• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DAN PRAPERADILAN. 2.1 Tinjauan Umum tentang Penemuan Hukum Oleh Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DAN PRAPERADILAN. 2.1 Tinjauan Umum tentang Penemuan Hukum Oleh Hakim"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

19

2.1 Tinjauan Umum tentang Penemuan Hukum Oleh Hakim 2.1.1 Pengertian Penemuan Hukum

Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus

dicari dan diketemukan”.1 Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum

tersebut disebut dengan penemuan hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “...proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk

peristiwa hukum yang konkret”.2 Lebih lanjut secara sederhana Sudikno

Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan “...proses

1 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.37.

(2)

konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum

dengan mengingat akan peristiwa konkret (des sein) tertentu”.3

Menurut Paul Scholten “...yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan

jalan analogi maupun rechsvervijning (penghalusan/ pengkonkretan hukum).”4

Selanjutnya, Mawissen menyebut penemuan hukum dengan pengembanan hukum (rechtsboefening), yang merupakan “...kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat, yang meliputi kegiatan

membentuk, menerapkan, menemukan, menafsirkan secara sistematis,

mempelajari, dan mengajarkan hukum”.5 Sedangkan pengembanan hukum itu

sendiri dibedakan lagi menjadi pengembanan hukum praktis dan pengembangan hukum teoritis. “Pengembanan hukum praktis meliputi kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pengembanan hukum teoritis meliputi kegiatan pembentukan hukum, penemuan

hukum, dan bantuan hukum”.6

Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum merupakan:

3 Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Loc.Cit. 4 Achmad Ali, Op.Cit., h.146.

5 B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia Tahun XII No.1, Januari 1994, h.61-63.

(3)

Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehinga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat

diterima san dipertanggungjawabkan dalm ilmu hukum.7

Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “...apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak

berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.8 Hal tersebut

memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya dalam membuat keputusan.

Dapat disimpulkan dari pendapat mengenai para ahli diatas, penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu.

2.1.2 Alasan Penemuan Hukum

Bambang Sutiyoso mengungkapkan bahwa perundang-undangan “bersifat statis dan rigid(kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari waktu ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan „Het recht hink achter de

7 Amir Syamsudin, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas, 4 Januari 2008, h.6.

(4)

feiten ann‟, yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.”9 Oleh karena itu, suatu peristiwa kongkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Hal tersebut agar hukumnya dapat ditemukan untuk dapat diterapkan dalam peristiwa konkrit di tengah masyarakat.

Selanjutnya pendapat Jazim Hamidi memperkuat tulisan Bambang Sutiyoso bahwa “peraturan perundang-undangan itu tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu menimbulkan ruang kosong, yang harus diisi oleh hakim dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menafsirkan, atau

melengkapi peraturan perundang-undangannya”.10

Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak tersebut diatas “...tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret, oleh karena itu ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan

pada peristiwanya itu”.11 Hal tersebut mengandung arti bahwa peristiwa

hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.

Maka sebenarnya hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk

9 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, h.102.

10 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta, h.52.

(5)

menafsirkan undang-undang. Hal tersebut dikarenakan “setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah,

dibebankan kepada para hakim”.12 Penemuan hukum oleh hakim tersebut dapat

dilakukan dengan metode interpretasi atau kontruksi, dengan catatan bahwa hakim tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenan-wenang.

Namun penemuan hukum tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan mudah, Ahmad Rifai dalam bukunya menegaskan bahwa:

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.13

Dapat dipahami dari pendapat Ahmad Rifai tersebut diatas bahwa hakim tidak serta merta dapat melakukan penemuan hukum, melainkan harus terlebih dahulu melihat undangan terkait yang berlaku. Jika perundang-undangan yang terkait tidak memadai dalam mengatasi peristiwa konkret, maka hakim diperbolehkan untuk menemukan hukum dengan tetap berdasarkan pada sumber-sumber hukum dengan tidak memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, serta tetap sesuai dengan tujuan pembuat undang-undang.

12 Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung h.33.

