• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahkan Tuhan pun Bersyukur

N/A
N/A
Arie S.

Academic year: 2022

Membagikan "Bahkan Tuhan pun Bersyukur"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAHKAN TUHAN PUN BERSYUKUR 1

Jejen Musfah

Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1 Diterbitkan oleh Penerbit Hikmah pada 2003

(2)

DAFTAR ISI Pengantar Penulis

Urgensi Hati Dalam Kehidupan (KH. Dr. Didin Hafiduddin) Bahkan Tuhan Pun Bersyukur

Dan Tuhan Pun Menjawab Dari Hitam Menjadi Putih Islam Dan Etos Kerja Memenuhi Hak Anak

Hijrah Dan Rekonstruksi Moral Hidup Tentram Dengan Ikhlas Kebersihan Hati

Keseimbangan Jasmani Dan Ruhani Menggali Makna Puasa

Malu Kepada Allah Menghormati Orang Tua Mematahkan Tipu Daya Syetan Membimbing Pembantu Menahan Marah

Menebar Kasih Sayang, Menuai Damai Meneladani Akhlak Suci Al-Amien Mengejar Pangkat

Menjalankan Urusan Akhirat Menuju Ketenangan Hati Namimah Melampaui Langit

Pilih Mana, Materialis Atau Spiritualis?

Riya Itu Syirik Kecil Sabar

Setelah Memperoleh Petunjuk:

Memahami Rahasia Hati Takabur

Takut Kepada Allah

Allah Yang Maha Pengampun Tawakkal

Munajat

(3)

PENGANTAR PENULIS

Hanya bagi Allah milik segala pujian yang ada di bumi dan langit. Dialah Tuhan alam semesta ini. Saya bersujud di hadapan-Nya dengan hati yang khusu‟ dan pikiran yang tertuju hanya kepada-Nya. Dialah yang telah memberikan nikmat sehat jasmani dan ruhani kepada saya, juga kepada manusia seluruhnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., kepada keluarga, para sahabat, juga para pengikutnya yang setia dalam menjalankan sunnahnya. Dialah yang mengajarkan kepada umatnya betapa kehidupan akhirat lebih utama dibanding kehidupan dunia ini. Juga yang telah menunjukkan akhlak mulia di hadapan para sahabat dan pengikutnya.

Karena pertolongan Allah pula saya bisa menyelesaikan penulisan buku ini tanpa ada kesulitan yang berarti. Sebab kalimat-kalimat yang sampai tertulis dalam setiap lembaran kertas ini mengalir begitu saja, padahal kesibukkan bekerja dan kuliah tak bisa dihindarkan. Sebagian buku ini merupakan kumpulan tulisan ringan saya yang pernah dimuat di media massa, Jurnal, maupun Bulletin. Sebagiannya lagi sengaja ditulis untuk melengkapi topik bahasan yang dirasa perlu—utamanya yang berkaitan dengan hati. Saya menulisnya saat istirahat, di mana saja, bahkan saat melakukan perjalanan dengan mobil dan kereta sekalipun.

Mengapa harus menulis perkara qalbu? Ada apa dengan qalbu?

Qalbu atau hati adalah motor penggerak setiap perbuatan manusia. Setiap hari bahkan setiap saat kita melakukan aktivitas berdasarkan bisikan hati. Dari perilaku manusia kita bisa melihat bagaimana kualitas hatinya. Hati yang bersih akan condong pada kebaikan dan

kebenaran. Sebaliknya hati yang kotor akan cenderung pada keburukan dan kesalahan. Di sinilah pentingnya membasuh hati agar tetap bersih. Sehingga dari cahaya hati inilah akan keluar akhlak terpuji dan mulia. Cahaya hati tidak saja akan menyinari pemiliknya, tapi orang lain pun akan merasakan hangatnya.

Jika manusia ingin mencapai derajat takwa dan muslim yang “sempurna”, maka ia harus terlebih dahulu mensucikan hatinya. Ada banyak cara melatih agar hati tetap bersih. Inilah yang sering luput dari perhatian manusia pada umumnya. Bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Sebagaimana jasmani, ruhani juga membutuhkan makanan, yaitu spiritual. Sari pati makanan spiritual inilah yang akan melekat dalam hati manusia. Hati bukan saja akan menjadi keras dan hitam, bahkan beku jika tidak pernah mendapatkan sentuhan dan siraman air spiritual.

Manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhan jasmaninya kapan dan di mana saja ia suka. Semuanya sudah tersedia dalam aneka warna, rupa, dan bentuk yang melimpah ruah. Coba lihat, berapa jumlah warung nasi, toko pakaian, toko perhiasan, dan seterusnya. Belum termasuk yang namanya mall, hotel, dan villa. Lalu bagaimana cara mengisi kebutuhan spiritual ruhani kita?

Kecuali dengan mengikuti pengajian, siraman ruhani, puasa, shalat dan dzikir, membaca buku-buku tasawuf bisa menjernihkan hati. Tidak banyak orang yang punya kesempatan ikut serta dalam kajian-kajian keagamaan, mungkin sebab kesibukannya yang padat atau perkara malas saja. Bagi mereka, buku ini mungkin bisa dibaca saat di perjalanan, saat istirahat, kapan dan di mana saja. Sebab, cara penulisannya sengaja dibuat dengan gaya yang ringan sehingga mudah ditangkap isinya. Demikian apa yang saya rasakan. Mudah-mudahan apa yang saya rasakan itu juga sama dengan tuan-tuan saat membaca buku ini.

Materi buku ini memang tidak selalu membicarakan tentang hati secara langsung.

Dibahas juga soal puasa dan bagaimana sosok Nabi itu, serta bagaimana ajaran-ajaran beliau

(4)

dalam banyak hal—yang penting diketahui oleh umat Muhammad. Inti pesan moral dari semua tulisan itu adalah ingin hati pembacanya menjadi lembut dan selalu condong pada kebenaran dan kebaikan—sesuai ajaran Nabi.

Kepada tuan-tuan yang telah membeli buku ini saya ingin mengucapkan terima kasih.

Saya sadar buku ini banyak kelemahan dan kekurangan di sana-sini. Karena itu, jika ada di antara tuan-tuan yang lebih ilmunya dari saya, sudi kiranya memberikan masukkan koreksinya untuk perbaikan buku ini di masa mendatang. Semoga Tuhan memberikan pahala yang setimpal atas kebaikan tuan.

Akhirnya, semoga karya sederhana ini punya manfaat untuk membangun moral umat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Semoga pula ia dicatat sebagai amal saleh yang akan meringankan penulis dari siksa kubur dan api neraka. Wallahu a'lam.

Bogor, 28 September 2002

Jejen Musfah

(5)

Urgensi Hati dalam Kehidupan Pengantar: KH. Dr. Didin Hafiduddin

Buku yang sedang anda baca ini bicara persoalan hati, Meraih Ketenangan Qalbu.

Sebuah tema yang sedang amat digandrungi oleh masyarakat dewasa ini. Membicarakan tentang hati tidak akan lepas dari tasawuf. Jika filsafat berusaha mengetahui Tuhan lewat akal dan pikiran manusia, maka tasawuf berusaha mendekati dan mengetahui Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu dengan hati atau dalam bahasa Arab disebut qalbu.

Di tengah situasi krisis ekonomi dan politik bangsa Indonesia yang belum kunjung usai ini, tata kehidupan masyarakat semakin tak menentu. Kemudian muncullah situasi chaos dalam perilaku masyarakat: penjarahan, penodongan, pembunuhan, pembakaran, korupsi dan kolusi semakin menggurita serta sikap-sikap anarkis lainnya, pada satu sisi. Namun ada sebagian

anggota masyarakat yang berduyun-duyun memenuhi pengajian spiritual, pada sisi yang lain. Apa yang mereka damba adalah keinginan memperoleh kesejukan dan ketenangan hati melalui ajaran- ajaran tasawuf.

Dalam konteks itu, buku ini bisa menjadi pengisi kekosongan jiwa manusia dari udara spiritual. Lewat tema-tema yang erat kaitannya dengan kehidupan ini, penulis buku ini telah berusaha mengaktualisasikan pesan-pesan yang dikandung dalam tema-tema itu dengan tutur bahasa yang mudah dimengerti dan menyejukkan.

Kembali kepada persoalah inti (core) buku ini. Persoalan hati adalah persoalan yang sangat esensial, bahkan paling vital bagi kehidupan umat manusia. Ucapan yang baik, terukur dan terkontrol, pikiran yang jernih dan cerdas serta prilaku yang terpuji, merupakan refleksi dan manifestasi dari hati yang baik. Sebaliknya, ucapan yang kotor, tidak bernilai, bahkan cenderung merusak, seperti berdusta, memfitnah, mengadu domba dan perilaku tercela lainnya, adalah refleksi dan manifestasi dari hati yang kotor dan rusak.

Demikianlah, pada hakikatnya hati terbagi menjadi dua. Hati yang baik dan tidak baik.

Hati atau kalbu yang tidak baik dikemukakan Allah dalam ayat Al-Quran dengan menggunakan berbagai istilah. Pertama, qalbun qaswah, yaitu hati yang tidak pernah mau menerima nasihat dan pelajaran—baik pelajaran dari ayat-ayat tanzîliyah maupun ayat-ayat kauniyah. Allah menyebut hati kaum Nabi Musa dengan sebutan hati yang keras, sebab mereka tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang telah Allah berikan kepada mereka. Misalnya, dengan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia. Setelah nyata kekuasaan dan kebesaran Allah di depan mata mereka, namun hati mereka tidak juga lemah dan tunduk kepada Allah. Hati manusia yang demikian digambarkan oleh Allah seperti batu, bahkan kerasnya melebihi batu.

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan sekali-kali tidak lengah dari apa yang kemu kerjakan. (QS Al-Baqarah [2]: 74)

Kedua, qalbun ghalîdh, yaitu hati yang kasar, kejam dan cenderung ingin menang sendiri.

