• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DAN SPONTANEUS GROUP DISCUSSION (SGD) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS X MIA DI MAN 1 YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DAN SPONTANEUS GROUP DISCUSSION (SGD) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS X MIA DI MAN 1 YOGYAKARTA."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring dengan terjadinya perkembangan pada dunia pendidikan. Pendidikan secara konsisten menjalankan peranannya untuk mengembangkan potensi generasi penerus agar menjadi sumber daya manusia yang unggul. Sumber daya inilah yang nantinya secara bertahap akan menciptakan penemuan-penemuan baru yang penting bagi kehidupan manusia. Di Indonesia peran peting pendidikan dipahami dengan merancang fungsi dan tujuan pendidikan yang akan mampu mengembangkan peradaban bangsa dan menciptakan manusia berkualitas. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No 20 Tahun 2003 ).

(2)

2 kemampuan kognisi tinggi yang diiringi dengan kecakapan dan sikap yang baik.

Dalam penerapannya, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Hal ini dikarenakan matematika memiliki peranan penting dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Menurut Sudrajat (2008 : 2) matematika akan melatih keterampilan abstraksi, penalaran logika, dan analisis masalah seseorang. Latihan ini akan membimbing seseorang untuk mengkaji alam sekitar dan mengembangkannya menjadi teknologi yang bermanfaat.

Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Sudrajat, Branca (Leo Adhar Effendi, 2012 : 2) berpendapat bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah menjadi penting untuk dipelajari karena melatih siswa dalam berpikir secara logis. Kemampuan ini akan membantu siswa dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Siswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah akan mampu mencari informasi yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah kemudian menganalisinya untuk melakukan penyelesaian masalah.

(3)

3 komponen yang penting dalam pembelajaran matematika. Kemampuan ini perlu dikembangkan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Akibatnya, pengembangan kemampuan pemecahan masalah perlu mendapatkan perhatian.

Selain kemampuan pemecahan masalah aspek sikap juga penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), standar kelulusan siswa dari aspek sikap yaitu akan terbentuk siswa yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan alam. Keterangan ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu sikap yang mendapatkan perhatian.

Sikap percaya diri diperhatikan karena akan membantu siswa dalam mencapai keberhasilan. David Lawrence Preston (2008: 18) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang akan kemampuannya mencapai, dan berpikir untuk dirinya sendiri. Keyakinan ini akan mengondisikan siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Saat seluruh potensi siswa dapat tersalurkan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan akan meningkat.

(4)

4 penting. Kedua komponen ini akan membantu guru dalam melakukan pembelajaran yang baik. Akibatnya, pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang digunakan akan mempengaruhi hasil pembelajaran.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses dinyatakan bahwa standar proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, tematik terpadu, dan tematik. Pendekatan saintifik menjadi pilihan untuk penyampaian materi matematika. Pendekatan ini menganut paham konstruktivisme di mana siswa dituntut untuk membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Daryanto (2014 : 51) pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep atau hukum melalui langkah-langkah saintifik. Dengan demikian, pendekatan saintifik akan membantu siswa dalam belajar matematika.

(5)

5 permasalahan tertentu. Kondisi ini akan membantu siswa dalam proses pemecahan masalah dan meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Model pembelajaran kooperatif sendiri juga telah dikembangkan oleh para ahli sehingga terdapat banyak model pembelajaran kooperatif. Beberapa model yang diantaranya adalah Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD). Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) menekankan pada tiga tahapan yaitu Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi). Syahrul (2011 : 8) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memiliki prosedur tak tampak yang akan memberikan waktu lebih banyak bagi siswa untuk berfikir dan menjawab serta saling membantu dalam menghadapi suatu masalah. Menurut Miftahul Huda (2012 : 132) dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS), siswa diminta untuk duduk berpasangan, dan setelah guru memberikan suatu pertanyaan siswa diminta untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian mendiskusikan hasil pemikiran tersebut dengan pasangan.

(6)

6 tentang sesuatu, guru memanggil kelompok satu persatu, dan siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

Penerapan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran perlu dilakukan di berbagai sekolah, salah satunya adalah di Madrasah Aliyah (MA). Madrasah Aliyah merupakan Sekolah Menengah Atas dengan berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya, setiap madrasah harus melaksanakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan ditambah muatan pelajaran keagamaan. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah disebutkan bahwa mata pelajaran pada satuan pendidikan MA meliputi mata pelajaran Sekolah Menengah Atas pada umumnya ditambah mata pelajaran Bahasa Arab dan Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari Al-Qur'an Hadist, Akhidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Kondisi ini mengakibatkan tuntutan beban belajar di MA menjadi lebih berat dibandingkan dengan sekolah formal pada umumnya.

(7)

7 Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukkan kepada siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Mereka menyampaikan bahwa selain harus memahami materi pelajaran, mereka juga harus memahami materi keagamaan yang tidak ada pada sekolah menengah atas pada umumnya. Keadaan ini mengakibatkan waktu belajar menjadi lebih padat sehingga mereka sering merasa kurang memahami pelajaran yang diberikan. Selain itu, pengamatan yang dilakukan di dalam kelas menunjukkan bahwa kepercayaan diri sebagian siswa telah berkembang namun masih banyak siswa yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan penting yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kerpercayaan diri tersebut.

(8)

8 Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dan potensi yang terdapat pada langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik menggunakan model pembelajaran TPS dan SGD perlu diteliti tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, diidentifikasi beberapa masalah penelitian yaitu :

1. Kemampuan pemecahan masalah siswa masih belum maksimal. 2. Pengembangan sikap kepercayaan diri siswa masih belum terfasilitasi

secara maksimal.

3. Beban belajar siswa MA lebih berat dibandingkan siswa SMA karena selain harus melaksanakan kurikulum nasional masih perlu ditambah dengan muatan keagamaan.

4. Belum diketahui keefektifan model pembelajaran model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa.

C. Pembatasan Masalah

(9)

9 saintifik dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa kelas X MIA di MAN 1 Yogyakarta pada materi barisan dan deret.

D. Perumusan Masalah

1. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?

2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa?

3. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?

4. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa ?

(10)

10 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, manakah model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan malalah siswa.

2. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.

3. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.

4. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.

(11)

11 (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik. 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, maka

untuk mendeskripsikan manakah yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik.

F. Manfaat Penelitian 1. Guru

a. Memberikan referensi bagi guru dalam menerapkan pendekatan saitifik yaitu dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD).

b. Memberikan referensi bagi guru mengenai cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. c. Membantu guru dalam menciptakan suasana pemebelajaran

matematika yang menarik dan efektif. 2. Siswa

a. Membantu siswa dalam melatih kepercayaan diri.

b. Membiasakan siswa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika.

(12)

12 3. Peneliti

a. Memberikan sarana pengembangan diri dalam hal penelitian dan proses mengajar.

