• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar. Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar. Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.

Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.1

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah rule of law, yaitu:

1. Supremacy of law; 2. Equality before the law;

1 Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, (Ketua Mahkamah Konstitusi:

(2)

3. Due process of law. 2

Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.3

Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.4

2 Ibid.

Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan persamaan di muka hukum (equality before the law). Hal ini diatur secara konstitusional dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan

kembali dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

3 Ibid, hlm. 2.

4 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,

(3)

Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak mengistimewakan seseorang atau kelompok orang tertentu dan mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.

Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara.

Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo.

Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama (audi et alteram partem). Jika orang mampu dapat dibela advokat, maka fakir miskin harus dapat dibela pembela umum secara pro bono

(4)

publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu

yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender. 5

Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum sendiri telah diakui secara internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan International

Covenant on Civil and Political Rights Pasal 16 dan 26 yang telah diratifikasi oleh

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.6

Penyediaan bantuan hukum pro bono publico (legal aid) bagi warga miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan hukum adalah suatu bentuk jasa menolong sesama umat manusia yang berada dalam kesusahan hukum. Bantuan hukum pada masa itu diberikan oleh Patronus, yaitu suatu figur tokoh masyarakat yang dihargai sekali oleh masyarakat dimana masyarakat yang kesusahan datang mengadu dan meminta perlindungan, baik dalam soal ekonomi, perkawinan, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi, motivasi Patronus dalam memberikan bantuan pada waktu itu tidak bersifat profesional melainkan untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat.

Sejak Magna Charta (1215) di Inggris, motivasi pemberian bantuan hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang

5 Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2.

6 Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 47.

(5)

Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan

yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya karena merupakan hak anak laki-laki pertama. Anak kedua biasanya mencari karir dalam angkatan perang atau hukum sebagai the legal profession. Mereka sudah kaya, tidak butuh uang, hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah, melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon).7

Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu (pro bono publico) mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu

charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma.

Pada waktu itu, para lawyers yang bekerja dalam profesi bantuan hukum ini telah menggunakan honor sehingga hanya orang yang mampulah pada akhirnya yang betul-betul bisa membela kepentingannya. Tetapi orang yang tidak mampu sama sekali tidak bisa memanfaatkan hukum yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, pada zaman itu, atas dasar motivasi dan faktor charity, nobility (kemuliaan),

chivalry (kstaria), dan juga pandangan-pandangan intelektual yang berkembang,

banyak terjadi perubahan dalam usaha untuk memberikan kesempatan yang sama pada orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Caranya yang ada pada saat itu ada 2 (dua), yaitu:

1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;

7 Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press,

(6)

2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin, seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar.

Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi (profesional

responsibility).8

Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Di Belanda, misalnya, pada tahun 1889, didirikan Bureau van Consultatie in

Strafzaken di Den Haag yang berlangsung sampai tahun 1916. Di Arnhem juga

didirikan biro yang sama pada tahun 1891. Di Amsterdam juga dibentuk suatu biro bantuan hukum dari organisasi Toynbee pada tahun 1892 yang dinamakan

Ons Huins. Selama kurun waktu tersebut juga banyak dibentuk biro-biro hukum

perburuhan (Bureaus voor Arbedsrecht) yang didirikan oleh organisasi-organisasi buruh. Biro-biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang sangat rendah. Selama tahun 1904, biro-biro tersebut telah memberikan 2477 konsultasi hukum. Sebanyak 51 advokat secara sukarela melaksanakan bantuan hukum, sebatas pada masalah pengendalian konflik. Banyak masalah perburuhan maupun sewa-menyewa ditangani oleh perorangan menurut inisiatif masing-masing advokat.

8 T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986),

(7)

Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Chili. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma (pro bono

publico) kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak

mampu secara ekonomi. 9

Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum mengalami revolusi pula. Pada saat itu mulai banyak bermunculan teori-teori negara demokrasi. Di antaranya adalah teori kontrak sosial, yaitu bahwa negara merupakan suatu perwujudan dimana rakyat memberikan kekuasaannya kepada negara berupa hak-hak tertentu (hak kewarganegaraannya). Sebagai konsekuensinya, negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah satunya dengan cara memberikan bantuan hukum.10

Pengakuan terhadap konsep bantuan hukum probono yang baru ini mencapai puncaknya dengan dimasukkannya ketentuan ini dalam Universal

Declaration of Human Rights. Dengan adanya pengakuan terhadap hak untuk

mendapatkan bantuan hukum, maka bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu perwujduan rasa belas kasihan semata melainkan sebagai suatu hak rakyat yang harus dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Ketentuan ini kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

9 Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983), hlm. 57, et seq.

