• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT Sindroma nefrotik

N/A
N/A
Rizky Fajriyah R

Academic year: 2022

Membagikan "REFERAT Sindroma nefrotik"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

i

REFERAT

SINDROMA NEFROTIK

Disusun oleh:

Kadek Cahya Adwitiya 21710110

PEMBIMBING:

dr. Yunita Imtihani, Sp.A.

KSM ILMU KEDOKTERAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN NGANJUK

2021

(2)

i

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya, para penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

“Sindroma Nefrotik”. Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di KSM Ilmu Penyakit Anak di RSUD Nganjuk.

Penulis berharap referat ini kedepannya berguna bagi kita semua, khususnya bagi kami dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik untuk memperlancar studinya. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada dr. Agoes Boediono, Sp. A yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan segala masukan, kritik, dan saran demi sempurnanya tulisan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga referat ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait.

Nganjuk, Desember 2021

Penulis

(3)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Sindroma Nefrotik ... 3

2.1.1 Definisi ... 3

2.1.2 Klasifikasi ... 3

2.1.3 Etiologi ... 4

2.1.4 Patogenesis ... 5

2.1.5 Patofisiologi ... 6

2.2 Manifestasi Klinis ... 11

2.3 Diagnosis ... 12

2.3.1 Anamnesis... 12

2.3.2 Pemeriksaan Fisik ... 13

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang ... 14

2.4 Kriteria Diagnostik Spesifik ... 14

2.5 Differential Diagnosis ... 15

2.6 Penatalaksanaan ... 16 ii

(4)

iii

2.7 Pencegahan ... 17

2.8 Prognosis ... 17

BAB III KESIMPULAN ... 18

3.1 Kesimpulan ... 18

3.2 Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 20

iii

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik adalah kumpulan tanda atau gejala yang berkaitan dengan permasalahan pada ginjal (Viswanath,2013). Baik orang dewasa maupun anak-anak dapat mengalaminya, namun sindrom nefrotik merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak-anak, dengan angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa (Nilawati,2012).

Insidennya sekitar 2-3 per 100.000 anak per tahun dan sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik merupakan tipe sensitif terhadap pengobatan steroid yang dimasukkan sebagai kelainan minimal. Insiden penyakit sindrom nefrotik primer dua kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Insiden di Indonesia diperkirakan enam kasus per tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Sindrom nefrotik lebih banyak diderita oleh anak laki- laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1 (Mamesah,2016).

Etiologi sindrom nefrotik dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain-lain (Nilawati,2012). Sindrom nefrotik terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Penyebab peningkatan permeabilitas dinding kapiler tersebut belum diketahui dengan pasti. Mekanisme terjadinya edema pada sindrom nefrotik diakibatkan protein yang hilang lewat urin sehingga mengakibatkan hipoalbuminemia, selanjutnya terjadi penurunan tekanan onkotik plasma yang mengakibatkan perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial (Trihono,2012).Gambaran klinis sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria masif (>40mg/m2/jam), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema, dan hiperkolestronemia (>250 mg/dL). Sebagian besar (90%) sindrom nefrotik pada anak-anak merupakan sindrom nefrotik yang idiopatik. Sisanya (10%) merupakan sindrom nefrotik sekunder yang berhubungan dengan kelainan glomerulus seperti nefropati membranosa dan glomerulonefritis membranoprolifratif. (Nilawati,2012). Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai dengan edema yang timbul pertama kali pada daerah sekitar mata dan ekstremitas bagian bawah. Selanjutnya edema semakin meluas yang ditandai dengan asites, efusi pleura, dan edema pada daerah genital.

Seringkali dijumpai dengan gejala anoreksia, nyeri perut dan diare. Pada kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross. Hasil pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria

(6)

3+ atau 4+ atau protein dalam urin >40 mg/m2/jam; pada 20% kasus dapat dijumpai hematuria mikroskopik. Kadar albumin serum umum berkurang dari 2,5 g/dL dan terjadi peningkatan kolesterol dengan kadar C3 maupun C4 normal (Mamesah,2016).