(13)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Matematika

Menurut Suyitno (2004 : 1) pembelajaran merupakan usaha untuk

membentuk kondisi yang mendukung kemampuan, minat, bakat, serta

kebutuhan siswa agar tercipta interaksi yang optimal. Kondisi yang

mendukung proses belajar akan mendorong siswa untuk mencapai hasil

belajar yang maksimal. Hal ini diperkuat oleh Erman Suherman, dkk.

(2001 : 8) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha untuk

mengatur lingkungan agar program belajar bisa berkembang secara

optimal.

Pembelajaran merupakan bagian penting dari pendidikan.

Pembelajaran berkaitan dengan pengkondisian lingkuangan serta interaksi

antara guru dan siswa. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang

SISDIKNAS, pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru

dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Depdiknas, 2003 : 7).

Dengan demikian, pembelajaran melibatkan beberapa komponen penting

yaitu interaksi antara siswa dan guru, serta dengan lingkungannya.

Di lain pihak, matematika didefinisikan dengan banyak makna.

Abraham S Luchins dan Edith N Luchins (Herman Hudojo, 2001 : 17)

menyatakan bahwa matematika akan diartikan sesuai dengan siapa yang

(14)

14 matematika memiliki banyak arti berbeda sesuai dengan orang yang

mendefinisikannya. Jadi, definisi tentang matematika akan mengikuti

sudut pandang masing-masing orang.

Ruseffendi (Erman Suherman, dkk. 2001 : 16), mendefinisikan

matematika sebagai suatu hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan

penalaran, ide, dan proses. Pendapat ini menekankan bahwa matematika

merupakan suatu ilmu yang membutuhkan kemampuan berpikir. Di

sekolah matematika diharapkan mampu melatih kemampuan berpikir

siswa dalam menyelesaikan masalah. Di sisi lain, menurut Ebbutt dan

Straker (Marsigit, 2012: 8) hakekat matematika sekolah antara lain:

matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; matematika

adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan;

matematika adalah kegiatan problem solving; dan matematika adalah alat

komunikasi. Dengan kata lain, pembelajaan matematika di sini

menekankan kegiatan siswa untuk melatih kemampuan berpikirnya

sendiri.

Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya, Yansen

Marpaung (2008 : 24), menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran

matematika siswa sebaiknya aktif dalam melakukan proses matematisasi.

Matematisasi di sini diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada

siswa untuk merekonstruksi pengetahuan melalui kegiatan : mengamati,

mengklasifikasi, menyelesaikan masalah, berkomunikasi, berinteraksi

(15)

15 melakukan estimasi, mengambil kesimpulan, menyelidiki keterkaitan,

dan sebagainya. Sebagai fasilitator guru diharapkan berperan untuk

mengarahkan siswa agar aktif dalam proses matematisasi ini. Dengan

demikian, proses rekonstruksi pengetahuan oleh siswa dapat berjalan

dengan baik.

Dari uraian yang telah disampaikan di atas, disimpulkan bahwa

pembelajaran matematika menekankan pada kegiatan siswa, sedangkan

guru hanya bersifat memfasilitasi siswa untuk menciptakan kondisi

pembelajaran yang mendukung proses matematisasi.

2. Efektivitas Pembelajaran Matematika

Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti berdampak. Kata

efektif dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang membawa dampak yang

baik. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2002: 159), efektivitas berasal

dari kata efektif berarti memiliki efek, akibat, atau pengaruh. Sementara

itu, menurut Institute of Education University of London (2002: 4),

efektivitas merujuk pada tujuan tertentu. Dengan demikian, sesuatu akan

dikatakan efektif apabila telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

Apabila efektivitas dikaitkan dengan pembelajaran maka pembelajaran

yang efektif merupakan pembelajaran yang mampu mencapai tujuan atau

keberhasilan.

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika diperlukan

suatu pedoman. Menurut O”Neil (Roy Killen, 2009: 4) pembelajaran

(16)

16 a. Siswa mampu menggunakan pengetahuannya untuk

menyelesaikan masalah.

b. Siswa mampu mengomunikasikan pengetahuannya kepada temannya.

c. Siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan yang baru.

d. Siswa dapat mengingat pengetahuan yang baru diperolehnya untuk waktu yang lama.

e. Siswa mampu menciptakan pengetahuannya sendiri. f. Siswa mau belajar lebih.

Sementara itu, kerangka pembelajaran efektif menurut Kyriacou

(2009: 7-9) terdiri dari tiga hal, meliputi context, process, dan product.

Context (konteks) dalam pendapat ini berkaitan dengan ciri pembelajaran

yang dilakukan. Process (proses) dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan

yang berlangsung dalam pembelajaran meliputi strategi, model

pembelajaran, pendekatan, kondisi siswa dan guru serta tugas yang

diberikan. Selanjutnya, product ( produk ) berkaitan dengan tujuan yang

diinginkan, tujuan ini bisa berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan,

motivasi, ataupun pengembangan sikap sosial.

Dari dua pendapat yang sudah diuraikan dapat dinyatakan kembali

bahwa salah satu kerangka dasar pembelajaran efektif menurut Kyricacou

adalah product yaitu hasil dalam pembelajaran berdasarkan tujuan yang

telah dibuat. Hasil ini misalnya kepercayaan diri siswa. Sehubungan

dengan itu, dari pendapat O”Neil diketahui bahwa salah satu karakteristik

pembelajaran matematika yang efektif adalah kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah.

Dengan demikian, efektivitas yang dimaksud di sini adalah tingkat

(17)

17 TPS dan SGD dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri

dan kemampuan pemecahan masalah.

3. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif mengarahkan siswa untuk belajar secara

berkelompok. Proses belajar ini, diharapkan mampu meningkatkan

pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Arends & Kilcher (2010 :

306) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model atau

strategi yang memaksimalkan keterlibatan siswa dalam kegiatan kelompok

seperti diskusi, debat, atau belajar untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan

yang dimaksud dalam pendapat ini seringkali dihubungkan dengan

pemecahan masalah. Sejalan dengan hal ini, Robert E.Slavin (2009 : 8)

menambahkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa saling

berdiskusi, bekerja sama, dan berargumentasi dalam suatu kelompok kecil

untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah.

Pembelajaran kooperatif dipandang sebagai suatu pembelajaran

paling efektif untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kegiatan

penyelesaian masalah yang dilakukan secara berkelompok akan

memfasilitasi siswa untuk membangun konsepnya sendiri. Menurut

Spencer Kagan & Miguel Kagan (2009 : 3.1-3.2) pembelajaran

kooperatif merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Ketercapaian tujuan pembelajaran ini, akan

(18)

18 Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif

akan membawa manfaat bagi siswa. Pembelajaran ini memfasilitasi siswa

untuk bertukar pikiran dalam kelompok belajar. Menurut Robert E. Slavin

(2009 : 10), manfaat dari pembelajaran kooperatif yaitu siswa

bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman

satu timnya sehingga mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya.

