Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
PEMBUATAN PETA KECEPATAN ANGIN UNTUK JAWA BARAT
DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK
WEATHER RESEARCH AND FORECASTING
GENERATING WIND VELOCITY MAP OF WESTERN JAVA USING
WEATHER RESEARCH AND FORECASTING SOFTWARE
Nanda Avianto Wicaksono, Marlina Pandin, Nurry Widya Hesty
Puslitbangtek Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
nandaavianto@gmail.com
ABSTRAK
Untuk mengembangkan pemanfaatan energi baru terbarukan yang bersumber dari angin di Indonesia, telah dilakukan pembuatan peta kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah untuk wilayah Jawa bagian Barat dengan melakukan proses downscaling
menggunakan perangkat lunak Weather Research and Forecasting (WRF). Peta yang dibuat memiliki grid 3 km dan time sampling 3 jam serta telah divalidasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan pada koordinat 7.22o LS, 106.52o BT. Hasil validasi tersebut menunjukkan korelasi antara 0.6572-0.7463 dan RMSE antara 1,5280-1,8494 m/s.
Kata kunci: peta, kecepatan angin, Weather Research and Forecasting (WRF), downscaling, domain, grid
ABSTRACT
To develop the use of renewable energy in Indonesia which is based on wind energy, we have generated wind velocity map at the height of 10 m above ground in Western Java by downscaling process using scientific software Weather Research and Forecasting (WRF). The map has a grid size of 3 km and a sampling time of 3 hours. The map has been validated with the field measurement data at the coordinate of 7.22o S Lat., 106o E Long. The results of the validation shows correlation ranges from 0,6572 to 0,7463 and RMSE ranges from 1,5280 to 1,8494 m/s.
Keywords: map, wind velocity, Weather Research and Forecasting (WRF), downscaling, domain, grid
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampai saat ini, konsumsi energi Indonesia masih didominasi oleh penggunaan energi yang berasal dari fosil. Hal ini tercermin dengan tingginya kontribusi minyak, gas, dan batubara dalam bauran energi nasional tahun 2011, yaitu masing-masing sebesar 46,9, 21,9, dan 26,4%.
Sisanya, hanya 4,8% yang dapat diisi energi yang berasal dari geotermal dan hidro.[1]
Ketergantungan terhadap energi fosil terutama bahan bakar minyak (BBM) tersebut mengakibatkan tingginya beban subsidi BBM dan listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Antara tahun 2011 dan 2012, telah terjadi peningkatan subsidi BBM dari Rp. 95,9 trilyun menjadi Rp. 123,6
trilyun dan subsidi listrik dari Rp. 40,7 trilyun menjadi Rp. 44,9 trilyun. Hal ini mengakibatkan peningkatan kontribusi beban subsidi energi dalam belanja pemerintah dari sebelumnya 11,2% menjadi 11,7%.[2],[3]
Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi subsidi energi tersebut adalah dengan mendorong peningkatan kontribusi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi 17% pada tahun 2025.[4] Salah satu sumber energi baru terbarukan yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah energi angin.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber energi angin[4] sebesar 9,29 GW atau setara 32,4% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik[5] yang beroperasi pada tahun 2011. Namun, baru 0,0006 GW yang telah dimanfaatkan, atau sekitar 0,0065% dari potensi yang ada.[4]
Pemerintah telah menargetkan pembangunan 0,08 GW pembangkit listrik
tenaga bayu (PLTB) baru setiap tiga tahun, atau 0,2 GW total kapasitas terpasang PLTB pada tahun 2025 dapat tercapai.[4]
Sebelum membangun infrastruktur-infrastruktur berbasis energi angin, dibutuhkan data berupa peta potensi energi angin dengan grid minimal 3 km. Namun, hingga saat ini peta tersebut belum tersedia.