Berdasarkan respon terapinya, sindrom nefrotik terbagi menjadi sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). Jumlah pasien SNRS pada anak memiliki persentasi yang lebih kecil (20%) dibandingkan dengan SNSS, tetapi SNRS masih merupakan masalah bagi dokter nefrologi anak karena kronisitas, sulitnya penanganan dengan obat-obatan, serta kemungkinan menjadi penyakit ginjal kronik (Mamesah,2016).Sindrom nefrotik pada anak umumnya merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik sering terlihat 95% dari pasien, sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM) (Mamesah,2016). Pada pengobatan dengan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4 – 5% menjadi gagal ginjal terminal dan sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Dalam perjalanan penyakitnya, 76 – 93% akan mengalami relaps, 30% diantaranya akan mengalami relaps sering / frekuen, 10 – 20% akan mengalami relaps jarang. Sedangkan 40 – 50% sisanya akan mengalami dependen steroid (Subandiyah,2014).

Sindrom nefrotik pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi minimal, sebagian besar akan memberikan respons terhadap pengobatan steroid. Pada sindrom nefrotik lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons terhadap pengobatan steroid (Mamesah,2016). Pengobatan sindrom nefrotik anak yang baru pertama kali kena dengan gejala edema ringan dapat dilakukan rawat jalan. Anak sindrom nefrotik pada rentang usia 1 - 8 tahun diduga merupakan sindrom nefrotik kelainan minimal. Oleh karena itu pasien dapat diobati tanpa didahului dengan biopsi ginjal. Sebagian besar pasien dengan sindrom nefrotik kelainan minimal akan mengalami kekambuhan dan frekuesi relaps akan menurun sesuai dengan umur yang bertambah (Nilawati,2012).Perbandingan kasus pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, lebih banyak berlaku pada masa anak dan rasio tersebut berubah pada SN yang dijumpai pada remaja dan usia dewasa. Divisi Nefrologi Anak Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat sekitar 130 kasus baru selama 4 tahun periode 2004-2008. Kami mendapatkan 68 kasus sindrom nefrotik baru selama periode 6 tahun (2001-2007) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3:1 (Nilawati,2012).

(7)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Nefrotik 2.1.1 Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala berupa proteinuria masif (> 40 mg/m2LPB/jam), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL) (Trihono,2012).

Tabel II.1 Batasan dari Sindrom Nefrotik

1. Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu 2. Relaps Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3

hari berturut-turut dalam 1 minggu

3. Relaps jarang Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan

4. Relaps sering (frequent relaps)

Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun 5. Dependen steroid Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau

dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

6. Resisten steroid Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu 7. Sensitif steroid Remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh

selama 4 minggu Sumber: Trihono,2012

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi yang dianjurkan oleh Studi International mengenai penyakit ginjal pada anak/International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) didasarkan pada gambaran histopatologi hasil penemuan biopsi dan temuan klinis pada sindrom nefrotik dengan kelainan glomerulus primer seperti yang tertera di bawah ini:

(8)

1. Kelainan minimal (SNKM) 2. Glomerulosklerosis (GS)

a. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) b. Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) 4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif 5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)

6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) a. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial b. GNMP tipe II dengan deposit intramembran

c. GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial 7. Glomerulopati membranosa (GM)

8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) (Wila,2012).

Selain itu terdapat klasifikasi lain yang didasarkan pada respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan klasifikasi berdasarkan patologi anatomi. Kelompok klasifikasi respons klinis steroid yang termasuk dalam sindrom nefrotik primer atau idiopatik antara lain (Wila,2012):

1. Sindrom nefrotik Sensitif Steroid 2. Sindrom nefrotik Resisten Steroid 2.1.3 Etiologi

Setiap penyakit yang menyebabkan perubahan fisiologi glomerulus sehingga mengakibatkan bocornya albumin plasma ke ruang Bowman dalam jumlah masif dan cukup lama dapat menimbulkan sindrom nefrotik. Terdapat tiga penyebab sindrom nefrotik pada anak antara lain (Andolino,2015):

1. Kelainan glomerulus akibat kelainan bawaan saat lahir disebut sindrom nefrotik kongenital. Umumnya kasus sindrom nefrotik tipe Finlandia yang diturunkan secara autosomal resesif.