Hal ini menyebabkan kemampuan semua siswa di dalam kelas akan

berkembang secara beriringan, sehingga kesenjangan kemampuan

pemecahan masalah akan berkurang.

Selain itu, tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar

siswa bisa saling berbagi pengetahuan. Proses saling membagi

pengetahuan ini akan mempercepat pembangunan konsep oleh siswa.

Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan akan lebih efektif. Hal

ini dikuatkan oleh pendapat Isjoni (2010 : 135), yang menyatakan bahwa

tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar siswa

memperoleh pengetahuan dari teman sesamanya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini

merupakan model pembelajaran yang mengkondisikan siswa dalam suatu

kelompok kecil untuk saling membantu dalam memperoleh pengetahuan.

4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)

Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan

(19)

19 Arends dan Kilcher (2010 : 316) menyatakan, "in think pair share, the

teacher poses a question, individual student think about (and record) their

answer. Individuals then pair with another student to share their answer.

The teacher calls on individuals or pairs to share with the large

group". Pendapat ini dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran TPS guru

mengajukan pertanyaan kemudian siswa memikirkan jawabanya secara

mandiri kemudian jawaban ini dibawa dalam diskusi kelompok,

selanjutnya guru akan memanggil siswa secara individu atau kelompok

untuk menyampaikan hasil diskusinya kepada kelompok besar.

Pada pembelajaran TPS siswa akan memiliki kesempatan yang

lebih besar dalam berpartisipasi menyelesaikan permasalahan. Pada model

pembelajaran ini siswa diberi kesempatan terlebih dahulu untuk

memikirkan penyelesaian masalah secara individu baru membawanya

dalam diskusi kelompok. Hal ini akan membuat pembelajaran kelompok

menjadi lebih aktif. Menurut Fogarty dan Robin (Daryanto, 2014 : 38)

pembelajaran kooperatif tipe TPS melatih siswa untuk berani

menyampaikan pendapatnya dan mudah dilaksanakan dalam kelas yang

besar.

Selanjutnya, Abdul Majid (2013 : 191-192) menyatakan bahwa

tahap-tahap model pembelajaran kooperatif TPS dapat dijabarkan

(20)

20 1. Tahap think atau berpikir

Pada tahap awal, guru akan menyajikan permasalahan untuk

siswa, selanjutnya siswa diminta untuk mencoba memikirkan

solusi dari permasalahan itu secara mandiri terlebih dahulu.

2. Tahap pair atau berpasangan

Tahap yang selajutnya, siswa dipasangkan secara heterogen untuk

saling berdiskusi, membantu dan bertukar ide dalam

menyelesaikan permasalahan.

3. Tahap share atau berbagi

Pada tahap akhir, masing-masing kelompok diminta untuk

membagikan hasil diskusi yang sudah mereka peroleh kepada

kelompok yang lebih besar melalui presentasi di depan kelas.

Presentasi dilakukan sampai seperempat kelompok telah

mendapat kesempatan untuk melakukan presentasi.

Model pembelajaran TPS memberi kesempatan bagi siswa untuk

menyelesaikan masalah secara individu terlebih dahulu kemudian

membawa hasil pemikirannya pada diskusi kelompok. Akibatnya,

kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi lebih berkembang baik

secara individu maupun berkelompok. Selain itu, TPS memiliki tahapan

share yang dapat melatih kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan

pendapat. Namun, karena kelompok yang dibentuk dalam TPS hanya

terdiri dari dua orang atau berpasangan maka kemungkinan ide yang

(21)

21 pemecahan masalah akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan

kelompok yang beranggotakan lebih banyak.

Selanjutnya, berdasarkan definisi sebelumnya dapat disimpulkan

bahwa model pembelajaraan kooperatif tipe TPS merupakan pembelajaran

yang mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap

berfikir, berpasangan, dan berbagi.

5. Pembelajaran Kooperatif Tipe Spontaneous Group Discussion (SGD)

Spontaneous Group Discussion (SGD) merupakan metode diskusi

kelompok yang tidak direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan secara

spontan dan sederhana (Miftahul Huda, 2012: 129). Pembelajaran

kooperatif tipe SGD menuntut siswa untuk aktif dalam berdiskusi

kelompok. Siswa diharapkan mampu bertukar pikiran mengenai cara

pemecahan masalah melalui kegiatan diskusi. Hal ini dikuatkan oleh

pendapat (Gagne dan Briggs, 2010: 251) yang menyatakan bahwa

pembelajaran SGD merupakan pembelajaran interaktif yang melibatkan

anggota kelompok untuk saling bertukar pendapat dalam pemecahan

masalah.

Selanjutnya Miftahul Huda (2012 : 129) menyebutkan bahwa

langkah-langkah pembelajaran model SGD adalah sebagai berikut :

1) Meminta siswa untuk berkelompok;

2) Siswa berdiskusi tentang sesuatu, yaitu soal atau permasalahan tentang materi pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa; 3) Guru memanggil kelompok satu persatu; dan

(22)

22 Di samping itu, menurut Umi Solihatun (2012 : 31)

langkah-langkah pembelajaran inovatif menggunakan model Cooperative Learning

tipe SGD yaitu:

1) Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi; 2) Meminta siswa belajar kelompok dan mengerjakan LKS;

3) Memanggil nama kelompok satu per satu untuk mempresentasikan hasil LKS serta membahas hasil diskusi/LKS; dan

4) Memberi penghargaan kelompok.

Model pembelajaran SGD mudah untuk dilakukan karena

pembelajarannya yang sederhana dan spontan sehingga tidak

membutuhkan banyak persiapan. Pembelajaran SGD yang dilakukan

secara berkelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling

bertukar ide dalam diskusi pemecahan masalah. Selain itu, dalam model

pembelajaran SGD terdapat tahap pemanggilan semua kelompok untuk

melakukan presentasi, tahap ini mendorong siswa untuk meningkatkan

kepercayaan diri terutama dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena

kelompok dibentuk secara spontan maka besar kemungkinan bahwa

anggota pada masing-masing kelompok memiliki kemampuan yang

homogen. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kemampuan

pemecahan masalah di antara para siswa.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan yang telah disampaikan maka

disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe SGD merupakan

pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah

(23)

23 tentang permasalahan, guru memanggil kelompok satu persatu, kemudian

meminta siswa untuk melakukan presentasi hasil diskusi.

6. Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik memiliki pengaruh yang besar dalam

perbaikan proses pembelajaran. Menurut Varelas, M and Ford, M,

(2008 : 31) pendekatan saintifik memudahkan guru dalam membantu

peningkatan proses pembelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran

akan dipisah dalam tahapan-tahapan terperinci yang memuat instruksi

untuk siswa dalam melaksanakan kegiatan. Pemecahan kegiatan ini akan

membuat siswa menjadi lebih fokus dalam belajar. Selain itu, tahapan

yang dirancang berdasarkan metode ilmiah akan melatih siswa untuk

berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah.