Allah berfirman dalam menyebutkan di antara sifat nabi Muhammad:

(6)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Âli „Imrân [3]: 159)

Ketiga, qalbun marîdh (QS Al-Baqarah [2]: 10), yaitu hati yang sakit dan lemah, yang cenderung mendorong kepada perilaku kemunafikan, tidak berani mengemukakan identitas diri ketika bergaul dengan sesama kaum muslim. Kelihatan keislamannya, tetapi ketika bergaul dengan orang-orang kafir, kelihatan pula kekafirannya. Mulutnya mengucapkan iman kepada Allah dan hari akhir, tetapi yang sebenarnya ia tidak beriman sama sekali.

Sedangkan untuk hati yang baik, Al-Quran mengistilahkan dengan: pertama, qalbun salîm (QS Al-Syu‟arâ‟ [26]: 89), yaitu hati yang pasrah kepada peraturan Allah Swt. Orang yang mempunyai hati yang pasrah akan mendapatkan kehidupan yang selamat di dunia maupun di akhirat nanti. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar ia diselamatkan pada hari kebangkitan nanti. Pada hari itu, baik harta maupun anak laki-laki tidak akan berguna. Yang akan menuai selamat adalah orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Kedua, qalbun munîb (QS Qâf [50]: 33), yaitu hati yang banyak bermuhasabah,

melakukan introspeksi dan evaluasi diri sehingga banyak kembali kepada Allah Swt. Hal tersebut ditunjukkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia di dunia ini. Disebutkan dalam Al-Quran bahwa, hati yang senantiasa bertaubat akan memperoleh balasan berupa kenikmatan syurga. Hati mereka senantiasa tertuju kepada Allah, dan merasa takut kepada-Nya jika berbuat salah.

Ketiga, qalbun itmi‟nan (QS Al-Ra‟d [13]: 28-29), yaitu hati yang selalu berusaha untuk meraih ketenangan dengan banyak berdzikir kepada Allah Swt., baik dzikir dengan lisan, kalbu, maupun amal perbuatan. Singkatnya, mewujudkan nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan

kesehariannya.

Hati yang tenang inilah yang kelak akan dipanggil oleh Allah Swt. dengan panggilan yang sangat indah, sebagaimana dikemukakan dalam QS [89]: 27-30: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku”.

Yang perlu disadari adalah, bahwa kalbu—sesuai dengan makna bahasanya—selalu berpindah-pindah dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kadangkala memiliki ketenangan pada suatu waktu, tetapi dalam waktu yang tidak lama berubah menjadi suatu kegelisahan.

Kadangkala memiliki kegembiraan pada suatu waktu, tetapi dalam waktu yang tidak lama berubah menjadi suatu kesedihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kadangkala memiliki rasa takut dan pesimistik yang luar biasa, tetapi kemudian berubah menjadi optimistik dan penuh harapan. Karena itu, upaya-upaya untuk menjadikan hati penuh ketenangan, harus terus menerus dilakukan dengan berbagai macam cara. Bagaimana cara menenangkan kalbu telah banyak digariskan di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Saw.

Di sinilah nilai penting kehadiran buku Meraih Ketenangan Kalbu ini. Buku yang ditulis oleh Sdr. Jejen Musfah ini merupakan buku yang berisikan cara-cara mengusir kegelisahan hati, sehingga menjadikan hati senantiasa merasa tenang. Dengan demikian, buku ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, karena memang kita selalu berusaha untuk mendapatkan ketenangan kalbu.

(7)

Ya, setiap manusia mendambakan ketenangan hati dalam mengarungi hidup ini. Hati yang tenang akan melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan hidup sang pemiliknya. Sebaliknya, hati yang gelisah akan menuntun manusia kepada kesengsaraan dan nestapa hidup, yang tidak jarang menjadi bencana seumur hidup. Hati yang tenang hanya bisa dirasakan oleh hati yang baik.

Pun sebaliknya, hati yang senantiasa merasa resah dan gelisah merupakan tanda bahwa hati itu tidak baik.

Karena itu, penting ditegaskan di sini bahwa, dzikir akan membuahkan hati yang baik dan tenang. Dzikir lisan bisa dilakukan dengan membaca—dengan mengeluarkan suara pelan—

asma-asma Allah dalam setiap keadaan, khususnya setelah melakukan shalat fardhu dan sunnah.

Dzikir kalbu berarti di mana hati senantiasa mengingat kebesaran dan kesucian Allah. Sehingga dalam keadaan apa pun—senang maupun susah, sibuk maupun santai—hati selalu mengingat- Nya.

Sedangkan yang terakhir, dzikir amali. Maksudnya, setiap perbuatan hendaknya ditujukan hanya kepada Allah Swt. Dengan demikian, karena tujuan perbuatan itu kepada Yang Suci dan Tinggi, maka yang akan lahir adalah perbuatan-perbuatan yang suci dan bernilai tinggi pula. Karena perbuatan itu bernilai tinggi, maka hasilnya akan bermanfaat untuk kemaslahatan umat di dunia ini. Sebaliknya, Yang lahir bukan tindakan kotor dan keji serta bernilai rendah.

Perbuatan yang kotor dan keji inilah yang menghilangkan maujudnya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini.

Demikianlah, ketenangan hati bisa diraih dengan mensinergikan ketiga macam dzikir di atas. Ketiganya harus berjalan seiring. Dengan ungkapan lain, dzikir (ingat) kepada Sang Pencipta tidak boleh melupakan kita dari dzikir kepada sesama ciptaan-Nya. Sebesar dan sekuat keinginan manusia untuk mengingat Allah Swt., sebesar dan sekuat itu pula seharusnya ia mengingat nasib manusia lainnya di bumi ini. Wallahu a‟lam bi al-shawâb.

Bogor, Syawal 1423 H/Desember 2002

(8)

BAHKAN TUHAN PUN BERSYUKUR

“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”. Abul Qasim Al-Junaid Kita mungkin sering mendengar kata syukur. Tidak heran kalau hati (tepatnya:

perasaan) tidak merasakan apa-apa ketika mendengar kata tersebut. Mungkin karena sudah sejak lama kita terlatih mendengar kata syukur. “Pandailah bersyukur kepada Allah,” demikian biasanya orang tua kita mengajarkan. Sehingga kata itu bisa berlalu begitu saja tanpa bekas. Tetapi kali ini, mari kita coba bertanya pada diri kita masing- masing, tahukah kita apa itu makna syukur yang sebenarnya?

Mungkin di antara tuan-tuan ada yang diam sejenak mendengar pertanyaan sederhana ini. Tuan-tuan terpaksa membuka file-file lama dalam otak, siapa tahu ada sedikit informasi tentang “makhluk” yang bernama syukur tersebut. Saya yakin jawaban yang keluar pasti berbeda dari setiap kita. Dan setiap orang punya hak untuk memberikan jawaban menurut seleranya masing-masing, sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki.

Saya tidak bermaksud pesimis, dengan mengangkat tema syukur ke hadapan tuan-tuan. Tapi anggaplah saya ini sebagai orang yang mengingatkan kembali pelajaran yang telah tuan-tuan terima dahulu. Mungkin ada manfaat yang bisa kita raih bersama dari penjelasan tema syukur ini. Dan karena saya orang awam, maka saya coba sekuat kemampuan saya untuk mengambil rujukan pada Kitab Suci Al-Quran.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Allah Swt. telah melimpahkan banyak kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya di dunia ini. Sebut saja misalnya, mereka dikasih pendengaran, penglihatan dan hati, namun sedikit sekali yang mau bersyukur (Baca QS Al-Mu‟minûn [23]: 78). Menurut ayat ini, ada manusia yang tidak menggunakan panca inderanya untuk memperhatikan bukti-bukti Kebesaran dan Keesaan, serta Kepemurahan Allah, yang dapat membawa mereka beriman, taat dan patuh kepada-Nya.

Jadi definisi syukur menurut Al-Quran adalah ungkapan terima kasih atas nikmat-nikmat yang telah diberikan, dengan jalan menggunakan nikmat-nikmat tersebut sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam konteks ini, menggali kebenaran ilmu pengetahuan dan agama termasuk ibadah, jika diiringi niat untuk menemukan Kebesaran Allah yang ada pada alam raya ini. Dengan kata lain, tujuan semua itu untuk menambah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.

Setiap makhluk yang bernafas di muka bumi ini pasti merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. Kenikmatan tersebut amatlah banyak dan tak terhingga.

Sehingga tidak ada satu pun diantara manusia yang akan mampu menghitung berapa banyak nikmat yang telah diberikan-Nya kepada setiap individu manusia ini. Bahkan seandainya—meminjam istilah Al-Quran—dedaunan yang ada di muka bumi ini dijadikan kertas dan lautan sebagai tintanya, maka niscaya tidak akan mampu menghitung nikmat Tuhan.

Untuk itulah Allah Swt. dalam banyak ayat memerintahkan manusia untuk pandai bersyukur. Ketika seorang hamba Allah bersyukur, bukan saja ia akan memperoleh keselamatan dunia-akhirat, Allah akan menambah nikmat yang telah

(9)

diberikan tersebut (Baca QS Ibrâhim [14]: 7). Sungguh ini merupakan bukti Kemurahan Tuhan bagi manusia. Betapa Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang pandai

bersyukur.

Akan tetapi, dalam kenyataannya masih banyak manusia yang tidak pandai bersyukur. Mereka habiskan harta dan waktu sehatnya untuk hal-hal yang tidak

berfaidah. Aktivitas-aktivitas keseharian mereka, banyak digunakan untuk sesuatu yang hanya membawa kesenangan sesaat, bukan kesenangan jangka panjang. Manusia kebanyakan belum terbiasa memanfaatkan potensi pendengaran, penglihatan dan hati untuk menggali rahasia ke-Maha Besar-an Tuhannya. Sehingga keyakinan mereka akan adanya Tuhan bertambah kuat.

Bersyukur bukan hanya sebatas ucapan alhamdulillâh. Syukur melebihi sekedar ucapan tahmîd. Seraya mengucapkan tahmîd, orang harus pula bergerak maju untuk menyibak rahasia yang tersembunyi dari alam ini. Dengan ungkapan lain, galilah dan raihlah ilmu pengetahuan (science) sedalam dan setinggi mungkin. Inilah makna syukur secara hakiki. Nah, setelah kita memperoleh ilmu pengetahuan, di sana kita akan menemukan Kebesaran Tuhan.

