• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akulturasi Kebudayaan Tionghoa Dan Sunda Dalam Ritual Tangsin Di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Kota Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akulturasi Kebudayaan Tionghoa Dan Sunda Dalam Ritual Tangsin Di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Kota Bogor."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Nama : Hendra Kurniawan

Program Studi : Sastra China

Judul : Akulturasi Kebudayaan Tionghoa dan Sunda Dalam Ritual

Tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Kota Bogor

Arus kedatangan perantau dari Tiongkok pada masa lampau yang turut membawa serta kebudayaan mereka membuat kebudayaan Indonesia semakin kaya dan beragam. Melalui hubungan harmonis yang panjang antara etnis Tionghoa dan Sunda melahirkan kebudayaan Tionghoa khas Nusantara yang sangat unik dan khas, salah satunya yaitu ritual tangsin atau ritual potong lidah. Ritual tangsin yang biasa digelar di klenteng, yang selalu dianggap ritualnya orang Tionghoa ini memiliki keunikan tersendiri karena di dalamnya terdapat unsur – unsur yang bukan berasal dari budaya Tionghoa. Dalam pelaksanaannya ritual tersebut terdapat pengaruh dari kebudayaan Sunda. Ritual tangsin tidak hanya menjadi daya tarik bagi masyarakat Bogor, melainkan juga menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis yang akan membahas secara mendalam mengenai ritual tangsin beserta akulturasinya yang terjadi di dalamnya.

Kata kunci :

(2)

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

Name : Hendra Kurniawan

Study Program : Bachelor Degree of Chinese Literature

Title : Acculturation of Chinese and Sundanese Culture in Tangsin

Ritual at Dhanagun Temple (Hok Tek Bio) Bogor

The arrival of immigrants from China in the past who brought their culture with them has made Indonesian culture richer and diverse. Through a long harmonious relationship between Chinese people and Sundanese people, it has made Indonesian - Chinese culture special which is very distinctive and unique. One of them is tangsin ritual or slicing tongue ritual. This ritual is always held in the temple, which is considered to be Chinese people's ritual but it has their own uniqueness There are some elements that are not derived from Chinese culture. In the implementation itself is actually affected by Sundanese culture. This ritual not only become the attraction of Bogor community, but also for overseas tourists. This thesis are made using descriptive qualitative research methods, which will deeply discussed about tangsin ritual together with its acculturation.

Keywords :

(3)

摘要

姓 : Hendra Kurniawan (陈俊文)

专业 : 中文本科

题目 : 印尼茂物福德庙中华–巽达文化适应的童神仪式

古时候由中国南下来到印尼的华人, 带来了许多他们的传统 俗和文化,

使到本来已相当多样化的印尼文化更加丰富多彩。 过几千年来两国人民的

好关系,华人和巽达人的深情往来和相互交流,产生了一种非常特别并

有 中 华-巽 达 特 色 的 各 种 文 艺 表 演 传 统 仪 式 , 中 之 一 就 是 童 神

割舌 。一向以来人们总是认为 童神 割舌 是完完全全的中国传

统文化, 实它之所以那么有特色和那么吸引人是因为它是中华文化和巽达

文化的综合体。因此 但中印两国人民喜爱它,外国游客 一样喜爱它。本

文采用 述的定性研究方法写成,这将使童神仪式连 文化适应得到更深

入的探讨。

关键

(4)

Universitas Kristen Maranatha

1.6.1 Penentuan Lokasi Penelitian ... 6

1.6.2 Penentuan Informan ... 6

1.6.3 Sumber Data ... 6

1.6.4 Teknik pengumpulan Data ... 7

1.7 Sistematika Penulisan ... 8

BAB 2 TINJUAUAN PUSTAKA. ... 10

2.1 Religi. ... 10

2.2 Ritual. ... 13

2.3 Akulturasi ... 16

2.4 Sistem Kepercayaan Orang Tionghoa ... 21

2.5 Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda... 23

2.6 Kedatangan Orang Tionghoa di Kota Bogor ... 24

BAB 3 PENYAJIAN DATA. ... 27

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ... 27

3.2 Ritual Tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Bogor ... 29

3.3 Hasil Wawancara ... 34

3.3.1 Hasil Wawancara dengan Ketua Perkumpulan Tangsin ... 34

3.3.2 Hasil Wawancara dengan Pemerhati Kebudayaan Tionghoa Indonesia ... 38

3.3.3 Hasil Wawancara dengan Budayawan Sunda Kota Bogor ... 42

BAB 4 ANALISIS DATA. ... 46

4.1 Ritual Tangsin di Bogor ... 46

4.2 Ritual Tangsin Sebagai Salah Satu Unsur Religi ... 49

(5)