Pendekatan saintifik sesuai untuk menghadapi tuntutan dunia

global yang senantiasa menginginkan inovasi dan perkembangan ilmu

pengetahuan. Vhurumuku & Mokeleche (Washington T Dudu, 2014: 1)

menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan

pembelajaran dengan menggunakan langkah yang dilakukan oleh ilmuwan

dalam mengembangakan ilmu pengetahuan yang valid. Siswa yang telah

terbiasa menggunakan pendekatan saintifik diharapkan menjadi lebih peka

terhadap lingkungannya sehingga inovasi-inovasi dalam dunia ilmu

pengetahuan akan semakin berkembang.

Pendekatan saintifik memiliki karakteristik yang membedakan

(24)

24 berkaitan dengan tahapan metode ilmiah yang menuntut keaktifan peneliti

dan kemampuan pemikiran tingkat tinggi. Hosnan (2014 : 36)

menyampaikan bahwa pendekatan saintifik memiliki karakter sebagai

berikut :

a. Terpusat pada siswa

b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip.

c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

d. Mampu mengembangkan karakter siswa.

Pada prinsipnya pendekatan ilmiah akan membantu siswa dalam

membangun konsep matematika yang dipelajarinya. Proses membangun

konsep bisa terjadi karena siswa mengikuti langkah-langakah yang

dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh ilmu baru. Hal ini selaras

dengan pendapat yang disampaikan oleh Daryanto (2014 : 51) yang

menyatakan bahwa pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran

yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep

atau hukum melalui proses :

a. Mengamati,

b. Merumuskan masalah, c. Mengajukan hipotesis, d. Mengumpulkan data, e. Menganalisis data,

f. Menarik kesimpulan dan mengomunikasikan prinsip, konsep, atau hukum.

Dalam Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV

(25)

25 kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan

langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu:

a. Mengamati

Proses mengamati dapat dilakukan melalui kegiatan menyimak,

mendengar, melihat, dan membaca. Kegiatan ini difasilitasi oleh

guru mata pelajaran. Dalam hal ini guru juga mengarahkan siswa

untuk melakukan kegiatan pengamatan yang berkualitas.

b. Menanya

Kegiatan menanya akan melatih siswa untuk memiliki pemikiran

yang kristis dalam menghadapi suatu permasalahan. Dalam

kegiatan ini guru mengarahkan siswa untuk membuat pertanyaan

mulai dari pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkrit

sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep,

prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang

bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik.

Untuk mencapai kemampuan bertanya tingkat tinggi siswa

awalnya mendapatkan bantuan dari guru setelah terbiasa maka

siswa akan mampu untuk menyusun pertanyaannya sendiri.

Kemampuan bertanya akan mendorong siswa untuk mencari

informasi yang lebih banyak berkaitan dengan obyek yang

(26)

26

c. Mengumpulkan informasi

Setelah menyusun daftar pertanyaan, kegiatan selanjutnya yang

akan dilakukan oleh siswa adalah mencari informasi dari berbagai

sumber terkait dengan permasalahan yang sedag dihadapi. Proses

mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan membaca buku,

referensi online atau mengamati objek secara lebih teliti atau

bahkan melakukan eksperimen.

d. Mengasosiasi

Langakah selanjutnya setelah mengumpulan informasi adalah

mengasosiasi. Mengasosiasi di sini dimaksudkan untuk

menemukan keterkaitan antarinformasi yang sudah diperoleh. Pada

tahap berikutnya setelah keterkaitan antarinformasi ditemukan

maka dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pola keterkaitan

informasi.

e. Mengkomunikasikan

Kegiatan terakhir dalam pendekatan saintifik adalah

mengomunikasikan. Kegiatan ini mengarahkan siswa untuk

menyampaikan hasil yang sudah mereka peroleh. Penyampaian ini

dapat berupa menuliskan hasil ataupun menceritakan hasil

penemuan mereka.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa pendektan saintifik merupakan proses pembelajaran

(27)

27 hukum melalui proses mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,

mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

7. Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Pendekatan Saintifik

Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik

menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe Think Pair Share

(TPS) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui

tahap-tahap saintifik yang dilakukan secara berkelompok menggunakan model

TPS sehingga di akhir pembelajaran siswa mampu menemukan konsep,

prinsip atau hukum matematika tertentu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan

saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran

IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :

a. Mengamati

b. Menanya

c. Mengumpulkan informasi

d. Mengasosiasi

e. Mengomunikasikan

Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model TPS yang

dijelaskan sebelumnya terdiri atas :

a. Think (Berpikir)

b. Pair (Berpasangan)

(28)

28 Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan

saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe TPS disajikan

dalam tabel berikut.

Tabel 1. Langkah Pembelajaran TPS dengan Pendekatan Saintifik

No Tahap TPS Tahap Saintifik Keterangan

1

Think (berpikir)

Mengamati

Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan dan memperhatikan ( melihat, membaca, mendengar ) berbagai hal yang penting dari suatu objek secara mandiri.

Menanya

Siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.

Mengumpulkan informasi

Siswa diberi kesempatan mencari data dan mencoba mengerjakan permasalahan secara mandiri.

2 Pair

(berpasangan) Mengasosiasi

Siswa diminta untuk berdiskusi secara berpasangan mengenai hasil pemikiran, pengamatan, dan informasi yang sudah diperoleh.

3 Share

(berbagi) Mengomunikasikan

Beberapa pasangan

mempresentasikan hasil diskusi yang sudah diperoleh kepada pasangan lain di depan kelas. Siswa dari pasangan lain memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang dipresentasikan.

8. Pembelajaran Kooperatif Tipe SGD dengan pendekatan Saintifik

Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik

menggunakan model kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion

(29)

tahap-29 tahap saintifik yang dilakukan secara spontan dan sederhana. Pembelajaran

ini akan mengarahkan siswa untuk lebih berperan aktif dalam berdiskusi.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan

saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran

IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :

a. Mengamati

b. Menanya

c. Mengumpulkan informasi

d. Mengasosiasi

e. Mengomunikasikan

Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model SGD yang

dijelaskan sebelumnya terdiri atas :

a. Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi

b. Berdiskusi mengenai masalah

c. Guru memanggil kelompok satu persatu dan meminta siswa

untuk mempresentasikan hasil diskusi yang diperoleh.

Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan

saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe SGD

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Langkah Pembelajaran SGD dengan Pendekatan Saintifik

No Tahap SGD Tahap Keterangan

1 Berkelompok secara spontan dan

bervariasi

Mengamati Guru memfasilitasi siswa untuk

melakukan pengamatan dan

memperhatikan (melihat,

(30)

30

No Tahap SGD Tahap Keterangan

secara berkelompok.

Menanya Siswa diberi kesempatan untuk

membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.