(6)

2.1.3 Metode Penemuan Hukum

Terdapat beberapa pendapat mengenai metode penemuan hukum ini dengan mendasarkan pada pandangan masing-masing para ahli. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya membedakan metode penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretasi, metode argumentasi, dan metode eksposisi

(kontruksi hukum).14

Achmad Ali membedakan metode penemuan hukum menjadi dua, yaitu

metode interpretasi dan metode kontruksi.15 Hal serupa juga diungkapkan oleh

Philiphus M. Hadjon dengan merujuk pendapat yang dikemukakan “J.J.H. Bruggink dalam bukunya Op Zoek Naar Het Recht (Rechtsvinding in

Rechstheoretisch Perspectief), yang meliputi metode interpretasi (interpretatiemethoden) dan model penalaran (redeneerweijzen) atau kontruksi

hukum”16

Ahmad Rifai dalam bukunya membedakan metode penemuan hukum menjadi tiga bagian yaitu selain metode penemuan hukum interpretasi dan kontruksi seperti yang diungkapkan oleh Achmad Ali dan Philuphus M. Hadjon,

ia juga menambahkan metode hermeneutika.17 Untuk memeberikan pemahaman

mengenai pembagian metode penafsiran hukum tersebut, maka akan dijelaskan jenis-jenis metode penafsiran hukum yaitu sebagai berikut:

14 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.56. 15 Achmad Ali, Op.Cit, h.164.

16 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 25.

(7)

1. Metode Interpertasi Hukum

Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang menjelaskan teks undang-undang agar undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. “Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi

agar hukum positif itu berlaku”.18

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya mengungkapkan bahwa “Interpretasi berarti suatu kesimpulan dalam memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat

memahaminya”.19 Menurutnya, interpretasi berarti pemecahan suatu makna

ganda, norma kabur (vage normen), antinomy hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian suatu perundang-undangan. Hal tersebut demi mencari dan

menemukan maksud dari para pembuatnya.20 Sedangkan menurut Bambang

Sutiyoso, “Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat

diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu”.21

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya membedakan metode interpretasi hukum ini menjadi sebelas jenis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, h.13. 19 Ahmad Rifai, Op.Cit, h.61.

20 Ahmad Rifai, Loc.Cit.

(8)

a. Interpretasi Gramatikal

“Interpretasi gramatikal adalah metode penemuan hukum dengan menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan

kaidah hukum tata bahasa”.22 Bahasa merupakan sarana yang penting

bagi hukum, karena merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dan penjelasannya. Mengingat kata-kata dalam perundang-undangan Indonesia banyak berasal dari terjemahan kata-kata asing khususnya Belanda, maka pengungkapan maknanya harus memenuhi standar logis, dan mengacu pada kelaziman bahasa sehari-hari dalam masyarakat.

b. Interpretasi Historis

Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu yang pertama interpretasi menurut sejarah undang-undang (wet historisch) dan yang kedua interpretasi sejarah hukum

(recht historisch).23

Interpretasi menurut sejarah undang-undang (wet historisch) adalah “...mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa, dalam hal

ini dilihat dari pembuat undang-undangnya”24 ketika undang-undang itu

dibentuk dulu. Jadi, dalam metode interpretasi ini, kehendak pembuat

22 Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Jakarta, h.221.

23 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.60. 24 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.112.

(9)

undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk dulu dianggap sangat menentukan.

Selanjutnya Interpretasi sejarah hukum (rechts historissch) adalah “...metode interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait dengan

kelembagaan hukumnya”.25

Jadi, setiap peraturan perundang-undangan yang ada pada saat ini memiliki sejarah sendiri-sendiri. Jadi para hakim yang ingin mengetahui makna kata atau kalimat dalam undang-undang tidak dapat menafsirkannya per kata atau kalimat, melainkan menafsirkan dengan meneliti sejarah atau latar belakang lahirnya undang-undang tersebut.

c. Interpretasi Sistematis

“Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan

undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undang-undang-undangan”.26

Hal tersebut mengandung arti bahwa “...hukum dilihat sebagai suatu kesatuan atau sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem. Undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem

perundang-undangan”.27 Jadi, hal yang paling penting dalam

menafsirkan undang-undang adalah bahwa penafsiran tidak boleh

25 Bambang Sutiyoso, Loc.Cit.

26 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.58-59. 27 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.111.