2. Penyakit glomerulus primer, penyakit terbatas hanya pada glomerulus sehingga disebut sebagai sindrom nefrotik primer atau idiopatik.

3. Penyakit sistemik dengan ginjal sebagai salah satu organ yang mengikuti penyakit, antara lain autoimun (lupus eritematosus sistemik (LES)), purpura

(9)

5

Henoch-Schӧnlein, amiloidosis, infeksi (infeksi dengan HIV, parvovirus B19, hepatitis B atau C, malaria dan syphilis), endokrin (diabetes mellitus), keganasan (leukemia, lymphoma) dan obat (NSAID, heroin, dan lithium) sehingga disebut sebagai sindrom nefrotik sekunder (Albar,2016).

2.1.4 Patogenesis

Mekanisme patogenesis yang dianggap terjadi pada sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar:

1. Akibat proses imunologis dengan faktor lingkungan serta endogen yang berperan sebagai faktor pencetus dan risiko yang memperberat kelainan glomerulus, 2. Akibat kelainan biokimiawi, biasa pada kelainan kongenital seperti gangguan

metabolisme protein, lipid, dan karbohidrat yang diturunkan secara genetik, 3. Akibat kelainan hemodinamik yang mengganggu integritas sirkulasi kapiler

glomerulus (Wila,2012).

Pada dasarnya ketiga proses tersebut menimbulkan gangguan integritas fungsi kapiler glomerulus sehingga menyebabkan gangguan sawar selektif terhadap muatannya, besarnya molekul menimbulkan gejala proteinuria. Faktor lingkungan seperti infeksi atau konsumsi obat-obatan tertentu dapat berperan sebagai pencetus dan ikut menimbulkan kelainan glomerulus (Viswanath,2013). Sementara faktor- faktor endogen seperti autoantibodi, kompleks imun bersirkulasi, fragmen komplemen reaktif dan protein koagulan dapat berperan sebagai faktor pencetus serta berperan dalam menentukan karakter, luasnya, dan waktu terjadi kelainan.

Mengenai proses imunologis dapat disebutkan bahwa leukosit polimorfonukleus, monosit, limfosit B, trombosit, aktivitas jalur komplemen klasik dan alternatif, koagulasi, prostaglandin, kinin, angiotensin II, histamin, faktor agregasi trombosit, interferon, interleukin, dan metabolit oksigen toksik, semua ikut menentukan timbulnya gejala pada kelainan (Wila,2012).

Pada saat ini patogenesis dasar timbulnya sindrom nefrotik yang banyak dipakai ialah terutama berdasarkan kelainan imunologis. Mekanisme reaksi antibodi antigen glomerulus endogen yang ditemukan pada membran basal dan membentuk deposit linier atau granuler bergantung pada distribusi lokal merupakan proses yang mempunyai dasar patogenesis penting (Viswanath,2013). Antigen yang ditemukan mengendap pada membran basal tersebut bukan berasal dari jaringan ginjal itu

(10)

sendiri (antigen nonrenal). Deposit granuler pada kerusakan glomerulus jenis kompleks imun sebenarnya merupakan hasil reaksi in situ antara antibodi dan antigen non-renal yang terikat pada permukaan glomerulus bukan karena terperangkapnya kompleks imun yang ditemukan pada sirkulasi. Beberapa faktor yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah besarnya ukuran kompleks imun, muatan sawar glomerulus, dan perbedaan daya difusi (Wila,2012).

2.1.5 Patofisiologi A. Proteinuria

Proteinuria merupakan salah satu kelainan utama pada sindrom nefrotik.

Secara klinis merupakan kelainan yang paling penting dalam penegakkan diagnosis sindrom nefrotik, oleh karena itu proteinuria pada sindrom nefrotik dinyatakan “berat” untuk membedakannya dengan kelainan proteinuria lain yang bukan disebabkan oleh sindrom nefrotik. Proteinuria berat telah ditetapkan dengan batasan > 40 mg/m2 LPB/jam (Wila,2012).