Mengumpulkan

informasi Siswa diberi kesempatan untuk mencari data yang dibutuhkan dan mencoba memecahkan masalah untuk menjawab pertanyaan yang diajukan secara berkelompok. kategori berdasarkan informasi, menetukan keterhubungan data, kemudian menyimpulkan

Mengomunikasikan Guru memberi kesempatan kepada

setiap kelopok untuk melakukan presentasi dengan memanggil tiap kelompok ke depan kelas secara bergantian.

Kemudian, setiap kelompok

mempresentasikan hasil yang diperoleh. Sementara itu siswa dari kelompok lain memberikan

pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang

dipresentasikan.

9. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suatu masalah. Setiap

hari manusia akan terus dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal ini

mendorong mereka untuk terus berusaha melakukan proses pemecahan

masalah. Herman Hudojo (2003 : 148) menyatakan bahwa memecahkan

masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia, sehingga memiliki

(31)

31 Kemampuan pemecahan masalah relevan dengan proses

pembelajaran yang diharapkan oleh kurikulum 2013 yaitu pembelajaran

saintifik. Dalam pembelajaran saintifik kondisi pembelajaran yang

diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong siswa dalam mencari tahu

dari berbagai sumber, melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu

(Daryanto, 2014 : 51). Siswa yang melakukan proses mencari tahu akan

terdorong untuk memecahakan masalah yang dihadapinya secara mandiri.

Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalahnya akan terus terasah.

Secara lebih spesifik, kemampuan pemecahkan masalah perlu

diintegrasikan dalam proses pembelajaran matematika. Disebutkan bahwa

“problem solving is an integral part of all mathematics learning, and

so it should not be an isolated part of the mathematics program” (NCTM,

2000b: 52). Pendapat ini dapat diartikan bahwa pemecahan masalah

merupakan bagian dari matematika sehingga tidak bisa dipisahkan dari

matematika. Keterangan ini memperkuat bahwa pemecahan masalah harus

menjadi bagian dari proses pembelajaran matematika.

Dalam pembelajaran matematika perlu diberikan masalah yang

akan melatih siswa untuk berpikir logis secara matematis. Oleh karena itu,

masalah yang diberikan harus memenuhi kriteria tertentu. Menurut

Herman Hujodo (2003 : 149), masalah bagi siswa harus memenuhi syarat

(32)

32 a. Pertanyaan yang diberikan harus dapat dimengerti siswa,

tetapi pertanyaan tersebut juga merupakan tantangan tersendiri

bagi siswa.

b. Pertanyaan yang diberikan tidak dapat dijawab dengan

prosedur rutin yang biasa dilakukan siswa.

Selanjutnya, Sukirman (2005 : 4) menyatakan bahwa masalah

matematika dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu masalah mencari

(problem to find) dan masalah membuktikan (problem to prove) :

a. Masalah mencari (problem to find), dapat teoritis atau praktis,

abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari

masalah ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah yang dicari?

2) Bagaimana data yang diketahui?

3) Bagaimana syaratnya?

Ketiga bagian utama tersebut menjadi landasan dalam

menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah untuk mencari lebih

penting diterapkan untuk matematika tingkat dasar.

b. Masalah untuk membuktikan (problem to prove) adalah untuk

menunjukkan suatu pertanyaan itu benar atau tidak benar

kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan

konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.

(33)

33 menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah membuktikan penting

untuk diterapkan pada matematika tingkat lanjut.

Siswa perlu melalui tahapan-tahapan tertentu dalam melakukan

penyelesaian masalah. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan siswa pada

solusi masalah yang diinginkan. Susan O’Connell (2000 : 3) menyatakan

bahwa “Problem solving is a process that requires students to follow a

series of steps to find a solution.” Pemecahan masalah di sini diartikan

sebagai proses yang mengharuskan siswa mengikuti serangkaian

tahap-tahap untuk menemukan sebuah penyelesaian.

Menurut Aisyah (2007 : 6) selama memecahkan masalah siswa

akan dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu memahami masalah

(mengidentifikasi unsur yang diketahui dan yang ditanyakan),

membuat model matematika, memilih strategi penyelesaian model

matematika, melaksanakan penyelesaikan model matematika dan

menyimpulkan.

Di samping itu, menurut Polya (Sri Wardhani, 2010 : 56) terdapat

empat tahap dalam pemecahan masalah, yaitu:

a. Memahami masalah

Langkah pertama dalam menyelesaikan masalah adalah memahami

permasalahan tersebut. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu

menemukan hal yang belum diketahui, data yang sudah diketahui,

dan syarat yang ada dalam masalah. Selanjutnya, siswa diharapkan

(34)

34 b. Merencanakan penyelesaian masalah

Dalam merencanakan penyelesaian masalah siswa harus menguasai

materi sebelumnya dan juga memiliki pengetahuan pendukung

mengenai materi itu. Selanjutnya, siswa dituntut untuk memikirkan

langkah-langkah yang harus dilakukan. Pada tahapan ini pengalaman

akan mempengaruhi kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah.

Wheeler (Herman Hudojo, 2003 : 163) menyatakan bahwa dalam

merencanakan penyelesaian suatu masalah, siswa dapat melakukan

beberapa hal, contohnya:

1) membuat tabel, gambar, ataupun model matematika,

2) mencari pola,

3) menyatakan kembali permasalahan,

4) menggunakan penalaran, variabel, ataupun persamaan,

5) menyederhanakan permasalahan,

6) menghilangkan situasi yang tidak mungkin,

7) menggunakan algoritma,

8) memecah kasus menjadi beberapa bagian,

9) menggunakan rumus,

10)menggunakan informasi yang diketahui untuk

mengembangkan informasi baru.

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Setelah membuat rencana penyelesaian masalah, selanjutnya siswa

(35)

35 masalah dilakukan dengan perhitungan matematis dan juga

mencantumkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan

masalah yang dihadapinya dengan benar.

d. Melakukan pengecekan jawaban

Langkah terakhir dalam penyelesaian masalah adalah melakukan

pengecekan. Langkah ini dilakukan dengan menguji dan

mempertimbangkan jawaban yang telah diperoleh melalui langkah

pertama sampai ketiga. Menurut Wirdah Pramita (2014 : 3) pada

tahap memeriksa kembali, siswa diminta untuk mengecek hasil yang

diperoleh apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi

kontradiksi dengan yang ditanyakan. Ada empat langkah yang

dapat dijadikan pedoman dalam tahap ini, yaitu :

1) Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan,

2) Menginterpretasikan jawaban yang diperoleh,

3) Mengidentifikasi adakah cara lain untuk mendapatkan

penyelesaian masalah,

4) Mengidentifikasi adakah jawaban atau hasil lain yang memenuhi.

Dari uraian sebelumnya, masalah dalam penelitian ini didefinisikan

sebagai masalah untuk menemukan yang memenuhi syarat dapat

dimengerti oleh siswa namun tetap menjadi tantangan bagi siswa dan tidak

bisa diselesaikan menggunakan prosedur yang rutin dilakukan siswa.