(10)

menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum suatu Negara.

d. Interpretasi Teleologis/Sosiologis

Pontang Moerad B.M. memberi pengertian mengenai interpretasi ini, yaitu:

Interpretasi teleologis/sosiologis adalah suatu interpretasi untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Interpretasi teleologis/sosiologis menjadi sangat penting apabila hakim menjalankan suatu undang-undang, dimana keadaan masyarakat ketika undang-undang itu ditetapkan berbeda sekali dengan keadaan pada waktu

undang-undang itu dijalankan.28

Interpretasi ini ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan dimana undang-undang yang ada akan disesuaikan dengan kenyataan hukum saat ini. Jadi, peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.

e. Interpretasi Komparatif

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo menyebutkan bahwa:

Interpretasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sitem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan pertauran perundang-undangan. Metode interpretasi ini digunakan oleh hakim pada saat menghadapi kasus-kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang lahir

dari perjanjian internasional. 29

28 Pontang Moerad B.M., 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, h.92-93.

(11)

Interpretasi komparatif ini digunakan untuk mencari kejelasan

mengenai ketentuan suatu perundang-undangan dengan

membandingkan undang-undang yang satu dengan yang lain dalam suatu sistem hukum atau sistem asing lainnya.

f. Interpretasi Futuristik/Antisipatif

Menurut Achmad Ali dalam bukunya, “Interpretasi futuristik merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai

kekuatan hukum (ius constituendum)”.30

Jadi, interpretasi futuristik atau antisipatif ini adalah suatu metode penafsiran dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang belum resmi berlaku, misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan diberlakukan sebagai undang-undang. Dalam hal ini tentu seorang hakim memiliki keyakinan bahwa naskah RUU tersebut pasti akan segera diundangkan, sehingga ia melakukan antisipasi dengan melakukan penafsiran futuristic atau antisipatif tersebut.

g. Interpretasi Restriktif

Achmad Ali mengungkapkan bahwa, “Interpretasi restriktif merupakan metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna

30 Achmad Ali, Op.Cit. h.186.

(12)

dari suatu aturan”.31 Interpretasi restriktif ini “...digunakan untuk untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dimana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak pada artinya menurut

bahasa”.32

Jadi, interpretasi restriktif merupakan metode penafsiran hukum yang bersifat membatasi atau mempersempit suatu pengertian dalam undang-undang.

h. Interpretasi Ekstensif

“Interpretasi ekstensif merupakan metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui

interpretasi gramatikal”.33 Jadi, maksudnya adalah bahwa interpretasi

ekstensif ini digunakan dengan maksud untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan cara melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.

i. Interpretasi Autentik

Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig

bewijs opleverend, yang berarti bahwa interpretasi autentik ini

“...memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah

atau yang resmi”.34

Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, jadi hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran

31 Achmad Ali, Loc.Cit.

32 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.116 33 Ahmad Rifai, Op.Cit, h.71. 34 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.118.

(13)

dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan dalam pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri.

j. Interpretasi Interdisipliner

Johnny Ibrahim dalam bukunya mengungkapkan bahwa:

Metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi atau hukum internasional. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu

cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.35

Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut tindak pidana “korupsi”, dimana hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dari berbagai disiplin yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata.

k. Interpretasi Multidisipliner

“Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim juga harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari

disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum”.36 Hal ini berarti hakim

membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain dalam menjatuhkan putusan, demi membuat suatu putusan yang adil dan memberi kepastian hukum.

35 Johnny Ibrahim, Loc.Cit. 36 Johnny Ibrahim, Loc.Cit.

(14)

Biasanya dalam melakukan interpretasi multidisipliner tersebut, hakim akan mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait untuk dimintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah.

