• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berbicara mengenai aktivitas media massa hari ini, tidak lagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berbicara mengenai aktivitas media massa hari ini, tidak lagi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai aktivitas media massa hari ini, tidak lagi dapat dipisahkan dengan bagaimana pesan-pesan moral mengenai kehidupan ideal bermasyarakat diterjemahkan. Media massa hari ini telah mengambil rute dari awalnya hanya sebagai alat penyebaran informasi kini berlabuh menjadi alat penyebar ideologi. Pesan-pesan atau nilai-nilai masyarakat mengenai idealnya kehidupan lebih lanjut dapat dipahami dalam sebagian teks-teks media yang biasanya dikamuflase menjadi bentuk-bentuk yang lain, seperti redaksi, warna, bentuk hingga kumpulan garis dan titik.

Hal yang sama juga berlaku dalam fenomena tumbuh dan berkembangnya media massa di Indonesia. Bahkan, media massa hari ini tidak lagi malu-malu menampakkan romantisme relasi dengan dunia politik. Diketahui bahwa, dinamika politik Indonesia sejak era reformasi yang dimulai tahun 1998, menuai banyak komentar dari masyarakat luas, termasuk pandangan masyarakat internasional mengenai aktivitas demokrasi di Indonesia. Salah satu poin penting dalam pandangan tersebut adalah menjamurnya media-media dalam bentuk konvensional hingga yang memanfaatkan teknologi komunikasi super canggih. Hal ini dikarenakan, keran-keran demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi siapa

(2)

saja, tidak terpenjara oleh kelompok-kelompok tertentu seperti pada era orde baru.

Relasi mutualisme dalam politik dan media massa menjadi begitu kental. Secara sederhana, hubungan ini memiliki keterkaitan dengan berbagai macam kepentingan. Kekuasaan, ekonomi hingga ideologi ditengarai menjadi sub-bargainingantara keduanya. Kita tidak dapat lagi memahami bahwa media hanya sekedar perpanjangan informasi dari satu titik ke titik lainnya, atau kita juga tidak dapat hanya sampai pada pemahaman bahwa ada konstruksi (citra, opini dan propaganda) yang sedang dilakukan oleh media massa, tetapi realitas dan bergabungnya berbagai macam kepentingan membawa kita memahami media sampai pada hidden message yang berusaha untuk dipahami – ideologi.

Media massa masih menjadi cara yang efektif untuk melakukan aktivitas hegemoni nilai dan kekuasaan. Media massa masih menjadi pemeran utama dalam kerangka demokrasi. Apalagi hari ini, dengan kecanggihan yang terintegrasi di dalamnya, media massa telah menjelma menjadi kendaraan politik melebihi apa yang dapat dilakukan oleh partai politik.

Asumsi ini tidak begitu saja tercipta, dapat dilihat bahwa hari ini dengan akses yang begitu luas masyarakat mampu mengetahui sebuah informasi di ujung dunia sana dalam sekejap saja. Begitu juga dengan kabar dari sekitar kita, begitu cepat tersebar. Hal ini dikarenakan,

(3)

kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat. Melalui smartphonedengan akses internet, masyarakat seakan-akan hidup dalam satu kampung kecil, yang dikatakan oleh Marshal Mcluhan sebagai global village.

Ditengah-tengah menjamurnya dunia digital disekitar kita, media-media maisntream seperti majalah dan surat kabar yang masih menggunakan teknologi mesin cetak masih tetap bisa eksis hingga sekarang. Salah satu hal menarik yang dapat ditemukan dalam eksisnya media cetak adalah dikarenakan masyarakat tidak sepenuhnya begitu ‘melek’ dengan teknologi.

Apa yang ditawarkan oleh sebuah media cetak adalah dokumentasi dan bentuk nyata di depan mata serta daya imajinatif yang tinggi. Sebagai pembaca, bentuk material adalah hal yang penting dan tidak tergantikan oleh media manapun. Kita dapat berimajinasi dengan tinggi tanpa terbatas oleh sekat-sekat dan dapat dengan mudah ‘membekukan’ realitas dalam waktu bersamaan. Tidak heran, apabila media cetak hari ini masih menjadi sebuah media utama dalam penelususran informasi masyarakat.

Hal inilah yang ditawarkan oleh sebuah media, dalam bentuk majalah bulanan bernama Men’s Obsession. Majalah bulanan Men’s Obesession (MO) adalah sebuah media yang bersegmentasi menegah ke atas, menyasar segmentasi utama lelaki dan memiliki konten informasi gaya hidup. Men’s Obsession mencoba mengangkat informasi mengenai

(4)

profil beberapa tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis, seperti keseharian tokoh, keluarga, tempat favorit hingga pandangan filosofis tokoh. Tidak jarang juga, tokoh-tokoh politik Indonesia menjadi sampul utama Men’s Obsession.