Bagi orang-orang yang bersyukur (baca: berfikir) itulah, Allah pun bersyukur (QS An-Nisâ‟ [4]: 147). Artinya, Allah akan memberi mereka pahala, mengampuni kesalahannya, dan menambahkan nikmat-Nya. Beruntunglah orang-orang yang demikian.

Sebab mereka memperoleh kenikmatan dan kedudukan di sini. Di akhirat nanti, mereka akan diterima di sisi Allah Swt. dengan kenikmatan yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun oleh mereka.

Seiring dengan perkembangan zaman, memiliki semangat belajar dan dinamis adalah arti lain dari syukur. Inilah makna esoteris dari syukur. Dimana manusia memanfaatkan potensi inderawi, akal, dan qalbunya untuk memperoleh kebenaran di bidang ilmu pengetahuan maupun agama. Sudah tidak diragukan lagi, manusia seperti inilah yang akan survive dalam percaturan dunia saat ini. Sebaliknya manusia yang santai, malas berfikir, akan hidup laksana buih ombak di lautan. Hidupnya akan terombang-ambing, tidak punya arah tujuan yang pasti.

Inilah sisi lain dari tanda orang yang bersyukur menurut tinjauan Al-Quran. Ada juga sebagian ulama yang menjelaskan, bahwa tanda atau ciri orang bersyukur itu adalah ia rajin mendermakan hartanya di jalan Allah. Misalnya, menyumbangkan sebagian hartanya untuk fakir-miskin atau pembangunan Masjid. Dan sebagian ulama lainnya menyebutkan, orang yang bersyukur adalah orang yang rajin menjalankan ibadah vertikal maupun horizontal.

Saya bersyukur kepada Allah Swt. dengan setulus hati dan perasaan. Sebab Dia telah memberi saya kekuatan untuk menulis tema ini ke hadapan tuan-tuan dengan perasaan cukup tenang dan damai, disertai rintik hujan di luar sana menjelang adzan Subuh berkumandang. Karena saya yakin, tanpa pertolongan-Nya, tenaga sisa bekerja semalam ini, takkan bisa menyelesaikan tulisan ini. Akhirnya—sebagaimana Nabi Sulaiman, kita berdoa bersama: semoga Allah menjadikan setiap tarikan nafas dan gerakan tubuh kita sebagai tanda rasa syukur kita kepada-Nya yang Maha Bersyukur.***

(10)

DAN TUHAN PUN MENJAWAB

Mengapa ibadah puasa begitu istimewa? Berbagai macam cara dilakukan untuk menyambut kedatangan bulan puasa. Malam-malam di bulan ini begitu semarak dengan gema kalam Ilahi yang dibacakan dari surau, masjid, mushala, dan bahkan dari rumah-rumah penduduk muslim. Gerangan rahasia apakah yang menjadikan bulan Ramadhan ini begitu agung?

Puasa, kata Hasbi Ashshiddiqy, disandarkan kepada Allah, karena puasa itu berarti meninggalkan segala keinginan diri dan segala hasrat hati yang memang telah menjadi tabi‟at pada manusia. Meninggalkan keinginan-keinginan diri, tidak terdapat pada ibadat-ibadat yang lain. Contoh, saat ihram kita hanya tidak boleh menyetubuhi isteri, makan dan minum dibolehkan. Sementara dalam shalat, kita hanya sebentar saja menahan diri dari makan dan minum.

Demikianlah, puasa merupakan puncak perjuangan seorang muslim sebagai bukti pengabdiannya pada Allah Swt.

Dalam puasa terasa benar kepedihan dan kesulitan menahan makan, minum dan mendekati isteri. Kesulitan akan lebih terasa bagi shaim yang berada dalam tekanan udara panas, dan apalagi jika ia tinggal di daerah terpencil. Tapi ia tetap menahan nafsu sebab Tuhannya dan karena menjalankan perintah Allah semata.

Karena orientasinya itu orsinil untuk Allah an sich, maka puasa juga merupakan ibadah yang hampir jauh dari sikap riya‟ (ingin dipuji orang).

Orang puasa meninggalkan nafsu syahwatnya guna mendekatkan diri pada Allah. Padahal perbuatan menjauhi nafsu bukanlah perkara mudah bagi manusia.

Sebab sekali lagi, ia merupakan tabiat manusia. Argument ini semakin mendapatkan legitimasi dari sabda Nabi saat beliau dan pasukannya selesai dalam perang Badar, “Ada perang yang lebih besar dari perang Badar ini, yaitu memerangi hawa nafsu”. (HR Bukhari Muslim)

Di sisi lain ibadah puasa adalah rahasia antara hamba dengan Khaliq

(Pencipta), yang tidak ada satu pun mengetahui kecuali Allah. Dalam pandangan- Nya puasa sangatlah istimewa. Jika setiap amal ibadah umat Islam itu untuk mereka sendiri—diberikan langsung balasannya di dunia, maka lain halnya dengan puasa. Puasa untuk Allah dan akan dibalas oleh-Nya, yang tidak ada satu orang pun tahu berapa besar pahala orang berpuasa itu.

Karena itu, wajar kalau orang puasa itu dijanjikan dua kesenangan sekaligus.

Pertama, saat berbuka puasa. Tidak ada rasa bahagia dan kemenangan yang sangat yang mampu menggetarkan kalbu, kecuali saat tenggorokan dibasahi oleh air tanda puasa kita telah selesai. Kedua, saat bertemu Tuhannya. Konon, di akhirat orang-orang yang puasa akan bertemu Tuhannya dengan wajah berseri- seri. Saat itulah mereka merasakan seribu kenikmatan dan kedamaian kalbu yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh pikiran seklipun.

Dari paparan di atas, tak diragukan lagi bahwa puasa memang menempati posisi penting bukan saja bagi manusia muslim, tapi juga bagi Allah Swt. Tidak heran memang kalau kemudian banyak orang yang menyambut Ramadhan ini dengan penuh suka cita. Di samping jaminan pahala bagi orang yang senang dengan datangnya Ramadhan, kegembiraan umat Islam juga merupakan

(11)

ungkapan syukur atas diberikannya kesempatan berpuasa. Di mana amalan manusia itu dilipatgandakan pahalanya, segala doa akan terkabul, dan yang penting lagi adalah pemberian ampunan dari Allah pada sepuluh hari kedua Ramadhan. Dan kesempatan ini tidak akan kita temui, kecuali pada bulan Ramadhan.

Kedudukan shaim yang tinggi dan dekat dengan Tuhan itu hendaknya mampu membangkitkan optimisme dalam hidup. Maksudnya, inilah saat yang tepat lagi baik untuk memohon rakhmat, ampunan, dan pertolongan pada-Nya.

Panjatkanlah seribu harapan dan cita-cita kepada-Nya pada Ramadhan ini, niscaya doa kita terkabul. Kalau bulan-bulan kemarin kita mengalami putus asa, karena merasa doa tak pernah terjawab, saat ini, saat dimana kita sedang

berpuasa, angkatlah tangan ke atas seraya berdoa pada-Nya. Dengan berkah dan karamah bulan suci ini, mudah-mudahan Tuhan menjawab panggilan kita.

Kecuali itu, karena Tuhan begitu dekat, jagalah diri kita dari perbuatan-perbuatan hina dan tercela. Sebab inilah yang menjadikan tak terjawabnya doa-doa kita.***

(12)

DARI HITAM MENJADI PUTIH

Tentu kita semua sepakat, bahwa bulan Ramadhan ini sejatinya mampu membawa perubahan yang lebih baik pada sisi spiritual dan kemanusiaan kita. Kehadirannya diharapkan mampu menyadarkan manusia pada kefitrahannya sebagai makhluk yang selalu haus dan rindu pada air ketundukan pada Sang Khâliq. Untuk menundukkan keakuan yang ada dalam diri manusia, ibadah puasa adalah medium yang paling efektif yang bisa menyadarkan manusia pada kesadaran hakikat kehidupannya.

Maka jelas, kualitas Ramadhan seorang muslim akan sangat menentukan bagi kehidupan sebelas bulan berikutnya. Dengan kehadiran Ramadhan diharapkan kita bisa memperbaiki beberapa aspek penting dalam hidup ini. Pertama, memperbaiki iman dan taqwa. Tentu saja mudah ditebak kalau kita semua sudah beriman kepada Allah. Tapi iman saja belum cukup.

Pengakuan lisan saja belum sempurna sehingga diikuti oleh amal nyata berupa, menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah [2]: 183) Puasa, jika dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan, akan melahirkan manusia yang kuat iman dan taqwa.

Kedua, memperbaiki kedekatan dengan Al-Quran. Pada malam-malam Ramadhan,

tadarusan menggema memenuhi langit bumi. Malam-malam itu menjadi malam Al-Quran. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta menjadi pembeda (antara yang haq dan yang bathil) (QS Al-Baqarah [2]: 185). Nah, kita yang mengalami Ramadhan ini seharusnya

menjadikan Al-Quran sebagai pegangan hidup (way of life). Dengan petunjuknya kita mampu membedakan halal dan haram, baik dan buruk, dan seterusnya. Jadi, tugas kita bukan saja harus meramaikan Ramadhan dengan Al-Quran, tapi yang terpenting adalah menjadikannya sebagai guidance dalam hidup kita.

Ketiga, memperbaiki kedekatan dengan Allah. Karena kita yakin Tuhan itu dekat, maka pasti Ia tahu sekecil apa pun perbuatan kita. Tuhan mengawasi kita pada saat kita terjaga dan tidak terjaga. Keyakinan ini akan menimbulkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, sehingga hidup kita teratur. Semuanya diukur oleh kaca mata kebenaran Ilahi, bukan oleh kaca mata kebenaran pikiran manusia.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. (QS Al-Baqarah [2]: 186) Bagi saya makna firman Tuhan ini adalah, kita seharusnya merasa tenang dan jangan gelisah mengarungi hidup ini, sebab Tuhan selalu ada di samping kita. Dia pasti memberikan petunjuk-Nya bagi hamba-hambanya yang berbuat kebaikan („amal shâlih).

