17 Meditasi tentang Kehidupan by Jadi S. Lima
Copyright Maret 2014, Fiat Lux!, Jakarta all rights reserved
DAFTAR ISI
Prakata...5
Doa...6
Merayakan apa di 1 Januari?...25
Saling...41
Ciptaan?...57
Dosa?...61
Hidup Baru?...65
Life is Real!...69
Hidup oleh Iman...84
Saksi-Saksi Iman...91
Siapakah Anak-anak Abraham?...98
Transaksi...107
Satu Hal yang Pasti...113
Kalau bukan Sekarang...120
Pembunuh Kesenangan?...126
Garbage in, Garbage Out...132
Takut Bikin Pinter?...137
Lu Nggak Tahu Gua Ini Siapa!...141
Prakata
Buku ini merupakan kumpulan meditasi yang pernah saya bagikan di dinding facebook saya. Seorang teman mengusulkan untuk menerbitkannya saja agar isinya dapat menjadi berkat bagi lebih banyak orang. Ada tujuhbelas artikel yang saya tulis di dalam periode 2010-2014. Topik yang dicakup meliputi doa, perayaan tahun baru, cinta, ketersalingan dalam mencintai, transaksi, identitas kita sebagai anak-anak Tuhan, dan lain sebagainya. Pembaca sekalian dapat membacanya di daftar isi. Tidak ada kesatuan ide yang ketat di antaranya, itulah sebabnya saya memberikan judul “17” bagi buku ini. Walau demikian, ada juga benang merah bagi semua topik ini, yaitu bagaimana melihat aneka macam pergumulan hidup yang seperti tidak ada hubungannya di dalam terang keyakinan kita akan kebaikan asali dari ciptaan, kejatuhan radikal alam ini dari kemuliaannya yang semula, dan harapan pemulihan yang terdapat di dalam karya Yesus dari Nazaret. Besar harapan saya di dalam tujuhbelas meditasi ini anda berjumpa dengan wajah Allah yang penuh rahmat di dalam karya Kristus Yesus. Laus Deo!
Jakarta, 25 Maret 2014 J.S. Lima
Doa
Doa adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Saya kira semua orang mengetahui apa arti kata ini dan sebagian besar pasti pernah berdoa, apapun pandangannya mengenai makna dari kegiatan ini. Tidak hanya orang-orang Kristen, semua agama pasti mengenal yang namanya doa – bahkan orang-orang yang mengaku sebagai ateis-pun kemungkinan besar pernah berdoa, atau setidaknya akan menganggap orang yang sedang berdoa dengan tulus dan dengan niat yang baik, sebagai sesuatu yang tidak jahat atau memiliki nilai yang baik, walau pun mungkin orang-orang yang mengaku Ateis berbeda pendapat dengan para penganut agama-agama mengenai bagaimana doa itu bekerja.
