• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan negara yang taat hukum. Masyarakat Jepang memiliki sikap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan negara yang taat hukum. Masyarakat Jepang memiliki sikap"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengambil masalah yang terjadi pada masyarakat Jepang. Jepang merupakan negara yang taat hukum. Masyarakat Jepang memiliki sikap empati dan loyalitas. Loyalitas penting dalam membangun hubungan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang. Di samping itu, mayoritas penduduk Jepang adalah pekerja keras yang selalu menginginkan hasil pekerjaan yang lebih baik dari hasil sebelumnya. Mereka terkenal memiliki semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan. Mereka tidak takut menghadapi segala cobaan demi mencapai tujuan. Kejujuran juga merupakan salah satu prinsip dari orang Jepang. Bahkan ketika tidak ada orang yang melihat pun, mereka tetap mempertahankan prinsip tersebut (www.anieristyan.wordpress.com).

Akan tetapi, yang digambarkan dalam novel Majutsu wa Sasayaku tidak seperti itu. Keadaan sosial yang digambarkan berbeda dengan keadaan sosial yang ideal dari masyarakat Jepang. Dalam novel tersebut, kehidupan sosial yang digambarkan oleh pengarang sarat dengan masalah-masalah sosial. Novel tersebut melukiskan tentang berbagai permasalahan yang meliputi: (i) maraknya tindakan kejahatan di masyarakat seperti pembunuhan dan penganiayaan, (ii) pelanggaran norma-norma masyarakat, yang meliputi pelacuran gadis remaja dan pengutilan, (iii) serta perpecahan keluarga yang terjadi pada beberapa tokoh.

(2)

Jepang mengalami suatu zaman yang dikenal dengan zaman Shouwa. Pada zaman Shouwa, Jepang mempunyai latar belakang keadaan sosial yang berbeda dengan kondisi ideal yang tergambar pada masyarakat Jepang secara umum. Krisis minyak pertama yang terjadi pada tahun 1973 membuat negara-negara maju seperti Jepang yang mengalami pertumbuhan ekonomi karena bergantung kepada minyak murah, menyadari rapuhnya struktur pasokan energi mereka. Jepang berupaya keras dalam melakukan pengembangan energi pengganti minyak bumi bersama dengan upaya memajukan penghematan energi. Ketika tahun 1979, terjadi krisis minyak yang kedua, hal tersebut menciptakan atmosfir yang semakin kuat bagi negara maju untuk melakukan upaya tersebut. Krisis minyak tersebut juga menyebabkan menurunnya masa pertumbuhan ekonomi tinggi di Jepang (https://www.batan.go.id/ensiklopedi/01/02/02/05/01-02-02-05.html). Selain adanya fenomena krisis minyak, pada masa itu di Jepang juga banyak terjadi tindak kekerasan hingga mengakibatkan kematian, tingkat perceraian yang tinggi, dan pelanggaran norma-norma yang berlaku di masyarakat. Keadaan sosial masyarakat Jepang yang berbeda dengan kondisi ideal tersebut ternyata menimbulkan masalah-masalah sosial.

Adanya kesamaan antara realitas Jepang saat novel Majutsu wa Sasayaku ditulis dengan gambaran sosial yang ada di dalam novel tersebut menarik untuk diteliti. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui apa saja realitas yang tergambar dalam novel yang dapat merefleksikan kondisi masyarakat. Penulis ingin meneliti bagaimana korelasi antara masalah sosial yang terekam pada novel Majutsu wa Sasayaku dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di Jepang

(3)

dalam rentang antara 1970-1980 berdasarkan latar waktu dalam novel. Selain itu, penulis ingin mengetahui apakah gambaran masyarakat dalam novel dapat merefleksikan realita yang terjadi pada masyarakat Jepang dan mempengaruhi pengarang dalam melukiskan keadaan sosial yang terjadi di lingkungannya ke dalam karya sastra.

Untuk mengidentifikasi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, penulis mengacu pada pendapat Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar (1999: 406-436), dan pendekatan sosiologi sastra menurut Ian Watt. Pendekatan sosiologi Ian Watt yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandangan kedua, yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat. Selain itu, analisis struktural juga diperlukan dalam penelitian ini untuk membantu penulis mengungkap masalah sosial yang terdapat dalam novel secara struktural.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana keterkaitan antarunsur dalam membangun struktur makna karya Majutsu wa Sasayaku?

