• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI REINDUSTRIALISASI-Prof Mudrajad Kuncoro (Kompas, 14 Desember 2016)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI REINDUSTRIALISASI-Prof Mudrajad Kuncoro (Kompas, 14 Desember 2016)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI REINDUSTRIALISASI

Oleh: Mudrajad Kuncoro

Sumber: Kompas, Rabu 14 Desember 2016, halaman 6.

Pasca dua tahun Pemerintah Jokowi-JK tanggal 20 Oktober 2016, deindustrialisasi masih terja di. Industri manufaktur mengalami pertumbuhan sebesar 4,56 persen pada

triwulan III 2016, yang sedikit lebih

rendah

dibandingkan

pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5 persen. Kendati

nilai

tambah yang disumbangkan sektor industr i mencapai 1 9 , 9 persen dari PDB, kinerja ini masih jauh

dari yang ditetapkan pemerintah

sekitar 21 persen terhadap PDB selama 2015-2016. Gejala deindustrialisasi yang berlangsung sejak 200

(2)

1

perlu segera dicari akar masalahnya dan “obat” yang cespleng.

Arah kebijakan

Dari Sembilan Nawacita yang dicanangkan pemerintah Jokowi-JK, ada tiga agenda yang terkait dengan pengembangan industri. Pertama, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan

menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedua, meningkatkan produktivitas rakyat dan dayasaing di pasar internasional. Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Arah kebijakan pembangunan industri nasional telah digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Publikasi Kementerian Perindustrian,

yang berjudul Industr

y Facts & Figures

2016

, menyatakan p

embangunan industri diarahkan pada pengembangan perwilayahan industri di luar pulau Jawa, penumbuhan populasi industri, serta peningkatan dayasaing dan produktivitas

.

Pengembangan wilayah industri mencakup wilayah pusat yang berada di koridor ekonomi, kawasan industri, sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM), kawasan ekonomi khusus, kawasan berikat, dan juga kawasan perdagangan bebas. Penumbuhan populasi industri dilakukan dengan menambah setidaknya sekitar 9.000 industri berskala besar dan sedang dengan harapan 50 persen tumbuh di luar pulau Jawa, serta tumbuhnya 20.000 unit usaha industri kecil. Peningkatan dayasaing dan produktivitas dengan berbagai strategi,

termasuk

peningkatan efisiensi teknis, penguasaan iptek

dan inovasi, pengembangan produk baru, serta fasilitasi dan pemberian insentif untuk meningkatkan dayasaing.

Berbagai paket kebijakan sudah diluncurkan. Kita mencatat setidaknya pemerintah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah sektor terbesar penyumbang PDB ini dengan: Pertama, meningkatkan nilai tambah dengan hilirisasi industri. Kedua, strategi akselerasi industri dengan memberikan insentif fiskal berupa tax holiday untuk 8 industri utama, pengembangan

infrastruktur dengan skema public-private

(3)

Negatif Investasi dengan Perpres No. 44/2016 setidaknya untuk getah karet dan bahan baku farmas. Ketigai, berbagai kebijakan pendukung termasuk konektivitas penyediaan energi dan peningkatan tenaga kerja trampil untuk industri.

Sayangnya, efektifitas kebijakan tersebut mulai dipertanyakan. Sektor industri, masih “jalan di

tempat” dan tumbuh di

bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional. S

ektor ini menghadapi masalah deindustrialisasi berupa menurunnya jumlah perusahaan, menciutnya penciptaan lapangan kerja, dan menurunnya sumbangan industri terhadap PDB. Data BPS menunjukkan dari tahun 2006 sampai dengan 2014 jumlah perusahaan besar di Indonesia cenderung menurun: jumlah perusahaan besar tahun 2006 sebanyak 29.468 kemudian menurun hingga tahun 2014 menjadi 24.529. Namun kenaikan jumlah perusahaan tidak diikuti dengan kenaikan penyerapan tenaga kerja. Inilah yang disebut

jobless growth

. Kenaikan upah minimum di berbagai daerah yang mencapai 8-20 persen menyebabkan banyak industri mengurangi karyawan tetapnya dan lebih suka menggunakan tenaga kontrak atau paruh waktu.