Dalam artikel ini saya akan membahas pertanyaan-pertanyaan yang umum kita tanyakan seputar doa, seperti: Apakah yang sebenarnya kita perbuat ketika kita berdoa? Apakah doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan yang mahakuasa dan mahasempurna? Jika doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan, bagaimanakah kita dapat
Tujuhbelas Meditasi 7
mengetahui apa yang sebaiknya kita minta karena mungkin saja apa yang kita minta bukanlah sesuatu yang yang kita inginkan untuk terjadi pada akhirnya? Mungkin kita akan menyesali permintaan yang Tuhan kabulkan setelah kita memilikinya beberapa saat. Jika doa tidak dapat mengubah keputusan Tuhan yang maha berdaulat atau di sisi lain, kita mungkin saja sedang meminta Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kurang baik bagi kita atau bagi dunia pada umumnya melalui doa kita. Mengapa kita harus berdoa padahal jelas kita tidak dapat mengetahui apa yang terbaik untuk dimintakan kepada Tuhan? Seperti kata Paulus, siapakah kita untuk menjadi penasehat Tuhan? Asumsi dari pertanyaan-pertanyaan begini adalah: doa merupakan suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan atau untuk meminta-Nya mengubah suatu keadaan atau setidaknya menolong kita dalam mengubah keadaan itu. Tetapi doa tentu saja bukan hanya berurusan dengan hal-hal ini. Kita tidak selalu meminta Tuhan melakukan ini atau itu ketika kita berdoa. Terkadang kita hanya mengutarakan ucapan syukur kita kepada-Nya, memuji kebesaran-Nya yang melampaui kata-kata dan imajinasi kita, atau mungkin kita hanya ingin meluangkan waktu untuk berdiam diri di dalam
kesadaran akan kehadiran-Nya. Asumsi dari doa-doa ucapan syukur, pujian dan pemujaan kepada Tuhan, atau sekedar suatu keheningan tanpa kata di hadapan-Nya adalah selain suatu tindakan meminta atau memohon, doa dalam konteks yang lebih luas adalah suatu komunikasi yang bersifat membangun, memperbaiki, dan mengakui relasi antara manusia dengan Penciptanya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja tidak relevan dengan jenis doa seperti ini. Ada jenis-jenis pertanyaan lain yang relevan dengan doa yang bukan termasuk tindakan permohonan kepada Tuhan, misalnya: Apakah Tuhan yang maha kuasa dan maha baik tidak dapat menjalin relasi itu tanpa kita harus terlebih dahulu berdoa? Pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan dengannya akan kita diskusikan dalam artikel berikut ini.
Mengapa berdoa jika doa toh tidak dapat mengubah apa yang Tuhan telah tetapkan?
Asumsi dari pertanyaan ini adalah kemahatahuan, kemahabaikan, kemahasempurnaan, dan kemahakuasaan Tuhan yang akan melahirkan kesulitan untuk menghindari problem fatalisme.
Tujuhbelas Meditasi 9
Secara umum kita melihat dua kecenderungan dalam melihat permasalahan ini. Kecenderungan pertama adalah “pasrah” kepada kehendak Tuhan atau nasib, probabilitas, atau apa pun. Orang-orang yang mengambil sikap seperti ini biasanya, secara negatif dapat menjadi apatis, atau secara positif mereka menjadi tidak mudah kecewa dan penuh dengan ucapan syukur, karena memang tidak terlalu banyak berharap. Golongan ini mungkin diwakili oleh para fatalis dari agama-agama tertentu (sebagian orang menuduh kelompok Calvinis dengan predestinasinya jatuh ke dalam golongan ini, tetapi tentu saja permasalahnnya tidak sesederhana itu), kaum Stoa di Yunani dan sikap “nrimo” yang beberapa orang katakan sebagai 'khas Jawa,' bahkan beberapa tokoh rasionalis ateis tertentu menganjurkan sikap seperti ini, walau dengan latar belakang berbeda. Albert Ellis misalnya, mengajak kita untuk menanggalkan kepercayaan irasional berupa pengharapan tak realistis bahwa hidup akan memberikan hal-hal yang “baik” dan menjauhkan hal-hal yang “buruk” dari kita. Sekali kita bisa menerima bahwa hal-hal yang tidak kita inginkan dapat saja terjadi kepada kita dan dapat menerimanya sebagai suatu realitas hidup dan berbuat yang terbaik yang kita bisa dalam segala keterbatasan kita, kita akan menjauhkan diri dari