BAB 5 KESIMPULAN. ... 67 DAFTAR REFERENSI. ... 69

(6)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Seiring dengan kedatangan perantau dari Tiongkok dalam kurun waktu yang panjang, mereka pun membawa serta kebudayaan Tionghoa ke Indonesia. Orang Tionghoa sudah terdapat di pesisir utara Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat, jauh sebelum orang Belanda datang1. Kebudayaan Tionghoa yang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia perlahan mulai memiliki keunikannya sendiri karena telah membaur dengan kebudayaan lokal. Hal tersebut menambah kekayaan budaya Nusantara yang sangat beragam.

Dalam kehidupan sehari – hari tentunya kita sering menjumpai banyak sekali hasil kebudayaan Nusantara yang bercampur dengan kebudayaan Tionghoa, contohnya batik mega mendung, kesenian gambang kromong, kujang naga, hingga silat kuntao. Pembauran kebudayaan ini terjadi karena adanya culture contact atau akulturasi, yaitu proses sosial yang terjadi bila suatu kelompok

manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur – unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur – unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri2.

Dari sekian banyaknya produk hasil kebudayaan Tionghoa, terdapat sebuah ritual yang mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal (Sunda), yaitu ritual tangsin. Di tengah gempuran kemajuan zaman, ritual tangsin yang sakral ini masih secara rutin diselenggarakan di Kota Bogor, tepatnya di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Jalan Suryakencana nomor 1.Ritual tangsin ini secara rutin digelar setiap perayaan Capgomeh ( bulan 1 tanggal 15 penanggalan Imlek / Cia Gwee Cap Sie) dan setiap perayaan hari ulang tahun dewa bumi ( bulan 2 tanggal 2

1

Cl.salmon & D.Lombard, Klenteng – klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003, hlm 15.

2

(7)

penanggalan imlek / Jie Gwee Ce Jie ) di dalam atau di halaman depan Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio).

Ritual ini berasal dari bahasa Hokkian yaitu tangsin atau dalam Bahasa Mandarin disebut

童神

(tóngshén), yang berarti perantara dewa dengan manusia

maupun manusia dengan roh bukan dewa atau biasa disebut medium. Ritual tangsin merupakan ritual mengundang roh dewa – dewa Tionghoa untuk masuk ke tubuh seorangtangsin(medium), tujuannya adalah untuk memohon kepada para dewa agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Namun ritual tangsinyang biasa diselenggarakan Hok Tek Bio Bogor tidak hanya mengundang

roh dewa – dewa Tionghoa, melainkan juga mengundang roh penguasa di tanah Sunda seperti Eyang Raden Suryakencana. Menurut Mr. Tan Eng Hing dalam seminar “Chinese Mediumship”,tangsin adalah suatu bentuk budaya Tionghoa dimana manusia bisa bermediasi dengan alam dewa, dengan menjadikan tubuhnya sebagai perantara masuknya roh dewa (medium). Tidak setiap orang dapat menjadi tangsin (medium), hanya orang tertentu yang ditunjuk oleh dewa ataupun orang – orang yang berjodoh. Aktivitas kesurupan dalam ritual tangsin merupakan satu dari 12 unsur upacara seperti yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam buku pengantar ilmu antropologi.

Tidak hanya dalam kebudayaan Tionghoa, secara umum medium dapat ditemukan di hampir semua kebudayaan, bahkan dapat ditemukan juga dalam masyarakat industri modern. Dalam istilah antropologi, tangsin dapat disebut dengan shaman3, yaitu orang yang memiliki kemampuan khusus di bidang agama,

dan dianggap memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural. Shamanbiasanya memiliki kemampuan khusus seperti meramal, menyembuhkan penyakit atau sebagai penghubung dengan Roh Yang Maha besar (the Great Spirit), yang Maha kuat (the Power), yang Maha gaib (the Great Mystery) atau roh apapun yang mengungkapkan diri kepadanya.