2. Apa saja realitas sosial historis yang tergambar dalam novel Majutsu wa Sasayaku?

3. Bagaimana respon pengarang dalam menyikapi masalah sosial yang terjadi dilihat dari karya Majutsu wa Sasayaku?

(4)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk mendeskripsikan keterkaitan antarunsur dalam membangun struktur makna karya sastra, untuk mengklasifikasikan realitas sosial historis yang tergambar dalam novel, serta menjelaskan respon pengarang dalam menyikapi masalah sosial yang terjadi dilihat dari novel Majutsu wa Sasayaku.

1.4 Landasan Teori

Penulis menggunakan teori strukturalisme dan sosiologi sastra untuk menganalisis novel Majutsu wa Sasayaku. Teori strukturalisme digunakan untuk menganalisis struktur novel sehingga mengetahui keterkaitan antara tema dan fakta cerita. Fakta cerita tersebut adalah tokoh dan penokohan, serta latar. Selain itu, teori sosiologi juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan sosiologi menurut Ian Watt dan macam-macam masalah sosial menurut Soerjono Soekanto.

1.4.1 Teori Strukturalisme

Teori struktural yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tema, latar, serta tokoh dan penokohan, yang mana ketiga unsur tersebut dianggap penulis membantu dalam penelitian, sehingga penulis hanya akan menganalisis unsur-unsur tersebut. Antara tema, latar, serta tokoh berfungsi sebagai pembangun cerita, dimana ketiganya berhubungan untuk membentuk makna yang padu. Menurut Stanton dan Kelly, (via Nurgiantoro 1998: 67), tema adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Tema terbentuk melalui konflik-konflik antartokoh

(5)

yang terdapat dalam cerita. Tokoh juga berfungsi memperkuat keberadaan tema (Nurgiyantoro, 1995: 74). Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Ibid, 227).

1.4.2 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra, (via Semi, 1984: 53) adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Ian Watt (via Sapardi: 1978) membuat bagan dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah sosiologis suatu karya sastra menurut Ian Watt mencakup tiga hal:

a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca. (Semi, 1984: 54).

(6)

Ian Watt

Konteks sosial pengarang

Bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariaannya; apakah menerima bantuan dari pengayom, atau

dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap

Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang menganggap

pekerjaannya sebagai suatu profesi

Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; sebab macam masyarakat yang dituju menentukan bentuk dan isi

karya sastra

Sastra sebagai cermin masyarakat

Sastra tidak selalu dikatakan mencerminkan masyarakat saat ditulis,

sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan sudah tidak berlaku lagi

saat ditulis

Sifat “lain dari yang lain” pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam

karyanya

Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat

Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya

sastra sebagai cermin masyarakat

Fungsi sosial sastra (Sampai sejauh mana

nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial)

Sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak

Sastra bertugas sebagai penghibur belaka

Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur

(7)

Bagan di atas merupakan bagan hubungan antara pengarang, karya sastra dan pembaca menurut Ian Watt (via Damono, 1984: 3-4). Penulis menggunakan pandangan kedua dari Ian Watt, yaitu sastra sebagai cermin masyarakat, untuk mengetahui seberapa jauh sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat. Melalui bagan tersebut dapat diketahui bahwa yang terutama mendapat perhatian ada empat poin, dan berdasarkan empat poin tersebut penulis ingin meneliti apa saja keadaan sosial masyarakat yang dicerminkan ke dalam novel Majutsu wa Sasayaku dilihat dari pandangan dan pengaruh pengarang dalam memilih dan menampilkan fakta-fakta sosial ke dalam karya sastra.

1.4.3 Definisi Permasalahan Sosial

Berikut merupakan uraian mengenai definisi dan jenis masalah-masalah sosial yang penulis rangkum dari buku Sosiologi Suatu Pengantar karya Soerjono Soekanto, edisi keempat tahun 1999.

Masalah-masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan hidup kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Pada dasarnya, masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial, moral, dan tata kelakuan yang berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak (Soekanto, 1999: 399).

1.4.4 Jenis Masalah-masalah Sosial

(8)

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan bukan merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ditetapkannya taraf hidup tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial (Ibid: 406).

2. Kejahatan

Sosiologi berpendapat bahwa penyebab kejahatan adalah kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial saat kejahatan tersebut terjadi. Maka, angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses (Ibid: 408).

3. Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain:

(9)

a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan. Bentuk ini dapat digolongkan sebagai disorganisasi keluarga karena sang ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya, dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun keluarga pihak ibu.

b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dengan tempat tidur1, dan seterusnya.

c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara anggota-anggotanya.

d. Krisis keluarga, karena salah satu yang bertindak kepala keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan.

e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh faktor-faktor intern, misalnya karena terganggunya keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarganya (Ibid: 411 - 412).