rasa frustrasi dan kemarahan yang tidak perlu. Dengan demikian kita akan bisa lebih rileks dan menikmati hidup apa pun yang kita alami. Ini terdengar seperti suatu nasehat waras yang juga diajukan oleh kaum Stoa dan dengan cara yang sedikit berbeda, juga oleh kaum Epicurean, beberapa ribu tahun yang lalu. Orang-orang seperti ini, jika mereka mengasumsikan adanya Tuhan, mereka akan banyak berdoa demi kelancaran hidupnya. Wajar saja, karena segala sesuatu ada di tangan Tuhan, maka kita harus baik-baik menjada relasi dan koneksi dengan Dia. Kecenderungan kedua adalah sikap proaktif. Di sini kita mengambil tanggung jawab penuh untuk hidup kita. Kita tidak menimpakan tanggung jawan kepada Tuhan, takdir, nasib keruntungan, atau apa pun. Contoh yang baik mungkin adalah Benjamin Franklin yang mengatakan bahwa Tuhan menolong orang-orang yang menolong dirinya sendiri. Masuk akal juga. Jika hal-hal baik terjadi pada kita itu karena kepandaian, kecermatan, keberanian, dan disiplin kita. Jika hal-hal buruk terjadi, yah, tidak ada siapa pun yang bisa disalahkan kecuali diri kita sendiri. Sikap seperti ini tentu lebih baik dalam hal mengambil tanggung jawab yang memang Tuhan berikan pada kita untuk hidup kita. Tetapi seringkali orang-orang dari jenis kedua ini menjadi kurang berdoa, karena toh hasil
Tujuhbelas Meditasi 11
dari segala sesuatu tidak terletak pada kehendak dan ketetetapan Tuhan, tetapi pada usaha kita masing-masing. Immanuel Kant sendiri mengambil sikap bahwa doa tidak seharusnya menjadi alat untuk mengubah kehendak Tuhan, semacam mantera untuk memanipulasi Sang Ilahi. Doa, bagi Kant, adalah suatu cara untuk mencondongkan hati kita kepada tugas-tugas dan tanggung-jawab moral yang mutlak, yang hukum-hukumnya sudah tertulis di dalam nurani kita. Efek doa tidaklah dirasakan oleh Tuhan, tetapi oleh kita sendiri. Kita berdoa, kata Kant, demi kita sendiri lebih setia pada tanggung jawab moral kita, bukan supaya keadaan berubah. Terkait dengan pertanyaan ini adalah pertanyaan bagaimana Tuhan bertindak di dalam ciptaan – bagaimanakah relasi tindakan ilahi dengan hukum alam? Bagaimanakah peristiwa-peristiwa supernatural didefinisikan di tengah rutin-rutin natural yang biasa? Ataukah mungkin dikotomi supernatural dan natural ini sendiri tidak terlalu berguna sehingga harus diganti. Bagaimanakah kita dapat mengatakan bahwa hal-hal tertentu yang terjadi secara alamiah atau melalui agensi manusia sebagai jawaban Tuhan atas doa kita? Sebagai ilustrasi mari kita simak dua contoh berikut. Contoh yang pertama adalah dari kesembuhan melalui
obat-obatan dan tindakan dokter yang diklaim sebagai jawaban Tuhan atas doa si pasien dan teman-temannya. Jika si pasien tidak berdoa, tentu saja hukum alam tetap berlaku. Sebagai contoh pada kasus operasi usus buntu. Bagian usus yang meradang itu dioperasi, dibersihkan, dan diberikan treatment antibiotik untuk memerangi kerja bakteri patogen. Jika keadaan pasien seperti kebanyakan orang-orang normal dan tidak ada kesalahan prosedural, hampir pasti si pasien akan terhindar dari kematian dan akan sembuh seperti sediakala dalam hitungan hari atau minggu, terlepas dari dia berdoa atau tidak. Contoh kedua adalah dari peristiwa-peristiwa alamiah yang belum kita ketahui penjelasannya dan tidak terlalu sering terjadi. Kita mengetahui beberapa masyarakat di jaman kuno yang menganggap beberapa peristiwa alamiah tertentu sebagai “kutukan Tuhan” atau “berkat Tuhan” padahal kita tahu sekarang bahwa itu adalah hal-hal yang dapat dijelaskan secara alamiah. Misalnya ketika terjadi wabah pes di Eropa beberapa ratus tahun yang lalu, banyak orang Yahudi atau perempuan-perempuan tua (yang kemungkinan menderita Schizophrenia) yang dibunuh karena dianggap menggunakan sihir untuk menebarkan kutuk pada seisi kampung. Kita sekarang tahu bahwa wabah pes itu disebabkan oleh penularan