Sementara itu, kemampuan pemecahan masalah matematika diartikan

(36)

36 menerapkan empat tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah,

merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah sesuai

rencana, dan melakukan pengecekan jawaban. Secara lebih rinci, indikator

pemecahan masalah dari keempat tahapan pemecahan masalah dijelaskan

melalui tabel berikut.

Tabel 3. Indikator Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika

No Kemampuan Penyelesaian Masalah

Indikator

1 Memahami masalah a. Menuliskan apa yang diketahui dari permasalahan.

b. Menuliskan apa yang ditanyakan dari permasalahan.

c. Menuliskan syarat yang ada dalam permasalahan.

2 Merencanakan penyelesaian masalah

Menuliskan langkah – langkah yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, hal ini dapat berupa :

a. Menyatakan kembali permasalahan b. Menuliskan rumus yang akan

digunakan

c. Menuliskan langkah penyelesaian masalah yang akan digunakan. 3 Menyelesaiakan masalah

sesuai rencana

Menyelesaikan masalah sesuai langkah yang telah dituliskan.

4 Melakukan pengecekan kembali

a. Melakukan pengecekan jawaban dengan perhitungan matematis atau cara lain dengan benar.

b. Mencocokkan hasil yang sudah didapatkan dengan pertanyaan.

c. Menuliskan kesimpulan dari proses yang dilakukan.

10.Kepercayaan Diri

Menurut Lauster (2002 : 4) kepercayaan diri merupakan keyakinan

atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak

(37)

37 keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam

berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat

mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Rasa yakin yang

dimaksud di sini adalah keyakinan bahwa seseorang tersebut dapat

mencapai keberhasilan dari tujuannya. Kepercayaan diri akan menjadi

jembatan bagi seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya. Orang yang

memiliki kepercayaan diri akan memiliki rasa yakin terhadap

kemampuannya. Hal ini mengakibatkan kemampuannya dapat digunakan

secara maksimal.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Lauster, menurut Yusuf

AL-Uqshari (2005 : 9) self confidence adalah keyakinan seorang individu

akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaannya.

Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki sikap positif

yang didasari oleh kemampuannya. Sikap positif ini membantu mereka

dalam menghadapi permasalahan yang menimpa mereka.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Gençtan (Ali Haydar Sar, 2010 :

1205) yang menyatakan “Self-confidence is defined as an individual’s

recognition of his own abilities, loving himself and being aware of his own

emotions”. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri

didefinisikan sebagai penghargaan terhadap kemampuannya sendiri,

mencintai diri sendiri dan sadar akan kondisi emosinya. Dengan

penghargaan terhadap kemampuan yang dimiliki, seseorang dapat

(38)

38 Pengaktualisasian kemampuan diri akan mengarahkan seseorang dalam

suatu keberhasilan tujuannya.

Selanjutnya, Lauster (Sudarjo Siska & Esti Hayu Purnamaningsih,

2003: 69) menyatakan bahwa kepercayaan diri juga perlu dilatihkan

dan ditanamkan pada diri masing-masing siswa, misalnya dalam

pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan kepercayaan diri bukanlah

kemampuan bawaan namun sesuatu yang diperoleh melalui latihan dan

pengalaman. Dengan demikian, diharapkan melalui penerapan sikap

percaya diri dalam pembelajaran matematika, siswa akan memiliki

kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan yang menimpanya

dalam kehidupan nyata.

Terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk

meningkatkan kepercayaan diri siswa. Akrim Ridha (2002 : 29)

menyatakan bahwa terdapat enam faktor yang dapat meningkatkan

kepercayaan diri yaitu melalui :

a. Menanyakan mengapa kita tidak mau berusaha.

b. Bekerja atau berbuat langsung.

c. Mengganti kelemahan dan kekurangan menjadi potensi dalam hati.

d. Menerima dan menghadapi kemungkinan sesuai kemampuan.

e. Menghitung segala bentuk kesuksesan yang pernah diraih.

f. Keimanan.

Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan terlihat melalui

(39)

39 memiliki kepercayaan diri tinggi dan rendah. Lauster (Surya Bintarti,

2013: 93) menyebutkan aspek-aspek kepercayaan diri sebagai berikut.

a. Keyakinan akan kemampuan diri, merupakan sikap mempercayai

kemampuan diri mengenai apa yang akan dilakukan.

b. Optimis, merupakan sikap yang mendorong seseorang untuk selalu

memiliki pandangan yang baik dalam menghadapi segala sesuatu,

baik tentang diri maupun kemampuan.

c. Objektif, merupakan cara memandang masalah menggunakan

kebenaran yang semestinya, dengan demikian unsur subjektivitas

pribadi dapat dikurangi.

d. Bertanggung jawab, merupakan sikap untuk menerima akibat dari

segala sesuatu yang sudah dilakukan.

e. Rasional dan realistis, merupakan kemampuan untuk menganalisis

masalah menggunakan pemikiran yang logis berdasarkan

kenyataan yang ada.

Di lain pihak, menurut Ignoffo (dalam Megawati, 2010 : 3),

terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan individu yang

memiliki kepercayaan diri yaitu :

a. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.

b. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.

c. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.

d. Berpikir positif dalam kehidupan.

e. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.

f. Memiliki potensi dan kemampuan.

Selanjutnya menurut Jacita F. Rini, (Abu Al-Ghifari, 2003 : 16).

Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya

(40)

40 a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri.

b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima

oleh orang lain atu kelompok.

c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain dan berani

menjadi diri sendiri.

d. Mempunyai pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya

stabil).

e. Mempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan atau

kegagalan, tergantung dari usaha sendiri dan tidak mudah menyerah

pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan

bantuan orang lain).

f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri,

orang lain dan situasi di luar dirinya.

g. Mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sendiri,

sehingga ketika harapan itu tidak terwujud ia tetap mampu melihat

sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya maka kepercayaan

diri pada penelitian ini adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri

untuk bisa mencapai tujuan tertentu. Adapun aspek kepercayaan diri yang

dimaksud meliputi : keyakinan akan kemampuan diri, kempunyai internal

locus of control (memandang keberhasilan dari usaha dan tidak mudah

menyerah), objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis. Secara

lebih rinci aspek dan indikator dari kepercayaan diri disajikan dalam tabel

berikut.

Tabel 4. Indikator Kepercayaan Diri Siswa

No Aspek Kepercayaan Diri

Indikator

1 Keyakinan akan kemampuan diri

a. Memiliki keyakinan untuk mengerjakan tugas atau PR tanpa bantuan orang lain.

b. Tidak mencontek saat ujian

(41)

41

No Aspek Kepercayaan Diri

Indikator

kelas. 2 Mempunyai internal

locus of control

b. Memiliki semangat bersaing dengan teman-temannya.

c. Mau berusaha dengan keras untuk memahami materi yang diberikan.