Peta potensi energi angin umumnya menggunakan variabel kecepatan angin untuk mewakili potensi daya yang dapat dibangkitkannya. Pada Tabel 1 ditampilkan hubungan antara kecepatan dan densitas daya angin.[6]
Untuk mendapatkan potensi daya listrik yang dapat dibangkitkan oleh sebuah PLTB, digunakan hukum Betz. Hukum Betz menyatakan bahwa potensi daya listrik yang dapat dibangkitkan merupakan fungsi dari densitas daya seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 dan satu variabel lain, yaitu rotor diameter.[7]
Tabel 1. Hubungan antara kecepatan dan densitas daya angin[6]
Kelas Daya Angin
Ketinggian di atas permukaan tanah (m)
10 m 50 m Densitas daya angin (W/m2) Rata-rata kecepatan angin (m/s) Densitas daya angin (W/m2) Rata-rata kecepatan angin (m/s) 1 0 – 100 0 – 4,4 0 – 200 0 – 5,6 2 100 – 150 4,4 – 5,1 200 – 300 5,6 – 6,4 3 150 – 200 5,1 – 5,6 300 – 400 6,4 – 7,0 4 200 – 250 5,6 – 6,0 400 – 500 7,0 – 7,5 5 250 – 300 6,0 – 6,4 500 – 600 7,5 – 8,0 6 300 – 400 6,4 – 7,0 600 – 800 8,0 – 8,8 7 400 – 1.000 7,0 – 9,4 800 – 2.000 8,8 – 11,9
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
Peta potensi kecepatan angin dihasilkan dengan melakukan proses downscaling
terhadap sebuah data global final reanalysis (FNL) yang dikeluarkan oleh National Center for Environment Prediction (NCEP).[8] Data global FNL tersebut memiliki grid 1o atau 111 km.Proses downscaling ini dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Weather Research and Forecasting (WRF). Perangkat lunak WRF yang dikelola The Mesoscale and Microscale Meteorology Division dari The National Center for Atmospheric Research
(NCAR) ini merupakan perangkat lunak yang berjalan di atas sistem operasi Linux, bersifat publik domain, dan free untuk komunitas penelitian di bidang cuaca dan iklim.[9]
Downscaling sendiri adalah suatu teknik untuk menaikkan resolusi dengan cara menurunkan gird pada parent domain
menjadi grid yang lebih kecil pada nest domain. Downscaling tidak sekedar memotong sebagian data parent domain dan menjadikannya sebagai data nest domain, namun melakukan juga proses interpolasi data dari satu grid besar pada parent domain
menjadi beberapa grid yang lebih kecil pada
nest domain. Gambar 1 mengilustrasikan proses downscaling dan dilengkapi dengan
parent domain, nest domain, dan grid.[10]
Tujuan
Sebagai langkah awal Pemerintah mengembangkan peta potensi energi angin, penelitian ini ditujukan secara khusus untuk
membuat peta kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah untuk wilayah Jawa bagian Barat dengan melakukan proses downscaling menggunakan perangkat lunak WRF. Peta yang dihasilkan memiliki grid 3 km, time sampling 3 jam, dan divalidasi dengan menggunakan data hasil pengukuran lapangan yang telah dilakukan P3TKEBTKE pada tahun 2008.
parent domain nest domain
grid
pada nest domain
grid
pada parent domain
Gambar 1. Parent domain, nest domain, dan
grid-nya pada proses downscaling
METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan mendefinisikan koordinat sudut Barat Laut dan Tenggara dari ketiga domain yang digunakan selama proses downscaling. Pada Tabel 2, ditunjukkan koordinat sudut dari ketiga domain yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan letaknya diilustrasikan pada Gambar 2.
Tabel 2. Koordinat sudut tiga domain yang digunakan selama proses downscaling Domain Sudut Barat Laut Sudut Tenggara
1 2.93o LS 102.87o BT 9.73o LS 110.937o BT
2 4.31◦ LS 104.01◦ BT 8.60◦ LS 109.796◦ BT
3 5.34◦ LS 104.88◦ BT 8.06◦ LS 108.439 BT
Gambar 2. Letak ketiga domain yang digunakan selama proses downscaling
Selain koordinat sudut, didefinisikan juga grid dan time sampling yang akan dihasilkan. Grid yang digunakan dalam penelitian ini adalah 27 km, 9, dan 3 km masing-masing untuk domain 1, 2 dan 3. Sedangkan time sampling yang diinginkan adalah 3 jam.
Proses downscaling dilakukan melalui tiga tahap. Pertama adalah tahap proses
downscaling terhadap data global FNL untuk dihasilkan data pada domain 1. Kemudian dilanjutkan dengan proses downscaling
terhadap data pada domain 1 untuk menghasilkan data pada domain 2. Selanjutnya, proses downscaling terhadap data pada domain 2 untuk menghasilkan data pada domain 3.
