satuan batuan ini menyebar luas di daratan Langkowala, membentuk daratan dan perbukitan rendah yang luas.

Ciri fisik batupasir ini ditandai oleh tidak dijumpai adanya fosil dengan kelimpahan mineral kuarsa dan feldspar. Berdasarkan ciri fisik tersebut, maka satuan batupasir ini pada daerah penelitian berumur Miosen Atas (Simanjuntak dkk, 1980).

Struktur Geologi

Struktur geologi utama yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar naik yang memiliki arah umum Timur – Barat dengan bagian Selatan merupakan hanging wall yang memisahkan bagian Utara yang merupakan satuan morfologi perbukitan rendah dan pedataran Langkolawa, dan di bagian Barat, Selatan maupun Timur merupakan satuan morfologi perbukitan tinggi di bukit Tangkeno Wumbubangka dan Pegunungan Rumbia (Kisman, 2009).

Bagian hanging wall yang membentuk perbukitan rendah ini kemudian mengalami oksidasi yang mengakibatkan terjadinya

(3)

270 proses pengayaan. Kemungkinan proses hidrotermal masih aktif sampai saat ini dengan ditemukannya sumber mata air panas (Kisman, 2009).

III.

METODE STUDI

Terdapat beberapa tahapan pada studi Studi ini yaitu

1. Studi Pustaka

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui beberapa literatur berdasarkan penelitian yang terdahulu yang membahas tentang kondisi geologi regional dan kondisi endapan emas pada daerah studi.

2. Pengkajian Literatur

Setelah dilakukan pengumpulan data dari beberapa literatur tentang kondisi geologi regional dan endapan emas pada daerah studi maka dilakukan pengkajian dan analisis dari setiap literatur yang ada sehingga dapat disimpulkan tentang karakteristik endapan emas orogenik di daerah Bombana, Sulawesi Tenggara.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Bateman (1981) secara umum proses pembentukan ore atau mineralisasi bijih pada endapan jenis hidrotermal dipengaruhi oleh beberapa faktor pengontrol, meliputi: larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa mineral, zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat larutan hidrotermal, tersedianya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal, terjadinya reaksi kimia dari batuan induk/host rock dengan larutan hidrotermal yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral bijih (ore), dan adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkan mineral bijih (ore).

Oleh akibat larutan hidrotermal bersifat sangat cair, menyebabkan larutan ini sangat mudah untuk melalui bidang bidang rekahan pada batuan yang dilewatinya dan kemudian

mengalami proses pendinginan dan mengendapkan ion-ion logam yang membentuk endapan dalam bentuk vein atau urat.

Kuarsa sebagai mineral yang paling akhir terbentuk umumnya hadir dan terendapkan dalam urat-urat ini yang seringkali dijumpai bersama dengan endapan emas. Kehadiran urat-urat ini merupakan salah satu penciri utama dari jenis endapan hidrotermal.

Endapan tipe urat atau vein type deposit merupakan daerah yang umumnya termineralisasi dengan jelas yang umumnya membentuk tubuh yang diskordan (memotong tubuh batuan yang ada disekelilingnya) yang pada umumnya ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan panjang dan kedalamannya. Kebanyak urat-urat terbentuk pada zona-zona patahan atau mengisi rongga-rongga pada batuan atau pada daerah gerusan. Banyak endapan endapan yang bernilai eknomis tinggi seperti emas, tembaga, perak, logam dasar (Pb-Zn-Cu) dan arsenik, mercuri, dan mineral mineral logam ekonomis lainnya yang berasosiasi dengan mineral-mineral pengotor (gangue mineral) seperti kuarsa dan kalsit pada batuan sampingnya (country rocks) dalam bentuk struktur urat.

Vein Kuarsa

Idrus dkk. (2011) menjelaskan bahwa terdapat 2 jenis vein pada daerah Langkowa yaitu vein generasi pertama dimana veinnya sejajar dengan foliasi batuan yang dijumpai pada sekis mika, sedangkan vein generasi kedua adalah vein yang memotong foliasi.