Indikator deindustrialisasi yang lain adalah menurunnya sumbangan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia. Kontribusi sektor industri pada triwulan III 2016 tinggal 19,9 persen, yang anjlok dibandingkan

tahun

-tahun sebelumnya yang masih di atas 20 persen bahkan pernah mencapai 29 persen. Bahkan bila dirinci,

pada triwulan ketiga 2016 ,

sektor industri nonmigas hanya menyumbang sebesar 17,82 persen dari PDB Indonesia.

Akar Penyebab

Ada beberapa penyebab deindustrialisasi. Pertama, gejala deindustrialisasi telah menjadi isu besar di negara-negara maju maupun berkembang, termasuk Indonesia, dengan hengkangnya pabrik-pabrik industri pengolahan ke India, Vietnam, dll. untuk mengejar upah buruh yang lebih murah. Bagi industri padat karya, komponen upah dan  gaji pekerja berkisar antara 12 hingga 34 persen dari total biaya. Untuk industri yang tergolong footloose atau cost minimisers, perusahaan gampang hengkang ke daerah atau negara lain yang menawarkan upah buruh lebih murah.

(4)

Kedua, di negara-negara lain, gejala deindustrialisasi muncul belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh masuknya produk-produk murah dari China. Sejak perjanjian Area

Perdagangan Bebes (FTA) diberlakukan, maraknya barang-barang impor dari China, yang harganya murah dan kualitasnya rendah, telah merontokkan industri lokal satu demi satu, setidaknya mengurangi pangsa pasar produk-produk industri dalam negeri. Faktor luar, persaingan dari China yang dengan penuh kekuataan membanjiri dunia dengan produk industrinya. Ini belum ditambah dengan liberalisasi produk dan jasa paska diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Ketiga, semakin meningkatnya negara kita menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan porsi konsumsi rumah tangga yang berkisar antara 55-58% selama 10 tahun terakhir, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang

manufaktur, dan masih tingginya kandungan impor di hampir sebagian besar industri nasional. Masih lemahnya struktur industri Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak  semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, bahkan tarafnya akan selalu meningkat dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya jika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, maka impor negara ini akan makin meningkat. Kita buru-buru beralih ke strategi promosi ekspor, padahal strategi substitusi impor belum tuntas dilakukan untuk industri manufaktur utama.

Keempat, masih kurangnya dukungan universitas dan lembaga riset dalam membantu mengatasi masalah utama yang dihadapi oleh industri. Masih minimnya hak paten (HAKI), rendahnya riset yang berorientasi industri, serta minimnya publikasi dosen dan peneliti merupakan fakta yang perlu diatasi oleh kementerian terkait. Akibatnya bagi sektor industri adalah lambatnya transfer teknologi, kurang pro-aktif dalam penetrasi pasar ekspor, lemahnya pengembangan produk maupun perbaikan proses produksi. Harus diakui kita tertinggal dari negara-negara lain dalam kemitraan antara industri dan universitas/lembaga riset. Padahal kisah sukses industri Jepang dan Korea Selatan ditopang oleh kemitraan antara universitas dan industri yang amat mendukung pengembangan sistem inovasi nasional, mengelola

ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual.

Transformasi ke Negara Industri?