Keempat, ketundukan pada Allah, dengan jalan berdoa. …Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang berdoa apabila ia berdoa, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu dalam kebenaran.

(QS Al-Baqarah [2]: 186) Berbeda dengan manusia, bagi Allah semakin banyak dimintai, Ia semakin senang. Sebab doa merupakan simbol kelemahan kita di hadapan-Nya. Maka orang yang enggan berdoa adalah orang-orang yang sombong. Bagaimana supaya doa kita terkabul? Mudah.

Kerjakanlah perintah-perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Tunjukkan terlebih dahulu bukti

(13)

kebaktian kita sebagai hamba pada-Nya, niscaya doa-doa kita akan terkabul. Inilah janji Tuhan dalam firman-Nya di atas.

Kelima, hubungan dengan sesama. Sudah lazim terjadi pada masyarakat muslim, kita berbuka puasa bersama di masjid, mushalla atau rumah, karena kedermawanan beberapa orang yang memberikan makanan „pembuka‟. Kita juga diwajibkan membayar zakat fitrah dan mal untuk saudara-saudara kita yang miskin. Puncaknya, kita berkumpul di tanah lapang bersama saudara-saudara kita seiman, untuk shalat Idul Fitri, selanjutnya bersalaman tanda saling maaf- maafan.

Aktifitas-aktifitas tersebut menunjukkan betapa bulan Ramadhan memberikan tempat yang khusus bagi berseminya ikatan persaudaraan sesama muslim. Hendaknya, rasa persaudaraan yang dibalut kasih sayang dan rasa memiliki itu dijaga dan dipelihara pada bulan-bulan berikutnya.

Utamanya terhadap orang miskin, kita harus senantiasa ingat Hadits Nabi, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan (tidak peduli) dengan persoalan kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan mereka.”

Keenam, ketajaman hati dan ruhani dalam membedakan yang hak dan yang bathil. Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan cara yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan harta sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 188) Tipu daya, suap menyuap dan perilaku culas yang semerbak dewasa ini, jelas dilarang Al-Quran. Tapi kenyataan menunjukkan perilaku kotor itu mewarnai dengan jelas dunia hukum kita.

Tuhan benar. Orang-orang yang di dunia ini suka menyogok hakim, menyuap Jaksa Agung, dan menebalkan kantong Mahkamah Agung, sebenarnya mereka bukan manusia „bodoh‟.

Mereka tahu bahwa perbuatannya tidaklah benar ditinjau dari sudut mana pun, agama maupun kemanusiaan. Karena itu, pada bulan yang suci ini, kita hendaknya juga menyucikan hati dan otak kita dari hal-hal yang dilarang agama.

Demikianlah, dengan menyelami makna ajaran-ajaran Qurani tersebut, diharapkan kita bisa sampai pada keadaan fitri kita. Keadaan dimana hati kita suci dari pikiran-pikiran kotor yang memabukkan. Kita awali langkah kita dengan niat yang suci. Bahwa tidak ada tujuan paling utama dalam hidup ini, kecuali untuk kembali kepada Allah. Jagalah perilaku sebaik mungkin.

Kita harus berubah, dari hitam menjadi putih, dari abu-abu menjadi terang. Kalau tidak mau sekarang, kapan lagi. Sebab saya yakin seyakin-yakinnya, tidak lama lagi mentari segera menjemput impian. ***

(14)

ISLAM DAN ETOS KERJA

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

(QS Al-Tîn [95] :4-6)

Islam adalah iman dan amal. Artinya, iman merupakan fondasi pertama dalam perbuatan amal. Begitu juga amal, merupakan follow up dari ”perbuatan iman” itu sendiri. Jadi, Islam adalah integrasi dari dua entitas (iman dan amal) dalam suatu “kerja”. Singkatnya, hidup seorang muslim senantiasa bekerja demi terwujudnya kemaslahatan dunia (rahmatan lil „âlamîn).

Manusia (suka atau tidak) merupakan “binatang kerja” (animal lobarans). Demikianlah hakikat eksistensi kelahiran manusia: untuk bekerja. Sebaliknya, jika manusia itu menganggur terancamlah harga dan hakikat dirinya, karena ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dengan masyarakat.

Menurut arti secara letterlijk, etos berarti semangat. Yaitu semangat dalam menjalani setiap pekerjaan yang digeluti, demikian apa yang dimaksud tema di atas. Persoalannya kemudian adalah semangat dalam dan untuk pekerjaan seperti apa? Sehingga pekerjaan itu mampu

mengantarkan manusia pada kedudukan yang tinggi—tentu saja karena manusia adalah khalifah di muka bumi ini.

Manusia bekerja—jika dicermati secara mendalam—untuk kepentingan dirinya sendiri pada satu sisi, dan untuk kepentingan bersama pada pihak lain. Dalam konteks tersebut kehidupan ini berjalan dialektis; individu satu dengan lainnya saling mengisi kekurangan (kalau bisa disebut kekurangan) masing-masing pihak. Hal ini, memang, merupakan sesuatu yang taken for

granted—yang dalam bahasa agama disebut sunnatullâh. Dengan kata lain, manusia sendiri secara fitrah memiliki keterbatasan kemampuan untuk bisa survive menapaki hidup ini. Manusia diciptakan hidup dalam sebuah kondisi saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Menurut Goethe, sebagaimana dikutip Cak Nur, “Manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan suatu cara yang terbatas, disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya”. (Islam Kemerdekaan Dan Keindonesiaan, 1997: 129) Berari jelas, dengan bekerja dalam kerangka di atas terpenuhi hubungan horizontal, atau manusia dengan manusia. Namun persoalannya tidak cukup sampai disitu, bagaimana bekerja tidak saja sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik dan biologis , juga secara teologis, yaitu bekerja untuk aktualisasi harga dan harkat manusia sebagai makhluk Tuhan—kita sering

menyebutnya dengan hubungan vertikal. Bahkan dalam diskursus keagamaan ada apa yang disebut dengan menjalin hubungan positif dengan alam atau lingkungan (hablum minal „âlam) dimana kita hidup.

Yang saya maksud di sini adalah integralisasi humanisasi kerja. Yaitu humanisasi kerja yang tetap mampu memelihara nilai-nilai harga, dan harkat kemanusiaan. Pekerja tidak saja hanya menjadi komoditas produksi. Bekerja tanpa memahami substansi pekerjaan yang

digelutinya saban waktu dan hari. Ia menjadi manusia patuh yang seakan sulit menolak perintah atasan. Yang terjadi kemudian adalah sikap fatalistik, segala sesuatu yang serba pasti.

Dalam agama (Islam) terdapat penilaian terhadap manusia, yaitu adanya dua fungsi:

teologi negatif, meminjam istilah intelektual muslim, Muslim Abdurrahman, yang dalam bahasa

(15)

agama disebut amar ma‟rûf nahi munkar. Teologi positif, tutur Muslim, berkaitan dengan etos kerja manusia di dunia sebagai khalifah Tuhan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Dalam kaca mata agama bekerja pada dasarnya merupakan ibadah, karenanya akan mendapatkan pahala. Bekerja dalam pandangan agama memiliki tujuan pada dua entitas, dunia dan akhirat. Bekerja memiliki tujuan yang tinggi, yakni bersifat transenden, maka bekerja bukan sekedar mengejar sejumlah upah an sich. Bekerja yang dilandasi oleh hasrat menyumbangkan kontribusi kepada peradapan yang didorong oleh keinginan mencari keridlaan Tuhan.

Masalah mencari keridlaan ini penting agar kita tidak terjebak pada dikhotomi dunia dan akhirat. Padahal dunia dan akhirat merupakan konsep waktu yang kontinyu dari perjuangan hidup manusia yang secara religius harus ditempatkan dalam pandangan eskatologis yang panjang (Muslim, 1995). Orang kebanyakan terjangkiti sikap eskapistis, yaitu menempatkan pengharapan surga secara berlebihan dan kurang mementingkan karya nyata di dunia. Dan selanjutnya hidup bergantung pada takdir Tuhan.

Di sinilah kelemahan kita, padahal banyak ajaran agama Islam yang menggugah manusia untuk mengejar kemakmuran hidup di dunia. Hidup tidak melulu mengejar tiket akhirat an sich, tapi melupakan kehidupan di dunia. Dengan bahasa lain, kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang balance antara dunia dan akhirat. Tentunya sikap keseimbangan tersebut dengan sendirinya akan melahirkan keadaan yang positif. Misalnya: sikap puritan, kerja keras, hemat, menghargai waktu, kesediaan menunda kesenangan sesaat demi peningkatan prestasi, dan lain sebagainya.

Namun demikian betulkah persoalannya sesederhana itu, mampukah kita menciptakan kondisi bagi tumbuhnya benih-benih etika keagamaan semacam itu? Mungkin tepat apa yang dikemukakan oleh Muslim, bahwa hal itu bisa kita wujudkan, asal kita berani menonjolkan orientasi “kekhalifahan” daripada “kepahalaan”. Dengan kata lain, kerja sebagai ibadah, dan kerja tidak hanya sebagai penyangga kehidupan.

Kerja tidak saja hanya dipahami sebagai wahana menumpuk sejumlah materi, tapi sebagai tugas kekhalifahan di muka bumi. Dan menjadikan manusia yang memanusia dan dimanusiakan. Penting juga kiranya menjaga stabilitas lingkungan kita bekerja. Di sinilah kita melihat bahwa persoalan kerja tidak bisa dilihat dalam satu sisi per se, tapi merupakan proses aktualisasi manusia dalam mencari harga dan harkat kemanusiaannya.