3

(8)

3

Anthony F.C memandang ritual sebagai gejala agama yang utama atau agama dalam praktek (religion in action). Persembahan dan doa merupakan bentuk – bentuk ritual yang umum. Manusia melaksanakan ritual karena tidak dapat mengatasi masalah yang serius yang dapat menimbulkan kegelisahan. Untuk itu mereka mengatasinya dengan cara memanipulasi makhluk dan kekuatan supranatural untuk kepentingannya sendiri. J.G Frazzer dalam teorinya mengenai asal mula ilmu gaib dan religi menjelaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan akal dan pengetahuan, contohnya ketika manusia dimasa lampau dihadapkan dengan bencana alam atau penyakit dan juga hal buruk lainnya, maka manusia berusaha memecahkannya dengan menggunakan hal gaib. Dengan maksud mencapai sesuatu melalui kekuatan yang ada di alam, manusia mulai berhubungan dengan roh, maka muncullah religi.

Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu : (a) tempat upacara / ritual keagamaan dilakukan; (b) saat – saat upacara keagamaan dijalankan; (c) benda – benda dan alat upacara; (d) orang – orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentraraningrat, 2009, hlm 296). Dalam ritual tangsindi Vihara Dhanagun / Hok Tek Bio beberapa aspek ritual mengalami akulturasi dengan budaya Sunda, yaitu penggunaan benda – benda dan alat upacara yang bukan berasal dari budaya Tionghoa, seperti golok sunda (bedog), pusut atau jarum yang ujungnya terdapat miniatur kujang, kemenyan, serta sesaji berupa cerutu, kopi pahit dan kopi manis, kembang rampai, rurujakan, dan sebagainya. Doa – doa yang dibacakan dalam ritual ini selain menggunakan bahasa Hokkian juga menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, ketika pelaku tangsin (medium) yang mengalami kesurupan, mereka menulishu4dalam huruf Mandarin dan huruf Sunda kuno. Hal tersebut dikarenakan yang masuk roh ke badan tangsindapat berupa roh dewa Tionghoa maupun roh leluhur tanah Sunda.

. Ritual yang biasa digelar di klenteng, yang selalu dianggap ritualnya orang Tionghoa ini memiliki keunikan karena didalamnya terdapat unsur – unsur yang bukan berasal dari budaya Tionghoa. Pembauran kebudayaan ini mencerminkan adanya kontak sosial antara dua etnis yang harmonis dalam jangka waktu yang

4

(9)

panjang. Walaupun ritual tangsin tersebar luas di Asia Tenggara, namun di Indonesia sendiri khususnya di Pulau Jawa jumlahnya sudah sangat sedikit.

Dari alasan – alasan tersebut, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan ritual tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) terdapat fenomena sosial budaya yang

menarik yang kemudian menarik minat peneliti untuk menggungkap keistimewaan akulturasi dalam ritual tersebut.

1.2 Pembatasan Masalah

Batasan ruang lingkup kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ruang lingkup sosial adalah sang tangsin yang bernaung dalam perkumpulan Pawitan Aki, serta masyarakat pendukung ritual tangsin.

Ruang lingkup budaya adalah aktivitas ritual tangsin.

Ruang lingkup geografis adalah lokasi terselenggaranya ritual tangsinyaitu di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio), kota Bogor.

1.3 Perumusan Masalah

Ritual tangsin yang biasa diselenggarakan di Vihara Dhanagun / Hok Tek Bio, kota Bogor memiliki keunikan dalam unsur – unsur ritualnya yaitu berupa adanya perpaduan dari kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan Sunda.

Dari unsur – unsur ritual yang berakulturasi, ada juga unsur – unsur ritual lain yang tetap mempertahankan nilai – nilai kebudayaan Tionghoa.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

(10)

5

( 2 ) Unsur – unsur ritual apa saja yang diganti atau diubah danoleh unsur – unsur ritual kebudayaan asing dalam ritual tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) kota Bogor ?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan menguraikan dengan jelas mengenai proses akulturasi pada unsur-unsur ritual tangsin. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui unsur – unsur kebudayan yang diganti atau diubah, serta unsur – unsur yang tidak diganti atau diubah oleh unsur – unsur kebudayaan Sunda.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap pengetahuan tentang akulturasi kebudayaan serta dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.

Secara praktis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan kepada semua kalangan mengenai tradisi tangsin yang merupakan salah satu kebudayaan Tionghoa yang sudah berakulturasi dengan kebudayaan Sunda sehingga telah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia yang hanya dapat ditemukan di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) kota Bogor.

1.6 Metode Penelitian

(11)

1.6.1 Penentuan lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio), Jalan Suryakencana Nomor 1, Kota Bogor. Setiap pelaksanaan ritual tangsin, klenteng ini selalu dipadati masyarakat, baik masyarakat Tionghoa maupun bukan Tionghoa, baik dari dalam kota maupun luar kota Bogor.

