10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian sebagai sumber perikatan mempunyai definisi yang bermacam-macam, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai definisi yang sama. Dalam KUH Perdata, pengertian perjajian dapat dilihat dalam Pasal 1313 yang menyebutkan bahwa :”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainya”
Menurut J.Satrio pengertian perjanjian adalah: “Sekelompok atau sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan”5
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan antara dua pihak atau lebih untuk mengadakan suatu perikatan guna melakukan atau tidak melakuakan sesuatu hal.
Selain syarat sahnya perjanjian, dalam hukum perjanjian dapat juga dijumpai mengenai sifat-sifat perjanjian. Sifat perjanjian itu adalah sebagai berikut :
5 J. Satrio, 1992, Hukum Jaminan Hak-hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti,Halaman. 4
11
a. Bersifat terbuka, asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum apa tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini disebut asas kebebasan berkontrak (freedom of making contract). Asas ini dapat dilaksanakan asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
b. Bersifat pelengkap, artinya undang-undang dapat dikesampingkan apabila pihak yang menghendaki dan membuat ketentuan sendiri.
c. Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang di buat pihak-pihak itu baru dalm tahap menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.
d. Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan antara keduan belah pihak.6
Pada umumnya bentuk perjanjian yang dibuat tidak mempunyai pengaruh terhadap berlakunya suatu perjanjian. Namun ada beberapa pengecualian tertentu. Beberapa perjanjian menurut undang-undang adalah batal jika tidak dibuat dalam bentuk formalitas tertentu, seperti perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu dinamakan dengan perjanjian formil. Syarat-syarat formal ini berlaku terhadap perjanjian yang bersifat komersial seperti dalam perjanjian kredit.7
6 Ibid, Halaman. 84
7Abdulkadir M, 2006, Hukum Perjanjian,Bandung : Alumni, Halaman. 302
12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selain adanya kata sepakat dari para pihak yang membuat perjanjian, dalam perjanjian- perjanjian tertentu sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang juga harus dipenuhi syarat formalnya
2. Perjanjian Kredit
Kata kredit dalam kehidupan sehari-hari bukan merupakan perkataan yang asing bagi masyarakat. Tidak hanya masyarakat di kota-kota besar, tetapi juga di desa.
Istilah kredit berasal dari Bahasa yunani credere yang berarti kepercayaan.8 Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan seseorang atau suatu badan hukum yang memberikan kredit (kreditor) percaya bahwa penerima kredit (debitor) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam sesuai dengan harkatnya dan selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan itu sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal itu, manusia selalu berusaha, maka untuk meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna suatu barang, ia memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan.
Bantuan dalam bentuk tambahan modal yang diberikan kepada debitor disalurkan melalui kredit
8 Mariam Darus Badrulzaman, 1982, Perjanjian Kredit Bank,Bandung : Alumni, Halaman 10.
13
Pada mulanya istlah kredit digunakan untuk setiap kegiatan pinjaman di kalangan masyarakat umum. Entah itu dalam sistem perbankan atau di kalangan masyarakat awam. Namun semenjak dikeluarkanya keputusan kementrian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah pada Tanggal 11 Mei 2005 Nomor 118/Dep.3/V/2005 Tentang Pengelolaan Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Usaha Simpan pinjam, istilah kredit tidak lagi digunakan untuk usaha pinjam meminjam di kalangan koperasi.
Hal ini menjadi kebijakan Kementrian Koperasi dan Usaha Menengah karena penggunaan istilah kredit di koperasi mengaambil paksa pasar Bank Perkreditan Rakyat. Oleh sebab itu diputuskan mengganti istilah kredit di koperasi dengan istilah “Pinjaman”. Penggantian istilah tersebut tidak mengurangi istilah di dalamnya. Perjanjian Peminjaman setara atau sama artinya dengan perjanjian kredit.
Meminjam istilah perbankan, menurut Paragraf 6 Ketentuan Umum Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah :“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setalah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
14 B. Tinjauan tentang Koperasi
1. Pengertian Koperasi
Pada awalnya koperasi berasal dari bahasa latin, yaitu “Cum” yang berarti dengan dan “Aperari” yang berarti bekerja. Dalam Bahasa Inggris
“Co” dan “Operation”. Sedangkan dalam Bahasa belanda “Cooperatieve Vereneging”, yang berarti kerjasama dengan oreng lain untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.9
Kata Cooperation kemudian diangkat menjadi istilah ekonomi menjadi kooperasi lalu di bakukan menjadi KOPERASI yang berarti organsasi ekonomi dengan keanggotaan yang bersifat sukarela. Oleh karena itu koperasi dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotaan orang-orang atau badan-badan, yang meberikan kebebasan masuk akal dan keluar sebagai anggota menurut peraturan yang ada, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan suatu usaha, dengan tujuan mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya”.10
Dari definisi di atas dapat diketahui unsur-unsur Koperasi adalah sebagai berikut :
1. Koperasi bukan suatu organisasi perkumpulan modal (akumulasi modal) tetapi perkumpulan orang-orang yang berasaskan, kebersamaan bekerja, dan bertanggung jawab.