Fadlin dan Asy’ari (2012) dalam penelitiannya membagi 3 jenis vein yang terdapat pada daerah Wumbubangka. Urat kuarsa yang sejajar dengan foliasi memiliki geometri yang relatif lebih besar dibanding dengan urat kuarsa yang memotong foliasi, urat kuarsa tipe ini merupakan urat generasi pertama, berwarna putih transparan sampai putih susu, memiliki kandungan mineral sulfida yang sangat sedikit, sedangkan urat yang

(4)

271 memotong foliasi merupakan urat generasi kedua dan biasanya berukuran lebih kecil dari urat yang sejajar foliasi, warna putih sampai abu-abu buram serta memiliki kandungan mineral sulfida yang lebih domina dibanding dengan urat kuarsa yang sejajar foliasi. Sedangkan urat kuarsa-kalsit merupakan urat generasi ke-3 bertekstur laminasi.

Menurut Pasomba (2015) bahwa vein yang dijumpai pada daerah studi memiliki tekstur saccoroidal (Gambar 6) dan Karakteristik tertentu ( Tabel 1). Berdasarkan klasifikasi vein menurut Guilbert & Park (1986) maka Pasomba (2015) mengklasifikasikan vein yang dijumpai pada daerah ini menjadi dua jenis vein yaitu jenis vein simple dan jenis vein irregular (Gambar 7). Adapun ciri lapangan dari vein jenis simple yaitu bentuknya relatif lurus, kuarsanya telah mengalami oksidasi fluida sedangkan jenis irregular di lapangan dicirikan dengan kenampakan rekahan yang diisi oleh fluida dengan arah yang tidak beraturan serta ketebalan vein yang bervariasi. Menurut Pasomba (2015) terdapat 3 fase dalam mekanisme pembentukan vein kuarsa pada daerah Bombana.

Fase pertama terjadi deformasi berupa sesar naik yang memiliki arah umum Timur – Barat dengan bagian Selatan merupakan hanging wall yang memisahkan satuan morfologi perbukitan di Bukit Tangkeno sampai pegunungan terjal Rumbia dengan daerah Wumbubangka yang merupakan morfologi perbukitan rendah dan pedataran Langkowala di sebelah Utara.

Fase kedua merupakan pengisian rekahan pada batuan oleh larutan hydrothermal bersifat asam yang melewati batuan metamorf melalui rekahan pada zona-zona lemah sebagai media tempat larutan tersebut mengalir kemudian mengalami pembekuan dan pengkristalan. Pengisian larutan hidrotermal umumnya dijumpai dalam bentuk vein disebabkan oleh berkurangnya intensitas larutan maupun tekanan larutan tersebut

untuk mengintervensi batuan, sehingga pergerakan larutan hanya melewati rekahan yang ada pada batuan.

Fase ketiga atau fase terakhir merupakan hasil dari pengaruh larutan hidrotermal terhadap batuan samping yang telah membentuk alterasi. Adapun mineral hasil alterasi yang dijumpai pada daerah penelitian yaitu klorit, muskovit, epidot dan kuarsa

Mineralisasi

Fadlin (2012) dalam penelitiannya menunjukan keterdapatan mineral pirit, kalkopirit, astenopirit, cinnabar, stibnite, dan ashenopirit. Mineral-mineral tersebut tidak hanya hadir dalam urat namun seringkali ditemukan pada batuan samping wallrock dan tersilisifikasi. Cinabar memiliki ciri fisik berwarna merah jambu dan melimpah pada keterdapatan emas primer maupun emas sekunder atau endapan emas placer. Mineral-mineral ini terdapat pada daerah Wumbubangka, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Idrus dkk (2011) bahwa secara pengamatan megaskopis ditemukannya mineral pirit, kalkopirit, cinnabar, stibnite, dan asenopyrit dengan konsentarsi yang sedikit berada pada urat kuarsa dan tersilisifikasi pada batuan samping. Mineral-mineral ini terdapat pada daerah Longkowala, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Alterasi Hidrotermal

Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya (wall rocks) akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder yang kemudian disebut dengan mineral yang teralterasi (alteration minerals). Proses terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder akibat interaksi batuan dengan larutan hidrotermal disebut dengan proses alterasi hidrotermal.

Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, karena meliputi perubahan secara

(5)

272 mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya pada kondisi fisika– kimia tertentu (Pirajno, 1992). Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal adalah temperatur, kimia, fluida, konsentrasi dan komposisi batuan samping, durasi aktifitas hidrotermal, dan permeabilitas. Namun faktor kimia dan temperatur fluida merupakan faktor yang paling berpengaruh (Browne, 1994 dalam Corbett dan Leach, 1995).