Kita perlu belajar dari pengalaman Jepang menata industri dan meningkatkan dayasaingnya. Mekanisme pemerintah Jepang mengarahkan perkembangan ekonomi disebut gyosei-shido,

(5)

semacam panduan administratif yang mencakup insentif perdagangan, pasar tenaga kerja, persaingan, dan perpajakan (Ken Duck, “Now That the Fog Has Lifted: The Impact of Japan’s Administrative Procedures Law on the Regulation of Industry and Market Governance”,

Fordham International Law Journal

, 19(4), 1995). Di bidang industri setidaknya ada tiga elemen kebijakan: Pertama,

mengembangkan sektor industri manufaktur yang memiliki dayasaing yang tinggi. Kedua, restrukturisasi industri secara terencana menuju industri yang memiliki produktivitas, penyerap tenaga kerja, penyumbang nilai tambah dan devis

a

tinggi. Ketiga, strategi bisnis internasional dan domestik yang agresif.

Dalam konteks inilah, sektor industri agaknya membutuhkan reformasi kebijakan yang mendasar. Mungkin berupa paket kebijakan yang lebih menyeluruh

, holistik, dan tidak hanya “dibebankan” kepada Kementerian Perindustrian .

Inilah yang disebut strategi reindustrialisasi. Pertama,

menghentikan gejala deindustrialisasi dengan mengkaji sumber dan akar masalah yang dihadapi semua subsektor dan kluster industri. Studi Suhardi & Kuncoro (2013) menemukan bahwa deindustrialisasi tekstil dan garment di Surakarta dan Karanganyar diakibatkan

meningkatnya upah buruh, harga BBM, biaya bunga dan sewa, serta berbagai pungutan liar.

Kedua, insentif fiskal dan nonfiskal perlu diberikan bagi industri yang banyak menyerap tenaga kerja, pencipta nilai tambah tinggi,

dan berorientasi ekspor, baik berupa fasilitas pajak, kawasan khusus, dan

kemudahan perijinan.

Ketiga, perlu rencana aksi yang jelas bagaimana menggenjot hilirisasi dan hulunisasi industri. Hulunisasi hakekatnya adalah strategi substitusi impor masih perlu difokuskan untuk industri yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Sebaliknya hilirasasi adalah

menumbuhkembangkan i

ndustri hilir di bidang agribisnis

yang kita memiliki potensi besar seperti perikanan, kakao, kelapa sawit .

(6)

pembangunan kawasan industri, perlu dipercepat. Hal ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sentris, bukan Jawa sentris.

Pemerintah menargetkan untuk menciptakan 14 kawasan industri di luar Pulau Jawa. Harus diakui, kebijakan industri kita selama ini bersifat aspasial (

spaceless

), mengabaikan di mana lokasi industri berada. P

erspektif baru kebijakan industri lebih mendukung tindakan horisontal dan menolak target sektoral.

P

erspektif spasial pembangunan industri, dengan berbasis kluster, merupakan salah satu faktor kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan industri.

Observasi di lapangan menunjukkan setidaknya ada empat kendala dalam mengembangkan

industri di luar Pulau Jawa , yaitu infrastruktur,

tata ruang, Sumber Daya Manusia (SDM), dan minat pembangunan. Pertama, infrastruktur pendukung seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan air kondisinya kurang memadai. Kedua, tata ruang karena belum semua kabupaten atau kota telah mempersiapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), khususnya kawasan industri. Permasalahan berikutnya yaitu SDM, sebab kemampuan tenaga kerja dan SDM industrial yang terlatih di daerah masih kurang. Kondisi ini turut membuat pertumbuhan industri di luar pulau Jawa tidak se

pesat

Pulau Jawa. Terakhir, minat swasta untuk membangun kawasan industri yang baru, terutama ke luar Jawa juga masih kurang.

Dengan berbagai reformasi kebijakan tersebut, target RPJMN dan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional tidak mustahil akan dicapai. Sejarah yang nanti akan mencatat apakah Indonesia akan menjadi negara industri atau jasa pada tahun 2030?

* Mudrajad Kuncoro, adalah ketua program studi Doktor Ilmu Ekonomi FEB UGM; penulis 42 buku.al..“Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri 2030?”.

Referensi

Dokumen terkait