Berikutnya, hasil pengolahan WRF
pada domain 3 divalidasi dengan cara membandingkannya dengan data pengukuran lapangan pada koordinat 7.22o LS, 106.52o BT. Validasi dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, hasil downscaling WRF dibandingkan dengan data pengukuran lapangan. Pembandingan dilakukan dalam dua domain, yaitu domain waktu dan domain
frekuensi. Agar dapat melakukan perbandingan pada domain frekuensi, kedua data harus terlebih dahulu dikonversi dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Hasil konversi FFT merupakan representasi data pada domain frekuensi, sehingga dapat dianalisis perbandingannya untuk masing-masing frekuensi.[11]
Pada persamaan (1), ditampilkan rumus perhitungan FFT dengan n merupakan indeks pada domain waktu, p sebagai indeks pada
domain frekuensi, x(n) merupakan representasi data pada domain waktu, dan
X(p) adalah representasi data yang sama namun pada domain frekuensi.[11]
𝑋 𝑝 = 𝑁−1𝑥 𝑛 exp(−𝑗2𝜋𝑁 𝑛𝑝)
𝑛=0 ,
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
Sedangkan analisis kuantitatif, digunakan dua metoda perhitungan statistik, yaitu korelasi dan Root Mean Square Error (RMSE).[10] Perhitungan korelasi digunakan untuk mengetahui kedekatan hubungan antara hasil downscaling dan data pengukuran lapangan. Nilai korelasi memiliki rentang nilai antara -1 hingga 1. Korelasi yang mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa kedua data yang dibandingkan memiliki hubungan berbanding lurus dan fasa yang sama, sedangkan korelasi yang mendekati nilai -1 menunjukkan bahwa kedua data memiliki hubungan yang berbanding lurus namun memiliki fasa yang terbalik atau berlawanan arah. Sedangkan jika kedua data tidak memiliki kedekatan hubungan, maka nilai korelasinya akan mendekati nilai 0. Menurut Chin, kedekatan hubungan antara dua data dapat dikatakan kuat, moderat, atau lemah jika kuadrat korelasi mencapai nilai 0,67, 0,33, atau 0,19.[12]
Sedangkan perhitungan RMSE, digunakan untuk mengetahui error antara hasil downscaling dengan data pengukuran lapangan. Semakin besar nilai RMSE
mengindikasikan error antara kedua data yang dibandingkan semakin besar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Gambar 3, ditampilkan peta kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah yang merupakan hasil proses downscaling menggunakan perangkat lunak WRF. Peta yang dihasilkan memiliki
grid 3 km dan time sampling 3 jam. Warna-warna yang ditampilkan pada peta mengindikasikan range kecepatan angin tertentu.
Hasil downscaling pada Gambar 3 menunjukkan bahwa di Jawa Barat terdapat dua daerah yang memiliki kecepatan angin di atas 6 m/s, yaitu: daerah Ujungkulon dan daerah selatan Pelabuhanratu. Kedua daerah memiliki ketinggian tanah yang relatif rendah dan permukaan yang datar/rata (lihat dominasi warna hijau pada zone Z1 dan Z2 pada Gambar 4). Akibatnya, angin musim timur seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah A1 pada Gambar 3 dan 4 dapat mengalir tanpa mengalami hambatan yang signifikan ketika mengalir melalui zone Z1 dan Z2.
Sebaliknya, daerah lainnya terutama bagian tengah Jawa Barat didominasi oleh gunung-gunung, seperti yang terlihat dalam zone Z0 pada Gambar 4. Akibatnya, angin musim timur seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah A2 pada Gambar 3 dan 4 akan mengalami hambatan yang cukup signifikan ketika mengalir melalui zone Z0, sehingga kecepatan angin yang melalui daerah tersebut menjadi rendah.
Selain warna-warna yang mewakili
range kecepatan angin, pada Gambar 3 juga ditunjukkan letak koordinat dari titik pengukuran lapangan yang digunakan untuk validasi. Koordinat titik pengukuran tersebut adalah 7.22o LS, 106.52o.