Ketertarikan para politikus untuk bersinergi dengan majalah Men’s Obsession bukanlah sebuah utopis. Dipahami bahwa setiap individu membutuhkan ‘panggung’ untuk dapat dilihat dan dinilai oleh masyarakat luas. Hal ini menjadi semacam simbiosis mutualisme bagi kedua pihak, baik bagi tokoh politik dan Men’s Obsession sendiri sebagai media dalam perpspektif idustrilisasi. Ada harga yang mesti dibayar disetiap sampul dan headline sebuah media, dan barternya adalah sebuah bentuk liputan utama bagi tokoh politik. Tetapi hal ini tidak menjadi keniscayaan bagi para tokoh politik, dengan asumsi harga yang pantas untuk dibayar maka dapat tampil sebagai headline di media mana pun yang diinginkan. Perlu dipahami, bahwa selain kepentingan ekonomi, ada sisi ideologis yang mesti dipegang teguh oleh media. Seperti gagasan kritis oleh Dennis Mc Quail dalam melihat fenomena media massa hari ini yang meliputi premis kepentingan ekonomi, premis politik dan kekuasaan serta premis penyebaran ideologi sebagai bentuk hegemoni. (Littlejohn, Stephen W, Foss, Karen A, Teori Komunikasi, Jakarta:2011)

Argumentasi di atas merupakan sebuah pandangan bahwa media massa bukan hanya mekanisme yang sederhana untuk menyebarkan informasi dan mendapatkan keuntungan. Tetapi lebih daripada itu media

(5)

merupakan organisasi kompleks yang membentuk institusi sosial masyarakat yang penting. Jelasnya dalam paradigma kritis media adalah pemain utama dalam perjuangan ideologis. Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan dengan media terutama karena media memiliki kekuatan untuk menyebarkan ideologi dominan dan kekuatannya untuk menciptakan ideologi tandingan atau alternatif. Hal ini juga berarti bahwa media merupakan bagian dari sebuah institusi budaya yang secara harfiah menciptakan simbol dan gambaran yang dapat memberi intervensi terhadap kelompok kecil.

Bahwa majalah bulanan Men’s Obsession merupakan bagian dari institusi budaya, bagian dari media massa dan bagian dari struktur organisasi masyarakat yang memiliki pandangan ideologis. Salah satu hal yang merupakan pandangan ideologis dari tabloid Men’s Obsession adalah patriarki dan konsep maskulinitas. Tentunya, Men’s Obsession memiliki pandangan yang ideal mengenai masyarakat dan bagaimana mengatur masyarakat. Bahwa Men’s Obsession percaya patriarki adalah model struktur masyarakat yang tidak dapat ditolak dan konsep maskulinitas dari Men’s Obsession merupakan sebuah gambaran riil dan sempurna dalam kehidupan masayrakat.

Dengan argumen seperti di atas, Men’s Obsession dapat berkompromi dengan bentuk dan model apa saja, asalkan semuanya dapat bersinergi dengan pandangan ideologi yang dianut. Para tokoh politik boleh saja memiliki kekuasaan dan wewenang mengatur

(6)

masyarakat dalam ruang lingkupnya, tetapi media memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan satu atau dua orang tokoh politik dan sifatnya tidak terbatas. Artinya, segenap warga negara dapat dipersuasif oleh pemberitaan media. Dengan kekuatan seperti ini, media massa memiliki sisi tawar yang sangat tinggi bagi para tokoh politik untuk mencitrakan atau dapat juga untuk melakukan asassin charakter.

Dalam perspektif yang berbeda, John Fiske mengatakan bahwa media massa tidak dapat menampilkan seutuhnya dari realitas. Hal ini dikatakan bahwa, media massa hanya menjadi representasi realitas (J. Fiske dan J. Hantley Dalam Semiotika Sebagai Riset Komunikasi, 2003 Hal 34). Begitu juga denga apa yang ditampilkan oleh Men’s Obsession di setiap sampul dan headline-nya. Bahwa Men’s Obsession mencoba untuk merepresentasikan wajah perpolitikan Indonesia melalui tokoh-tokoh politik yang beredar dan menjadi sampul utama headline-nya.

John Fiske dalam studi semiotika komunikasinya menjelaskan bahwa media seringkali melakukan pengkodean menggunakan tanda-tanda visual seperti, gambar, warna, teks dan sudut pandang. Tanda-tanda-tanda visual menurut Fiske akan bermuara pada bagaimana suatu media mengkostruksi realitas, menciptakan representasi realitas dan menyebarkan ideologi. Jika merujuk dengan apa yang ditampilkan olehmajalahMen’s Obsession dalam beberapa sampul utamanya (tokoh politik) hal ini jelas membawa pada pemahaman bahwa Men’s Obsession sedang melakukan hegemoni.