2. Keanggotaan Koperasi tidak mengenal adanya paksaan apapun dan oleh siapapun, bersifat sukarela, netral terhadap aliran, isme, dan agama.
9 Sattar, 2017 ,Buku Ajar Ekonomi Koperasi, Yogyakarta : CV. BUDI UTAMA, Halaman. 27
10 Nindyo Pramono, 1986,Beberapa Aspek Koperasi Pada Umumnya dan Koperasi Indonesia di Dalam Perkembanganya,Yogyakarta : TPK Gunung Mulia, Halaman. 9
15
3. Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota dengan cara bekerja sama secara kekeluargaan.11
2. Tujuan dan Fungsi Koperasi
Tujuan Koperasi yang tercantum pada Pasal 3 UU NO.25 Tahun 1992 berbunyi sebagai berikut :
“Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khusunya dan masyarakat umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sedangkan di dalam Pasal 4 UU NO. 25 Tahun 1992, diuraikan fungsi dan peranan Koperasi Indonesia sebagai berikut :
a. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
b. Berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.
d. Berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
C. Tinjauan tentang Eksekusi 1. Pengertian Eksekusi
Menurut Hukum Eksekusi, istilah eksekusi mengandung makna sebagai suatu upaya paksa untuk merealisasi hak kreditor dan / atau sanksi apabila debitor tidak melaksanakan kewajiban dengan sukarela.
11 R.T. Sutantya Rahardja H ,2000, Hukum Koperasi Indonesia,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman. 2
16
Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari eksekusi yaitu upaya paksa, untuk merealisasi hak, atau sanksi.
Pelaksanaan putusan (eksekusi) diatur dalam Pasal 195 HIR. Pasal ini berbunyi, “Pelaksanaan dari putusan-putusan perkara yang dalam tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negri yang memeriksa perkara itu didalam tingkat pertama dengan cara-cara tersebut di bawah”.12
Pasal ini memberikan pengertian eksekusi adalah sama dengan pelaksanaan putusan hakim. Pengertian dan jenis eksekusi telah mengalami perkembangan pada saat ini, tidak seperti yang diatur dalam HIR.
Menurut pendapat Mochammad Dja’is, “Eksekusi merupakan upaya kreditor merealisasikan hak dan sanksi secara nyata karena debitor tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibanya”.13
Eksekusi dalam praktek tidak selalu didasarkan pada putusan hakim saja, tetapi juga berasal dari putusan oleh badan atau instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang dan yang berasal dari perjanjian. Eksekusi dapat dijalankan atau dilaksanakan berdasarkan Pasal 666 Perdata yang mengatur mengenai eksekusi dahan dan akar, eksekusi terhadap surat paksa dan eksekusi terhadap surat pernyataan bersama. Sehingga pengertian eksekusi adalah upaya paksa untuk merealisasikan hak.
Berkaitan dengan pengertian eksekusiyang semakin berkembang dan dirasa semakin penting. Hak seseorang yang dijamin oleh hukum materil maupun yang sudah tegas dikuatkan oleh pengadilan, tidak ada artinya jika
12 RMJ. Koosmargono, dan Mochhammad Djai’s, 1998, Membaca dan mengerti
HIR,Semarang : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Halaman. 127
13 Mochammad Dja’is, 2004, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Semarang : FH UNDIP, Halaman. 16
17
tidak direalisasikan. Di sinilah dipelukan prosedur khusus yang diartikan sebagai proses penyelesain perkara langsung pada pelaksaan eksekusi, tidak perlu dilakukan melalui pengajuan gugatan pada pengadilan. Istilah eksekusi disini diartikan sebagai realisasi hak kreditor secara paksa dilakukan terhadap debitor yang tidak mau secara sukarela melaksanakan kewajibannya.