Pada akhir tulisan ini saya ingin mengutip pendapat Weber, “Agama mungkin dapat memberikan motivasi bagi peningkatan prestasi kerja atau ekonomi dalam lingkungan tertentu jika ada faktor-faktor yang menumbuhkan affinitas ekletif.” ***

(16)

MEMENUHI HAK ANAK

Kali ini kita akan membicarakan soal hak anak. Berarti kewajiban orang tua atas putera- puteri mereka. Sebuah kenyataan yang sulit terbantah bahwa, betapa suka citanya orang tua saat menerima kelahiran anaknya. Kebahagiaan itu bertambah besarnya manakala yang lahir adalah anak pertama. Bagi Islam anak adalah titipan (amanah) Allah kepada kedua orang tua. Tulisan ini berusaha menjelaskan ajaran Rasulullah Saw. tentang bagaimana menjalankan amanah Allah tersebut. Rasulullah sangat memberi perhatian terhadap masa depan anak-anak yang merupakan pewaris masa mendatang.

Sebuah Hadits yang datang dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda, “Setengah kewajiban orang tua memenuhi hak anak, ada tiga perkara. Yaitu memberi nama yang baik ketika lahir, mendidiknya dengan agama Islam, mengawinkan ketika menginjak dewasa”.

Sementara kita dengar sebuah pepatah, “Apalah arti sebuah nama”. Namun pendapat demikian tidak selamanya benar. Bagi sebagian umat Islam yakin bahwa nama yang diberikan kepada putera-puteri mereka mengandung doa. Meskipun tidak semua mengungkapkannya secara langsung. Namun jelas kiranya bahwa ada harapan di balik nama Shâlihîn atau Mukhlishîn, misalnya. Nama yang baik di sini maksudnya adalah memberikan nama yang Islami—seperti contoh di atas, dan mengandung arti yang baik. Hal ini bukan berarti nama yang berasal dari bahasa daerah misalnya, menjadi tidak baik. Sepanjang memiliki arti yang baik tentu boleh-boleh saja memakai nama apa pun. Nama yang baik akan memberikan rasa nyaman pemiliknya.

Sebaliknya, nama yang buruk tidak jarang membuat pemiliknya menjadi minder.

Pada zaman ini semakin tampak, sebagian orang tua kurang dalam memberikan pendidikan agama untuk anaknya. Perhatian mereka tercurah hanya pada pemenuhan kebutuhan fisik sang anak, sementara kebutuhan ruhani acapkali terabaikan. Dibawanya si anak ke mal untuk santap fast food, dibelikan pakaian mahal, diberikan fasilitas mobil, tidak lupa kamar anaknya dilengkapi dengan seperangkat musik stereo lengkap, dan seterusnya. Tetapi coba tengok bagaimana kemampuan baca Al-Quran anak-anak itu. Mengkhawatirkan. Terus bagaimana kemampuan mereka dalam bacaan wudlu dan shalat? Tanggung jawab siapakah pendidikan agama anak ini? Orang tua. Kemampuan baca Al-Quran, bacaan dan tatacara wudlu, bacaan dan tatacara shalat, adalah pengetahuan mendasar yang wajib diberikan kepada anak- anak. Usaha para orang tua harus maksimal dalam hal terakhir ini. Dalam arti, tidak sepenuhnya menyerahkan pengajaran ilmu agama pada para ustadz. Mereka juga harus terlibat, mengecek sejauhmana kemampuan anak. Tentu alangkah baik jika anak-anak mengerti mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang oleh agamanya.

Sebuah kenyataan di masyarakat modern ini, banyak anak yang tidak punya rasa kasih sayang kepada kedua orang tuanya. Kalau mesti dicari akal masalahnya adalah kurangnya pendidikan agama. Sebabnya ialah orang tua yang mengabaikan penanaman akhlak Islami sejak dini. Pada sisi lain, di rumah tangga tidak ada contoh panutan—baik ayah maupun ibu—bagi anak-anak. Orang tua acap kali tidak sadar bahwa dalam kehidupan rumah tangga merekalah figur sentral. Perkataan dan perilaku mereka akan membekas dalam jiwa sang anak. Di sinilah peran orang tua sangat signifikan dalam membentuk pribadi dan perilaku si anak. Sejatinya orang tua adalah suri tauladan bagi anak-anaknya. Dalam konteks inilah kita bisa mengatakan bahwa, anak adalah cermin ibu-bapaknya.

Muhammad Saw. sendiri telah memberi isyarat bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan anak mereka. Kecuali memberi kasih sayang, mereka harus aktif mengajarkan

(17)

kebaikan, dan tidak menganggap anak seperti robot yang bisa disuruh melakukan apa saja. Dari Asy-Syu‟i, Nabi Saw. bersabda: “Allah selalu mengasihi orang tua yang selalu mendorong anaknya, agar berbakti kepadanya, yaitu ia tidak memerintahnya melakukan sesuatu di luar kemampuannya”. Hendaknya setiap orang tua mengamalkan pesan Rasul ini, agar selamatlah anak-anak mereka dari akhlak tercela.

Dalam hal apa tanggung jawab orang tua menikahkan anaknya yang sudah dewasa?

Sebelum menjawab ini, mungkin kita bisa ajukan pertanyaan, apakah semua orang tua tahu bahwa menikahkan anak adalah tanggung jawab mereka? Sehingga jika mereka mampu, semua biaya yang dikeluarkannya tidak perlu dikembalikan oleh sang anak, misalnya. Ini contoh kecil dan sederhana, tapi kerap muncul di masyarakat, hingga saat sekarang ini. Bahwa orang tua menuntut anaknya untuk mengembalikan biaya pernikahan.

Tanggung jawab orang tua adalah mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya. Jika anak punya pilihannya sendiri, mereka berhak mengetahui asal-usul calon menantunya. Selanjutnya, ditimbanglah menurut ukuran agama dan masyarakat. Orang tua harus lapang dada, bahwa pilihan anak tidak selamanya salah. Demikian pula pilihan mereka tidak selamanya pas. Memang, dalam praktik soal mencari pasangan ini kadang menimbulkan teka-teki yang amat sulit dinalar.

Tetapi ada sebuah Hadits Nabi yang mashur mengisyaratkan kepada kita perihal mencari pasangan hidup ini. Sebelum menikahi perempuan hendaknya kita melihat empat perkara:

Agamanya, kecantikannya, keturunannya, dan terakhir harta kekayaannya. Tentu akan sulit mencari perempuan yang padanya terdapat empat hal ini. Jika pun dihadapkan pada pilihan, maka hendaknya lebih memprioritaskan agama. Demikianlah yang tampak dalam pesan Hadits Nabi di atas.

Ada ungkapan Sayyidina „Ali—semoga Allah memuliakan wajahnya, “Baitî jannatî”

(rumahku adalah surgaku). Penggambaran rumah seperti surga ini adalah manakala seluruh anggota keluarga hidup dalam keharmonisan. Seiring dan sejalan. Anak menjalankan kewajibannya kepada orang tua. Orang tua memenuhi hak-hak anak. Rasulullah Saw. bersabda,

“Kebahagiaan seseorang terletak pada empat perkara. 1. Istri yang baik, 2. Anak-anak yang terdidik dan patuh, 3. Bergaul dengan orang-orang saleh, 4. Mata pencarian tidak jauh tempatnya (cukup dalam negeri).”

Kemanusiaan yang beradab ialah: 1. Berbakti kepada orang tua, 2. Memelihara hubungan baik dengan keluarga, 3. Bersikap ramah dan sopan kepada anak-istri dan pembantu, serta memelihara agama mereka, 4. Pandai membelanjakan harta untuk keluarga dan kerabat serta kepentingan agama, 5. Pandai menjaga lisan dari kata-kata terlarang, 6. Tekun beribadah, 7. Giat bekerja, 8. Menghindari pergaulan dengan orang jahat, atau orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Demikianlah menurut pendapat Fudlail bin „Iyadl.

Pendidikan adalah hak anak yang sering diabaikan oleh orang tua. Tampaknya belum merata kesadaran para orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan putera- puterinya. Utamanya anak perempuan sering menjadi korban dalam aspek pendidikan ini. Sebab konon setinggi apa pun pendidikan mereka, akhirnya akan kembali ke dapur juga. Paradigma semacam inilah yang terpatri di otak orang tua kebanyakan. Mereka lebih suka meninggalkan warisan berupa harta, tinimbang ilmu. Padahal, beratlah beban dan resiko bagi manusia jika memiliki harta berlimpah, tanpa ilmu. Sedangkan ilmu itu sifatnya ringan. Orang yang memilikinya tidak akan takut hilang. Ke mana pun ia bawa. Harta bisa lenyap dalam sekejap, tapi ilmu tidak akan lenyap, melainkan akan bertambah. Harta akan menjadi fitnah dan tipu daya, manakala yang memilikinya tidak punya ilmu.

(18)

Sudah banyak contoh dalam masyarakat kita, bagaimana harta bisa menjadi fitnah. Si anak yang membunuh orang tua karena ingin segera mendapatkan warisan. Akhirnya, harta ia tidak dapat. Namun penjaralah sebagai tempatnya bernaung. Inilah bukti, bahwa penting memberikan pendidikan kepada anak-anak. Di sini akan tampak dengan jelas, beda anak yang terdidik dengan anak yang tak terdidik. Yang terdidik biasanya memiliki akal yang luas, sedangkan yang tak terdidik akalnya pendek.

Menjadi orang tua memang tidak mudah. Mendidik anak apalagi. Tapi tentu tidak juga sulit, jika berpegang pada ajaran-ajaran Rasulullah di atas. Setiap anak adalah buah hati ibu- bapak. Perlakukanlah mereka dengan sewajarnya—jangan berlebih-lebihan. Perlakuan yang berlebihan akan melahirkan anak yang manja dan mudah putus asa. Tetapi kurang perhatian pun menimbulkan anak yang liar dan tertutup. Berlakukah di tengah-tengah kedua sikap antara penyayang betul dan acuh tak acuh. Semoga anak-anak kita menjadi anak yang saleh dan salehah.

Amin. Wallahu a‟lam.