3 Objektif a. Mau menerima saran dan kritik atas pendapat yang disampaikan.

b. Mampu menghargai pendapat lain yang lebih baik dari pendapatnya sendiri.

c. Lebih mementingkan kebenaran pendapat daripada orang yang menyampaikannya

4 Bertanggung jawab a. Mengerjakan PR yang diberikan dengan sungguh-sungguh.

b. Menyelesaikan tugas yang diberikan tepat pada waktunya.

5 Rasional dan realistis a. Mampu menyelesaikan permasalahan matematika menggunakan konsep yang sudah dimiliki.

b. Mampu mengaplikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pemecahan masalah. c. Mengetahui kekurangan kemampuan diri sendiri

dalam pemecahan masalah

d. Merasa dapat menyelesaiakan permasalahan jika sudah belajar dan berlatih

e. Menggunakan fakta yang diketahui untuk menyelesaikan permasalahan

Kedua kemampuan yaitu kemampuan pemecahan masalah dan

kepercayaan diri merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh siswa.

Walaupun demikian kedua kemampuan ini ternyata tidak saling

mempengaruhi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sena Gürşen

Otacioğlu menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan

kepercayaan diri siswa tidak saling berhubungan. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut “It has been revealed that the

(42)

42

negative. “ (Sena Gürşen Otacioğlu, 2008 : 915). Kesimpulan ini

menunjukkan bahwa hubungan antara kepercayaan diri siswa dan

kemampuan pemecahan masalah adalah negatif. Dari keterangan ini

diketahui bahwa kedua variabel tidak saling mempengaruhi sehingga

menyebabkan kedua kemampuan penting ini nantinya dapat diuji secara

terpisah.

11.Tinjauan Materi Barisan dan Deret

Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), materi pada

pembelajaran matematika wajib SMA / MA kelas X MIA meliputi fungsi

eksponen dan logaritma, persamaan dan pertidaksamaan linear, sistem

persamaam dan pertidaksamaan linear, matriks, relasi dan fungsi, barisan

dan deret, persamaan dan fungsi kuadrat, geometri, trigonometri, limit

fungsi aljabar, statistika, dan peluang.

Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2012: 8) salah satu hakikat

matematika sekolah adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan.

Materi barisan dan deret dirasa sesuai untuk hakekat matematika ini.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari barisan dan deret menggambarkan

keteraturan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga diharapkan siswa

akan lebih tertarik dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan

dengan barisan dan deret.

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar materi Barisan dan Deret

(43)

43

Tabel 5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Materi Barisan dan Deret

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

3. Memahami, menerapkan, dan

menganalisis pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural, dan

metakognitif berdasarkan rasa ingin

tahunya tentang ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, budaya, dan

humaniora dengan wawasan

kemanusiaan, kebangsaan,

kenegaraan, dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan kejadian,

serta menerapkan pengetahuan

prosedural pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan

masalah.

3 8. Memprediksi pola barisan

dan deret aritmetika dan

geometri atau barisan

lainnya melalui pengamatan

dan memberikan alasannya.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji

dalam ranah konkret dan ranah

abstrak terkait dengan pengembangan

dari yang dipelajarinya di sekolah

secara mandiri, bertindak secara

efektif dan kreatif, serta mampu

menggunakan metoda sesuai kaidah

keilmuan.

3 9. Menyajikan hasil,

menemukan pola barisan

dan deret dan penerapannya

dalam penyelesaian masalah

(44)

44 Berikut merupakan uraian singkat materi barisan dan deret :

a. Barisan Aritmetika

Barisan aritmetika adalah barisan bilangan yang beda setiap dua suku

yang berurutan adalah sama. Beda, dinotasikan “b”

(Kemendikbud,2014:202).

Barisan U1 , U2 , U3 , … , U n-1 , Un disebut suatu barisan aritmatika

jika memenuhi hubungan U2 - U1 = U3 - U2 = b

Rumus umum barisan aritmatika adalah sebagai berikut :

U1 = a

U2 = a + b

U3 = a + 2b

U4 = a + 3b

………

Un = a + (n-1) b

Jadi rumus umum suku ke n barisan aritmatika adalah Un = a + (n-1) b

dimana :

Un = suku ke n

a = U1 = suku pertama

n = banyaknya suku

(45)

45

b. Deret Aritmetika

Jika U1, U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan aritmetika

maka :

U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret aritmatika dan ditulis :

Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau :

Sn= a + ( a+b) + ( a + 2b) + ….+ ( a + (n - 1)b)

Sn = Un+ (Un - b)+ (Un - 2b)+ ….+ a

2Sn = (a+Un) + (a+Un)+ (a+Un)+ (a+Un)+….+ (a+Un)

Sn = n (a+Un)

= .n ( a + a + (n-1) b)

= .n ( 2a + (n-1) b)

Jadi rumus jumlah n suku pertama deret aritmatika adalah

Sn = . n ( 2a + (n-1) b)

Sn : jumlah n suku pertama

a : suku pertama

n : banyak suku

b : beda

(46)

46

c. Barisan Geometri

Barisan geometri adalah suatu barisan dengan pembanding

(rasio) antara dua suku yang berurutan selalu tetap (Kemendikbud, 2014 :

275). Berikut merupakan bentuk umum dari barisan geometri.

U1 , U2 , U3 , U4 , ... , Un-1 , Un

a , ar , ar2 , ar3 , … , arn-2 , arn-1

Rumus suku ke-n barisan Geometri adalah sebagai berikut :

(47)

47

e. Contoh soal penyelesaian masalah

Pada sebuah panggung terdapat empat baris tempat duduk. Setiap baris

memuat sejumlah kursi tertentu. Banyaknya kursi pada baris pertama,

kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika dengan beda

bukan nol. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat akan

membentuk barisan geometri. Jika banyaknya kursi pada baris kedua

adalah 16 kursi, berapakah jumlah semua kursi pada keempat baris?

Solusi :

1. Memahami masalah

Siswa diharapkan mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan dari permasalahan.

Diketahui :

 Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat

membentuk barisan aritmetika.

 Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat

membentuk barisan geometri.

 Banyaknya kursi pada barisan kedua adalah 16 buah.

 Beda barisan aritmetika bukan nol

Ditanyakan :

(48)

48

Syarat

Dalam permasalahan ini digunakan aturan dari barisan aritmetika pada

suku pertama, kedua, ketiga dan keempat serta aturan bilangan geometri

pada suku pertama kedua dan keempat.

2. Merencanakan penyelesaian masalah

Siswa diharapkan mampu menyatakan kembali permasalahan,

menuliskan rumus yang akan digunakan dan menuliskan langkah yang

akan dilakukan.

Menyatakan kembali

Misalkan :

banyaknya kursi pada barisan pertama = a

banyaknya kursi pada barisan ketiga = c

banyaknya kursi pada barisan keempat = d

Sehingga,

a , 16, c , d merupakan barisan aritmetika

a, 16 , d merupakan barisan geometri

Menuliskan rumus

Untuk menyelesaikan masalah ini perlu diingat kembali bahwa pada

barisan aritmetika selisih antara dua suku yang berurutan selalu tetap.