Lokasi tersebut dipilih karena ritual tangsin di tempat tersebut digelar secara rutin, satu tahun sebanyak dua kali, dan merupakan ritual yang tak terpisahkan dari Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio).

1.6.2 Penentuan informan

Penentuan informan dalam penelitian ini mengacu pada konsep Spradley (1997:61) dan Benard (1994:166) dalam Metodologi Penelitian Kebudayaanyang menjelaskan bahwa seorang informan harus benar – benar paham mengenai budaya yang akan diteliti, lalu menggunakan teknik snowballing, yaitu memperoleh informan dari rekomendasi informan sebelumnya hingga tidak terdapat informasi baru lagi. Dengan menggunakan teknik ini, informan yang diperoleh tak terbatas jumlahnya. Sesuai dengan konsep tersebut, informan pertama yang dipilih adalah Bapak Dede yang merupakan ketua ritual tangsin dari perkumpulan Pawitan Aki. Informan keduaadalah Bapak David Kwa selaku pemerhati kebudayaan Tionghoa Peranakan. Informan ketiga adalah Abah Wahyu selaku Budayawan Sunda.

1.6.3 Sumber Data

Untuk memperoleh data yang akurat dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

(12)

7

Aki”, Bapak Dede, budayawan Tionghoa Peranakan, Bapak David Kwa dan juga budayawan Sunda kota Bogor, Abah Wahyu.

b) Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam buku, arsip-arsip, hasil seminar, dan juga sumber literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.6.4 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan merupakan salah satu hal yang penting dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu sebagai berikut .

1. Observasi

Metode ini digunakan untuk meperoleh data atau informasi melalui kegiatan melihat, mendengar atau menggunakan alat indra lainnya (Arikunto, 1997: 146). Observasi dalam penelitian ini menggunakan teknik partisipant observation (Adler dan Adler, 1994: 377) dalam Metodologi Penelitian

Kebudayaanyang berarti pengamatan berpartisipasi yang bertujuan untuk

memahami secara langsung ritual tangsin agar mempermudah melakukan wawancara secara mendalam dan juga menjalin hubungan baik dengan informan.

2. Wawancara

(13)

Dalam penelitian ini, wawancara akan dilakukan kepada informan yang telah ditentukan yaitu ketua tangsin dari perkumpulan Pawitan Aki. Informan keduaadalah pemerhati kebudayaan Tionghoa Peranakan, kemudian dilanjutkan dengan rekomendasi informan sebelumnya hingga mendapatkan data jenuh (tidak ada informasi yang baru lagi).

3. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1998:111). Metode ini digunakan untuk menunjang metode observasi dan wawancara sehingga tercapainya kredibilitas dalam penelitian.

1.7 Sistematika Penulisan

Agar memudahkan pembahasan masalah dalam penelitian ini, maka

penulis membuat sistematika penulisan yang terbagi dalam lima bab, yaitu :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Mengemukakan latar belakang permasalahan yang dihadapi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian yang digunakan, sumber data penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2 : LANDASAN TEORI

Berisi tentang teori dasar yang mendasari analisis data mengenai akulturasi beserta prosesnya, definisi ritual dan religi, sistem dan unsur – unsur ritual, sistem kepercayaan etnis Tionghoa dan Sunda. Terdapat kutipan dari buku-buku, website, maupun sumber literatur lainnya yang mendukung penyusunan skripsi ini.

(14)

9

Dalam bab ini akan diuraikan hasil dari observasi atau pengamatan berperan serta ritual tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio), Kota Bogor dan hasil wawancara dari Ketua Perkumpulan tangsin, pemerhati kebudayaan Tionghoa Indonesia dan budayawan Sunda.

BAB 4 : ANALISIS DATA

Bab ini merupakan inti dari penelitian, menganalis data berdasarkan teori, dan membahas seluruh hasil penelitian yang berhasil didapat.

BAB 5 : PENUTUP

(15)

BAB 5

KESIMPULAN

Melihat adanya percampuran kebudayaan yang unik dalam ritual tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) kota Bogor membuat penulis memiliki ketertarikan untuk menelitinya. Adanya pengaruh kebudayaan Sunda dalam ritual tersebut, penulis ingin mengungkap dan menguraikan akulturasi yang terjadi didalamnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Untuk pengumpulan data, penulis menggunakan teknik pengamatan berpartisipasi, dan studi kepustakaan.