4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern

Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan, yakni keinginan-keinginan untuk melawan (misalnya dalam bentuk radikalisme, delinkuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis. Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya, karena pada periode itu seseorang

1

Perpisahan meja dan tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan istri yang tidak mengakhiri perpisahannya. Akibat dari pisah meja makan dan ranjang ini adalah meniadakan kewajiban bagi suami istri untuk tinggal bersama (Jehani, 2008)

(10)

meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, menuju tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai krisis karena belum mempunyai pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Maka, ia memerlukan bimbingan, terutama dari orangtuanya (Ibid: 413 - 414).

5. Peperangan

Peperangan mungkin merupakan suatu masalah sosial yang paling sulit untuk dipecahkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Masalah peperangan berbeda dengan masalah sosial lainnya karena menyangkut beberapa masyarakat sekaligus, sehingga memerlukan kerjasama internasional yang hingga kini belum berkembang dengan baik. Peperangan mengakibatkan disorganisasi dalam pelbagai aspek kemasyarakatan, baik bagi negara yang keluar sebagai pemenang, apalagi yang mengalami kekalahan. Apalagi peperangan pada dewasa ini biasanya merupakan perang total, yaitu dimana tidak hanya angkatan senjata yang tersangkut, tetapi seluruh lapisan masyarakat (Ibid: 416).

6. Pelanggaran Terhadap Norma-norma Masyarakat

a. Pelacuran

Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah. Sebab-sebab terjadinya pelacuran tersebut haruslah dilihat dari faktor-faktor endogen dan eksogen. Di antara faktor-faktor endogen dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Di antara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor

(11)

ekonomis, urbanisasi yang tidak teratur, keadaan perumahan yang tak memenuhi syarat dan seterusnya. Usaha untuk mencegah pelacuran adalah dengan jalan meneliti gejala-gejala yang terjadi jauh sebelum adanya gangguan-gangguan mental, misalnya gejala insekuritas pada anak-anak perempuan, gejala membolos, mencuri kecil-kecilan dan sebagainya. Hal itu semuanya dapat dicegah dengan usaha pembinaan sekuritas dan kasih sayang yang stabil (Ibid: 417).

b. Delinkuensi Anak-anak

Delikuensi anak-anak adalah anak-anak yang mempunyai tingkah-laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang, dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya) tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas. Perbuatan-perbuatan seperti mengendarai kendaran bermotor secara sewenang-wenang, penggunaan obat-obat perangsang, pengedaran bahan-bahan pornografi, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berasal dari golongan mampu (Ibid: 417-418).

c. Alkoholisme

Masalah alkoholisme dan pemabuk pada kebanyakan masyarakat pada umumnya tidak berkisar pada apakah alkohol boleh atau dilarang dipergunakan. Umumnya orang awam berpendapat bahwa alkohol merupakan suatu stimulant, padahal sesungguhnya alkohol merupakan racun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Akibatnya, seorang pemabuk semakin kurang kemampuannya untuk mengendalikan diri, baik secara fisik, psikologis maupun

(12)

sosial. Dengan demikian, maka dari sudut aspek sosial yang penting adalah mencegah adanya pemabuk. Di samping itu, yang juga penting adalah menanggulangi keadaan dimana sudah ada pemabuk (Ibid: 418).

d. Homoseksualitas

Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksualnya. Homoseksualitas merupakan sikap, tindak, atau pola perilaku para homoseksual. Homoseksualitas dianggap sebagai tingkah-laku seksual antara dua orang yang sama jenis kelaminnya. Tingkah-laku itu mencakup saling memegang, mencium, melakukan hubungan seksual, dan seterusnya. Secara sosiologis, lingkungan sosial memberikan bentuk pada sikap-tindak homoseksual. Apabila hipotesis yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai naluri sebagai homoseksual, maka lingkunganlah yang memungkinkan berkembangnya naluri itu, atau mematikannya (Ibid: 424).

7. Masalah Kependudukan

Penduduk suatu negara, pada hakikatnya merupakan sumber yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk merupakan subyek serta obyek pembangunan. Tujuan utama dari suatu proses pembangunan adalah untuk secara bertahap meningkatkan produktivitas dan kemakmuran penduduk secara menyeluruh. Usaha-usaha tersebut dapat mengalami gangguan-gangguan, antara lain oleh pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, karena tingginya angka kelahiran. Masalah tingginya angka kelahiran akan dapat diatasi dengan

(13)

melaksanakan program keluarga berencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu dan anak-anak maupun keluarga serta bangsa secara menyeluruh. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dengan mengurangi angka kelahiran, sehingga pertumbuhan penduduk tidak melebihi kapasitas produksi (Ibid: 430).