10

(8)

Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.11 Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan.12

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, di Indonesia didominasi oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum, dan Organisasi-Organisasi Advokat dengan segala macam keterbatasannya. Sementara negara dan badan-badan peradilan tidak memberikan perhatian penuh terhadap kurangnya penyediaan bantuan hukum cuma-cuma ini kepada masyarakat tidak mampu.13

Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, sebagai upaya negara dalam memberikan keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Misalnya saja, dalam perkara pidana, sering

11

Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 34.

12 Daniel Panjaitan, Op. cit., hlm. 51.

13 Mosgan Situmorang, dkk, “Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada Masyarakat”, (Ahli Peneliti Utama: Badan

(9)

terjadi sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh penasihat hukum secara cuma-cuma, seperti dalam contoh kasus La Noki Bin La Kede dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367/K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, yang akhirnya bebas demi hukum karena tidak didampingi oleh penasihat hukum pada saat penyidikan.

Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Republik Indonesia dan penegak hukum untuk memberikan suatu jaminan pemenuhan akan kebutuhan terhadap suatu sarana yang dapat menyediakan perlindungan hukum terhadap orang miskin atau tidak mampu guna memperoleh kesetaraan di muka hukum. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah dengan adanya pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).

Dengan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan proses hukum menjadi adil bagi rakyat miskin sehingga mereka dapat memperoleh kesempatan untuk membela kepentingannya di muka hukum. Dengan adanya bantuan hukum, diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi sehingga tercapai proses hukum yang adil dan terjaminnya pemenuhan hak konstitusional bagi golongan yang tidak mampu.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Keberadaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Indonesia? 2. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum cuma-cuma dalam

(10)

3. Bagaimanakah Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro

Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Berdasarkan Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui keberadaan bantuan hukum cuma-cuma di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma (pro

bono publico) dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini berguna sebagai sumbangan referensi bagi kalangan akademisi yang ingin memperdalam pengetahuan mengenai implementasi

(11)

pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam perkara pidana, khususnya di Kota Medan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat luas, terutama bagi masyarakat miskin yang berperkara yang kurang mengetahui fungsi dan manfaat dari pemberian bantuan hukum cuma-cuma sehingga mereka dapat memanfaatkan pemberian bantuan hukum cuma-cuma guna mendapatkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi mereka apabila mereka berperkara.

b. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dan motivasi bagi pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma secara berkesinambungan sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat. c. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah

Republik Indonesia guna melakukan revisi yang diperlukan terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan bantuan hukum sehingga dapat lebih mengakomodir kepentingan hukum masyarakat miskin.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum

Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

(12)

pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Berdasarkan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara serta pada media online yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia, dan walaupun ada, substansi pembahasannya berbeda dengan yang dipaparkan dalam skripsi ini.

Beberapa judul skripsi yang memiliki topik yang sama yang pernah ditulis, antara lain:

1. Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo) oleh Teguh Triyanto, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

2. Pelaksanaan Kewajiban Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma oleh Eka Purnama Sari, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2009. 3. Tinjauan Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Bantuan

Hukum Secara Cuma-Cuma (Probono) Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum oleh Jonathan Marpaung, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.

Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena dilakukan dengan memperhatikan

(13)

ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Tinjauan Pustaka 1. Bantuan Hukum

Istilah Bantuan Hukum diterjemahkan dari 3 (tiga) istilah, antara lain

Legal Aid, Legal Assistance, dan Legal Service. Ketiga istilah tersebut memiliki

makna yang berbeda.

Pertama, Legal Aid, adalah pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang dilakukan secara cuma-cuma. Bantuan hukum dalam Legal Aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam masyarakat miskin. Dengan demikian, motivasi utama dalam konsep Legal Aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang miskin dan buta hukum.

Kedua, Legal Assistance, yang mengandung pengertian yang lebih luas dari Legal Aid. Legal Assistance merupakan pemberian bantuan hukum, baik kepada mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma maupun kepada mereka yang mampu dengan menerima pembayaran honorarium.