(7.22o LS, 106.52o BT) Ujungkulon dan sekitarnya Selatan Pelabuhanratu
A1
A2
Z0
Gambar 3. Peta kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah hasil downscaling dan letak koordinat 7.22o
LS, 106.52o BT sebagai titik validasi
Selanjutnya, pada Gambar 5 ditampilkan distribusi peluang kecepatan angin hasil downscaling WRF pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah pada titik pengukuran di lapangan. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa peluang munculnya kecepatan angin pada rentang nilai 5,7–8,8 dan 8,8–11,1 m/s adalah 67,3 dan 8,2%. Dengan demikian, peluang munculnya kecepatan angin di atas 5,7 m/s dapat mencapai 75,5%.
Dengan menggunakan grafik hukum Betz, ditunjukkan bahwa lokasi pengukuran lapangan memiliki potensi untuk dibangun PLTB dengan kapasitas antara 50-100 kW (Gambar 6).[7]
A2
Z0
Z1
Z2
A1
Gambar 4. Peta Jawa Barat yang menunjukkan zona Z0 yang didominasi oleh gunung-gunung serta zona Z1 dan Z2 yang didominasi dataran rendah
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
Gambar 5. Distribusi peluang kecepatan angin hasil downscaling WRF pada koordinat 7,22o LS, 106,52o BT pada tanggal 1-4 Juni, 1-4 Juli, dan 1-4 Agustus 2008
Berpotensi dibangun PLTB dengan kapasitas
antara 50 - 100 kW
Gambar 6. Kurva Hukum Betz tentang potensi daya listrik yang dapat dibangkitkan PLTB sebagai fungsi kecepatan angin dan rotor diameter[7]
Pada Gambar 7, ditampilkan windrose
yang dihasilkan proses downscaling pada tanggal 1-4 Juni, 1-4 Juli, dan 1-4 Agustus tahun 2008. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa windrose didominasi oleh angin yang mengalir menuju arah Barat Laut (lihat tanda panah).
Arah angin menuju arah Barat Laut tersebut sesuai dengan arah angin musim Timur yang bertiup pada bulan April– Oktober, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Antara bulan-bulan tersebut, belahan selatan bumi mengalami musim dingin sedangkan belahan utara terjadi musim Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Weather Research And Forecasting
panas. Akibatnya, tekanan di belahan selatan lebih tinggi daripada belahan utara, sehingga angin bertiup dari selatan (Australia) menuju
utara (Asia) melalui Indonesia bagian Selatan.[13]
(a) (b)
(c)
Gambar 7. Windrose ketinggian 10 m dari permukaan tanah yang dihasilkan proses downscaling
pada koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal (a) 1-4 Juni 2008, (b) 1-4 Juli 2008, dan (c) 1-4 Agustus 2008
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
Berikutnya, peta yang dihasilkan proses
downscaling divalidasi dengan menggunakan metode kualitatif. Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan data hasil
downscaling dengan data hasil pengukuran lapangan. Perbandingan dilakukan dalam dua domain, yaitu domain waktu dan domain
frekuensi. Perbandingan pada domain waktu dapat dilihat pada Gambar 9, 11, dan 13, sedangkan perbandingan hasil konversi FFT
pada domain frekuensi ditampilkan pada Gambar 10, 12, dan 14. Pada penelitian ini, nilai N dan frekuensi dasar yang digunakan pada konversi FFT adalah 32 dan
0,0104
jam
-1.
Perbandingan pada domain frekuensi menunjukkan bahwa kedua data baik hasil
downloading maupun pengukuran lapangan didominasi oleh sinyal-sinyal penyusun yang memiliki frekuensi antara kenol hingga ketujuh terhadap frekuensi dasar. Sinyal-sinyal penyusun dominan tersebut ditunjukkan pada spektum frekuensi A pada Gambar 10, 12, dan 14. Spektum frekuensi A tersebut yang berada di bawah frekuensi keenam belas atau separuh dari nilai N FFT
sehingga dapat dikatakan bahwa time sampling yang digunakan dalam proses
downscaling sesuai dengan kondisi angin yang terjadi di lapangan.