Dalam penelitian ini, sebagian besar menggunakan teori-teori antropologi seperti teori-teori mengenai religi, ritual, dan akulturasi, kemudian dikaitkan dengan dasar religi dalam kebudayaan Tionghoa dan Sunda untuk mengungkap akulturasi dan unsur-unsur dalam ritual tangsin yang terpengaruh oleh kebudayaan Sunda.

Penulis melakukan observasi dengan mengikuti langsung seluruh prosesi dalam ritual tangsin pada saat perayaan Cap Go Meh Bogor 2016, guna memperoleh data lapangan. Selain itu, penulis juga telah mewawancarai informan yaitu ketua perkumpul tangsin, Bapak Dede, pemerhati kebudayaan Tionghoa, Bapak David Kwa dan budayawan Sunda, Abah Wahyu untuk mendapatkan data yang lengkap yang kemudian akan dianalisis untuk menjawab rumusan masalah. Mengacu pada teori yang digunakan dan data yang diperoleh, penulis mengungkapkan adanya akulturasi dalam ritual tangsin.

(16)

68

Prinsip akulturasi dalam ritual tangsin yang pertama adalah prinsip integrasi dimana unsur-unsur kebudayan Tionghoa dan Sunda saling melengkapi. Yang kedua adalah prinsip fungsi yang menjelaskan karena ritual tangsin yang dianggap penting maka ritual tersebut masih dilaksanakan hingga saat ini. Yang ketiga yaitu prinsip konkret dimana dalam ritual tangsin, terjadi perubahan dan penambahan pada instrumen ritual.

Terdapat tiga proses akulturasi yang terjadi dalam ritual tangsin. Yang pertama adalah subtitusi dimana beberapa unsur dalam ritual tangsin berubah karena pengaruh kebudayaan Sunda. Yang kedua, sinkretisme dimana unsur-unsur kebudayaan Sunda bercampur dengan kebudayaan Tionghoa dalam ritual tangsin sehingga membentuk sistem ritual baru yang khas. Yang ketiga adalah adisi, dimana unsur-unsur kebudayaan Sunda ditambahkan pada ritual tangsin sehingga terjadi perubahan struktur ritual.

(17)

DI VIHARA DHANAGUN (HOK TEK BIO) KOTA BOGOR

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

HENDRA KURNIAWAN 1246021

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA CHINA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(18)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Sanghyang Adi Buddha, Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, Bodhisattva, Mahasattva serta Yang Mulia Wen Chang Di Jun karena penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skirpsi yang berjudul “Akulturasi Kebudayaan

Tionghoa dan Sunda Dalam Ritual Tangsin di Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio)

Kota Bogor” dengan baik.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Sastra di Universitas Kristen Maranatha Bandung. Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, demikian pula dalam skripsi ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan baik dalam penyusunan, teknik penulisan, ataupun penyajian materi mengingat keterbatasan pengalaman yang dimiliki penulis. Maka dari itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, penulis akan sangat terbuka terhadap kritikan yang membangun dan saran-saran dari para pembaca agar dikemudian hari, makalah ini dapat lebih baik lagi.

Dalam proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak yang sangat bermanfaat. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : sangat baik demi tersusunnya skripsi ini.

(19)

Sastra Tionghoa yang sangat berguna bagi masa depan penulis.

5. Yayasan Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) yang dengan rendah hati bersedia memberikan informasi yang sangat berguna bagi penulis dalam hal menyusun skripsi dan keramahannya selama penulis melakukan penelitian di vihara tersebut.

6. Bapak Dede dan keluarga selaku ketua perkumpulan tangsin “Pawitan

Aki” yang telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi salah satu

informan dalam skripsi ini.

7. Bapak David Kwa selaku pemerhati kebudayaan Tionghoa Indonesia yang telah bersedia diwawancarai sebagai informan.

8. Abah Wahyu selaku budayawan Sunda kota Bogor yang disela kesibukannya bersedia menjadi informan.

9. Huang Shushu dan He Ayi yang sangat berjasa membantu dan dengan penuh perhatian mendukung penulis selama 4 tahun perkuliahan.

10.Bapak Lim Sin Yun dan keluarga yang sangat banyak memfasilitasi dan memberikan informasi selama saya melakukan penelitian di Bogor.

11.Saudara Nicky Lesmana, Budiyanto Januar, dan Indrawan Tan yang banyak memberikan informasi mengenai pelaksanaan ritual tangsin dan sangat membantu penulis selama melakukan penelitian di Bogor.