2. Jenis-jenis Eksekusi
Pendapat yang diberikan oleh Mochammad Dja’is adalah tentang pembagian secara menyeluruh. Eksekusi dilihat dari cara pelaksanaan tindakan realisasinya, dapt dikelompokan dalam :
a. Eksekusi realisasi tidak langsung
Eksekusi realisasi tidak langsung adalah tindakan paksaan terhadap debitor yang tidak langsung memenuhi kewajibanya. Tindakan ini merupakan paksaan yang langsung untuk merealisasikan hak kreditor.
Dilaksanakan terhadap debitor yang tidak memenuhi kewajibanya.
Eksekusi realisasi tidak langsung ini terdiri dari :
1) Sanksi / hukuman membayar uang paksa, baik karena perjanjian maupun putusan pengadilan.
2) Paksa badan baik terhadap debitor penunggak perseorangan maupun penunggak piutang negara.
3) Penangguhan utang (debitor piutang negara) yang jumlah utangnya minimum 500 juta rupiah atau kurang dari itu tetapi sering bepergian ke luar negri, atau yang beritikad tidak baik, maupun yang barang jaminanya tidak mencukupi untuk membayar utang, dapat dapat di
18
cegah untuk bepergian ke luar negri (Pasal 93-103 Keputusan Kepala BPUPLN Nomor : 38/PN/2000 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara).
4) Penghentian/pencabutan langganan, didasarkan isi perjanjian langganan listrik, air minum, telepon.
5) Pencegahan barang dan/atau saran pengankutan untuk pemenuhan kewajiban pabean (Pasal 65-66 UUkp)
6) “Ancaman” memproses pidana (Pasal 378 KUHP) b. Eksekusi realisasi langsung
Eksekusi realisai langsung merupakan tindakan paksaan yang bertujuan merealisasikan hak kreditor yang dilaksanakan terhadap debitor untuk memenuhi kewajibanya. Eksekusi realisasi langsung ini terdiri dari : 1) Eksekusi membayar sejumlah uang, yang dilakukan terhadap akta
perdamaian (Pasal 130 HIR) dan putusan hakim perdata yang berisi penghukuman pembayaran sejumlah uang, maupun putusan hakim pidana yang menghukum membayar denda.
2) Eksekusi riil, terdiri dari :
a) Eksekusi riil terhadap bangunan yang melanggar ijin mendirikan bangunan (IMB). Bangunan yang didirikan melanggar IMB dapat dibongkar oleh tim yustisi
b) Eksekusi riil terhadap akta perdamaian (Pasal 130 HIR) dan putusan hakim perdata yang berisi tentang penghukuman untuk suatu yang nyata (misalnya pengosongan rumah, pengembalian barang yang di pinjam)
19
c) Eksekusi riil terhadap putusan hakim pidana yang menghukum terpidana dengan hukuman mati, penjara, kurungan, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
d) Eksekusi riil terhadap sanksi adat. Prosedur eksekusi dilakukan sesuai dengan isi sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat adat.
Pelaksanaan sanksi adat biasanya berupa pelanggaran ritual tertentu. Sanksi yang paling berat adalah dikucilkan atau diusir dari masyarakat.
e) Eksekusi riil terhadap isi perjanjian.
f) Eksekusi terhadap barang bukti narkotikan dan psikotropika
3) Eksekusi melakukan perbuatan Pasal 225 HIR, dilakukan terhadap akta perdamaian (Pasal 130 HIR) dan putusan hakim perdata yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu (misalnya mendirikan bangunan, melukis).
4) Eksekusi dengan pertolongan hakim, dilakukan terhadap grosse surat utang notarial dan grosse akta hipotik Pasal 225 HIR, sertifikat hak tanggungan Pasal 20 Ayat (1) Butir b UUHT.
5) Eksekusi oleh diri sendiri :
a. Terhadap sesuatu yang mengganggu hak.
b. Terhadap benda jaminan pemohon banding pada Direktur Jendral Bea Cukai tentang tarif dan nilai pabean untuk penentuan bea masuk atau sanksi administrasi (Pasal 93-94 UUKp)
20 6) Eksekusi otomatis, yaitu eksekusi terhadap :
a. Putusan PTUN yang mengandung kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (9) Butir a, yaitu kewajiban mencabut keputusan tata usah negara yang disengketakan (Pasal 116 Ayat (2) UUPTUN).
b. Barang di pabean yang dinyatakan tidak di kuasai (Pasal 65 UUKp), barang yang dikuasai negara (Pasal 73 UUKp)
7) Eksekusi hierarkis, diatur dalam Pasal 97 ayat (90) Butir b dan c UUPTUN, yang berupa pencabutan keputusan tata usaha negara baru, atau penerbitan keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UUPTUN demikian diatur dalam Pasal 116 Ayat (3) – (6) UUPTUN.