Proses hidrotermal pada kondisi tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral atau mineral assemblage (Guilbert dan Park, 1986). Hal ini menyebabkan kehadiran himpunan mineral tertentu dalam suatu ubahan batuan akan mencerminkan komposisi pH larutan dan temperature fluida tipe alterasi tertentu. Morrison (1995) menjabarkan mineral mineral hidrotermal yang menjadi penunjuk pembentukan mineral yang terbentuk dari alterasi batuan pada kondisi pH asam netral. Idrus dkk, (2011) dan Fadlin (2012) membagi 4 tipe alterasi hydrothermal yang terdapat pada daerah Wumbubangka yaitu Silisisikasi (silicification), Alterasi argilik / clay±silica (argillic), Klorit-karbonat (chlorite-carbonate alteration), dan Karbonisasi (carbonization). a. Silisisikasi (silicification)

Alterasi ini ditandai dengan terubahnya mineral primer pada batuan samping terutama yang digantikan dengan mineral silika yang sangat dominan.

b. Alterasi argilik /clay±silica (argillic)

Alterasi ini ditandai dengan hadirnya mineral lempung (clay) yang dominan dengan mineral mineral silika, berada di sepanjang zona urat kuarsa.

c. Klorit-karbonat (chlorite-carbonate alteration)

Dicirikan dengan hadirnya mineral klorit bersamaan dengan mineral karbonat dalam bentuk uratan kalsit, berada tidak terlalu jauh dari pusat urat kuarsa (Gambar 9).

d. Karbonisasi (carbonization)

Dicirikan oleh hadirnya lapisan mineral grafit yang umumnya berwarna hitam dan yang relatif sejajar foliasi.

Inklusi Fluida

Inklusi fluida adalah material dalam bentuk fasa cair, gas, atau padat, berukuran mikro yang terperangkap saat pertumbuhan kristal suatu mineral (Rodder, 1984). Inklusi fluida adalah inklusi yang terperangkap sebagai zat cair yang sebagian besar masih dalam bentuk cairan pada suhu permukaan. Inklusi ini (terutama yang primer) terbentuk bersamaan dengan mineral yang memperangkapnya, sehingga karakteristik fisik/kimia dari larutan pembawa mineral tersebut akan mempunyai kemiripan dengan larutan yang terperangkap sebagai inklusi fluida. Dengan demikian, inklusi fluida dapat digunakan antara lain untuk mengetahui lingkungan fisika dan kimia pembentukan endapan bijih; suhu, tekanan, dan komposisi larutan hidrotermal, menentukan batas boiling, evolusi suhu dan tekanan pada cekungan minyak bumi (khusus pada inklusi fluida yang mengandung minyak bumi) dan membuat zonasi suhu pada eksplorasi geothermal.

Fadlin (2012) melakukan analisi inklusi fluida pada urat kuarsa dimana hasil analisi inklusi fluida pada urat kuarsa yang sejajar foliasi temperatur homogenisasi (Th) rata-rata adalah 221,9 oC, sedangkan temperatur pelelehan (Tm) rata-rata yaitu -4,55 oC dan salinitas rata-rata adalah 7,17 wt,%NaCl ekuivalen. Pada conto urat yang memotong foliasi menunjukkan bahwa temperatur homogenisasi (Th) rata-rata adalah 188,40 oC, Temperatur pelelehan (Tm) ratarata yaitu -2,62 oC dan Salinitas rata rata adalah 3,87 wt,%NaCl ekuivalen. Sedangkan hasil pengukuran inklusi fluida pada conto urat

(6)

273 kuarsa±kalsit yaitu menunjukkan temperatur homogenisasi (Th) rata-rata 138,2 oC,

sedangkan temperatur pelelehan (Tm) rata-rata yaitu -1,1 oC dan nilai salinitas rata-rata adalah 1,91 wt,%NaCl ekuivalen. Pada fotomikrograf conto urat memperlihatkan kehadiran komposisi gas (CO2) (Gambar 10), namun dalam jumlah yang cukup sedikit, dan hal tersebut diperkirakan karena posisi endapan berada pada level epizonal sehingga gas CO2 cenderung menghilang. Evolusi fluida endapan emas orogenik yang ada di lokasi penelitian terdiri dari 3 (tiga) fase yaitu fase isothermal mixing with fluids of constracting salinity, fase simple cooling, dan fase mixing with cooler, less saline fluids. Fluida endapan diperkirakan berasal dari air meteorik, metamorfik hingga magmatik atau multi source.