12.Saudara Yeshey Sim, Zopa Sim, Hindra Sumarga, Boris Erick, Hansen Tanujaya, Renaldy, Rendy Gunawan, Tamara Halim dan Novita Sari Wijaya yang merupakan teman seperjuangan penulis yang selama ini banyak berkontribusi dalam pelestarian kebudayaan Tionghoa sehingga membuat penulis terinspirasi menyusun skripsi ini.

13.Saudara Leon Fernandez yang banyak memberikan saran dan arahan yang bermanfaat selama penyusunan skripsi.

(20)

15.Bapak Chen Guang Yan (Yam-yam) dan keluarga yang selalu mendukung penulis untuk menghidupkan kembali kebudayaan Tionghoa di Cianjur sehingga dari hal tersebut penulis banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berharga untuk menyusun skripsi ini.

16.Vihara Bhumi Pharsjia / Hok Tek Bio Cianjur dimana selama penulis mengabdi disana, penulis banyak sekali mendapatkan pengetahuan yang berharga tentang bahasa Mandarin dan tradisi serta kebudayaan Tionghoa. 17.Seluruh teman-teman S1 Satra China angkatan 2012 yang dalam suka dan

duka selalu saling mendukung dan memberikan keceriaan selama empat tahun berkuliah.

18.Bapak Tan Ai Soe dan Linda sebagai orang Tua penulis yang luar biasa tanpa henti mendukung dan memfasilitasi penulis agar selalu berhasil. 19.Para leluhur yang telah mewariskan falsafah hidup yang amat bijaksana

dan etos budaya Tionghoa sebagai bekal bagi penulis untuk menjalani kehidupan.

20.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan berupa materil ataupun moril serta gagasan dan ilmu pengetahuan yang tak ternilai demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti terhadap ilmu pengetahuan kebudayaan bagi para pembaca dan semoga skripsi ini dapat berguna bagi generasi muda Tionghoa agar bisa lebih memahami jati diri mereka sebagai orang Tionghoa Indonesia dan lebih mencintai kebudayaan Tionghoa Indonesia.

Bandung, 18 Juni 2016

Penulis,

(21)

DAFTAR REFERENSI

I. BUKU

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gondomono. (2013). Manusia dan Kebudayaan Han. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Haviland, William. A. (1993). Antropologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2005). Jakarta: Balai Pustaka

Kwa Thong Hay.,& Setiawan, E. (1990). Dewa-Dewi Kelenteng. Semarang: Yayasan Kelenteng Sampookong.

Mustapa, R.H. Hasan. (1985). Adat Istiadat Orang Sunda (Maryati Satrawijaya, Penerjemah.). Bandung: Penerbit Alumni.

Nio Joe Lan. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: PT Gramedia.

Keesing, Roger. M. (1981). Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (R.G. Soekadijo, Penerjemah.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kleinsteuber, Asti., & Maharadjo, Syafri. M. Kelenteng-kelenteng Kuno di Indonesia. PT. Gramedia Printing.

Koentjaraningrat. (1958). Metode Anthropologi. Djakarta : Penerbitan Universitas Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press).

Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Salmon, C., & K. K. Siu, Anthony, “Chinese Epigraphic Materials in Indonesia

(Vol 2 Part 1)”, South Seas Society. Singapore, 1997.

Salmon, C., & Lombard, D. (2003). Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

(22)

70

Tan Giok Lan, “The Chinese of Sukabumi: a Study in Social and Cultural Accommodation”, Departement of Asian Studies, Cornell University. Ithaca,

(23)

II. WAWANCARA

Dede. (14 Mei 2016). Wawancara personal.

Kwa, David. (17 Mei 2016). Wawancara personal.

(24)

72

III. PUBLIKASI ELEKTRONIK

Setiyaningrum, Ratna., & Zhou Ai Lie. 2012. Notulensi: Seluk Beluk Tang Sin. http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1718-notulensi--seluk-beluk- tang-sin, 17 Februari 2012.

ThungJuLan. 2008. KapanMasyarakat Bogor MulaiHeterogen ?.

https://handelstraat.wordpress.com/2008/11/24/kapan-masyarakat-bogor mulai-heterogen-thung-ju-lan/, 24 Januari 2008.

Denny. 2009. Simbol-simbol pada Seni Tarawangsa. http://sunda-

Referensi

Dokumen terkait