Sementara itu, pada barisan geometri rasionya tetap.

(49)

49

Menuliskan langkah penyelesaian

Dari keterangan bahwa 16 – a = c - 16 = d – c dan

selanjutnya

dibentuk persamaan untuk menentukan nilai a, c dan d.

3. Menyelesaiakan masalah sesuai rencana

Langkah selanjutnya siswa diharapkan mampu menyelesaikan

permasalahan dengan meggunakan rencana yang telah dibuat.

16 – a = c – 16 maka a + c = 32 maka c = 32 – a ….….. (1)

c - 16 = d – c maka 2c –d = 16 ...…… (2)

……… (3)

2 c – d = 16

↔ 2 ( 32 – a ) – d = 16 (substitusikan persamaan 1)

↔ 64 – 2a - = 16 (substitusikan persamaan 3)

↔ 48 -2a - = 0 (kurangkan kedua ruas dengan 16)

↔ 48a – 2 a2– 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan a)

↔ 2 a2

- 48a + 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan -1 )

↔ (a – 16) ( a – 8 ) = 0 sehingga a = 16 atau a = 8

Pilih a = 8 karena jika a = 16 maka beda barisan aritmetika akan sama

dengan nol.

Substitusi a pada persamaan 1 diperoleh nilai c = 24, substitusi nilai a

(50)

50

4. Melakukan Pengecekan kembali

Pengecekan

Pada proses ini siswa diharapkan mampu memastikan kebenaran

jawabannya dengan melakukan pengecekan yang sesuai.

banyaknya kursi pada barisan pertama = a = 8

banyaknya kursi pada barisan kedua = b =16

banyaknya kursi pada barisan ketiga = c =24

banyaknya kursi pada barisan keempat = d =32

Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama,

kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika, gunakan

konsep bahwa beda dua suku yang berurutan pada barisan aritmetika

adalah sama.

b-a =8

c- b =8

d- c = 8

Karena beda dua suku yang berurutan memiliki nilai yang sama maka

barisan ini merupakan barisan aritmetika.

Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama,

kedua dan keempat membentuk barisan geometri gunakan konsep

bahwa rasio pada barisan geometri tetap.

(51)

51

Mencocokkan hasil dengan pertanyaan dan Menuliskan

kesimpulan dari proses yang dilakukan.

Hasil yang diinginkan dari pertanyaan adalah jumlah semua kursi

sehingga dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai a = 8, c

= 24 , d = 32, maka jumlah semua kursi adalah a + 16 + c + d = 40

kursi.

Membuat kesimpulan

Jadi jumlah semua kursi pada keempat baris adalah 40 kursi

B. Penelitian Relevan

1. Hasil penelitian Eny Sulistyaningsih (2014) yang berjudul "

Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads

Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan Pendekatan

Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika dan Sikap Tanggung Jawab Siswa Kelas VII SMP

Negeri 1 Wates “ menunjukkan bahwa pembelajaran

menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan pendekatan

kontekstual efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan

masalah peserta didik.

2. Penelitian Fadiah Khairina Pertiwi (2014) yang berjudul

“Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah

Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Think Talk Write

(TTW) dan Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan

(52)

52 Kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari Gunungkidul “ menunjukkan

bahwa pembelajaran matematika berbasis masalah menggunakan

model pembelajaran kooperatif TPS efektif ditinjau

kemampuan pemecahan masalah matematika dan kepercayaan

diri siswa.

3. Penelitian Ratih Damayanti (2013) yang berjudul “Peningkatan

Aktivitas Belajar Matematika dengan Metode Spontaneous Group

Discussion menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam

memecahkan masalah meningkat dari 17,4 % menjadi 73,91 %.

C. Kerangka Berpikir

Sebagai mata pelajaran wajib, matematika diharapkan mampu

memenuhi tuntutan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mengharapkan

terbentuknya siswa yang memiliki kemampuan kognisi tinggi yang diiringi

dengan keterampilan dan sikap yang baik. Salah satu kemampuan kognisi

dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh siswa adalah kemampuan

pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah matematika penting dimiliki oleh

siswa. Proses pemecahan masalah matematika melatih siswa untuk aktif

dalam mencari informasi. Kemudian, dari informasi yang diperoleh siswa

akan berlatih untuk menganalisis solusi yang tepat dari masalah yang

dihadapi. Pola berpikir logis inilah yang akan melatih siswa untuk

(53)

53 Selanjutnya, salah satu sikap yang diharapkan dimiliki siswa adalah

kepercayaan diri. Kepercayaan diri merupakan keyakinan yang akan

mengantarkan siswa pada tujuannya. Dalam pembelajaran matematika

kepercayaan diri dibutuhkan agar siswa mampu menyampaikan hasil

pemikirannya kepada orang lain. Dengan demikian, sikap percaya diri

menjadi salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keberhasilan

belajar siswa dan keberhasilan siswa dalam kehidupan yang sebenarnya.

Di lain pihak, terdapat indikasi bahwa kemampuan pemecahan

masalah dan kepercayaan diri belum berkembang secara maksimal. Hal ini

terjadi di Madrasah Aliyah yang memiliki beban belajar lebih berat

dibandingkan sekolah menengah atas biasa. Tuntutan belajar yang lebih

berat mengakibatkan waktu untuk mengembangkan kemampuan

pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah menjadi

lebih terbatas dibandingkan siswa di sekolah menengah atas pada

umumnya.

Dalam menghadapi hal ini guru diharapkan mampu memfasilitasi

siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan

kepercayaan diri. Salah satu upaya yang bisa ditempuh oleh guru adalah

menerapkan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang tepat.

Berdasarkan kajian yang disampaikan sebelumnya, pendekatan saintifik

merupakan pendekatan yang dianjurkan oleh kurikulum 2013. Selain itu

proses pembelajaran dalam pendekatan saintifik diharapkan mampu

Gambar

Tabel 1. Langkah Pembelajaran TPS dengan Pendekatan Saintifik
Tabel 2. Langkah Pembelajaran SGD dengan Pendekatan Saintifik
Tabel 3. Indikator Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika
Tabel 4. Indikator Kepercayaan Diri Siswa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh model pembelajaran DL , PBL , dan TPS dengan pendekatan saintifik terhadap kompetensi

; (3) supaya hasil belajar siswa kelas I SDN Perak utara I/58 Surabaya, mengalami peningkatan sebaiknya menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (4)

Hasil penelitian ini dengan taraf signifikasi α=0,05 menunjukkan bahwa : (1) pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau

Terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang akan diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) , dan kelompok kontrol

prestasi siswa yang dikenai model pembelajaran klasikal dengan pendekatan saintifik. 4) Pada tiap-tiap jenis model pembelajaran menunjukkan bahwa prestasi siswa dengan tipe

Dari pengujian hipotesis diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) dan

Dari pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Jigsaw terhadap

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran model TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa Kelas XI MIPA.1 SMA Nurul Jadid yang terdiri dari tiga tahapan utama,