Pada Gambar 9, ditampilkan grafik
domain waktu perbandingan antara data hasil
downscaling dan hasil pengukuran lapangan pada tanggal 1-4 Juni 2008. Secara umum, tren perubahan hasil downscaling pada kurva c2 dan d2 dapat mengikuti tren perubahan hasil pengukuran lapangan. Namun, pada rentang waktu E antara 1 Juni 2008 pukul 15:00 hingga 2 Juni 2008 pukul 21:00, tren perubahan kurva a1-b2 pada hasil pengukuran lapangan hanya dapat diikuti oleh hasil
downscaling dengan tren perubahan kurva a2-b1. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa kapsul sinyal kurva a1-b2 pada domain waktu bentuk yang mirip dengan kapsul sinyal kurva a2-b1. Kemiripan kapsul sinyal pada rentang waktu E muncul dalam bentuk kemiripan kapsul sinyal pada domain frekuensi. Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa distribusi amplitude hasil downscaling dan hasil pengukuran pada domain frekuensi memiliki bentuk kapsul yang relatif sama pada frekuensi dasar kedua sampai keenam, namun dengan amplitudo hasil downscaling yang lebih kecil daripada hasil pengukuran (lihat b pada Gambar 10). Perbedaan yang cukup besar terjadi pada frekuensi keempat. Sinyal frekuensi keempat tersebut ekuivalen dengan sinyal pada domain waktu yang memiliki periode 24 jam. Periode ini cocok dengan selang waktu E pada Gambar 9.
a1 a2 b1 b2 c2 v2 d2 v1 E 24 jam
Gambar 9. Perbandingan pada domain waktu antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Juni 2008
A A
b b
Hasil downscaling (blue)
Hasil pengukuran (red)
p
X
(p
)
4 28
Gambar 10. Perbandingan pada domain frekuensi antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Juni 2008
Pada Gambar 11, ditampilkan grafik
domain waktu perbandingan antara data hasil
downscaling dan hasil pengukuran lapangan pada tanggal 1-4 Juli 2008. Secara umum, tren perubahan hasil downscaling pada kurva c1 dan c2 dapat mengikuti tren perubahan hasil pengukuran lapangan. Namun, pada rentang waktu F antara 2 Juli 2008 pukul 00:00 hingga 4 Juli 2008 pukul 03:00, tren
hasil downscaling tidak mengikuti tren perubahan hasil pengukuran lapangan. Kecepatan angin pada hasil pengukuran mengikuti bentuk kurva d2 yang mendekati bentuk kapsul sinyal sinusoidal dengan frekuensi tertentu.
Kapsul sinyal yang bentuk sinusoidal tersebut diindikasikan oleh bentuk sinyal yang memiliki frekuensi keempat pada
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
domain frekuensi (Gambar 12). Sinyal frekuensi keempat ini juga ekuivalen dengan sinyal pada domain waktu, yang memiliki
periode 24 jam. Periode ini cocok dengan bentuk sinyal pada selang waktu F pada Gambar 11. c1 c2 d2 F 24 jam
Gambar 11. Perbandingan pada domain waktu antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Juli 2008
A A
b
b
Hasil downscaling (blue) Hasil pengukuran (red)
p
X
(p
)
4 28
Gambar 12. Perbandingan pada domain frekuensi antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Juli 2008
Pada Gambar 13, ditampilkan grafik
domain waktu perbandingan antara data hasil
downscaling dan hasil pengukuran lapangan
pada tanggal 1-4 Agustus 2008. Secara umum, tren perubahan hasil downscaling
pada kurva c1 dan c2 dapat mengikuti tren Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Weather Research And Forecasting
perubahan hasil pengukuran lapangan, meskipun terjadi perbedaan yang tidak signifikan antar-keduanya. Perbedaan yang tidak signifikan juga dibuktikan dengan
perbedaan amplitudo yang kecil pada domain
frekuensi antara hasil downscaling dan hasil pengukuran lapangan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14.
c1
c2
Gambar 13. Perbandingan pada domain waktu antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Agustus 2008
A A
b b
Hasil downscaling (blue) Hasil pengukuran (red)
p
X
(p
)
Gambar 14. Perbandingan pada domain frekuensi antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran di koordinat 7.22o LS, 106.52o BT pada tanggal 1-4 Agustus 2008
Analisis pada domain frekuensi menunjukkan bahwa time sampling yang digunakan dalam proses downscaling telah sesuai dengan kondisi angin yang terjadi di
lapangan, meskipun membutuhkan koreksi terhadap perubahan kecepatan angin yang memiliki karakteristik sinusoidal pada frekuensi keempat terhadap frekuensi dasar.