(19)

HIJRAH DAN REKONSTRUKSI MORAL

Anti kemapanan. Itulah inti semangat dari peristiwa Hijrah Nabi Saw. ke kota Madinah yang dulunya bernama Yatsrib. Yang pengertiannya sudah tidak lagi dibatasi, melainkan dibawa pada pengertian umum dan mutlak. Hijrah menjadi suatu prinsip, bahkan—meminjam istilah Ali Syari‟ati—hukum (hijrah). Hijrah identik dengan kedinamisan.

Dalam perspektif Al-Quran (Islam), hijrah adalah pemutusan hubungan keterikatan suatu masyarakat dengan tanahnya (ikhrâj atau khurûj min al-ardhi/al-dhiyâr). Hijrah bisa mengubah pandangan manusia dari yang sempit dan mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh. Hijrah itu sendiri pada dasarnya adalah gerakan dan loncatan besar manusia menuju kemajuan dan kesempurnaan.

Jika kita telaah sejarah, di balik semua pertumbuhan budaya di dunia ini pasti dimulai dengan hijrah. Dalam sejarah semua bangsa besar pasti ditemukan cerita yang berbicara mengenai hijrah ini. Hijrahnya bangsa Aria ke Selatan dan Barat telah menghasilkan peradaban Barat dan Timur yang lebih besar. Sedangkan hijrahnya bangsa Sumiyah ke wilayah antara sungai Eufrat dan Tigris menyebabkan tumbuhnya peradaban Samuria, Babilon dan Arkadea.

Memang secara general Al-Quran menampilkan kata hâjaru untuk term hijrah.

Sebagaimana dalam QS [2]: 218 dan QS [3]: 195. Al-Quran menyebutkan bahwa hijrah itu sebagai faktor tercapainya kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang tertindas dan merupakan sebab diperolehnya kenikmatan yang lebih besar dalam kehidupan di dunia. Kisah

“hijrah” ashâbul kahfi (para penghuni gua) merupakan usaha menyelamatkan kemerdekaan dan kehormatan individu. Hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah dan eksodusnya Nabi Musa a.s.

dimaksudkan mencari kemungkinan-kemungkinan baru dan lingkungan yang lebih baik.

Sementara hijrah pertama kaum muslimin ke Habsyah merupakan salah satu usaha Rasul Saw. untuk membuka ufuk baru bagi bangsa Arab—khususnya umat Islam—dan meluaskan wawasan mereka terhadap alam. Tepatnya melalui jalur politik yang disandarkan pada hubungan berbagai kabilah yang bertetangga.

Yang menarik dicermati adalah hijrah Nabi yang kedua, ke kota Yatsrib. Langkah pertama Nabi Saw. mengubah nama Yatsrib menjadi Al-Madînah atau Madînat al-Nabi. Artinya kota atau kota Nabi. Banyak cendekiawan yang mengatakan, di balik nama itu ada makna dari tujuan yang penting lagi sangat mendasar.

Madinah (Arab) secara kebahasaan berarti tempat peradaban. Peradaban sendiri dalam bahasa Arab juga disebut madaniyah atau tamaddun. Jadi penggantian nama Yatsrib oleh Nabi sendiri dapat diartikan sebagai isyarat bahwa beliau dengan titik tolak itu akan membangun sebuah masyarakat yang beradab atau menurut istilah yang kini cukup populer masyarakat madani.

Dawam Rahardjo dalam ensiklopedi Al-Qurannya menyebutkan: kata madan tidak hanya berarti urbanized, bersifat perkotaan tetapi juga bersifat civilized, yang berarti kebudayaan. Kata ini juga bisa diartikan kemajuan dalam kebudayaan, masyarakat, humanisasi dan pengingkatan standar moral. Hal ini memang dibuktikan kemudian ketika Nabi membuat piagam Madinah (mitsâq al-madînah). Setidaknya ada dua prinsip yang dipeganginya. Pertama, prinsip

kesederajatan dan keadilan. Kedua, prinsip inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini yang kemudian dimodifikasi oleh kelompok Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama‟ah) menjadi i‟tidâl (konsisten), tawâzun (keseimbangan), tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat), yang semuanya

(20)

menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan termasuk negara (Sumanto A-Qurthuby, 1997).

Kecuali itu, negara Madinah ini mempunyai sisi-sisi modern—bahkan terlalu modern—

untuk zamannya, yakni tingkat komitmen yang tinggi. Keterlibatan dan partisipasi dari seluruh masyarakat; keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap ukuran kecakapan pribadi yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal. Dan itu dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. Maka, upaya menjadikan Madinah sebagai rujukan dalam menciptakan peradaban ideal ini, kata N. Bellah, bukanlah fabrikasi ideologis.

Masalah yang sangat penting dalam tema hijrah menurut perspektif yang diperlihatkan Al- Quran kepada kita, ketika pengertian hijrah tidak lagi kita batasi dalam ruang ekslusivitasnya.

Karena pengertiannya tidak hanya terikat dengan dunia, yakni hijrah dari suatu titik ke titik yang lain, tapi juga telah membumbung ke tingkat ruh yang tinggi dengan makna moral yang luhur, ideologi spiritual dan revolusioner. Hijrah sudah tidak terbatas artinya pada meninggalkan tempat tumpah darah, tetapi juga mencakup hijrah untuk meninggalkan sesuatu yang melekat pada diri sendiri, termasuk tabiat dan kebiasaan buruk (Ali Syariati, 1996: 20). Secara fisik, memang berhijrah dari suatu tempat yang (di situ) tidak ditemukan tempat tinggal yang aman kemudian meninggalkannya ketika tidak mempunyai kemampuan untuk menentangnya.

Dengan perspektif ini Islam menggerakan masyarakatnya tapi tidak hanya pada suatu titik dan mati di situ (jumûd). Bahkan juga berusaha memobilisasi individu dengan menyeru mereka untuk bergerak, dinamis dan revolusioner. Semua itu dilakukan oleh Islam dengan jalan mukjizat yang ilmiah yaitu hijrah.

Dengan meninggalkan Makkah berarti Nabi dan para sahabatnya keluar dari simbol sarang kebodohan, kemusyrikan, kezaliman, meskipun berpisah dengan tempat tinggal, keluarga, harta kekayaan dan sekian banyak ikatan emosional lainnya, untuk memperoleh kemerdekaan sebagai gantinya.

Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Setelah sekian lama menghadapi masa krisis, baik ekonomi maupun moral, harus berani berhijrah dari tabiat-tabiat penyebab krisis tersebut: mulai dari budaya KKN, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pelanggaran HAM, dan perilaku semacamnya. Singkatnya, memasuki tahun baru hijriah kali ini hendaknya dijadikan momentum yang tepat untuk merekonstruksi moral setiap individu kita. Mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Semuanya untuk menuju masyarakat atau negara yang dicita-citakan. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.***

(21)

HIDUP TENTRAM DENGAN IKHLAS

“Dan barangsiapa menghendaki kesenangan di akhirat (dari pahala amalnya), dengan sepenuh hati melakukannya secara ikhlas dan beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya diterima.” QS Al-Isrâ‟ [17]: 19 Abu Laits Samarqandi menjelaskan hadits dari seseorang kuat dengan sanadnya dari Jaballah Al-Yahshubi, katanya: “Kami dalam peperangan bersama-sama dengan Abdul Malik bin Marwan, lalu bertemu seseorang yang suka bangun malam, ia sedikit sekali tidurnya, sebelumnya kami tidak kenal, ternyata dia sahabat Nabi Saw. dan bercerita, ada orang bertanya: “Ya Rasul, apakah besok yang bisa menyelamatkan: Beliau bersabda: „Jangan menipu Allah‟. Dia bertanya lagi, „Bagaimana kami menipu Allah?‟ kata beliau: „Kamu beribadah tidak karena Allah.

Lenyapkan riya sebab ia syirik kepada Allah. Besok orang riya disebut dengan empat sebutan:

Kafir, pelacur, penipu dan khâsir (orang yang rugi), sesatlah amalmu dan lenyaplah pahalamu.

Saat ini mintalah pahala pada mereka yang kau tuju dulu, hai penipu!

Agama Islam mengajarkan pentingnya menanamkan sikap ikhlas dalam setiap perbuatan pemeluknya. Ikhlas berarti ketulusan dalam melaksanakan suatu amal baik, semata-mata karena Allah dengan mengharap ridha-Nya. Sebagian Ulama Hikmah mengatakan, ikhlas adalah tidak ingin amalnya yang baik dilihat orang, apalagi diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan kejahatan yang tidak ingin diketahui umumnya masyarakat. Sedangkan setengah Ulama lainnya meletakkan dasar ikhlas, ialah tidak menghendaki pujian orang.

Menurut Sayidina Ali bin Abu Thalib, ada empat macam yang membuktikan riya. 1.

Pemalas ketika tidak ada manusia, 2. Tetapi di hadapan manusia sangat tangkas, 3. Ibadahnya meningkat ketika dipuji, 4. Tetapimenurun ketika ibadahnya dicela. Tujuan awal dan akhir setiap amal, kita pasrahkan sepenuhnya penilaiannya kepada Allah Swt. Selayaknya memang kepada Tuhanlah kita serahkan niat setiap gerak kehidupan kita di dunia ini. Simak ayat berikut dengan penuh khusu‟, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)

Jika beribadah atau beramal secara ikhlas kemudian dipuji orang dan timbul rasa senang, maka ia tetap mendapat pahala. Abu Laits Samarqandi menjelaskan, dua macam pahala baginya:

pertama pahala langsung dari amalnya, kedua pahala sampingan dari fihak yang mengikutinya (mengambil suri tauladan daripadanya).

Orang yang membiasakan diri dengan ikhlas akan memiliki kepribadian (personality) yang tenang, tenteram dan tidak mudah putus asa, serta dapat menghindarkan diri dari godaan syetan.

“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.”

(QS Al-Hijr : 39-40)

Keikhlasan itu ada dan tumbuh di dalam hati manusia. Karenanya mungkin sulit menilai apakah si fulan itu termasuk orang yang ikhlas atau tidak. Karena ikhlas merupakan perkara hati, maka hanya Allah yang akan mengetahui. Dialah yang berhak menilai apakah perbuatan itu didasari keikhlasan atau riya. Tentu kita sebagai pribadi mengetahui apakah amal yang kita perbuat dilandasi oleh ikhlas atau karena tujuan lain.