1. Selektivitas protein

Kelainan dasar glomerulus menentukan variasi jenis protein yang diekskresikan pada penderita sindrom nefrotik. Pada SNKM proteinuria yang terjadi bersifat selektif karena hampir seluruhnya terdiri dari albumin.

Sementara pada sindrom nefrotik dengan kelainan glomerulus lain didapatkan proteinuria non-selektif, dengan jenis protein yang diekskresi terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul (BM) besar.

Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif, biasanya terdapat pada penderita SNKM dan responsif terhadap steroid.

Namun pemeriksaan ini dianggap tidak efektif karena sangat bervariasi untuk membedakan penderita sindrom nefrotik dan bukan sindrom nefrotik (Wila,2012).

2. Perubahan pada filter kapiler glomerulus

Perubahan permeabilitas membran basal juga tergantung terhadap kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM terdapat penurunan klirens semua protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan

(11)

7

klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Hal inilah yang mendasari kelainan utama sindrom nefrotik berupa hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada sindrom nefrotik dengan kelainan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun dan molekul besar meningkat.

Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan sawar ukuran celah pori atau kelainan dua-duanya.

Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dengan hilangnya proteoglikan sulfat heparan dengan heparatinase mengakibatkan timbulnya albuminuria.

Di samping itu terdapat sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolantonjolan kaki sal epitel suatu protein dengan BM 140.000 disebut podocalyxin mengandung asam sialat terbanyak di daerah tersebut. pada SNKM, kandungan sialo protein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid (Wila,2012).

B. Hipoalbuminemia

Jumlah albumin ditentukan oleh proses sintesis oleh hepar dan pengeluaran dari akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Pada anak dengan sindrom nefrotik biasanya terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dengan derajat hipoalbuminemia (Wila,2012).

Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia menetap, konsentrasi plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena peningkatan degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati (Wila,2012).

C. Kelainan Metabolisme Lemak

Pada pasien sindrom nefrotik primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia terutama pada tipe kelainan SNKM. Umumnya terdapat korelasi

(12)

terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Sementara kadar trigliserida lebih bervariasi bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien sindrom nefrotik konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan terkadang sangat mencolok. Sementara lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal meskipun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Hiperlipidemia dapat disebabkan akibat sintesis yang meningkat atau degradasi yang menurun. Bukti dapat menjelaskan kedua proses abnormal tersebut meningkatnya sintesis lipoprotein di hati, akan diikuti oleh peningkatan produksi albumin secara sekunder melalui jalur yang berdekatan. Namun peningkatan kadar lipid juga dapat terjadi pada kondisi laju sintesis albumin yang normal. Sementara penurunan degradasi dapat terjadi akibat menurunnya aktivitas lipase lipoprotein secara sekunder yang disebabkan hilangnya α- glikoprotein asam sebagai stimulan lipase. Pada dasarnya bila albumin serum kembali normal maka seharusnya kelainan lipid dapat kembali normal. Lipid dapat juga ditemukan dalam urin berbentuk titik lemak oval dan maltese cross (Nilawati,2012).

1. Edema

Terdapat beberapa teori yang dianggap dapat menjelaskan mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik, yaitu underfilled theory dan overfilled theory. Karena proses pembentukan edema bersifat dinamis memungkinkan kedua proses dari dua teori berbeda berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama. Hal ini disebabkan karena kelainan glomerulus dapat timbul akibat lebih dari satu rangsangan. Underfilled theory (Subandiyah,2014).

Teori klasik pembentukan edema adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia akan menyebabkan turunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Hal ini yag mendasari meningkatnya transudasi cairan melewati dinding kapiler dari ruang

(13)

9

intravaskular ke ruang interstisial hingga menyebabkan kondisi edema (Subandiyah,2014).

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam sirkulasi akan menurun dibanding volume sirkulasi efektif.

Penurunan tersebut merupakan stimulasi timbulnya retensi natrium dan air di renal. Kondisi itu ditujukan sebagai kompensasi sekunder tubuh untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular tetap normal. Retensi cairan berkelanjutan menjaga volume plasma, akan mengencerkan protein plasma sehingga menurunkan tekanan onkotik plasma. Pada akhirnya akan mempercepat gerak cairan ke ruang interstisial yang justru memperberat edema hingga tercapai keseimbangan pada kondisi edema stabil (Subandiyah,2014).