2. Metode Kontruksi Hukum

Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.”Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan

dan bermanfaat bagi pencari keadilan”.37 Kontruksi hukum ini sangat

dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.

Menurut Philipus M. Hadjon, model kontruksi hukum terdiri dari “...analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan bentuk ketiga oleh P. Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa

Indonesia oleh Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum”38

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya membedakan metode konstruksi hukum ini menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi)

Menurut Bambang Sutiyoso, “Metode analogi berarti memperluas peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,

37 Achmad Ali, Op.Cit, h.192.

(15)

kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip

dengan yang diatur dalam undang-undang”.39

Jadi analogi ini merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.

b. Metode Argumentum a Contrario

“Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku

kebalikannya”.40 Maksudnya adalah, bahwa penafsiran ini dilakukan

dengan menjelaskan undang-undang yang berdasarkan pada pengertian yang sebaliknya antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Jadi, apabila suatu peristiwa diatur dalam undang-undang, namun peristiwa lain yang mirip tidak diatur dalam undang-undang, maka berlaku hal yang sebaliknya.

c. Metode Penyempitan/Penghalusan Hukum

Menurut Jazim Hamidi, metode penyempitan atau pengkongkretan hukum ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya. Hal tersebut bertujuan agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa

39 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.133. 40 Achmad Ali, Op.Cit, h.197.

(16)

teretentu.41 Mengingat suatu norma hukum atau aturan perundang-undangan terkadang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu.

d. Fiksi Hukum

Fiski hukum adalah “...sesuatu yang khayal yang digunakan dai dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kat, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu

pengertian hukum”.42

Metode penemuan hukum ini berlandaskan pada asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.

3. Metode Hermeneutika Hukum

Jazim Hamidi menjelaskan dalam bukunya mengenai pengertian hermeneutika hukum, yaitu sebagai berikut:

Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal

mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi (penafsiran) terhadap teks. Kata „teks‟ atau „sesuatu‟ dalam pengertian yang sedang dibahas ini adalah berupa “teks hukum, fakta hukum, naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam dalam kitab suci, hasil ijtihad hukum (doktrin hukum), peraturan perundang-undangan, atau yurisprudensi”, dan itu semua kapasitasnya menjadi „objek‟ yang ditafsirkan. Metode dan teknik penafsirannya dilakukan secara holistik

dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.43

Hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks hukum atau metode memahami suatu naskah normatif.

41 Jazim Hamidi, Op.Cit, h.61. 42 Bambang Sutiyoso, Op.Cit, h.139 43 Jazim Hamidi, Op.Cit, h.5

(17)

2.2 Tinjauan Umum tentang Praperadilan 2.2.1 Pengertian Praperadilan

Sejarah kehadiran lembaga praperadilan sejatinya muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, “...konsep ini dihadirkan sebagai mekanisme testing atas sah tidaknya suatu tindakan penangkapan dan penahanan, karena tindakan tersebut merupakan „indruising‟ terhadap hak-hak dan kebebasan

seseorang, sehingga membutuhkan pengujian dari pengadilan”.44

Menurut Loebby Loqman, konsep Habeas Corpus bersandar pada “...dasar pemikiran suatu penjagaan terhadap hilang kemerdekaan bagi seseorang dalam

arti luas”.45 Hal tersebut berarti bahwa “...di dalam masyarakat yang beradab,

pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab terhadap seseorang yang hilang kemerdekaannya, baik berhubungan dengan suatu peristiwa tindak pidana,

maupun kehilangan kemerdekaan lainnya”.46

Konsep Habeas Corpus tidak seperti praperdilan dimana “...ruang lingkupnya terbatas pada hukum acara pidana, habeas corpus mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, baik dalam hukum acara pidana maupun pada hak-hak sipil dari warganya berhubungan dengan hak kebebasan seseorang yang telah

dijamin dalam Undang-Undang Dasarnya”.47 Jadi dalam hal ini, konsep habeas

44 Oemar Seno Adji, Loc.Cit. 45 Loebby Loqman, Op.Cit., h.57. 46 Ibid, h.55.

(18)

corpus yang diadopsi dalam KUHAP Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum

Praperadilan, memiliki kewenangan tidak seluas konsep aslinya.