8. Masalah Lingkungan Hidup

Pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan hidup manusia, baik yang bersifat fisik, biologis, maupun sosial, terdapat suatu bahan yang merugikan eksistensi manusia. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu akibat dari subsidi energi yang dimasukkan oleh manusia ke dalam lingkungan buatannya. Di samping itu, perbuatan-perbuatan atau tingkah-laku manusia dapat pula digolongkan dalam bahan pencemar yang kemudian menghancurkan dirinya sendiri (Ibid: 435).

9. Birokrasi

Birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas-tugas administratif. Di dalam sosiologi pengertian tersebut menunjuk pada suatu keadaan yang netral; artinya sosiologi tidak mempersoalkan apakah birokrasi itu bersifat menghambat ataukah melancarkan berputarnya roda pemerintahan. Makna pokok pengertian birokrasi terletak pada kenyataan bahwa organisasi tersebut menghimpun tenaga-tenaga demi jalannya organisasi tanpa terlalu menekankan pada tujuan-tujuan pokok yang hendak dicapai (Ibid: 436).

(14)

1.5 Metode Penelitian

Tahapan pertama adalah menganalisis struktural novel Majutsu wa Sasayaku yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, serta latar. Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain, karena tanpa itu kebulatan makna intrinsik tidak dapat ditangkap. Kebulatan makna intrinsik hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw via Pradopo, 2003: 141).

Untuk tahap yang kedua, karena dalam penelitian ini penulis meneliti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam novel, maka pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis untuk menganalisis adalah dengan cara studi pustaka, yaitu mengumpulkan data-data dari buku, artikel, kamus, jurnal, dan internet. Metode penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Menentukan objek material penelitian, dalam hal ini adalah novel misteri karya Miyabe Miyuki yang berjudul Majutsu wa Sasayaku, kemudian menerjemahkan novel tersebut.

2. Mengumpulkan referensi kepustakaan dan data yang berhubungan dengan objek penelitian tersebut.

(15)

4. Menentukan pendekatan yang akan digunakan untuk meneliti novel tersebut, yaitu dengan pendekatan sosiologi sastra.

5. Menganalisis unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, serta latar, dan keterkaitan unsur tersebut dalam membangun keterkaitan makna novel Majutsu wa Sasayaku dengan menggunakan teori strukturalisme.

6. Merekonstruksi masalah-masalah sosial apa saja yang terjadi di Jepang sesuai dengan latar waktu dalam novel. Rekonstruksi fakta masalah-masalah sosial di Jepang difokuskan pada tahun 1970-1980.

7. Mencari data-data literer yang terkait dengan masalah-masalah sosial yang tergambar dalam objek penelitian, yaitu novel Majutsu wa Sasayaku.

8. Mencari hubungan (korelasi) antara data historis dan data literer, kemudian menganalisisnya.

9. Menganalisis respon pengarang dalam menyikapi masalah-masalah sosial di Jepang dengan rentang waktu tersebut.

10. Membuat kesimpulan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan peninjauan dari pustaka maupun internet, tidak ditemukan penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra terhadap novel Majutsu wa Sasayaku di jurusan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada maupun di

(16)

Universitas lain di Indonesia. Penelitian dengan objek penelitian novel Majutsu wa Sasayaku telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan menggunakan teori lain. Penulis menemukan tiga peneliti yang sudah menggunakan objek tersebut. Dewi (2013), dalam skripsi yang berjudul “Analisis Emosi Tokoh dalam Novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyabe Miyuki” membahas tentang karakterisasi tiga tokoh utama yaitu tokoh Yoshitake, Mamoru, dan Harasawa dalam novel, serta menjelaskan klasifikasi emosi dari tokoh yang tergambar dalam novel tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra.

Kemudian Harnita (2013), dalam skripsi yang berjudul “Konflik Tokoh Utama dalam Novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyabe Miyuki”, dalam abstraksi skripsi tersebut diberitahukan bahwa peneliti menganalisis konflik yang terjadi dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyabe Miyuki yang dialami oleh tokoh utama Mamoru. Harnita tertarik untuk meneliti konflik tersebut karena di dalam novel Majutsu wa Sasayaku terdapat konflik yang mempengaruhi kehidupan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita. Peneliti menganalisis dengan menggunakan teori menurut Semi, yaitu struktur fiksi. Struktur fiksi yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah struktur dalam (intrinsik), yaitu perwatakan, latar, alur, dan konflik. Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif.