Berdasarkan hasil penelitiannya Fadlin (2012) menyimpulkan bahwa endapan emas orogenik yang terdapat di daerah penelitian merupakan sumber daripada endapan emas sekunder (placer/paleoplacer) yang ada di daerah penelitian. Endapan emas orogenik ini terbentuk pada zona transisi antara epizonal-mesozonal yaitu pada fasies green schist di kedalaman lebih kurang 5-6 kilometer.

V.

KESIMPULAN

Pada hasil studi ini maka dapat dibuat kesimpulan bahwa :

a. Mineralisasi yang terdapat dan berkembang pada daerah studi ini adalah cinnabar, stibnit, pirit, kalkopirit, dan emas.

b. Terdapat 4 tipe alterasi hydrothermal yang terdapat pada daerah studi yaitu Silisisikasi (silicification), Alterasi argilik / clay±silica (argillic), Klorit-karbonat (chlorite-carbonate alteration) dan Karbonisasi (carbonization).

c. Terdapat tiga generasi urat pada daerah Bombana, Sulawesi Tenggara yaitu generasi pertama adalah urat yang sejajar foliasi. Sedangkan urat generasi kedua adalah urat kuarsa yang memotong foliasi, memiliki kandungan mineral sulfida yang cukup dominan serta memiliki kadar emas yang cukup potensi dibandingkan dengan urat generasi pertama. Urat generasi ketiga yaitu urat kalsit-kuarsa.

Endapan emas orogenik daerah Bombana adalah sumber emas paleoplacer yang terbentuk pada suhu rata-rata antara 200oC-250oC yang tebentuk setelah terjadi aktifitas struktur pada batuan metamorf, serta berada pada zona transisi antara epizonal-mesozonal yaitu pada fasies greenschist dikedalaman 5-6 kilometer

VI.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada bapak Adi Maulala dan Irrzal Nur yang telah Memberikan arahan dalam pembuatan paper ini dan penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Arifudin Idrus yang telah memberikan saran dan dukungan kepada kami.

DAFTAR PUSTAKA

A. Idrus., Irzal. Nur., I W. Warmada., Fadlin.,2011.Metamorphic Rock-Hosted Orogenic Gold Deposit Type as a Source of Langkowala Placer Gold, Bombana, Southeast Sulawesi.Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2011 : 43-49

Arifudin Idrus., Akira Imai., Andi Makkawaru., Kamrullah., I Wayan Warmada.,Irzal Nur,. Rohaya Langkoke.,2009.Preliminary Study on Orogenic Deposit Type as a Source of Placergold at Bombana, Southeast Sulawesi, Indonesia.Symposium Paper Kyushu

(7)

274

Fadlin.,2012.Karakteristik Endapan Emas Orogenik Sebagai Sumber Emas Placer di Daerah Wumbubangka, Bombana, Sulawesi Tenggara.JurusanTeknikGeologiFT-UGM.Yogakarta

Groves, D. I., Goldfarb, R. J., and Robert, F., 2003, Gold deposit in metamorphic belts: Overview or current understanding, outstanding problems, future research, and exploration significance. Economic Geology 98: 1-29.

Iqbal.E Putra, 2015, Emas Batuan Metamorfosis Bombana, Sebuah Anomali, Artikel Geologi Indonesi diterbitkan online.

Kisman.,2011.Keterdapatan Mineralisasi Emas Yang Berasosiasi Dengan Sinabar di Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.Pusat Sumber Daya Geologi.Buletin Sumber Daya Geologi Volume 6 Nomor 2 – 2011. Bandung

Maulana,Adi.,2015. Buku Ajar Endapan Mineral .Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Makassar

Pasomba, I., 2015. Studi tentang Karakterisrik Vein Kuarsa Pada Derah Bombana Sulawesi Tenggara. Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Makassar.