Berdasarkan teori ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder. Namun hal tersebut tidak ditemukan pada seluruh penderita sindrom nefrotik (Subandiyah,2014).

.

Gambar II.1 Terjadinya Edema Menurut Teori Underfilled Sumber: Subandiyah,2014

2. Overfilled theory

Beberapa kondisi pada penderita sindrom nefrotik ditemukan meningkatnya volume dengan penekanan aktivitas renin plasma dan kadar

(14)

aldosteron. Hal tersebut yang mendasari timbulnya konsep ini, retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sitemik perifer. Retensi ini yang mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema sebagai akibat dari peristiwa overfilling cairan ke ruang interstisial. Teori ini dapat pula menjelaskan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang menurun secara sekunder terhadap kondisi hipervolemia (Wilson,2015).

Selain gambaran dari dua teori di atas, Meltzer dkk mengusulkan bentuk patofisiologi edema dengan menggunakan istilah berbeda yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokontriksi perifer dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik meski dengan kadar albumin rendah yang biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi ini sesuai dengan teori klasik underfillled yaitu retensi natrium renal dan air sebagai fenomena sekunder. Tipe nefritik ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma serta aldosteron yang rendah kemudian dapat meningkat sesudah persediaan natrium habis.

Biasanya tipe nefritik ditemukan pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma yang tinggi dibanding tipe nefrotik.

Karakteristik patofisiologi tipe ini sesuai dengan teori overfilled bahwa retensi natrium renal dan air merupakan fenomena primer intrarenal (Wilson,2015).

Gambar II.2 Terjadinya Edema Menurut Teori Overfilled Sumber: Wilson,2015

(15)

11

2.2 Manifestasi Klinis

Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah, sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keaadan ini orang tua pasien sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat.

Timbulnya edema pada anak dengan sindroma nefrotik disebut bersifat perlahan – lahan.

Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit sindroma nefrotik umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya (Wila,2012).

Gangguan gastrointestinal sering ditemukan pada perjalanan penyakit sindrom nefrotik.

Diare sering dialami dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini tidak berhubungan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat atau oedem atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut kadang- kadang berat, dapat terjadi pada keadaan sindrom nefrotik yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerha kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema, diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien

(16)

sindroma nefrotik non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalisdan prolaps ani (Wila,2012).

Gangguan pernapasan terjadi karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid (Wila,2012).

Gejala sindrom nefrotik pada pasien biasanya datang dengan edema palpebra dan pretibia.

Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur, semakin siang edema palpebra akan semakin berkurang namun akan tampak edema pretibia. Apabila lebih berat akan disertai asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih. Gejala lain yang dapat timbul namun jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare, dan lain-lain. Pada sindrom nefrotik sekunder akan disertai gejala penyakit dasarnya (Wila,2012).

2.3 Diagnosis 2.3.1 Anamnesa

• Riwayat Penyakit Sekarang

➢ Kapan waktu munculnya oedem?

➢ Bagaimana karakteristik oedem? (muncul bengkak pertama kali dari bagian tubuh yang mana, apakah bengkak kanan dan kiri, apakah bengkak hilang pada waktu tertentu, apa yang memperburuk keadaan bengkak)

➢ Gejala atau tanda yang berhubungan (makro/mikroskopis hematuria, demam, oliguria, muntah, nyeri perut, hipertensi, kemerahan pada kulit, nyeri sendi)

➢ Riwayat travel

➢ Riwayat infeksi

➢ Riwayat pengobatan

➢ Riwayat keracunan (Andolino,2015).

• Riwayat Penyakit Keluarga

➢ Tanyakan adanya riwayat sindrom nefrotik pada keluarga

➢ Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal lainnya pada keluarga

➢ Tanyakan riwayat penyakit lainnya pada keluarga (Andolino,2015).