Ketiga, Legal Service, yang lebih tepat diartikan sebagai pelayanan hukum ketimbang bantuan hukum. Menurut M. Yahya Harahap, hal ini disebabkan karena pada konsep dan ide Legal Service terkandung makna:

a. Memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam

(14)

penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;

b. Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin;

c. Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, Legal Service dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan perdamaian.14

Menurut Abdurrahman, pengertian pelayanan hukum mempunyai banyak aspek dan sifatnya jauh lebih luas daripada bantuan hukum. Pelayanan hukum dapat diberikan oleh banyak orang, baik para ahli hukum maupun para penggerak masyarakat, politisi, pimpinan-pimpinan informal maupun formal. Pelayanan hukum tidak hanya menyangkut penyelesaian suatu kasus, tetapi juga meliputi pemulihan hak yang dilanggar dan usaha-usaha untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak penguasa untuk kepentingan golongan miskin.15

14 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 344.

15

(15)

Bantuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah bantuan hukum yang diterjemahkan dari istilah Legal Aid, yaitu pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum secara cuma-cuma/gratis. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini kemudian disebut Pro Bono Publico dalam Bahasa Inggris dan Prodeo dalam Bahasa Belanda.

2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo)

Bantuan hukum cuma-cuma (Legal Aid/Pro Bono Publico/Prodeo) mempunyai beragam definisi. Black’s Law Dictionary mendefinisikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai “country wide system administered locally by legal

services is rendered to those in financial need and who cannot afford private counsel.”

Di sisi lain, The International Legal Aid menyatakan sebagai berikut. “The legal aid work is an accepted plan under which the services of

the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources.”16

Menurut Clarence J. Dias, bantuan hukum adalah segala bentuk layanan oleh kaum profesi hukum guna menjamin agar tidak seorang pun dalam masyarakat yang terampas haknya untuk menerima nasihat hukum atau

16 Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 21.

(16)

memperoleh wakil/kuasa yang akan membela kepentingannya di muka pengadilan hanya karena tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup (miskin).17

Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak mampu).

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menentukan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

3. Bantuan Hukum Struktural

Yayasan Lembaga Bantuan hukum Indonesia (YLBHI) memberikan definisi mengenai bantuan hukum struktural sebagai usaha-usaha pengembangan dialog antara pekerja bantuan hukum di satu pihak dan masyarakat yang miskin dan tertindas yang harus diperlakukan sebagai mitra YLBHI di pihak lain agar tercapai pengertian bersama tentang kenyataan adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat miskin dan tertindas sebagai kelompok-kelompok yang terdapat dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia dan turut serta dalam perbaikan terhadap keadaan yang tidak adil tersebut sehingga tujuan dari dialog yang

17 Clarence J. Dias, “Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to the Design of Legal Service Programs in Developing Countries”, dalam Washington University Law Review (Issue 1: Symposium Legal Services to the Poor in Developing Countries, 1975), hlm. 147.

(17)

dimaksud adalah memformulasikan ukuran-ukuran yang dapat memperbaiki kondisi-kondisi kemiskinan dan ketidakadilan tersebut.18

Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum yang struktural mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum itu dengan upaya merombak tatanan sosial yang tidak adil. Jadi sasarannya tidak lagi sekedar membantu individual dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang mempunyai dampak struktural. Di sini bantuan hukum dijadikan sebagai kekuatan pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial sehingga kita akan memiliki pola hubungan yang lebih adil dalam masyarakat.19

Bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan pembangunan hukum. Pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan pelembagaan hukum dalam suatu proses politik.20

4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menegaskan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Penerima bantuan hukum menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak

18 Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 33.

19 T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 68. 20

(18)

dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menggunakan istilah “pencari keadilan yang tidak mampu” dimana dalam Penjelasan Pasal 56 disebutkan bahwa pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum menggunakan istilah “pemohon bantuan hukum” yang diartikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pedoman, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010, Pos Bantuan Hukum adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri (Pengadilan TUN dan Pengadilan Agama) bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi

(19)

hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa advokat. Sedangkan yang dimaksud dengan Advokat Piket berdasarkan Pasal 1 angka 4 adalah advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang tersebut.