(7)

Konsep hegemoni dalam argumen di atas dikatakan oleh John Fiske merupakan sebuah proses penyebaran dan penanaman nilai-nilai tertentu dalam sakala masif. Ketika nilai tersebut berlaku secara masif maka hal tersebut akan menjadi pop culture atau budaya populer. Terkait dengan hal ini, budaya populer merupakan sebuah bentukan sistem tanda dimana media menjadi pemeran utama dalam penyebarannya. Setiap teks dalam media merupakan tanda-tanda dalam tafsir pemaknaan yang dipengaruhi oleh sistem sosial. Setiap sistem sosial membutuhkan sistem budaya dimana realitas dimaknai sebagai sebuah hal yang stabil dan setiap sistem sosial memiliki ideologi yang menjadi acuan masyarakat dalam memaknai dan berperilaku.

Majalah Men’s Obsession pun demikian adanya, menyebarkan kode-kode visual sebagai suatu sistem tanda, yang dimaknai oleh masyarakat sebagai hal yang lumrah saja. Disatu sisi, pada saat bersamaan Men’s Obsession memiliki sistem sosial sendiri dan berideologi yang kemudian hal tersebut direpresentasikan dalam bentuk informasi, entah itu sebuah gambar atau redaksi. Berkenaan dengan hal ini, sampul depan berupa foto dari profil tokoh politik merupakan sebuah representasi. Foto dianggap bisa mewakili citra/ identitas dari sang pemilik. Pada titik inilah representasi penting dibicarakan. Istilah representasi itu sendiri menunjukkan pada seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan.

(8)

Dalam bukunya yang berjudul Cultural representation and signifying Practices, Stuart Hall mengatakan adanya dua sistem representasi yaitu: pertama mental representation: " meaning depend on the system of concepts and images formed in our thoughts which can stand for a represent the world, enabling as to refer the things both inside and outside our head". - sistem representasi yang kedua adalah makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespondensi antara peta konseptual kita dengan sebuah set tanda.

Sistem pertama membuat kita memaknai dunia dengan mengkonstruksikan seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan peta konseptual kita. sistem kedua membuat kita merekonstruksikan seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol merupakan inti dari produksi makna lewat bahasa. proses yang megnhubungkan ketiganya secara bersama-sama inilah yang dinamakan dengan repsentasi.

Foto adalah medium yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu dan juga sebagai perantara memproduksi dan mengubah makna. hal ini dimungkinkan karena foto beroperasi sebagai sistem representasi. lewat foto kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresntasikannya. dengan mengamati tanda-tanda yang ada pada foto kita dapat mengetahui nilai-nilai yang ada pada foto tersebut.

(9)

Dalam bentuk atau model pemaknaan teks media oleh John Fiske, terdapat tiga level yaitu, level realias, level representasi dan level ideologi. Ketiga level ini disebut oleh Fiske sebagai pemakanaan audiens terhadap teks media. Begitu juga ketika Majalah Men’s Obsession menampilkan seorang tokoh pada sampul utamanya. Karena setiap individu memiliki rasa atau obsesi untuk populer dan dikenal banyak orang, maka setiap idividu membutuhkan panggung untuk menampilkan profilnya. Tidak terkecuali tokoh politik Indonesia. Dalam hal ini, majalah Men’s Obsession tidak hanya berpikiran ekonomi dalam menampilkan profil seorang tokoh, tetapi dalam perpektif pemaknaan John Fiske, majalah Men’s Obsession berusaha untuk merepresentasi wajah politik Indonesia dalam sampulnya. Tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh ideologi yang dianut Men’s Obsession.

1.2 Fokus Penelitian

Dalam kajian semiotika, pesan yang ditampilkan oleh teks mediaselain memberikan informasi dan persuasifkepada masyarakat, juga memiliki hidden message yang mesti dilihat secara kolektif dan lebih dalam dari sekedar makna sampul. Berdasarkan gubahan sub bab latar belakang sebelumnya, terdapat beberapa poin yang mesti digaris bawahi, yaitu bahwa media massa – majalah Men’s Obsession merupakan sistem sosial yang memiliki nilai-nilai ideologi. Poin berikutnya adalah, bahwa setiap individu termasuk tokoh politik Indonesia membutuhkan wadah dalam mencitrakan profilnya. Poin terakhir adalah bahwa Men’s

(10)

Obsession seperti pandangan semiotika John Fiske, dalam setiap teksnya (sampul majalah) berusaha untuk merepresentasikan sebuah realitas yang didalamnya bersnergi nilai-nilai ideologi antara tokoh politik dan tabloid Men’s Obsession.