(17)

13

• Riwayat Penyakit Dahulu

➢ Riwayat pre/perinatal

➢ Riwayat tumbuh kembang

➢ Usia saat gejala muncul

➢ Tanyakan apakah anak pernah mengalami penyakit sistemik (seperti autoimun, neurologi, metabolic, kongenital, ataupun kanker)

➢ Tanyakan apakah sebelumnya anak mengalami penyakit ingeksi (seperti infeksi saluran napas, infeksi saluran kemih, ataupun infeksi saluran pencernaan) (Andolino,2015).

2.3.2 Pemeriksaan Fisik

• Tanda-Tanda Vital

• Nadi

• Pernapasan

• Suhu

• Tekanan darah

• Berat badan

• Saturasi oksigen (Andolino,2015).

• Edema

➢ Periorbital

➢ Pretibial

➢ Genital

➢ Ascites

➢ Bowel wall edema

➢ Efusi pleura

➢ Edema pulmonal

➢ Anasarka (Andolino,2015).

• Gejala/tanda hipovolemi

➢ Nyeri perut

➢ Takikardi

➢ Ujung tangan atau kaki dingin

➢ Capillary refil time > 2 s (Andolino,2015).

(18)

• Gejala/tanda infeksi atau gangguan sistemik

➢ Demam

➢ Kemerahan pada kulit

➢ Purpura

➢ Nyeri sendi (Andolino,2015).

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan darah

➢ Darah tepi lengkap

➢ Elektrolit

➢ Serum total protein, albumin, kolesterol serum dan trigliserida

➢ Faktor koagulasi

➢ Ureum, kretinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau Schwartz

➢ Komplemen C3; bila dicurigai sindrom nefrotik akibat Lupus Eritematosus Sistemik ditambah pemeriksaan dengan komplemen C4, ANA (Anti Nuclear Antibody), dan anti ds-DNA (Albar,2016).

b. Pemeriksaan urin

➢ Urinalisis (sampel diambil dari urin pagi)

➢ Biakan urin dilakukan jika ada indikasi infeksi saluran kemih

➢ Uji kuantitatif protein urin, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari (Albar,2016).

2.4 Kriteria Diagnostik Spesifik

➢ Edema, sebagai gejala klinis utama edema dapat terjadi mulai dari derajat ringan dengan pembengkakan tungkai atau kelopak mata sampai yang berat yaitu pembengkakan seluruh tubuh (anasarka). Umumnya timbul secara perlahan dan sering timbul di tungkai bawah yang kemudian menghilang pada malam hari dan berpindah ke daerah wajah atau kelopak mata yang terlihat pada pagi harinya. Edema perlahan- lahan menjalar ke tempat lain di tubuh sampai ke jaringan longgarnya seperti pada vulva atau skrotum. Dapat ditemukan asites yang cukup besar hingga menyebabkan mengganggu pernapasan.

➢ Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau ≥ 0,05 g/kgBB/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2 +).

➢ Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL.

(19)

15

➢ Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL (Albar,2016).

2.5 Differential Diagnosis

Proteinuria transien

a) Proteinuria ringan (uPCR < 1).

b) Ditemukan setelah latihan berat, demam, dehidrasi, kejang dan terapi agonis adrenergik.

c) Membaik dalam beberapa hari (tidak mengindikasikan kelainan ginjal).

Proteinuria postural (ortostatik)

a) Terjadi pada saat berdiri, sedangkan bila berbaring, ekskresi protein dalam rentang normal.

b) Ditemukan pada remaja yang tinggi, kurus, dan tidak berhubungan dengan kelainan ginjal progresif.

c) Beberapa anak mengalami keadaan ini sampai memasuki usia dewasa.

Proteinuria tubular

a) Ditandai dengan pengeluaran protein dengan berat molekul rendah dalam jumlah besar.

b) Biasanya dihubungkan dengan nekrosis tubular akut (NTA), pielonefritis, kelainan struktur ginjal, penyakit ginjal polikistik, dan toksin tubular (seperti antibiotik dan obat kemoterapi tertentu).

c) Sindrom fanconi: suatu keadaan proteinuria tubular disertai dengan kebocoran elektrolit dan glikosuria.