Lalu Kartika (2014), dalam skripsi yang berjudul “Motif pembunuhan oleh tokoh Shinjiro Harasawa dalam novel Majutsu wa Sasayaku karya Miyuki Miyabe”, mengkaji pada motif pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh yang bernama Shinjiro. Menurut peneliti, untuk membahas pembunuhan tersebut

(17)

diperlukan sebuah teori yang dapat mengungkapkan motif yang dilakukan Shinjiro. Maka, pendekatan teori yang tepat untuk menggambarkan motif pembunuhan adalah lingkaran motivasi oleh psikologi personologi Henry Murray. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motif pembunuhan yang dilakukan oleh Shinjiro disebabkan karena ada kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi dan muncul kebutuhan baru yang bersifat buruk, yang kemudian kebutuhan baru itu dapat terpenuhi dan menyebabkan tokoh tersebut bertingkah laku buruk.

Penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra sudah sering dipakai dalam suatu penelitian sastra. Penelitian mengenai masalah-masalah sosial pernah diteliti oleh Ningsih (2005), dalam skripsi yang berjudul “Realita-realita Sosial dan Masalah-masalah Sosial dalam Novel Nijuushi no Hitomi karya Tsuboi Sakae: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra”, yang membahas mengenai permasalahan sosial apa saja yang terdapat dalam novel dan kondisi masyarakat seperti apa yang digambarkan dalam novel dengan masyarakat Jepang.

Perbedaan dari penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah untuk objek materialnya, walaupun sudah ada tiga peneliti lain yang menggunakan novel Majutsu wa Sasayaku, pada penelitian ini penulis menganalis dari segi sosiologi, sedangkan pada penelitian sebelumnya menganalisis dari segi psikologi. Untuk objek formal yang sama, walaupun sama-sama mengkaji mengenai masalah-masalah sosial, perbedaannya terletak pada objek material, ruang lingkup penelitian, dan respon pengarang. Penelitian oleh Ningsih dengan Novel Nijuushi no Hitomi meneliti apa saja masalah sosial yang terjadi di Jepang dengan ruang

(18)

lingkup tahun 1930-an hingga berakhirnya Perang Dunia II, yaitu tahun 1945, sedangkan penelitian dengan Novel Majutsu wa Sasayaku inipenulis meneliti apa saja masalah-masalah sosial yang terjadi di Jepang dengan ruang lingkup tahun 1970-1980. Ruang lingkup tersebut dipilih berdasarkan latar waktu yang diceritakan dalam novel. Selain berusaha mencari korelasi antara realita sosial yang terjadi di Jepang tahun 1970-1980 dengan gambaran sosial dalam novel Majutsu wa Sasayaku, penulis juga mencari data-data mengenai respon pengarang terhadap realitas yang terjadi di masyarakat pada masa itu.

1.7 Sistematika Penyajian

Laporan penelitian ini disajikan dalam lima bab. Pembagian pembahasan tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab pertama berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tentang riwayat hidup pengarang dan riwayat kepengarangannya.

Bab ketiga berisi analisis struktural cerita, akan menyajikan ringkasan cerita dan analisis struktur cerita berupa tema, tokoh dan penokohan, latar, dan keterkaitan unsur tersebut dalam membangun keterkaitan makna novel untuk menunjang analisis sosiologi sastra.

(19)

Bab keempat berisi analisis sosiologi sastra terhadap objek penelitian, yaitu novel Majutsu wa Sasayaku, yang meliputi analisis mengenai realitas sosial historis di Jepang saat novel tersebut diciptakan, gambaran masyarakat dalam novel, serta respon pengarang dalam menyikapi masalah-masalah sosial di Jepang yang terungkap dalam novel.

Bab kelima berisi kesimpulan. Dalam laporan ini juga akan disertakan abstraksi dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang, daftar pustaka dan lampiran.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya perumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana persepsi mahasiswa Kebumen di Jogja terhadap Budaya

Bab 1 Pendahuluan, penulis menguraikan latar belakang, tujuan penelitian,  pembatasan  masalah,  metode  dan  teknik  penelitian  serta  organisasi  penulisan. 

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah penggunaan model indeks tunggal dalam

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apa Saja Faktor Yang Berhubungan Dengan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah feedback negatif

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang sudah di urai sebelumnya, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui eksplorasi hubungan antara

1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas yaitu “Bagaimana membangun aplikasi pembelajaran huruf abjad dan angka bilangan

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh penyuluhan tentang bayi baru lahir pada ibu