(22)

Mengapa setiap perbuatan itu penting dilandasi oleh keikhlasan pelakunya? Kecuali karena perintah Allah dan faidah ikhlas—sebagaimana tertulis di atas, sikap ikhlas mengajarkan kepada manusia bahwa, tujuan yang hakiki (sebenarnya) dari hidup manusia itu hanyalah mengharap ridha Allah Swt. Pengharapan kepada selain Allah hanya akan menimbulkan sesal di kemudian hari.

Pujian manusia, perasaan ingin dihargai manusia, dan perasaan ingin dianggap paling mampu, semuanya itu sifatnya semu. Fatamorgana. Meski demikian, lebih banyak orang yang cenderung pada pujian manusia, dan meninggalkan pujian Allah. Pujian manusia tidaklah kekal sifatnya. Ada masa dimana orang yang menyanjung kemudian meninggalkan orang yang dipujinya. Di saat manusia merasa memperoleh keuntungan dari tuan, maka pujian yang akan tuan dapat saat itu. Tapi mungkin satu saat tuan alpa, sehingga membuatnya merasa rugi dan sakit hati, atau tuan sudah dianggapnya tidak berjaya lagi di dunia ini, saat inilah tuan akan

ditinggalkan dan merasa kesepian. Saat itulah tuan akan merasa putus asa dan kecewa. Sebab sebelumnya tuan tidak menyadari kekeliruan pikiran yang selama ini tuan pegang dan yakini.

Tetapi jika tujuan amal perbuatan tuan adalah keridhaan Allah, hati akan senantiasa merasa tentram dan tidak was-was. Keikhlasan akan menghadirkan kasih Tuhan kepada seorang hamba, dan akan mewujud dalam kasih seluruh makklu-Nya kepada orang yang ikhlas. Demikian Tuhan membalas kepasrahan seorang hamba kepada-Nya.

Manusia memerlukan latihan untuk menanamkan sikap ikhlas dalam Qalbunya. Pertama, tingkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt., dengan jalan meningkatkan intensitas kegiatan pembinaan mental ruhani. Kedua, perbanyak amal saleh dalam kehidupan sehari-hari,

memanfaatkan setiap kesempatan dengan amal saleh. Ketiga, perhatikan kehidupan orang-orang yang ikhlas. Amati dengan seksama bagaimana indahnya kehidupan orang-orang yang ikhlas dan usahakan untuk senantiasa dekat dan bergaul dengan mereka. Keempat, introspeksi dan taubat.

Perhatikan kehidupan sendiri dan nilailah amal yang pernah dilakukan, apakah sudah benar sesuai dengan ketentuan Allah dan ajaran Rasul? Apakah masih banyak amal yang salah dan

menyimpang. Kalau demikian, segeralah bertaubat. Kehidupan akhirat akan sangat ditentukan oleh amal saleh, amal yang dilakukan dengan ikhlas sewaktu di dunia.***

(23)

KEBERSIHAN HATI

Setiap manusia membutuhkan pengakuan atas eksistensi pribadinya. Ia melakukan apa saja untuk dan atas nama pengakuan tersebut. Memang, manusia harus berbuat sesuatu secara

continuos agar tidak kehilangan ruh kehidupan. Ibarat air, ia harus mengalir terus menerus sehingga menimbulkan kejernihan. Air yang tidak mengalir, dalam waktu tertentu ia akan menimbulkan bau tidak sedap. Demikian juga manusia. Manusia yang hidupnya hanya duduk berpangku tangan, menunggu nasib (baca: statis), cepat atau lambat ia akan kehilangan eksistensi kemanusiaannya.

Di sinilah pentingnya aktualisasi diri. Dengan bekerja manusia akan diakui eksistensinya oleh orang lain. Uukuran kewujudan manusia di dunia ini akan ditentukan oleh seberapa banyak ia telah bekerja. Semakin banyak manfaat yang ia berikan buat orang lain, sebesar itu pula ia memperoleh imbalannya.

Utamanya bagi seorang muslim, ia harus yakin bahwa dunia ini ibarat sebuah ladang. Jika selama di dunia ia menanam kebaikan, maka ia akan memetik kebahagiaan di akhirat. Sebaliknya, jika yang ditanam melulu keburukan, maka ia akan memperoleh ganjaran yang setimpal, berupa kesengsaraan. Inilah yang kita sebut dengan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dalam hukum ini nampak betul bukti keadilan Tuhan. Bahwa Tuhan memperlakukan hambanya sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Pendek kata, Tuhan berlaku objektif terhadap hamba-Nya, tidak subjektif.

Inilah perbedaan manusia dengan Tuhan. Yang pertama disebut bisa menilai manusia atas dasar like and dislike. Sementara yang kedua, tidak bergantung pada apa pun, kecuali atas dasar prinsip objektivitas.

Setiap aktivitas manusia di dunia ini berjalan di atas lembaran tujuan. Dan hidup ini sebenarnya tergantung pada tujuan. Baik dan buruk kehidupan in tergantung pada apa tujuannya.

Maka, tanyakanlah pada diri kita masing-masing apakah kita memiliki tujuan positif dalam hidup ini. Demikian pula dalam setiap perbuatan, apakah tujuannya positif atau negatif. Jika tujuannya baik, lakukanlah. Namun jika tujuannya negatif, tinggalkanlah dengan segera.

Bagaimana jika tujuannya baik, tapi cara yang digunakannya salah? Di sini, tujuannya saja belum cukup! Sebagai makhluk beragama dan bermasyarakat kita harus mempertimbangkan cara meraih tujuan. Sebab, banyak dari tujuan baik itu kemudian menjadi buruk akibat cara yang digunakannya salah. Contoh, si fulan mencuri sesuatu yang bukan miliknya dari orang lain.

Ketika tertangkap polisi, “semua ini saya lakukan karena terpaksa. Di rumah istri dan anak-anak saya perlu makan; perut mereka kelaparan, sedangkan saya baru saja di PHK,” rintih si fulan. Apa penilaian kita terhadap si fulan? Akal dan hati pun berperang silih berganti. Yang jelas, si fulan—

sadar atau tidak—telah menciptakan kegelisahan dan kesengsaraan baru bagi orang lain.

Orang yang berbuat dzalim terhadap orang lain, hakikatnya ia telah berbuat dzalim pula pada dirinya sendiri. Cepat atau lambat, dunia atau akhirat, ia akan segera menerima akibatnya.

Sebaliknya, setiap amalan manusia, sekecil apa pun—dengan catatan dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata—tidak akan sia-sia di mata Allah. Bahkan Allah menjanjikan balasan sepuluh kali lipat setiap kebaikan hamba-Nya. Inilah rahasia kemurahan Tuhan bagi hamba-Nya.

Betapa tidak, balasan setimpal diberikan untuk kejahatan, tetapi sepuluh kali lipat balasan untuk kebaikan!

Lalu apa yang penting dalam hidup ini? Apa yang menjadikan hidup ini bahagia atau sengsara? “Jika hatinya bersih, maka bersih pula hidup manusia itu. Sebaliknya, jika hatinya

(24)

buruk, maka buruk pula hidup manusia itu”. Demikian sabda Rasulullah Saw. Yang penting dalam hidup ini adalah meluruskan niat, sebab niat itu ada dalam hati setiap manusia.

Namun sesuai maknanya—dalam bahasa Arab, hati (qalb) berati bolak-balik—hati itu senantiasa fluktuatif. Ada kalanya ia condong pada aras positif, tapi saat lain ia condong pada aras negatif. Itu sebabnya dalam Al-Quran ada doa: “Ya Allah janganlah Engkau rubah hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan berikanlah kami rahmat-Mu”.

Ini menunjukkan pengakuan dan kesadaran bahwa sebagai manusia biasa kita bisa saja tersesat di jalan kesalahan dan dosa. Karena itu, kita mohon dan petunjuk Allah. Namun yang penting adalah menanamkan niat baik dalam setiap perilaku hidup kita. Sebab Tuhan selalu mengetahui setiap bisikan hati kita, apatah lagi terhadap perbuatan-perbuatan yang kasat mata.

Kehidupan manusia senantiasa dalam pengawasan-Nya.

Keyakinan ini amat penting sehingga seorang muslim akan berhati-hati dalam bertindak.

Muslim yang demikian itu akan malu jika tindakannya dianggap buruk di mata agama dan masyarakat. Sebaliknya, ia tidak akan ragu dalam menjalankan kebaikan. Firman Allah,

“Barangsiapa berjuang di jalan-Ku, maka akan Aku tunjukkan jalan-Ku”. Allah akan

memberikan kemudahan jalan terhadap hamba-Nya yang cenderung pada kebajikan. Namun janji Allah tersebut tidak akan berarti apa-apa, kecuali harus pula dibarengi dengan usaha yang

sungguh-sungguh dan sikap tawakkal (berserah diri) pada Allah.

Sebuah metode agar hati kita tetap bersih adalah dengan mengingat kematian. Cepat atau lambat ajal akan menjemput kita. Sebagaimana kematian, kehidupan manusia adalah milik Allah semata. Karena itu, kita harus bisa menyerahkan lembaran kehidupan yang sebentar ini untuk- Nya. Tidak ada sekeping harapan pun dalam setiap pengabdian seorang muslim kecuali untuk menggapai ridha-Nya.

Seribu gemerlap cahaya yang timbul dari bumi ini sebentar lagi hilang dalam pandangan kita. Sebelum hal ini terjadi, sebuah sikap penting kita tanamkan pada diri kita masing-masing, yaitu kebersihan hati. Sebab, sekali lagi, dari bisikan hati akan terlahir berlembar tindakan yang akan menjadi tanda: siapa kita dan di mana kita layak ditempatkan.

(25)

KESEIMBANGAN JASMANI DAN RUHANI

Keberhasilah sebuah usaha tidak semata ditentukan oleh kemampuan rasio yang tinggi.