Proteinuria glomerular

a) Ditandai dengan proteinuria yang terdiri dari protein dengan berat molekul besar dan kecil disertai dengan bukti penyakit glomerular (hematuria, hipertensi, dan insufisiensi ginjal).

b) Terjadi pada:

1. Disrupsi kapiler glomerulus (sindrom hemolitik uremik, glomerulonefritis kresentik)

2. Deposisi kompleks imun di kapiler glomerulus (glomerulonefritis pasca-streptococcus dan nefritis lupus)

3. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus (SNKM, SN kongenital)

(20)

2.6 Penatalaksanaan

Bila sindroma nefrotik telah ditegakkan jangan dimulai untuk terapi kortikosteroid karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%kasus. Terapi steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam 10-14 hari. protokol pengobatan (ISKDC):

➢ Pemberian prednisone oral sebesar 60 mg/m2/hari (dosis maks 80 mg/hari) diberikan selama 4 minggu

➢ Selanjutnya diberikan dosis rumatan 40 mg/m2/hari diberi selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu

➢ Setelah itu pengobatan dihentikan (Debbie,2019).

A. Sindroma Nefrotik Serangan Pertama

➢ Perbaiki keadaan umum

• Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak

• Tingkatkan kadar albumin serum, jika perlu transfuse plama atau albumin

• Berantas infeksi

• Berikan terapi supportif

• Tirah baring bila ada edema anasarca

• Jika ada hipertensi ditambahkan obat anti hipertensi (Debbie,2019).

➢ Terapi prednison

• Terapi dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam 10-14 hari (Debbie,2019).

B. Sindroma Nefrotik Serangan Kambuh

1. Sindroma Nefrotik Kambuh Tidak Sering

Kondisi kambuh<2 kali dalam masa 6 bulan atau< 4 kali dalam masa 12 bulan a. Indikasi

➢ Prednison 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB/hari) maks 80 mg/ hari diberikan dalam 3 dosis selama 3 minggu

b. Rumatan

➢ Setelah 3 minggu, prednisone dosis 40 mg/mg2/48 jam. Diberi selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu

➢ Setelah 4 minggu prednisone dihentikan (Mallory,2017).

(21)

17

2. Sindroma Nefrotik Kambuh Sering

Kondisi kambuh >2 kali dalam masa 6 bulan atau >4 kali dalam masa 12 bulan a. Indikasi

➢ Prednison 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB/hari) maks 80 mg/ hari diberikan dalam 3 dosis setiap hari selama 3 minggu

b. Rumatan

➢ Setelah 3 minggu, prednisone 60mg/mg2/48 jam. Diberi selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu

➢ Setelah itu diberi prednisone 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu

➢ Setelah itu, diberi prednisone 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu

➢ Setelah itu, diberi prednisone 10 mg/m2/48 jam selama 1 minggu

➢ Prednison dihentikan (Passini,2017)

Saat Prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.

Indikasi rujuk ke Dokter Spesialis Nefrologi Anak: anak tidak merespon terhadap pengobatan awal, relaps frekuen terdapat komplikasi, terdapat kontraindikasi, terhadap steroid (Passini,2017)

2.7 Pencegahan

Mengatasi timbulnya relaps sangat penting. Relaps kebanyakan terjadi sesudah infeksi saluran napas sehingga upaya mencegah anak kontak dengan pasien infeksi saluran napas sangat bermanfaat. Relaps dapat juga timbul sesudah imunisasi oleh karena itu lebih disukai menunda imunisasi rutin sampai anak dalam keadaan remisi dan sekitar 6 bulan bebas prednison (Mahan,2014).

2.8 Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan sebagai berikut:

➢ Disertai hipertensi

➢ Disertai hematuria

➢ Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder (Mahan,2014).

(22)

18

KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala berupa proteinuria masif (> 40 mg/m2LPB/jam), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL). Pasien dengan sindrom nefrotik memiliki gejela edema palpebra dan pretibia, edema pretibia, lebih berat akan disertai asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura. Jika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih. Penatalaksanaan umum pada anak dengan sindroma nefrotik adalah diit, diuretik, dan imunisasi. Pemberian diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Pada sindroma nefrotik idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik tergantung dari tipe histopatologinya. Pasien dengan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya End Stage Renal Disease (58,6%) dibanding dengan pasien dengan Diffuse Mesangial Proliferasion (DMP) sebanyak 50% dan Minimal Change Disease (MCD)sebanyak 4,9%.%.