Vol. 11 No. 2 Desember 2012 : 137 - 150
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode perhitungan korelasi dan RMSE antara data hasil downscaling
menggunakan WRF dengan data pengukuran lapangan pada 7.22o LS, 106.52o BT. Hasil perhitungan menunjukkan nilai korelasi antar kedua data berada pada kisaran antara 0.6572-0.746, sedangkan RMSE berkisar antara 1,5280-1,8494 m/s (lihat Tabel 3).
Menurut Chin,[12] kuadrat korelasi yang berada pada kisaran 0,4319-0,5569 (lihat Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat kedekatan hubungan yang moderat antara data hasil downscaling dan data hasil pengukuran lapangan, sehingga hasil
downscaling menggunakan perangkat lunak
WRF dapat digunakan untuk memprediksi potensi kecepatan angin di lapangan.
Tabel 3. Korelasi dan RMSE antara data hasil downscaling dan pengukuran lapangan
Tanggal Korelasi Kuadrat
Korelasi RMSE (m/s) 1-4 Juni 0,6962 0,4847 1,8494 1-4 Juli 0,7463 0,5569 1,7817 1-4 Agustus 0,6572 0,4319 1,5280 KESIMPULAN
Proses downscaling dengan menggunakan perangkat lunak Weather Research and Forecasting terhadap data global FNL telah menghasilkan peta kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah untuk wilayah Jawa bagian Barat. Peta tersebut memiliki grid 3 km, time sampling 3 jam dan telah divalidasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan pada
koordinat 7.22o LS, 106.52o BT. Hasil validasi tersebut menunjukkan korelasi antara 0,6572-0,7463 dan RMSE antara 1,5280-1,8494 m/s. Dengan nilai korelasi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa terdapat kedekatan hubungan yang moderat antara data hasil
downscaling dan data hasil pengukuran lapangan, sehingga hasil downscaling
menggunakan perangkat lunak WRF ini dapat digunakan untuk memprediksi potensi kecepatan angin di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Syahrul, A., Dewi, E.L., dan Rivaldi, M., 2012, Energi Terbarukan: Keadaan Indonesia dan Program Energi LIPI.
Makalah dalam Seminar Workshop Energi Terbarukan, Memperkuat Kemandirian Energi Nasional, Bandung: Kementerian Riset dan Teknologi. [2] Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2011.
[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012.
[4] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2007, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, Jakarta: Kementerian ESDM. [5]
http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39- listrik/5453-kelistrikan-sepanjang-2011-Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Weather Research And Forecasting
membaik. html yang diakses pada tanggal 29 September 2012.
[6] Elliott, D.L., Holladay, C.G., Barchet, W.R., Foote, H.P., and Sandusky, W.F., 1986, Wind Energy Resource Atlas of the United States, Washington: Solar Technical Information Program - Solar Energy Research Institute.
[7] Gasch, R. and Twele, J., 2002, Wind Power Plants: Fundamentals, Design, Construction and Operation, Germany: Solarpraxis.
[8] http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/ yang diakses pada tanggal 29 September 2012.
[9] The National Center for Atmospheric Research (NCAR), 2011, The Advanced Research WRF (ARW) Version 3.3 Modeling System User’s Guide, Boulder: The National Center for Atmospheric Research(NCAR).
[10] Hadi, T.W., Junnaedhi, I.D.G.A., Satrya, L.I., Santriyani, M., Anugrah, M.P., Octarina, D.T., 2011, Pelatihan Model WRF (Weather Research and Forecasting), Bandung: Laboratorium Analisis Meteorologi ITB.
[11] Oppenheim, A.V. and R.W. Schafer. 1989, Discrete-time Signal Processing, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
[12] Chin, W., Marcolin, B., and Newsted, P., 1998, The Partial Least Squares Approach to Structural Equation Modeling, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
[13] Perubahan Iklim Indonesia,
http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=
com_content&view=article&id=85&Ite mid=78 yang diakses pada tanggal 29 September 2012.