Selain poin-poin di atas, hal yang perlu dipahami adalah media massa adalah sebuah bentuk sistem organisasi yang disetiap aktivitasnya telah dikontrol dan diawasi sedemikian rupa. Termasuk pembagian porsi atau rubrikasi dalam media massa. Misalnya, bahwa penempatan sebuah pemberitaan sebagai liputan utama dapat dilihat pada sampul depan. Dari keseluruhan penjelasan ini, penulis memfokuskan penelitian dengan batasan “representasi politik Indonesia pada sampul depan majalah Men’s Obsession”. Untuk itu, penulis berusaha untuk menarik benang merah dari keseluruhan poin yang telah dituliskan sebelumnya dalam bentuk pertanyaan penelitian / rumusan masalah sebagai fokus penelitian. Adapun fokus penelitian ini adalah :

1) Bagaimana majalah Men’s Obsession merepresentasikan politik Indonesia melalui penggambaran tokoh politik di sampul depan majalah.

2) Bagaimana majalah Men’s Obsession menunjukkan ideologinya melalui penggambaran tokoh politik di sampul depan majalah. 1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya mengenai fokus penelitian, penulis dapat menggambarkan maksud dari

(11)

penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan yang mendalam dan tersistematis mengenai pemanfaatan sebuah media massa – majalah Men’s Obsession, sebagai ruang untuk membentuk opini dan persepsi masyarakat terhadap tokoh politik. Dengan kata lain, penelitian ini akan menjelaskan bagaiamana kaitan antara tokoh politik yang diasumsikan membutuhkan media massa untuk citra profilnya dengan media massa yang memiliki kepentingan ekonomi dan pandangan ideologi mengenai nilai-nilai masyarakat. Adapun tujuan penelitian ini dapat penulis uraikan dalam beberapa poin, yaitu:

1) Untuk memahami dan menjelaskan bagaimana majalah Men’s Obsession merepresentasikan politik Indonesia melalui penggambaran tokoh pilitik di sampul depan majalah

2) Untuk memahami dan menjelaskan bagaimana majalah Men’s Obsession menunukkan ideologinya melalui penggambaran tokoh politik di sampul depan majalah

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi yang tepat untuk dunia politik di Indonesia dan media massa, khusunya bagaimana media massa dapat memberikan representasi dunia politik di Indonesia. Manfaat penelitian akan dibagi menjadi dua, yaitu:

(12)

Penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi para pihak-pihak yang secara teknis berkecimpung di dalam dinamika politik Indonesia, khususnya memberikan gambaran mengenai peranan media massa (tabloid) dalam membentuk persepsi masyarakat Penulis juga berharap, bahwa penelitian ini mampu digunakan sebagai bahan rujukan untuk memberikan gambaran yang lengkap bagaimana korelasi antara tokoh politik dan media massa di Indonesia secara mendalam.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Dengan penelitian ini penulis berharap dapat memperkaya ragam khasanah ilmu pengetahuan terutama kajian ilmu komunikasi dan kshusunya komunikasi politik. Penulis juga berharap, penelitian ini mampu digunakan sebagai referensi bagi kaum akdemisi ilmu komunikasi dan ilmu politik untuk mengembangkan keilmuan di masing-masing kajian.

Referensi

Dokumen terkait

Biaya Gaji Tenaga Kerja Tidak Langsung pada Cafe Doughnut Gemez “Dugem” Selama 5 Tahun ... Biaya Tunjangan dan Bonus pada Cafe Doughnut Gemez “Dugem”

Paling tidak terdapat 6 (enam) kunci proses kepemiminan yang perlu diakses agar organisasi sekolah berjalan sesuai dengan harapan: (1) Perencanaan : Mengeluarkan

Berikut adalah maklumat yang dipetik daripada perniagaan Kilang Elektronik Max pada 30 April 2010. (iii) Alat tulis kilang belum digunakan

Airin Graha Persada, berdasarkan data pada bulan Maret 2018 persentase produk cacat yang dihasilkan mencapai 1,4% yang melebihi batas toleransi sebesar 1%, dengan nilai

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

Penelitian ini bertujuan untuk, 1) Mendeskripsikan motivasi siswa pada mata pelajaran Ilmu Gizi kelas X jasa Boga SMK Negeri 9 Padang, 2) Mendeskripsikan hasil belajar

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Minat Peserta Didik di SMAMenggunakan Metode TOPSIS yang telah dibuat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan menghasilkan data