Lembaga Bantuan Hukum merupakan sebuah lembaga yang bersifat non-profit yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, terutama masyarakat yang tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.

Pasal 1 angka 13 KUHAP menentukan bahwa penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.

Kata “advokat” berasal dari Bahasa Latin advocare yang berarti, “to

defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.” Sedangkan dalam Bahasa

Inggris, advokat disebut advocate yang berarti, “to speak in favour of or defend by

argument, to support, indicate or recommend publicly.”

Advokat merupakan orang yang berprofesi membela yang diartikan sebagai berikut.

(20)

“One who assists, defends, or pleads for another. One who renders

legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal, a counselor. A person learned in the law and duly admitted to practice who assists his client with advice and pleads for him in open court. An assistant, adviser, a pleader of causes.” 21

Deklarasi Montreal merumuskan advokat sebagai, “A person qualified and

authorized to practice before the courts and to advise and represent his clients in legal matters.”

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disebutkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa (dan/atau bantuan) hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pokrol (pengacara praktek) adalah mereka yang sebagai mata pencaharian (beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan advokat.

Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pokrol adalah mereka yang memberikan bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh Menteri Kehakiman dan yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan tersebut.

5. Perkara Pidana

Apabila terjadi suatu perbuatan pidana, maka berarti muncul perkara pidana sehingga terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut harus

21 Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 19.

(21)

dijatuhi sanksi pidana setelah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan 2 jenis penelitian, antara lain: a. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka

sebagai bahan penelitiannya. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas;22

b. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.

dan

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 sumber data, antara lain: a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung

dari masyarakat, dalam penulisan ini adalah wawancara.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dalam bentuk dokumen atau literatur dan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

22 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

(22)

1) Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang mengikat dan terdiri dari suatu norma atau kaidah dasar yang mana yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bantuan hukum. 2) Bahan hukum sekunder.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa publikasi hukum yang bukan bersifat dokumen resmi, meliputi buku teks, jurnal, pendapat para ahli hukum, dan sumber elektronik.

3) Bahan hukum tersier.

Merupakan bahan hukum penunjang yang pada dasarnya meliputi bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research), yaitu dengan meneliti sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta

(23)

sumber-sumber elektronik lainnya; observasi; dan field research berupa wawancara dengan pihak-pihak yang berperan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma.

4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak LBH Medan dan Pengadilan Tinggi Medan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini yang berhubungan dengan bantuan hukum;

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan dengan hasil wawancara kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

(24)

H. Sistematika Penulisan

Adapun skripsi ini terdiri dari bab-bab yang diuraikan secara terperinci dan disusun secara hierarki sehingga yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun bab-bab tersebut ialah sebagai berikut:

1. BAB I

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. BAB II

Bab ini membahas mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia, konsep dan perkembangan bantuan hukum, ruang lingkup dan jenis-jenis bantuan hukum, tujuan dan fungsi bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, serta pendanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum.

3. BAB III

Bab ini membahas mengenai pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah berlaku pada zaman Hindia-Belanda dan pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang berlaku setelah kemerdekaan, termasuk di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

4. BAB IV

Bab ini membahas mengenai implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau

(25)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

5. BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

kekasaran pemukaan resin komposit nanofil dan giomer lebih tinggi dibanding karbamid peroksida 10%, proses bleaching dengan karbamidperoksida10%dan20% menyebabkan

Belkaoui (1989) mengutarakan bahwa perusahaan yang melaksanakan kegiatan sosial akan memaparkannya dalam laporan keuangan. Sebagian berasal dari studi-studi yang

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Tes ini berfungsi untuk mengidentifikasi kepribadian manusia yang pada dasarnya terdiri dari 9 jenis..  5

Respon udang pasca adaptasi terhadap cekaman salinitas rendah ditunjukkan dengan tingkat sintasan dari yang tertinggi ke rendah berturut-turut ditunjukkan pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan

Berdasarkan proses pembangunan sistem yang telah dilakukan dalam artikel ini maka dapat disimpulkan bahwa: Hasil pengujian Gabor Filter dalam mendeskripsikan fitur wajah

14 Tingginya jumlah infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas sp ini kemungkinan karena bakteri ini telah berkoloni dengan lingkungan rumah sakit (seperti peralatan medis, udara