TABEL

Tabel 1. Karakteristik vein kuarsa daerah Bombana (Pasomba, 2015)

VEIN KUARSA

KEDUDUKAN DIMENSI BATUAN SAMPING KOMPOSISI MINERAL ZONA ALTERASI HIDROTERMAL STRIKE/DIP PANJANG LEBAR

Saccharoidal N 89o E/61o 1,2 M 1 CM Sekis Epidot Muskovit, Kuarsa, Klorit, Epidot

Propilitik

Saccharoidal N 92o E/60o 15 CM 0,4 CM Sekis Muskovit Muskovit, Kuarsa, Klorit, Aktinolit Propilitik

Saccharoidal N 140o E/10o 7 CM 0,2 CM Sekis Muskovit Muskovit, Kuarsa, Klorit, Biotit, Kyanit Propilitik

Saccharoidal N 144o E/33o 5,5 CM 0,2 CM Metalimest one Kuarsa, Klorit, Kalsit, Epidot Propilitik

(8)

275

Tabel 2. Hasil Analisi XRF (X-ray flourence) urat kuarsa pada sekis mika di daerah Wumbubangka (Idrus dkk, 2011)

GAMBAR

Gambar 1. Peta geologi Langkowala Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara Formasi Langkowala (Tml) dan Batuan Metamorf Paleozoikum Kompleks Pompangeo (Mtpm) sebelah selatan

(9)

276

Gambar 2. Kenampakan satuan bentangalam pegunungan terjal di foto dari daerah PT. Panca Logam Makmur disekitar stasiun 5 pada arah N 168o E.

Gambar 3. Kenampakan satuan bentangalam pedataran di foto dari daerah PT.Panca Logam Makmur disekitar stasiun 4 pada arah N 56o E.

(10)

277

Gambar 4. Kenampakan lapangan sekis yang memperlihatkan urat-urat kuarsa pada stasiun 2 difoto ke arah N 275°E pada daerah Rau-Rau.

Gambar 5. Foto mikroskopis sekis muskovit dengan komposisi mineral berupa muskovit (2C), kuarsa (1C), klorit (2F), epidot (6A) dan mineral opak (2H).

(11)

278

Gambar 6. Kenampakan tekstur saccharoidal pada sekis.

Gambar 7. Kenampakan vein jenis simple (kiri)dan vein jenis irregular (kanan) menurut Pasomba (2015).

Gambar 8. Fotomikrograf Conto B44/P, sinabar dan emas 6VFC, 1VCC pada daerah Langkowala (Kisman dkk., 2009).

(12)

279

Gambar 9. Conto batuan tersilisifikasi dengan kuarsa vuggy dalam satuan batuansekis di Desa Wumbubangka, Kecamatan Rarowatu Utara KabupatenBombana (Kisman dkk., 2009).

Gambar 10. Fotomikrograf Inklusi fluida memperlihatkan kehadiran CO2, kondisi Necking Down kenampakan dua fase (L+V), fluida primer dengan batas kristal yg sangat jelas (Fadlin,2012).

Gambar

Tabel 2. Hasil Analisi XRF (X-ray flourence)  urat kuarsa pada sekis mika di daerah Wumbubangka  (Idrus dkk, 2011)
Gambar 2. Kenampakan satuan bentangalam pegunungan terjal di foto dari daerah PT. Panca Logam  Makmur disekitar stasiun 5 pada arah N 168 o  E
Gambar 4. Kenampakan lapangan sekis yang memperlihatkan urat-urat kuarsa  pada stasiun 2 difoto  ke arah N 275°E pada daerah  Rau-Rau
Gambar 8. Fotomikrograf Conto B44/P, sinabar dan emas 6VFC, 1VCC pada daerah Langkowala  (Kisman dkk., 2009)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum, bahwa salah satu ciri RPP yang sesuai dengan kurikulum 2013 adalah pada proses

Data yang digunakan dalam penerapan Model Dinamik adalah data penjualan dan data biaya modal bulan Februari (t-1) dan Maret (t) pada tahun 2006 karena model tersebut

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) Trauma atau kecelakaan yang terjadi pada abdomen yang kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul. Deselerasi yang tidak terkontrol

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang pelaksanaan pembelajaran penjas adaptif bagisiswa tunanetra di rumah pada masa pandemi covid-19 ini

Faktor Predisposing perilaku safety riding pada warga kampung safety Kelurahan Pandean Lamper yaitu pengetahuan tentang safety riding dan kampung safety yang

bassiana, diduga terkait dengan dua hal yaitu: (1) konidia cendawan mampu menginfeksi embrio yang ada di dalam telur-telur yang terkolonisasi miselium, meskipun telur

Nilai karbon pada kompos dipengaruhi oleh jenis bahan organik yang digunakan karena karbon pada tanaman lebih besar dari pada karbon limbah ternak dan juga dekomposer

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan praktek pembulatan uang sisa pembelian yang dilakukan di Giant MTC Panam, untuk mengetahui dampak