3.2 Saran

1. Profesi Kedokteran

Saran penulis kepada tenaga kesehatan agar kiranya lebih aktif dalam memberikan pendidikan kesehatan mengenai sindroma nefrotik pada anak pada orang tua yang memiliki balita, dan juga orang tua diberikan penyuluhan jika anak terjadi sindroma nefrotik tidak boleh panik

(23)

19

2. Penulis Selanjutnya

Melanjutkan yang belum sempat dilakukan mengenai penangananaan sindroma nefrotik pada anak dan menggali penelitian yang lebih tinggi yaitu analisa Bivariat dan Multivariat serta dapat menggunakan sebagai tolak ukur untuk penelitian selanjutnya yang akan mengambil topik yang sama

(24)

20

DAFTAR PUSTAKA

Albar, Husein. 2016. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal pada Anak. Sari Pediatri; 8(1): 60-68.

Andolino, Tecile Prince. 2015. Nephrotic Syndrome. Pediatrics in Review; 36(3): 117-126.

Debbie S. Gipson, et al. 2019. Management of Childhood Onset Nephrotic Syndrome. Journal of the American Academy of Pediatrics; 124( 2): 747-757.

Mahan, John, D. 2014. Sindrom Nefrotik dan Proteinuria. Dalam: Marcdante, Karen J., Suryawan, Ahmad Editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi 6. Singapore;

Saunders.

Mallory L. Downie, et al. 2017. Nephrotic syndrome in infants and children: pathophysiology and management. Paediatrics and International Child Health; 37(4): 248-258.

Mamesah, Robin S., Adrian Umboh, dan Gunawan Stevanus. 2016. Hubungan Aspek Klinis dan Laboratorik dengan Tipe Sindrom Nefrotik pada Anak. Jurnal e-Climic; 4(1): 349- 353.

Nilawati, GAP. 2012. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri; 14(4): 269-272.

Pasini, Andrea, et al. 2017. The Italian Society for Pediatric Nephrology (SINePe) consensus document on the management of nephrotic syndrome in children: Part I - Diagnosis and treatment of the first episode and the first relapse. Italian Journal of Pediatrics; 43(41): 1- 15.

Subandiyah, Krisni. 2014. Outcome Sindrom Nefrotik pada Anak – Penelitian Prospektif Studi Cohort. Jurnal Kedokteran Brawijaya; 20(3): 147-151.

Trihono, Partini Pudjiastuti, et al. 2012. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak edisi II. Jakarta: Badam Penerbit IDAI.

Viswanath, Deepak. 2013. Nephrotic Syndrome in Children. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and Radiology; 25(1): 18-23.

Wila Wirya, IGN. 2012. Sindrom Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi II. Jakarta:

Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 381-426.

Wilson, Lorraine M. 2015. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi VI. Jakarta: EGC. Hal: 867- 894

(25)

21

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang diharapkan untuk mengatasi masalah gangguan citra diri adalah citra diri klien meningkat dengan kriteria hasil : mampu menyatakan atau mengkomunikasikan

Lahmar dan Benjafaar (2002) membuat model yang sama dengan Balakrisnan et al dengan metode dekomposisi yang terdiri dari dua sub-problem yang saling berkaitan satu sama lain yakni

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : BA/46/III/2015/ULP, tanggal 10 Maret 2015, sehubungan dengan pengadaan pekerjaan tersebut di atas, kami Unit

Selain itu website ini juga menyediakan fasilitas pemesanan, yaitu pengunjung harus mengisi formulir pemesanan yang telah tersedia

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan kualifikasi usaha kecil, klasifikasi bidang arsitektural sub bidang

Website Band Dikgenikz ini dibuat untuk mempromosikan Band,agar masyarakat luas dapat dengan mudah memperoleh informasi-informasi mengenai Band Dikgenikz dan dapat