Kembali lagi pada konsep praperadilan, bahwa lembaga praperadilan merupakan hal yang baru dalam peradilan negara kita, lembaga ini diperkenalkan oleh KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pengertian praperadilan menurut bahasa, maka “pra berarti awalan, yang bermakna sebelum atau di muka. Sedangkan peradilan adalah sesuatu mengenai

perkara pengadilan atau Lembaga Hukum bertugas memperbaiki”.48

Jadi dapat dipahami bahwa arti praperadilan adalah “...suatu lembaga hukum yang bertugas memeriksa suatu perkara sebelum diajukan ke Pengadilan. Namun istilah praperadilan yang dipakai di Indonesia ini adalah merupakan ketentuan umum yang terdapat pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang hukum Acara

Pidana”,49 dengan bunyi pasal sebagai berikut:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

48 Badudu dan Zein, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.236.

49 M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, h.3.

(19)

Bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan; sidang Pengadilan Negeri untuk memeriksa tentang sah tidaknya penangkapan dan penahanan oleh pejabat-pejabat yang ditugaskan melakukan

penyidikan dalam perkara pidana.50

Sedangkan aturan mengenai praperadilan itu sendiri dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.

2.2.2 Tujuan dan Wewenang Praperadilan

Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, “...undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

penyitaan, dan sebagainya”.51 Tindakan upaya paksa tersebut merupakan

“...pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum

dan undang-undang yang berlaku (due process of law)”.52 Untuk mengawasi dan

menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum, perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau

50 Setiawan Widagdo, Op.Cit., h.472. 51 M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.3. 52 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(20)

tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan kepada tersangka. Lembaga inilah yang disebut dengan Lembaga Praperadilan.

Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP adalah “...untuk melakukan „pengawasan secara horizontal‟ atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka selama dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang

yang berlaku”.53

Praperadilan di dalam KUHAP (KUHAP) diatur dalam Bab ke-X Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Pasal 77 KUHAP menyebutkan bahwa:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bunyi pasal tersebut apabila diperhatikan dapat memperinci mengenai wewenang apa saja yang dimilki hakim dalam praperadilan, yaitu sebagai berikut: 1. Sah atau Tidaknya Upaya Paksa

Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk memeriksa mengenai sah atau tidaknya upaya paksa disini berarti adalah wewenang untuk “...memeriksa dan memutus sah atau tidaknya „penangkapan dan penahanan‟,

jadi seorang tersangka yang dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk

(21)

memeriksa atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya”.54 Jadi kemudian secara khusus akan dirinci mengenai penangkapan dan penahanan, yaitu sebagai berikut:

a. Penangkapan

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan diartikan sebagai berikut, “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktukebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dengan bukti permulaan yang cukup. Hal ini tercantum dalam Pasal 17 KUHAP yang menentukan bahwa, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditunjukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Sedangkan mengenai bukti permulaan yang cukup, terdapat pendapat Drs. P.A.F Lamintang dalam bukunya mengenai apa yang disebut dengan bukti permulaan yang cukup yaitu:

Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat

(22)

bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidanasetelah terhadap orang tersebut

dilakukan penangkapan.55

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut diatas dapat dilakukan paling lama satu hari, hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP.

Menurut Syprianus Aristeus, sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. “Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya

surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya”.56

b. Penahanan

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan diartikan sebagai berikut, “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

55 P.A.F Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, h.117.

56 Syprianus Aristeus, 2007, “Penelitian Hukum tentang Perbandingan antara Penyelesaian Putusan Praperadilan dengan Kehadiran Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana”, Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen HAM RI, Jakarta, h.37.

(23)

Sedangkan syarat-syarat penahanan bagi seorang tersangka atau terdakwa diatur di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut:

a) Diduga keras melakukan tindak pudana berdasarkan bukti yang cukup;

b) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti; dan

c) Mengulangi tindak pidana.57

Selain syarat yang telah disebutkan diatas, terdapat pula syarat-syarat lain dilakukannya suatu penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, dengan bunyi pasal sebagai berikut:

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

- Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459 Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana; - Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran

terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471);

- Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),;

-

Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan

Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Dalam proses penahanan terhadap tersangka, “...harus memenuhi dua

syarat atau alasan yaitu syarat objektif dan syarat subjektif”.58 Yang

57 C. Djisman Samosir, Op.Cit., h.50.

(24)

dimaksud dengan syarat objektif yaitu “...syarat tersebut dapat diuji ada

atau tidak oleh orang lain”.59

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat subjektif yaitu “...hanya tergantung pada orang yang memerintahkan

penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak”.60 “Syarat objektif

tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) sedangkan syarat subjektif untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 21

ayat (1) KUHAP”.61

Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penahanan dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya, sesuai dengan syarat-syarat untuk dilakukan penahanan yang telah diuraikan sebelumnya.

2. Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan Dalam hal memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, terdapat beberapa alasan sebagai kemungkinan, yaitu sebagai berikut:

1) Ne bis in idem yaitu apa yang dipersangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

58 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit., h.134.

59 Ibid. 60 Ibid.

61 Duwi Handoko, 2015, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Hawa dan AHWA, Pekanbaru, h. 95.

(25)

2) Kadaluarsa untuk menunut sebagaimana diatur dalam KUH Pidana.62

3. Tuntutan Ganti Rugi

Tuntutan ganti rugi ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP, dimana tuntutan tersebut dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasehat hukumnya kepada praperadilan di Pengadilan Negeri. Dari bunyi pasal tersebut dapat dipahami bahwa tunutan ganti kerugian dapat diajukan karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan “tindakan lain” tanpa alasan yang sesuai dengan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan, atau diperiksa. Yang dimaksud dengan tindakan lain adalah kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk juga penangkapan atau penahanan. Hal tersebut secara jelas dijabarkan dalam penjelasan Pasal 95 KUHAP.

4. Permintaan Rehabilitasi

Praperadilan berwenang memeriksa dan mengadili permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasehat hukumnya “...atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan”.63

62 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit, h.189. 63 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.6.

(26)

2.2.3 Prosedur Pemeriksaan Praperadilan

Tata cara atau prosedur pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian Kesatu, Pasal 79 sampai dengan Pasal 83. Sebelum membahas mengenai prosedur pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan, terlebih dahulu akan diuraikan menganai siapa saja yang memeiliki hak untuk mengajukan permohonan praperadilan, yaitu sebagai berikut:

a. Tersangka, Keluarga, atau Kuasa

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 79 KUHAP yang berbunyi, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Pasal 79 mengatur mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasa hukumnya. “Kedalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah

atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah”.64

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya, dalam hal mengajukan permintaan pemeriksaan, tersangka, keluarganya, atau kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya Penangkapan;

Penahanan; Penyitaan; dan Penggeledahan.65

80 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.9. 65 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(27)

b. Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan

Hal ini diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang berbunyi, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Bunyi pasal tersebut terlihat bahwa penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

“Secara Umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana, ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang

bersangkutan”.66

Hal ini berarti selain penunutut umum, yang berhak utuk mengajukan permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan adalah saksi korban, yaitu yang mengalami langsung dan menjadi korban dalam peristiwa pidana.

Undang-undang telah memberi hak kepada saksi untuk melakukan pengawasan terhadap sistem praperadilan sehingga “...pengawasan atas penghentian penyidikan bukan hanya berada ditangan penuntut umum saja, tapi

diperluas jangkauannya kepada saksi.”67

Pemberian hak kepada saksi ini dapat dianggap memenuhi tuntutan kesadaran masyarakat.