Banyak penelitian membuktikan, bahwa orang-orang yang sukses adalah orang yang memiliki kecerdasan intuitif atau lebih dikenal dengan emotional quotient (EQ). Sebuah kecerdasan yang mengantarkan individu tertentu menjadi manusia yang matang dalam bertindak. Namun, apakah manusia berhasil menjadi manusia yang bahagia dan tentram dengan kecerdasan emosional itu?

Jika kecerdasan emosional lebih bersifat pada hubungan horizontal, maka ada dimensi lain yang tak kalah pentingnya bagi kehidupan manusia, yaitu hubungan vertikal. Karena itu, tak jarang kita melihat, orang yang berlimpah materi dan memiliki hubungan sosial yang baik, ternyata masih merasa gelisah dalam hidupnya. Itu karena dalam diri setiap manusia ada dimensi ketuhanan. Manakala ruang ketuhanan itu tak tersentuh, maka hidup manusia senantiasa dalam kehampaan. Sebab pada dasarnya setiap manusia membutuhkan hubungan vertikal disamping hubungan horizontal. Kemampuan menjaga hubungan vertikal inilah yang kemudian sering disebut dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).

Adalah Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University) yang pertama kali memperkenalkan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Hanya saja dalam menjelaskan istilah tersebut keduanya masih berkisar pada wilayah biologis dan psikologis, belum menyentuh dimensi ketuhanan yang bersifat transendental.

M. Utsman Najati dalam bukunya, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi (2002) membuktikan, bahwa dalam Islam dua kecerdasan itu (EQ dan SQ) tidak bisa dipisahkan.

Sebagai contoh, simak Hadits berikut, “Demi Zat yang diriku dalam tangan-Nya, kalian tidak masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai.

Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang membuat kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Tirmidzi)

Guru besar Psikologi di Universitas Kairo, Mesir ini dalam pendahuluannya menjelaskan dua aspek yang ada dalam diri manusia, yakni ruhani dan fisiologis. Iman dan takwa adalah bagian dari ruhani. Iman kepada Allah membuat jiwa menjadi lapang, rela dan bahagia serta menjadikan manusia hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Sedangkan takwa berarti, dalam amal perbuatannya manusia selalu mencamkan hak, keadilan, amanah dan kebenaran, berinteraksi dengan manusia dalam kebaikan serta menjauhi permusuhan. Derajat ketakwaan dan bukti keberimanan itu antara lain dengan melaksanakan ibadah: shalat, puasa, zakat, dan haji.

Dalam aspek fisiologis, Islam tidak menyerukan untuk mengebiri motif-motif dasar, tetapi mengajak untuk mengatur dan mengontrol pemenuhannya, mengarahkannya dengan bimbingan yang benar serta memperhatikan kemaslahatan individu dan masyarakat.

Memang, hidup manusia adalah perjuangan untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan ruh. Tubuh membutuhkan makan, minum, istirahat dan seterusnya. Dan ruh butuh kerinduan mengenal Allah, beribadah dan taqarrub kepada-Nya dengan ketaatan dan amal-amal saleh. Konflik antara kesadaran jasadiah dan ruhaniah adalah sumber segala penyakit jiwa. Ada yang cenderung pada pemenuhan jasadiah saja, dan sebaliknya. Inilah penyimpangan dari fitrah yang murni. Karena itu, kata Najati, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak dalam memenuhi motif-motif fisik, tetapi Islam mewajibkan untuk mengendalikan motif-motif itu dengan jalan yang diperbolehkan syara‟. Misalnya, Islam melarang hubungan seks pra nikah. Tapi setelah menikah hal itu menjadi halal dilakukan. Islam juga tidak mengenal sistem kependetaan yang mengabaikan motif-motif fisik yang primer.

(26)

Manusia, katanya, penting mengontrol dan mengendalikan emosi yang berlebihan. Baik emosi yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis maupun emosi religius. Kesadaran ini diawali dengan pengenalan halal dan haram sebuah tindakan. Marah, rasa takut, cemburu, benci, iri, bermusuhan, dan sombong. Cinta seseorang dan sikap mengulurkan bantuan kepada manusia adalah salah satu faktor penting yang menjadikan seseorang merasa lebur dengan masyarakat dan ia merasa sebagai anggota masyarakat yang berguna.

Yang menarik adalah Alfred Adler, ia memberikan terapi dengan menasihati pasien- pasiennya untuk memperhatikan orang lain, melebur dan membantu mereka. “Manakala si pasien melakukan hal itu, sesungguhnya ia telah sembuh,” tegasnya. Ini sesuai dengan firman-Nya:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS Al-Taubah [9]: 71)

Demikianlah, manusia membutuhkan keseimbangan antara jasmani dan ruhani sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Pada dasarnya Islam tidak membedakan jasmani dan ruhani, keduanya harus memperoleh kebutuhannya secara proforsional. Singkatnya, Islam mengajarkan pentingnya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dan Nabi adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual itu. Dengan menjalankan kehidupan semacam inilah akhirnya Nabi mampu mencapai prestasi-prestasi gemilang dalam sejarah Islam.***

(27)

MENGGALI MAKNA PUASA

Sebagaimana umat Islam, umat-umat lain pun membiasakan ibadah puasa. Mereka berpuasa untuk menghormati sesembahan mereka atau untuk sesuatu yang lain. Jadi puasa telah ada sejak zaman dahulu, hanya coraknya yang berbeda, sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh manusia.

Bangsa Finicia dan Mesir berpuasa untuk menghormati Tuhan Izis sebelum menyajikan kurban untuk mensucikan orang-orang yang mengikuti upacara keagamaan. Bangsa Grik berpuasa sebelum berkumpul mengadakan pesta keagamaan dan wanita ikut serta menjalankan puasa dalam sehari penuh. Orang-orang yang ingin mengenal tuhan harus berpuasa sepuluh hari berturut-turut. Di Roma orang berpuasa setahun setiap lima tahun untuk menghormati Siris, dan puasa mereka diwajibkan pada tahun 193 SM. (Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatuttasyri‟

wa falsafah) Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Dalam Islam puasa merupakan inti ajaran agama, yaitu rukun Islam yang kelima. Artinya, seorang muslim wajib menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan.

Puasa seorang muslim bertujuan untuk pengabdian pada Sang Pencipta, Allah „Azza wajalla, sebagai bukti rasa syukur (terima kasih) atas segala limpahan rakhmat dan nikmat-Nya yang tiada terhingga.

Menurut bahasa (lughawi) puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu secara mutlak.

Orang yang menahan diri dari berbicara berarti berpuasa dengan berdiam diri. Sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah berikut, “Sesungguhnya aku ini bernazar untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (QS Maryam, [19]: 26) Sedangkan menurut istilah (syar‟i), menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh pada siang hari disertai dengan niat.

Maka orang yang berpuasa (shâim) yang telah melaksanakan seperti pengertian syar‟i di atas dianggap syah puasanya menurut fiqhiyah, tapi belum tentu menurut maknawiyah puasa.

Puasa secara makna berarti bukan saja menahan diri dari keinginan makan, minum, dan bersetubuh, tapi melebihi itu semua, semua anggota tubuhnya dipelihara dari hal-hal yang akan mengurangi pahala puasa. Di kala puasa hendaknya kita mampu menjaga mata, telinga, hidung, dan tangan dari mendekati hal-hal yang menimbulkan maksiat. Sehingga akibat perbuatan tersebut pahala puasa kita raib. Jangan sampai kita termasuk salah seorang dari yang pernah disinyalir oleh Nabi Muhammad, “Sekian banyak orang yang berpuasa, mereka tidak memperoleh pahala puasa, kecuali rasa lapar dan haus”.

Di balik ritual puasa seorang muslim ada makna-makna yang bisa kita ungkap. Tentu saja sesuai dengan kemampuan pikiran dan renungan hati penulis.

Pertama, puasa mengajarkan kita untuk bersikap jujur. Nilai kejujuran itu bisa kita lihat dalam hal praktik puasa itu sendiri. Tidak seorang pun mengawasi saat kita puasa kecuali Allah Swt. Meski ada peluang untuk kita meneguk air, sedikit atau banyak, pada saat kumur-kumur dalam berwudlu, bukankah kita tidak melakukannya—kecuali tanpa sengaja. Katakanlah, ada di antara kita yang “mencuri” kesempatan di waktu berkumur tersebut, bukankah hati nurani sebenarnya menolaknya. Karena itu sama halnya membohongi diri kita sendiri, sedangkan Allah tidak sedikit pun bisa dibohongi.

Kita merasa harus bersikap jujur karena tiada sesuatu pun lepas dari pandangan-Nya.

Bahwa Allah senantiasa melihat setiap gerak manusia sekecil apa pun. Dalam puasa sebenarnya

Referensi

Dokumen terkait

Ketika kita meminta sesuatu dari Allah yang telah dijanjikanNya kepada kita, kita harus percaya kita menerima jawaban ketika kita berdoa dan mulai mengucap syukur kepada Tuhan

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Pegawai yang sedang menjalani hukuman disiplin dikenakan pengurangan TPP dengan bobot pengurangan TPP sebagaimana

ProfileActivty.java import android.app.ProgressDialog; import android.content.Context; import android.content.Intent; import android.net.Uri; import android.os.Bundle;

Hal ini dilakukan jika jumlah populasi kurang dari 30 • Jika terdapat 28 orang yang terseleksi sebagai peserta pertukaran pelajar ke Swiss, maka dalam hal ini, jumlah

Berdasarkan tinjauan studi literatur yang telah dilakukan penelitian pada objek rancangan ini menggunakan prinsip Arsitektur Islam menurut Muchlis (2007) yang akan

Pengaruh Level Pemberian Kombinasi Air Rebusan Kunyit dan Daun Sirih Melalui Air Minum terhadap Retensi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Kecernaan Lemak pada Broiler..

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pandangan baru kepada masyarakat tentang pembangkit listrik tenaga nuklir yang modern, keuntungan pemanfaatan teknologi

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan disertasi berjudul “Transformasi Artistik-Simbolik Wayang Topeng Malang: