• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI BASELINE EKOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI BASELINE EKOLOGI"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)

Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI

Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia

LAPORAN COREMAP

STUDI BASELINE EKOLOGI

KABUPATEN KEPULAUAN RIAU

(2)

LAPORAN COREMAP

STUDI BASELINE EKOLOGI

KABUPATEN KEPULAUAN RIAU

(2004)

Disusun

oleh

CRITC- Jakarta

2005

(3)

S

TUDY

B

ASELINE

E

KOLOGI

K

EPULAUAN

R

IAU

T

AHUN

2004

KO O R D I N A T O R TI M PE N E L I T I A N : GI Y A N T O, S . SI, M . SC. PE N A N G G U N G J A W A B P E N E L I T I A N : SI S T I M IN F O R M A S I GE O G R A F I S : DR S. WI N A R D I, M . SC. KU A L I T A S PE R A I R A N : - DR S. ED I KU S M A N T O - DR S. SA L M I N MA N G R O V E : DR S. SO E R O Y O KA R A N G & ME G A B E N T H O S : DR A. AN N A MA N U P U T T Y, M . SI IK A N K A R A N G : DR A. SA S A N T I R . SU H A R T I, M . SC. DO K U M E N T A S I : R . SU T I Y A D I, A . MD. AN A L I S A DA T A : GI Y A N T O, S . SI, M . SC.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ………... iv

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

RINGKASAN EKSEKUTIF ……… xvii

A. Pendahuluan ……… xvii B. Hasil ……….. ………. xix C. Saran ……… xxviii BAB I. PENDAHULUAN ………... 1 A. Latar Belakang ……… 1 B. Tujuan Penelitian ………. 3

C. Ruang Lingkup Penelitian ………... 3

BAB II. METODE PENELITIAN ………... 5

A. Lokasi Penelitian ………. 5

B. Waktu Penelitian ………. 19

C. Pelaksana Penelitian ……… 19

D. Metode Penarikan Sampel dan Analisa Data ……….. 19

1. Sistem Informasi Geografis ………... 20

2. Kualitas Perairan ……… 23

3. Mangrove ………... 24

4. Karang ……… 25

5. Mega Benthos …...……… 27

(5)

Halaman

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 30

A. Sistem Informasi Geografis ………. 30

1. Geometri Citra ……… 30

2. Kondisi Geografis Daerah Studi ……… 31

3. Hasil pemetaan terumbu karang dan mangrove …. 36 B. Kualitas Perairan ………. 39 1. Temperatur ………. 39 2. Salinitas ……….. 41 3. Densitas ………... 43 4. Arus ……… 46 5. Derajat keasaman (pH)………... 51

6. Kandungan oksigen terlarut (O2) ……….. 53

7. Fosfat ……….. 56 8. Nitrat (NO3) ………... 58 9. Nitrit (NO2) ………...………. 60 10. Silikat (SiO3) …..……… 62 C. Mangrove ……… 64 D. Karang ………. 70 E. Mega Benthos ……….. 91 F. Ikan Karang ……….. 102

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 125

A. Kesimpulan ………. 125

B. Saran ……… 127

(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur, Kabupaten Kepulauan Riau ……….. 6 Gambar 2.a. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur,

salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan Kepulauan

Tambelan ……… 9 Gambar 2.b. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur,

salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan P. Mapur dan

sekitarnya ……….. 10 Gambar 3.a.. Posisi stasiun penelitian untuk parameter

derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3), nitrit

(NO2), dan silikat (SiO3) di perairan

Kepulauan Tambelan ……….. 11 Gambar 3.b. Posisi stasiun penelitian untuk parameter

derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3), nitrit

(NO2), dan silikat (SiO3) di perairan P.

Mapur dan sekitarnya ………. 12 Gambar 4.a.. Posisi stasiun penelitian mangrove di

perairan Kepulauan Tambelan ……… 13 Gambar 4.b. Posisi stasiun penelitian mangrove di

(7)

Halaman

Gambar 5.a.. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode

RRI di perairan Kepulauan Tambelan …… 15 Gambar 5.b. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu

karang dan ikan karang dengan metode

RRI di perairan P. Mapur ……… 16 Gambar 6.a. Posisi stasiun penelitian untuk karang,

mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan Kepulauan

Tambelan ……… 17 Gambar 6.b. Posisi stasiun penelitian untuk karang,

mega benthos dan ikan karang pada stasiun

transek permanen di perairan P. Mapur ….. 18 Gambar 7.a. Variasi temperatur pada stasiun penelitian

di perairan Kepulauan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau ……… 40 Gambar 7.b. Variasi temperatur pada stasiun penelitian

di perairan P. Mapur dan sekitarnya,

Kabupaten Kepulauan Riau ……… 41 Gambar 8.a. Variasi salinitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan Kepulauan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau ….. 42 Gambar 8.b. Variasi salinitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan P. Mapur dan

sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Riau ….. 43 Gambar 9.a. Variasi densitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan Kepulauan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau ….. 44 Gambar 9.b. Variasi densitas permukaan pada stasiun

penelitian di perairan P. Mapur dan

(8)

Halaman

Gambar 10. Pola arus di sekeliling P. Tambelan, Kepulauan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau ……….. 46 Gambar 11. Pola arus di sekeliling bagian selatan P.

Betung, Kepulauan Tambelan, Kabupaten

Kepulauan Riau ……….. 47 Gambar 12. Pola arus di Sekeliling P. Benua,

Kepulauan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau ……….. 48 Gambar 13. Pola arus di selat antara P. Tambelan – P.

Betung, selat P. Benua – P. Sedua, dan

selat P. Sedua – P. Tambelan ……….. 49 Gambar 14. Pola arus di sekeliling P. Mapur,

Kabupaten Kepulauan Riau ……… 50 Gambar 15. Pola arus di sekeliling P. Marapas,

Kabupaten Kepulauan Riau ……… 51 Gambar 16. Rerata persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substrat dengan

metode RRI di Kepulauan Tambelan …….. 72 Gambar 17. Kondisi terumbu karang berdasarkan

persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di perairan Kepulauan

Tambelan dengan metode RRI …………... 74 Gambar 18. Persentase tutupan untuk masing-masing

kategori biota dan substrat dengan metode LIT di masing-masing stasiun transek

permanen di Kepulauan Tambelan ………. 75 Gambar 19. Histogram persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substrat dengan metode LIT di masing-masing stasiun transek permanen di Kepulauan

(9)

Halaman Gambar 20. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan berdasarkan jumlah kehadiran

masing-masing jenis karang batu ………… 80 Gambar 21. MDS untuk stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran

masing-masing jenis karang batu ……… 80 Gambar 22. Rerata persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substrat dengan

metode RRI di P. Mapur ……… 82 Gambar 23. Kondisi terumbu karang berdasarkan

persentase tutupan karang hidup dengan metode RRI di masing-masing stasiun di

perairan P. Mapur ………... 84 Gambar 24. Persentase tutupan untuk masing-masing

kategori biota dan substrat dengan metode LIT di masing-masing stasiun transek

permanen di P. Mapur ……… 85 Gambar 25. Histogram persentase tutupan untuk

masing-masing kategori biota dan substrat dengan metode LIT di masing-masing

stasiun transek permanen di P. Mapur …… 86 Gambar 26. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Mapur berdasarkan jumlah kehadiran

masing-masing jenis karang batu ………. 88 Gambar 27. MDS untuk stasiun transek permanen di

Mapur berdasarkan berdasarkan jumlah

kehadiran masing-masing jenis karang batu 89 Gambar 28. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Kepulauan Taambelan dan P. Mapur berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis

(10)

Halaman

Gambar 29. MDS untuk stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran

masing-masing jenis karang batu ………… 91 Gambar 30. Hasil reef check untuk mega benthos yang

memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada masing-masing stasiun transek permanen

di Kepulauan Tambelan ……….. 93 Gambar 31. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan berdasarkan kelimpahan mega

benthos ……… 96 Gambar 32. MDS untuk stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan berdasarkan berdasarkan kelimpahan mega benthos ….. 96 Gambar 33. Hasil reef check untuk mega benthos yang

memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada masing-masing stasiun transek permanen

di P. Mapur ………. 98 Gambar 34. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di P. Mapur

berdasarkan kelimpahan mega benthos ….. 100 Gambar 35. MDS untuk stasiun transek permanen di P.

Mapur berdasarkan kelimpahan mega

benthos ……… 100 Gambar 36. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur berdasarkan

kelimpahan mega benthos ………... 101 Gambar 37. MDS untuk stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur

(11)

Halaman

Gambar 38. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing

stasiun RRI di Kepulauan Tambelan …….. 104 Gambar 39. Peta perbandingan antara ikan major, ikan

target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan ……….. 108 Gambar 40. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun trasnek permanen di Kepulauan Tambelan berdasarkan jumlah individu

ikan karang ……….. 112 Gambar 41. MDS untuk stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan berdasarkan jumlah

individu ikan karang ………... 112 Gambar 42. Peta perbandingan antara ikan major, ikan

target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI di P. Mapur, Kabupaten

Kepulauan Riau ……….. 115 Gambar 43. Peta perbandingan antara ikan major, ikan

target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun transek permanen di P.

Mapur, Kabupaten Kepulauan Riau ……… 119 Gambar 44. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di P. Mapur

berdasarkan jumlah individu ikan karang… 121 Gambar 45. MDS untuk stasiun transek permanen di P.

Mapur berdasarkan jumlah individu ikan

karang ………. 122 Gambar 46. Dendrogram analisa pengelompokan

stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur berdasarkan

(12)

Halaman

Gambar 47. MDS untuk stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur berdasarkan berdasarkan jumlah individu

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Daftar nilai penting (%) kategori anak pohon di beberapa lokasi di Kepulauan Tambelan

dan P. Mapur ………... 69 Tabel 2. Daftar nilai penting (%) anak pohon

mangrove di Kepulauan Tambelan dan P.

Mapur ………. 69 Tabel 3. Daftar nilai penting (%) pohon mangrove di

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ………… 70 Tabel 4. Gambaran mengenai struktur mangrove di

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ………… 70 Tabel 5. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e), Indeks kemerataan Pielou (J’) dan persentase tutupan (%LC) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen di Kepulauan

Tambelan dengan metode LIT ……… 77 Tabel 6. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan

jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan ……….. 79 Tabel 7. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e), Indeks kemerataan Pielou (J’) dan persentase tutupan (%LC) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen di P. Mapur dengan

(14)

Halaman

Tabel 8. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang

batu pada stasiun transek permanen di Mapur. 88 Tabel 9. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan

kelimpahan mega benthos pada stasiun

transek permanen di Kepulauan Tambelan …. 95 Tabel 10. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan

kelimpahan mega benthos pada stasiun

transek permanen di P. Mapur ………. 99 Tabel 11. Jenis ikan karang yang memiliki nilai

frekuensi relatif kehadiran lebih dari 50% berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang (n=36 stasiun) di

Kepulauan Tambelan ………... 103 Tabel 12. Sepuluh besar jenis ikan karang yang

memiliki kelimpahan yang tertinggi di

Kepulauan Tambelan ………... 105 Tabel 13. Kelimpahan ikan karang untuk

masing-masing suku yang dijumpai pada lokasi

transek permanen di Kepulauan Tambelan … 107 Tabel 14. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen di

Kepulauan Tambelan dengan metode LIT … 110 Tabel 15. Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis pada

stasiun transek permanen di Kepulauan

(15)

Halaman

Tabel 16. Sepuluh besar ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang (n=20 stasiun) di P.

Mapur ………. 114 Tabel 17. Sepuluh besar jenis ikan karang yang

memiliki kelimpahan yang tertinggi di P.

Mapur ………. 116 Tabel 18. Kelimpahan ikan karang untuk

masing-masing suku yang dijumpai pada lokasi

transek permanen di P. Mapur ………. 117 Tabel 19. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks

keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen di

Mapur dengan metode LIT ………. 120 Tabel 20. Nilai indeks kemiripan Bray-Curtis pada

stasiun transek permanen di P. Mapur untuk

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.a. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur, salinitas dan densitas air laut serta lintasan untuk pengukuran parameter kecepatan dan arah arus air laut di perairan

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ……. 132 Lampiran 1.b. Posisi stasiun penelitian untuk parameter

derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3),

nitrit (NO2), dan silikat (SiO3) di perairan

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur …….. 134 Lampiran 1.c. Posisi stasiun penelitian mangrove di

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ……..

136 Lampiran 1.d. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu

karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan Kepulauan Tambelan dan

P. Mapur ……… 137 Lampiran 1.e. Posisi stasiun penelitian untuk karang,

mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur …….. 139 Lampiran 2.a Luas mangrove dan terumbu karang di

lokasi penelitian di Kepulauan Tambelan

dan P. Mapur ………. 140 Lampiran 2.b. Peta daerah cakupan untuk perhitungan

luas mangrove dan terumbu karang di lokasi penelitian di Kepulauan Tambelan

(17)

Halaman

Lampiran 3.a. Hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan densitas massa air laut permukaan di perairan Kepulauan Tambelan serta P. Mapur dan sekitarnya, Kabupaten Kepulauan Riau ………. 142 Lampiran 3.b. Hasil pengukuran temperatur, salinitas,

dan densitas massa air laut untuk seluruh kolom air, mulai dari permukaan hingga dekat dasar, di perairan Kepulauan Tambelan serta P. Mapur dan sekitarnya,

Kabupaten Kepulauan Riau ……….. 142 Lampiran 4.a. Hasil dan analisa zat hara di perairan

Kepulauan Tambelan dan sekitarnya ……

143 Lampiran 4.b. Hasil dan analisa zat hara di perairan P.

Mapur dan sekitarnya ………

145 Lampiran 4.c. Kadar rata - rata zat hara di perairan

Kepulauan Tambelan, P. Mapur dan

sekitarnya ……….. 147 Lampiran 5. Jenis-jenis mangrove yang didapatkan di

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ……..

148 Lampiran 6. Jenis karang batu yang dijumpai di

perairan Kepulauan Tambelan dan P. Mapur, Kabupaten Kepulauan Riau,

berdasarkan hasil LIT dan koleksi bebas... 149 Lampiran 7. Persentase tutupan biota dan substrat pada

masing-masing stasiun RRI di perairan

Kepulauan Tambelan dan P. Mapur ……. 157 Lampiran 8. Persentase tutupan biota dan substrat

dengan metode LIT pada masing-masing stasiun transek permanen di perairan

(18)

Halaman

Lampiran 9. Kelimpahan beberapa mega benthos yang diamati dengan metode Reef Check Benthos (yang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanen di perairan Kepulauan Tambelan dan P.

Mapur ……….. 162 Lampiran 10. Kelimpahan jenis ikan (jumlah

individu/transek) yang dijumpai pada masing-masing stasiun transek permanen di perairan Kepulauan Tambelan dan P. Mapur yang diperoleh dengan metode

(19)

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. P

E N D A H U L U A N

COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Kepulauan Riau, yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau.

Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kabupaten Kepulauan Riau memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya.

Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu

(20)

karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.

Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan di wilayah Kota Batam (meliputi P. Petong, P. Abang Besar dan P. Abang Kecil, serta P. Pengelap) dan Kabupaten Natuna. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober-Nopember 2004.

Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswi dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya.

Lokasi penelitian dilakukan di perairan Kepulauan Tambelan dan P. Mapur.

Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi

(21)

data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper

Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak

titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut.

B. H

A S I L

Dari data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisa data. Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut:

Luasan hutan mangrove di Kepulauan Tambelan adalah 3,5448 km2, sedangkan di P. Mapur adalah 1,3605 km2. Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef,

patch reef dan shoal di Kepulauan Tambelan adalah

31,2618 km2 sedangkan di P. Mapur adalah 18,1126 km2.

Kisaran temperatur pada bagian permukaan di perairan Kepulauan Tambelan antara 29,16°C hingga 30,26°C, dengan rerata temperature 29,60°C, sedangkan di P. Mapur dan sekitarnya antara 28,93°C hingga 29,78°C, dengan rerata temperature 29,50°C. Kisaran temperatur pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar, di Kepulauan Tambelan mempunyai kisaran antara 28,92°C hingga 30,67°C dengan rerata

(22)

sekitarnya antara 28,92°C hingga 29,78°C dengan rerata temperatur 29,51°C.

Kisaran salinitas pada bagian permukaan berkisar di perairan Kepulauan Tambelan antara 32,04 dan 33,41 PSU dengan rerata salinitas 33,06 PSU, sedangkan di P. Mapur dan sekitarnya antara 31,82 dan 32,27 PSU dengan rerata salinitas 32,08 PSU. Kisaran salinitas pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar, di Kepulauan Tambelan mempunyai kisaran antara 32,00 hingga 33,41 PSU dengan rerata salinitas 33,06 PSU, sedangkan di P. Mapur dan sekitarnya antara 31,66 hingga 32,32 PSU dengan rerata salinitas 32,12 PSU.

Kisaran densitas pada bagian permukaan berkisar di perairan Kepulauan Tambelan antara 1019,77 kg/m3 – 1020,63 kg/m3 dengan rerata 1020,41 kg/m3, sedangkan di P. Mapur dan sekitarnya antara 1019,56 kg/m3 – 1019,85 kg/m3 dengan rerata 1019,71 kg/m3. Kisaran densitas pada kolom air mulai dari permukaan hingga dekat dasar, di Kepulauan Tambelan mempunyai kisaran antara 1019,77 kg/m3 – 1020,70 kg/m3 dengan rerata 1020,52 kg/m3, sedangkan di P. Mapur dan sekitarnya antara 1019,42 kg/m3 – 1019,90 kg/m3 dengan rerata 1019,76 kg/m3.

Untuk perairan di Kepulauan Tambelan, arah arus di perairan sekeliling P. Tambelan mengikuti bentuk pulau menuju ke selatan ataupun ke tenggara, dengan kecepatan arus relatif rendah dibawah 500 mm/detik kecuali perairan disisi timur laut, antara 500 mm/detik

(23)

hingga 1000 mm/detik. Sedangkan untuk perairan di selatan P. Betung, arah arus menuju ke barat dengan kecepatan dibawah 500 mm/detik. Untuk perairan P. Benua pengaruh gelombang lebih dominan terutama perairan di sisi utara pulau. Massa air yang menghempas pantai akan terpantul kembali kearah laut sedemikian sehingga arus yang terekam bolak balik, kecuali pada sisi barat daya yang relatif aman terhadap hempasan gelombang dan di selat antara pulau-pulau yang ada disekitar P. Benua. Perairan di selat antara pulau-pulau yang merupakan perairan terbuka menunjukkan bahwa massa air menuju ke barat kemudian ke selatan setelah membentur P. Tambelan. Kecepatan arus yang terekam untuk selat antara P. Benua dan P. Sedua adalah 821 mm/detik; sedangkan untuk selat antara P. Tambelan dan P. Betung adalah 671 mm/detik.

Untuk perairan P. Mapur dan sekitarnya, massa air yang mengalir di sisi utara P. Mapur menuju selatan melewati sisi utara P. Mapur kemudian ke timur menyusur pantai timur. Sedangkan massa air yang ada disisi barat P. Mapur mengalir ke selatan menyusur pantai barat P. Mapur Kecepatan arus yang terekam di sisi barat maksimum 1165 mm/detik sedangkan di sisi timurnya 1317 mm/detik. Sedangkan untuk perairan P. Marapas, yaitu pulau kecil yang terletak di tenggara P. Mapur, massa air yang mengalir di sekeliling pulau ini didominasi adanya pengaruh gelombang yang relatif

(24)

kuat sehingga arah arusnya tidak beraturan mengikuti pola hempasan gelombang.

Nilai derajat keasaman (pH) antara permukaan dengan dasar perairan di seluruh lokasi yang diteliti di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur relatif homogen. Mengacu pada nilai yang direkomendasikan KLH, maka di perairan Kepulauan Tambelan dan P. Mapur masih tergolong baik, dimana pHnya > 8.

Untuk Kepulauan Tambelan, pada umumnya kadar oksigen dipermukaan lebih tinggi dibanding dengan dasar perairan, kecuali di P. Sedua yang relatif homogen. Sedangkan untuk P. Mapur dan sekitarnya, kadar oksigen dipermukaan relatif homogen dengan bagian dasarnya. Jika merujuk dari baku mutu KLH untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, secara umum bisa dikatakan bahwa kandungan oksigen baik di perairan Kepulauan Tambelan maupun P. Mapur masih cukup baik, walaupun pada stasiun–stasiun tertentu kadar oksigen terlarutnya < 5 ppm (3,5 ml/L).

Kadar fosfat di seluruh lokasi yang diteliti baik di Kepulauan Tambelan maupun di P. Mapur lebih tinggi di bagian permukaan dibandingkan dengan di bagian dasar perairan. Ditinjau dari kadar fosfatnya, dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang direkomendasikan KLH untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut yang tidak melebihi 0,015 ppm (4,9 µg A/L) maka secara umum masih bisa dikategorikan baik, kecuali pada daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk.

(25)

Kadar nitrat pada bagian permukaan dengan bagian dasar perairan relatif homogen di semua lokasi penelitian baik di Kepulauan Tambelan maupun di P. Mapur. Berdasarkan nilai baku mutu untuk nitrat yang dikeluarkan KLH, kadar nitrat di semua lokasi penelitian bisa dikategorikan masih sangat baik untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (nilainya kurang dari 0,008 ppm atau 26,27 µg A/L).

Pada umumnya kadar nitrit pada bagian dasar perairan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian permukaannya, kecuali di P. Tambelan di Kepulauan Tambelan, dimana kadar nitritnya relatif homogen. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari semua stasiun yang diteliti, kadar nitritnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar nitrat, sehingga bisa dikatakan bahwa perairannya masih dalam kondisi baik. KLH tidak menetapkan nilai ambang batas kadar silikat untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut. Untuk semua lokasi baik di Kepulauan Tambelan maupun di P. Mapur memiliki kadar silikat pada bagian dasar perairan yang lebih tinggi dibandingkan dengan permukaannya. Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber utama silikat di perairan ini berasal dari sedimentasi pada dasar perairan.

Secara keseluruhan di Kepulauan Tambelan di dapatkan 25 jenis mangrove sedangkan di P. Mapur didapatkan 14 jenis mangrove.

(26)

Untuk Kepulauan Tambelan, dari pencuplikan data transek mangrove diperoleh kepadatan anak pohon (diameter 2 - <10 cm) mencapai 2020 batang/ha dengan rerata ketinggian 4,72 m dan basal area mencapai 4,24 m2/ha, yang didominasi oleh jenis Rhizophora stylosa dengan nilai penting 175,38 %. Sedangkan kepadatan pohon (diameter > 10 cm) mencapai 50 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 9,5 m dan basal area mencapai 1,13 m2 per hektar, yang didominasi

Sonneratia alba dengan nilai penting 197,80 %.

Untuk P. Mapur, berdasarkan hasil pencuplikan data transek mangrove diperoleh kepadatan anak pohon mencapai 3028 batang/ha dengan ketinggian rata-rata mencapai 6,53 m dan basal area mencapai 9,12 m2/ha, yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dengan nilai penting 104,03 %. Sedangkan kepadatan pohon (diameter >10 cm) mencapai 100 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 12,37 m dan basal area mencapai 1,15 m2/ha, yang didominasi oleh Rhizophora

mucronata dengan nilai penting 110,78 %.

Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 243 jenis yang termasuk dalam 20 suku karang batu di Kabupaten Kepulauan Riau yang meliputi Kepulauan Tambelan (181 jenis; 18 suku)) dan P. Mapur (175 jenis; 19 suku).

Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 36 stasiun di Kepulauan Tambelan dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 10,00%-90,00% dengan rerata persentase tutupan

(27)

karang hidup 47,39%, sehingga dapat diperkirakan luasan karang hidupnya sebesar 14,8150 km2. Sedangkan dari 27 stasiun di P. Mapur dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,00%-55,00% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 16,93% (terdapat 5 stasiun yang persentase tutupan karang hidupnya 0%) sehingga dapat diperkirakan luasan karang hidupnya sebesar 3,0665 km2.

Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 12 stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 11 stasiun, sedangkan 1 stasiun sisanya masuk dalam kategori cukup. Sedangkan dari 6 stasiun transek permanen di P. Mapur menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 3 stasiun, sedangkan 3 stasiun sisanya masuk dalam kategori cukup.

Dari hasil reef check di Kepulauan Tambelan terhadap beberapa mega benthos bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang diperoleh kelimpahan Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang ditemukan dalam jumlah banyak, yaitu hanya 631 individu/ha. Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang sangat berlimpah yaitu 9119 individu/ha. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dalam jumlah banyak yaitu 3756 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam)

(28)

berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 89 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 101 individu/ha. Pencil sea urchin dijumpai dalam jumlah yang agak banyak dimana kelimpahannya sebesar 393 individu/ha. Selama pengamatan dilakukan, dijumpai sedikit tripang (holothurian) baik yang berukuran besar (diameter >20) maupun yang berukuran kecil (diameter <20), dengan kelimpahan berturut-turut 42 individu/ha dan 83 individu/ha.

Dari hasil reef check di P. Mapur terhadap beberapa mega benthos bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang, tak dijumpai satu pun

Acanthaster planci. Karang jamur (CMR=Coral

Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang sangat berlimpah yaitu 7702 individu/ha. Bulu babi (Diadema

setosum) dijumpai dalam jumlah sangat banyak yaitu

9500 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang tak banyak, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya sebesar 274 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 12 individu/ha. Pencil sea urchin dijumpai dalam jumlah yang agak banyak dimana kelimpahannya sebesar 1036 individu/ha. Selama pengamatan dilakukan, tak dijumpai tripang (holothurian) baik yang berukuran besar (diameter >20) maupun yang berukuran kecil (diameter <20).

(29)

Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 12 Stasiun transek permanen di Kepulauan Tambelan menjumpai sebanyak 155 jenis ikan karang yang termasuk dalam 21 suku, sedangkan yang dilakukan di 6 stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 103 jenis ikan karang yang termasuk dalam 17 suku. Sehingga dari total 18 stasiun transek permanen yang dilakukan di kedua lokasi tersebut dijumpai sebanyak 182 jenis ikan karang yang termasuk dalam 24 suku. Underwater Fish Visual Census (UVC) yang dilakukan di 18 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 182 jenis ikan karang, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar 24543 individu /ha dengan kelimpahan kelompok ikan major, ikan target, dan ikan indikator berturut-turut adalah 19592 individu/ha, 4495 individu/ha dan 456 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 43:10:1. Ini berarti bahwa untuk setiap 54 individu ikan yang dijumpai di perairan Kepulauan Riau (Kepulauan Tambelan dan P. Mapur), kemungkinan komposisinya terdiri dari 43 individu ikan major, 10 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Untuk Kepulauan Tambelan saja, Kelimpahan ikan karang di Kepulauan Tambelan sebesar 29200 individu per hektarnya dengan perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 56:14:1, sedangkan di P. Mapur sebesar 15229 individu per hektarnya dengan

(30)

perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 24:3:1.

C. SARAN

Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mungkin tidak seluruhnya benar untuk menggambarkan kondisi perairan di Kabupaten Kepulauan Riau secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada beberapa kawasan yang berada di Kabupaten Kepulauan Riau yaitu di Kepulauan Tambelan dan P. Mapur.

Secara umum, kualitas perairan di lokasi penelitian ini dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari.

Dengan meningkatnya kegiatan di darat di Kabupaten Kepulauan Riau, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan

(31)

untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.

(32)

BAB I. PENDAHULUAN

A. L

A T A R

B

E L A K A N G

COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kabupaten Kepulauan Riau yang secara administratif masuk ke dalam Propinsi Riau.

Pada kegiatan COREMAP Fase II, lokasi yang dipilih mencakup wilayah Kecamatan Tambelan (Kepulauan Tambelan, yang terdiri atas P. Tambelan dan beberapa pulau di sekitarnya) serta Kecamatan Mapur (P. Mapur dan beberapa pulau kecil di dekatnya).

Wilayah Kepulauan Tambelan terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil. Pulau yang relatif lebih besar dibanding yang lainnya yaitu: P. Tambelan dan P. Benua, sedangkan pulau-pulau lain yang relatif kecil yaitu P. Menggirang Besar dan Kecil, P. Sedua Besar dan Kecil, P. Selintang, P. Bedua, P. Lintang, P. Panjang, P. Mundaga, P. Genting, P. Uwi, P. Sedulang Besar dan Kecil, serta pulau-pulau kecil lainnya. Kesemuanya kurang lebih ada 28 pulau besar dan kecil.

Berbeda dengan Kepulauan Tambelan yang umumnya berbukit-bukit, P. Mapur mempunyai topografi

(33)

secara umum landai dan hanya sebagian kecil yang berbukit dan bergelombang yaitu di bagian utara pulau.

Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Kepulauan Tambelan dan Mapur yang termasuk dalam Kabupaten Kepulauan Riau, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya.

Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.

(34)

B. T

U J U A N

P

E N E L I T I A N

Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut:

Mendapatkan data dasar ekologi di Kabupaten Kepulauan Riau, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Membuat transek permanen di beberapa tempat di Kabupaten Kepulauan Riau agar dapat dipantau di masa mendatang.

C. R

U A N G

L

I N G K U P

P

E N E L I T I A N

Ruang lingkup studi baseline ekologi ini meliputi empat tahapan yaitu:

1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi, koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas peralatan penelitian serta perancangan penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan.

2. Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di lapangan yang meliputi data tentang kualitas perairan baik fisika maupun kimia perairan, terumbu karang, ikan karang dan mangrove.

(35)

3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif.

4. Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan sementara dan laporan akhir.

(36)

BAB II. METODE PENELITIAN

A. L

O K A S I

P

E N E L I T I A N

Lokasi penelitian dilakukan di perairan Kepulauan Tambelan dan P. Mapur (Gambar 1).

Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan penarikan sampel, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced

Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih

secara acak titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. Tetapi ada kalanya titik-titik stasiun yang telah ditentukan tersebut tidak seluruhnya dapat terambil dikarenakan banyak faktor diantaranya kondisi cuaca yang kurang baik (ombak besar).

(37)
(38)

Untuk parameter temperatur, salinitas dan densitas air laut, untuk perairan Kepulauan Tambelan dilakukan di 35 stasiun (Gambar 2.a.; Lampiran 1.a.) dari 36 stasiun yang direncanakan. Terdapat 2 stasiun yang tidak dilakukan pengambilan sampel (Stasiun 32 dan 33) karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan (ombak besar), tetapi terdapat penambahan 1 stasiun baru (Stasiun 0), sehingga jumlah stasiun seluruhnya menjadi 35 stasiun. Sedangkan untuk perairan P. Mapur dan sekitarnya dilakukan di 26 stasiun dari 33 stasiun yang direncanakan (Gambar 2.b.; Lampiran 1.b). Kondisi cuaca yang tidak memungkinkan juga menjadi penyebab tidak terambilnya semua stasiun yang telah direncanakan sebelumnya.

Untuk parameter kecepatan dan arah arus air laut berhasil dikumpulkan 4 lintasan di perairan Kepulauan Tambelan (Gambar 2.a.). Karena secara geografis Kepulauan Tambelan berdekatan dengan P. Kalimantan dan berada di perairan laut Natuna maka diasumsikan pasang surut di perairan ini mirip dengan Kalimantan Barat. Oleh karena itu yang digunakan sebagai acuan dalam analisa adalah pasang surut untuk daerah Pemangkat. Selama penelitian dilakukan, kondisi perairan menuju pasang hingga pasang maksimum. Sedangkan untuk perairan P. Mapur berhasil dikumpulkan 2 lintasan (Gambar 2.b.). Karena posisi P. Mapur yang berdekatan dengan P. Bintan maka acuan pasang surut yang digunakan adalah data pasang surut daerah Kijang. Selama penelitian berlangsung di perairan P. Mapur pada pagi hingga siang hari, kondisi air laut saat pasang maksimum.

(39)

Untuk parameter derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), kadar fosfat (PO4), nitrat (NO3), nitrit

(NO2), dan silikat (SiO3) dilakukan di 61 stasiun

penelitian yang meliputi 33 stasiun di Kepulauan Tambelan (dari 36 stasiun yang direncanakan) (Gambar 3.a. ; Lampiran 1.b.) dan 25 stasiun di P. Mapur (dari 36 stasiun yang direncanakan) (Gambar 3.b. ; Lampiran 1.b.). Beberapa stasiun penelitian yang semula direncanakan untuk diambil sampelnya tidak jadi dilakukan karena faktor cuaca yang kurang mendukung.

Untuk mangrove, transek dilakukan di 11 stasiun yang terdiri dari 8 stasiun di Kepulauan Tambelan (Gambar 4.a. ; Lampiran 1.c.) dan 3 stasiun di P. Mapur (Gambar 4.b. ; Lampiran 1.c.).

Untuk kelompok karang dan ikan karang, pengamatan dilakukan di 64 stasiun yang meliputi 36 stasiun di Kepulauan Tambelan (Gambar 5.a.; Lampiran 1.d.). dan 27 stasiun di P. Mapur (Gambar 5.b. ; Lampiran 1.d.) dengan menggunakan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory). Sedangkan untuk proses pemantauan kondisi kesehatan karang di masa sekarang dan yang akan datang, dipilih 18 stasiun yang meliputi 12 stasiun di Kepulauan Tambelan (Gambar 6.a.; Lampiran 1.e.) dan 6 stasiun di P. Mapur (Gambar 6.b. ; Lampiran 1.e.) sebagai stasiun transek permanen (permanent

transect) untuk karang, mega benthos yang memiliki nilai

ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan terumbu karang, serta ikan karang.

(40)

G a m b a r 2 . a . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k t e mp e r a t u r , s a l i n i t a s d a n d e n s i t a s a i r l a u t s e r t a l i n t a s a n u n t u k p e n g u k u r a n p a r a me t e r k e c e p a t a n d a n a r a h a r u s a i r l a u t d i p e r a i r a n K e p u l a u a n T a mb e l a n .

(41)

G a mb a r 2 . b . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k t e mp e r a t u r , s a l i n i t a s d a n d e n s i t a s a i r l a u t s e r t a l i n t a s a n u n t u k p e n g u k u r a n p a r a me t e r k e c e p a t a n d a n a r a h a r u s a i r l a u t

(42)

G a m b a r 3 . a . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k p a r a me t e r d er a j a t k e a s a ma n ( p H ) , o k s i g e n t e r l a r u t ( O2) ,

k a d a r f o s f a t ( P O4) , n i t r a t ( N O3) , n i t r i t ( N O2) , d a n s i l i k a t ( S i O3) d i p e r a i r a n K e p u l a u a n

(43)

G a mb a r 3 . b . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k p a r a me t e r d e r a j a t k e a s a ma n ( p H ) , o k s i g e n t e r l a r u t ( O ) , k a d a r f o s f a t ( P O ) , n i t r a t ( N O ) , n i t r i t ( N O ) , d a n s i l i k a t

(44)
(45)
(46)

G a m b a r 5 . a . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k t e r umb u k a r a n g d a n i k a n k a r a n g d e n g a n me t o d e R R I d i p e r a i r a n K e p u l a u a n T a mb e l a n .

(47)

.

G a mb a r 5 . b . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k t e r umb u k a r a n g d a n i k a n k a r a n g d e n g a n me t o d e R R I d i p e r a i r a n P . M a p u r .

(48)

G a m b a r 6 . a . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k k a r a n g , me g a b e n t h o s d a n i k a n k a r a n g p a d a s t a s i u n t r a n s e k p e r ma n e n d i p e r a i r a n K e p u l a u a n T a mb e l a n .

(49)

G a mb a r 6 . b . P o s i s i s t a s i u n p e n e l i t i a n u n t u k k a r a n g , me g a b e n t h o s d a n i k a n k a r a n g p a d a s t a s i u n t r a n s e k p e r ma n e n d i p e r a i r a n P . M a p u r .

(50)

B. W

A K T U

P

E N E L I T I A N

Berhubung kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Batam (meliputi P. Petong, P. Abang Besar dan P. Abang Kecil, serta P. Pengelap) dan Natuna. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Oktober-Nopember 2004.

C. P

E L A K S A N A

P

E N E L I T I A N

Kegiatan penelitian lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswi dari Riau (Universitas Riau) juga turut serta dalam survey ini untuk melengkapi Tugas akhirnya.

D. M

E T O D E

P

E N A R I K A N

S

A M P E L D A N

A

N A L I S A

D

A T A Penelitian Ecological Baseline Study ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data yang digunakan oleh masing-masing kelompok penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(51)

1. Sistem Informasi Geografis

Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh (inderaja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove.

Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini citra perekaman dengan

path-row 127-59 (Kecamatan Tambelan), path-row

125-59 dan 126-59 (Kecamatan Mapur).

Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Extension Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan

(52)

peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini:

Langkah pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass.

Langkah kedua, memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk

shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan

digunakan untuk analisis lanjutan.

Langkah ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the

screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan

ketelitian memadahi, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25000. Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi band 4,2,1. Kombinasi ini dipilih karena dapat

(53)

memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik. Agar kontrasnya maksimum, penyusunan komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras non-linier model gamma.

Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan kontras model gamma, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif.

Berdasarkan peta tentatif tersebut kemudian secara acak dipilih titik-titik lokasi sampel serta ditentukan posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat.

(54)

2. Kualitas Perairan

Untuk kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia oseanografi yaitu : a. Parameter fisika

(1). Temperatur, salinitas dan massa jenis (densitas) air laut diukur dengan menggunakan alat CTD (Conductive Temperature Depth),

(2). Kecepatan dan arah arus air laut diukur menggunakan alat ADCP (Accoustic Dopler Current Profiler),

b. Parameter kimia

Untuk stasiun yang mencapai kedalaman > 5 m, sampel air laut diambil dari permukaan dan dasar, sedangkan untuk daerah ≤ 5 m sampel diambil pada bagian permukaannya saja.

(1). Derajat keasaman (pH) langsung diukur dilapangan dengan menggunakan alat pH meter. (2). Untuk Oksigen terlarut, sampel disimpan dalam

botol gelas oksigen dan ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH-KI, selanjutnya

dilaboratorium dianalisis dengan cara titrasi Iodometri dengan metode Winkler.

(3). Untuk nutrien PO4, NO3, NO2 dan SiO3, sampel

disimpan dalam botol plastik polietilen, dilaboratorium sampel air laut disaring dengan milipour 0,45 µ, selanjutnya dianalisis dengan cara spektrofotometri berdasarkan metode dari US. Hydrography Office, 1958.

(55)

3. Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis mangrove dilakukan penelitian di lapangan baik transek maupun koleksi bebas, untuk transek dilakukan dengan membuat garis tegak lurus pantai yang masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengambilan data pohon (diameter batang > 10 cm), ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data anak pohon (diameter batang antara 2 dan 10 cm). Dari data tersebut diatas dapat diperoleh nilai kerapatan nisbi (KN), dominasi nisbi (DN), frekuensi nisbi (FN) dan nilai penting (NP) yang merupakan penjumlahan dari 3 kriteria tersebut, seperti yang dikemukakan Cox (1967).

J u ml a h i n d i v i d u s u a t u j e n i s K N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h i n d i v i d u u n t u k s e mu a j e n i s N i l a i f r e k u e n s i s u a t u j e n i s F N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h n i l a i - n i l a i f r e k u e n s i u n t u k s e mu a j e n i s J u m l a h t i t i k p e n g a m b i l a n c o n t o h j e n i s t e r d a p a t F r e k u e n s i = - - - x 1 0 0 % J u m l a h s e m u a t i t i k p e n g a m b i l a n c o n t o h J u ml a h l u a s b i d a n g d a s a r u n t u k j e n i s D N = - - - x 1 0 0 % J u ml a h l u a s b i d a n g d a s a r u n t u k s e mu a j e n i s N P = K N + F N + D N

(56)

4. Karang

Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu karang pada setiap stasiun penelitian digunakan metode Rapid Reef Resources Inventory (RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masing-masing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya.

Pada beberapa stasiun penelitian dipasang transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi transek permanen, data diambil dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, 30-40 m dan 60-70 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter.

(57)

Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode LIT. Rumus untuk nilai H’ dan J’ adalah :

k

H' = -Σ pi ln pi

i=1 dimana pi = ni/N

ni = frekuensi kehadiran jenis i N = frekuensi kehadiran semua jenis

J' = (H'/H'ma x)

dimana H'ma x = ln S

S = jumlah jenis

Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) (Warwick and Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS)

(58)

4. Mega Benthos

Untuk mengetahui kelimpahan beberapa mega benthos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode Reef Check pada semua stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 m tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m2.

Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega benthos yang dijumpai.

5. Ikan Karang

Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan.

Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode yang digunakan yaitu metode Underwater Fish Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m2.

(59)

Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda, et al. (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994).

Sama seperti halnya pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC.

Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/ha. Dari data kelimpahan tiap jenis ikan karang yang dijumpai dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001).

Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., (1997), yaitu :

a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak

(60)

b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe);

c. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5–25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru).

(61)

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. S

I S T E M

I

N F O R M A S I

G

E O G R A F I S

Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir.

1. Geometri Citra

Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS’84 menggunakan sistem koordinat

Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan

keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya.

Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 36 titik

(62)

ground check (Kecamatan Mapur) di lapangan yang

tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan akan dapat diplotkan ke peta dasar dengan baik.

2. Kondisi Geografis Daerah Studi

Kondisi geografis, terutama kondisi fisik daerah studi didekati dengan cara deskriptif. Deskripsi kondisi fisik ini mendasarkan pada kenampakan fisik yang terekam dan digambarkan oleh citra yang ditampilkan dalam bentuk citra komposit warna semu. Pada studi ini kombinasi yang digunakan dalam penyusunan komposit citra warna semu untuk keperluan deskripsi kondisi fisik daerah studi adalah 5,4,2 pada warna merah, hijau dan biru. Juga dilakukan proses pentapisan citra (filtering) metode sharpen untuk mendapatkan kenampakan kontras pada citra yang lebih baik. Dengan pentapisan ini kenampakan fisiografi semakin ditonjolkan. Demikian pula batas antar penutupan lahan juga menjadi semakin jelas. Untuk melakukan deskripsi, interpretasi visual citra ini dibantu dan dicek-silangkan dengan data yang diperoleh saat kerja lapang.

(63)

Wilayah Kepulauan Tambelan terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil dalam kelompoknya. Ada dua pulau yang relatif lebih besar dibanding yang lainnya yaitu: P. Tambelan dan P. Benua. Pulau-pulau lainnya relatif kecil yaitu P. Menggirang Besar dan Kecil, P. Sedua Besar dan Kecil, P. Selintang, P. Bedua, P. Lintang, P. Panjang, P. Mundaga, P. Genting, P. Uwi, P. Sedulang Besar dan Kecil, serta pulau-pulau kecil lainnya. Kesemuanya kurang lebih ada 28 pulau besar dan kecil. Secara administratif wilayah kepulauan ini termasuk kedalam Kecamatan Tambelan. Walaupun ada sekitar 28 pulau dalam kerja lapang, karena keterbatasan waktu, hanya dikunjungi 8 pulau besar dan kecil saja. Pulau-pulau yang dikunjungi antara lain: P. Tambelan, P. Betunde, P. Kera, P. Bedua, P. Benua, P. Untuk, P. Lipi, dan P. Jela.

Berdasarkan hasil interpretasi visual citra dan pengamatan lapangan yang telah dilakukan, secara umum keleruruhan pulau yang dikunjungi mempunyai karakteristik batuan maupun fisiografi yang relatif sama. Dengan hasil lapangan yang demikian, serta mendasarkan pada karakteristik kenampakan di citra yang ada, dapat dikatakan bahwa keseluruhan pulau-pulau di Kepulau-pulauan Tambelan ini diprediksi mempunyai kondisi yang kurang-lebih sama.

Secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah dataran di pulau-pulau yang ada relatif sempit dan sedikit persebarannya. Hal ini disebakan fisiografi

(64)

lembah-lembah yang banyak bahkan kadang ditemukan adanya lembah yang relatif curam. Dataran umumnya berkembang di bagian barat pulau dan hanya sebagian kecil saja yang berkembang di bagian yang lain. Sedangkan bagian timur pulau umumnya mempunyai lereng yang terjal. Bentuk-bentuk lembah, dengan demikian, juga banyak yang mengarah ke barat. Kondisi ini sangat berpengaruh pada perkembangan bentuk pantai di Kepulauan Tambelan. Pantai di bagian barat pulau umumnya berteluk dan relatif datar. Sedangkan pantai di bagian timur umumnya terjal dan banyak ditemukan adanya singkapan batuan dasar.

Batuan dasar penyusun pulau-pulau umumnya batu granit, dan sebagiannya ada yang andesit, shale, batu pasir (di lapangan hanya ditemukan di P. Tambelan), serta ada sedikit batu pasir yang bersifat

calcareous (calcareous sand stone). Tentu saja

jenis-jenis ini belum seluruhnya mewakili keseluruhan jenis-jenis batuan yang ada di Kepulauan Tambelan mengingat di lapangan tidak dikhususkan untuk mengamati hal ini.

Kondisi batuan dasar suatu wilayah akan senantiasa mempengaruhi kondisi hidrologis wilayah bersangkutan. Berdasarkan kondisi batuan yang ada, P. Tambelan diprediksi relatif mempunyai sumber air tawar yang lebih baik dibanding pulau lainnya. Hal ini didasari suatu kenyataan bahwa di pulau tersebut ditemukan adanya batu pasir yang kemungkinan akan dapat menjadi lapisan akifer. Dari pengamatan lapang memang ditemukan kenyataan bahwa sumber air tawar

(65)

mudah dijumpai di P. Tambelan dibanding pulau lain yang dikunjungi. Bahkan di daratan dekat Teluk Tambelan dan juga di atas bukit di pulau ini ada sumber air tawar yang cukup besar. Walaupun kecil, di pulau ini ditemukan adanya sungai permanen yang senantiasa mengalir sepanjang tahun. Sedangkan di pulau lainnya relatif tidak ada sungai dan kalau pun ada hanyalah sungai-sungai intermiten.

Perkembangan tanah juga sangat dipengaruhi oleh kondisi batuan dasar. Secara umum tanah di pulau-pulau Tambelan masih relatif belum berkembang. Sebagian besar masih berupa tanah regosol, dan hanya sebagian kecil yang telah berupa tanah latosol dengan ketebalan solum lebih dari 1 meter. Pada saat kerja lapang, tanah latosol hanya ditemukan di P. Tambelan, P. Bedua, serta P. Benua. Walaupun tanah di Kepulauan Tambelan relatif tipis dengan kelerengan yang relatif terjal, oleh karena pada umumnya masih tertutup hutan primer diperkirakan erosi masih belum banyak. Hanya saja pada bagian-bagian tertentu yang dibuka lahannya untuk pertanian harus diwaspadai.

Kondisi tutupan lahan di Kepulauan Tambelan secara umum berupa hutan primer. Di P. Tambelan dan P. Benua (dua pulau besar yang ada) sudah ada tutupan lain dengan jenis penggunaan perkebunan/pertanian serta permukiman. Menurut informasi hanya P. Tambelan saja yang saat ini dihuni oleh penduduk. Jika di pulau lain ada bangunan rumah, biasanya hanya

(66)

merupakan rumah singgah nelayan atau berfungsi sebagai huma dalam kebun.

Berbeda dengan Kepulauan Tambelan yang fisiografinya secara umum berbukit-bukit, P. Mapur mempunyai topografi secara umum landai dan hanya sebagian kecil yang berbukit dan bergelombang. Topografi bergelombang sampai berbukit di P. Mapur dijumpai di bagian utara pulau. Namun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa P. Mapur mempunyai ciri fisiografi dengan lereng relatif lebih curam di bagian utara sampai timur laut, dan lereng yang landai di bagian lainnya. Kondisi fisiografi daratan ini tercermin pula pada bentuk pantainya. Pantai di bagian barat, selatan, dan tenggara sampai timur P. Mapur relatif landai dan lebar. Pantai umumnya berupa pantai pasir putih atau pantai mangrove. Pantai mangrove ditemukan di bagian teluk (menghadap ke barat) dengan sebaran cukupluas.

Batuan dasar di P. Mapur umumnya batuan sedimen asal marin dengan sebaran yang cukupluas di bagian selatan pulau. Di bagian utara pulau merupakan batuan andesit dan batuan sisa-sisa daratan pra-tersier. Kondisi batuan yang demikian ini berpengaruh pada kondisi air tanah yang tidak begitu baik kualitasnya walaupun ditinjau dari ketersediaan cukup melimpah. Sungai-sungai juga tidak berkembang di P. Mapur ini. Jikalau ada sungai pun hanya sungai kecil yang bersifat

(67)

Di P. Mapur tanah juga belum begitu berkembang. Umumnya tanah di P. Mapur berupa tanah regosol dengan solum sangat tipis bahkan di tempat-tempat tertentu masih berupa batuan dasar. Kondisi ini dijumpai di bagian selatan pulau yang didominasai oleh tanah yang masih berupa pasir koral.

Tutupan lahan dan penggunaan lahan di P. Mapur sudah relatif lebih bervariasi jika dibanding di Kep. Tambelan. Hutan primer hanya ditemukan dengan sebaran sempit. Penggunaan lahan yang relatif luas sebarannya adalah perkebunan kelapa, dan bentuk penggunaan pertanian lainnya seperti tegalan, kebun campuran, dan tambak. Penggunaan lain berupa permukiman yang diperkirakan mencapai sekitar 10 sampai 15% dari total luasan daratan yang ada.

3. Hasil pemetaan terumbu karang dan mangrove

Peta sebaran terumbu karang dan mangrove daerah kajian diturunkan berdasarkan interpretasi visual citra dengan cara delineasi menggunakan on

screen digitizing. Berdasarkan hasil digitasi, terlihat

bahwa baik pada Kepulauan Tambelan maupun P. Mapur, semua pulaunya dikelilingi oleh rataan terumbu karang. Pada kedua kawasan tersebut secara umum terlihat bahwa sebaran terumbu relatif lebih sempit di bagian timur pulau-pulaunya dibanding di bagian lain. Hal ini berkorelasi dengan kondisi fisiografinya yang secara umum bagian timur pulau mempunyai lereng yang terjal dibanding bagian lainnya. Walaupun

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah- sekolah Muhammadiyah eksis sejak ibu kota provinsi hingga ke desa-desa dan ini memberikan peran luar biasa dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada

Kandungan asam lemak tak jenuh khususnya omega-3 seperti EPA dan DHA didalam minyak ikan 6 menjadikan minyak tersebut memiliki nilai jual tinggi, disebabkan karena

Adanya peningkatan rata-rata nilai penge- tahuan dan sikap sebelum dan sesudah diberikan booklet terhadap keterampilan ibu dalam pena- nganan kejang demam pada balita

Hasil uji t menunjukan bahwa variabel kepuasan pelanggan dan hambatan berpindah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelangganHal ini

Pupuk kandang merupakan salah satu contoh pupuk organik yang berasal dari kandang ternak, baik berupa kotoran padat (faeces) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing

Jika kita memiliki keterampilan verbal kita akan dapat mengekspresikan lebih dari kebutuhan emosi kita dan dengan demikian memiliki kesempatan yang lebih baik dari perasaan

Berapa harga kotoran sapi perkilogram jika dijual ke pasar sebelum adanya pengolahan

Kombinasi dua jenis pakan mas dan nila merupakan kombinasi pakan hidup yang disukai oleh ikan belida (53,6±12,2 ekor/hari), dan kemudian secara berturut- turut berkurang jumlahnya