66 M. Yahya Harahap, Loc.Cit. 67 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(28)

c. Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan

Saat penuntut umum telah melakukan penghentian penyidikan, maka penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan oleh penuntut umum, kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. “Pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak untuk mengawasi penyidik. Sedang dalam penghentian penuntutan, penyidik

yang diberi hak untuk mengawasi”.68

d. Tersangka, Ahli Waris, atau Kuasa

Hal ini sesuatu dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:

Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimakasud dalam Pasal 77.

Menurut ketentuan Pasal yang telah disebutkan sebelumnya, tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan:

- Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;

- Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau

68 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.10.

(29)

- Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang

perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.69

e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 81 KUHAP yang berbunyi, “Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Hal tersebut berarti tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat melakukan pengajuan tuntutan ganti rugi kepada praperadilan dengan alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.

Kalau praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti kerugian kepada praperadilan. Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan menuntut ganti kerugian.70

Sedangkan mengenai pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

Setiap permohonan yang akan diajukan agar dapat diperiksa oleh praperadilan harus terlebih dahulu diajukan kepada ketua pengadilan negeri

69 M. Yahya Harahap, Loc.Cit. 70 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(30)

yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan itu dilakukan. Sedangkan dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan “...diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau

penuntutan berkedudukan”.71

b. Permohonan Diregister oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Setelah panitera menerima permohonan, maka diregister yang nomornya berbeda dengan nomor perkara lainnya. “Segala permohonan yang ditujukan ke Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa. Administrasi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara biasa”.72

c. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera

Setelah permohonan diregister, maka sesegera mungkin ketua pengadilan negeri menunjuk hakim tunggal dan panitera, hal ini diatur dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP, yang bunyi pasalnya adalah, “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.

Setelah ditetapkan hakim tunggal dan panitera, maka selanjutnya adalah penentuan hari sidang, hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) hurf a KUHAP yang berbunyi, “Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang”.

71 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.Cit, h. 193 72 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(31)

d. Penetapan Hari Sidang dan Pemanggilan Para Pihak

Setelah ketua pengadilan negeri menunjuk hakim dan panitera, maka segera bersidang. Menyangkut hal ini, telah ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yang berbunyi, “Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya”.

Jadi proses pemeriksaan dalam praperadilan “...dilakukan dengan „acara cepat‟ dan selambat-lambatnya tujuh hari kemudian hakim harus sudah

menjatuhkan putusan”.73

e. Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam bunyi Pasal 78 ayat (2) KUHAP, yaitu sebagai berikut, “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.

Sedangkan dalam pemeriksaannya, maka menurut Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu:

Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.

(32)

Selanjutnya pada saat “...pemeriksaan telah dimulai, maka menurut Pasal

82 ayat (1) huruf d KUHAP”74 yang menentukan bahwa, “Dalam hal suatu

perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.

Maksudnya adalah bahwa jika pokok perkara telah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan permohonan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permohonan tersebut dainggap gugur.

74 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Loc.Cit.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun

Prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam

Dari fenomena selfie, konsep diri positif remaja perempuan dapat terlihat dari aktivitas yang mereka lakukan saat sebelum melakukan selfie yaitu mereka tidak

Dalam pengujian densitas hal yang harus dilakukan adalah mempersiapkan alat dan bahan, selanjutnya memasukkan sample kedalam gelas ukur yang berkapasitas 50 ml dengan

Tambahan lagi, universiti yang bertindak sebagai pembekal tenaga kerja (mahasiswa) kepada industri perlu menekankan faktor- faktor jangka panjang seperti latihan dalam pekerjaan,

Sedangkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah suatu set peristiwa yang terdiri dari komponen-komponen yang mana komponen tersebut saling berinteraksi dan

Perlekatan dikatakan benar bila tampak lebih banyak areola di atas bibir, mulut bayi terbuka lebar, bibir bawah terputar keluar, dan dagu bayi menempel payudara.Variabel

Perlekatan dikatakan benar bila tampak lebih banyak areola di atas bibir, mulut bayi terbuka lebar, bibir bawah terputar keluar, dan dagu bayi menempel payudara.Variabel