1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring dengan terjadinya perkembangan pada dunia pendidikan. Pendidikan secara konsisten menjalankan peranannya untuk mengembangkan potensi generasi penerus agar menjadi sumber daya manusia yang unggul. Sumber daya inilah yang nantinya secara bertahap akan menciptakan penemuan-penemuan baru yang penting bagi kehidupan manusia. Di Indonesia peran peting pendidikan dipahami dengan merancang fungsi dan tujuan pendidikan yang akan mampu mengembangkan peradaban bangsa dan menciptakan manusia berkualitas. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No 20 Tahun 2003 ).
2 kemampuan kognisi tinggi yang diiringi dengan kecakapan dan sikap yang baik.
Dalam penerapannya, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Hal ini dikarenakan matematika memiliki peranan penting dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Menurut Sudrajat (2008 : 2) matematika akan melatih keterampilan abstraksi, penalaran logika, dan analisis masalah seseorang. Latihan ini akan membimbing seseorang untuk mengkaji alam sekitar dan mengembangkannya menjadi teknologi yang bermanfaat.
Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Sudrajat, Branca (Leo Adhar Effendi, 2012 : 2) berpendapat bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah menjadi penting untuk dipelajari karena melatih siswa dalam berpikir secara logis. Kemampuan ini akan membantu siswa dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Siswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah akan mampu mencari informasi yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah kemudian menganalisinya untuk melakukan penyelesaian masalah.
3 komponen yang penting dalam pembelajaran matematika. Kemampuan ini perlu dikembangkan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Akibatnya, pengembangan kemampuan pemecahan masalah perlu mendapatkan perhatian.
Selain kemampuan pemecahan masalah aspek sikap juga penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), standar kelulusan siswa dari aspek sikap yaitu akan terbentuk siswa yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan alam. Keterangan ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu sikap yang mendapatkan perhatian.
Sikap percaya diri diperhatikan karena akan membantu siswa dalam mencapai keberhasilan. David Lawrence Preston (2008: 18) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang akan kemampuannya mencapai, dan berpikir untuk dirinya sendiri. Keyakinan ini akan mengondisikan siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Saat seluruh potensi siswa dapat tersalurkan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan akan meningkat.
4 penting. Kedua komponen ini akan membantu guru dalam melakukan pembelajaran yang baik. Akibatnya, pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang digunakan akan mempengaruhi hasil pembelajaran.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses dinyatakan bahwa standar proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, tematik terpadu, dan tematik. Pendekatan saintifik menjadi pilihan untuk penyampaian materi matematika. Pendekatan ini menganut paham konstruktivisme di mana siswa dituntut untuk membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Daryanto (2014 : 51) pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep atau hukum melalui langkah-langkah saintifik. Dengan demikian, pendekatan saintifik akan membantu siswa dalam belajar matematika.
5 permasalahan tertentu. Kondisi ini akan membantu siswa dalam proses pemecahan masalah dan meningkatkan kepercayaan diri siswa.
Model pembelajaran kooperatif sendiri juga telah dikembangkan oleh para ahli sehingga terdapat banyak model pembelajaran kooperatif. Beberapa model yang diantaranya adalah Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD). Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) menekankan pada tiga tahapan yaitu Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi). Syahrul (2011 : 8) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memiliki prosedur tak tampak yang akan memberikan waktu lebih banyak bagi siswa untuk berfikir dan menjawab serta saling membantu dalam menghadapi suatu masalah. Menurut Miftahul Huda (2012 : 132) dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS), siswa diminta untuk duduk berpasangan, dan setelah guru memberikan suatu pertanyaan siswa diminta untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian mendiskusikan hasil pemikiran tersebut dengan pasangan.
6 tentang sesuatu, guru memanggil kelompok satu persatu, dan siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
Penerapan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran perlu dilakukan di berbagai sekolah, salah satunya adalah di Madrasah Aliyah (MA). Madrasah Aliyah merupakan Sekolah Menengah Atas dengan berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya, setiap madrasah harus melaksanakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan ditambah muatan pelajaran keagamaan. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah disebutkan bahwa mata pelajaran pada satuan pendidikan MA meliputi mata pelajaran Sekolah Menengah Atas pada umumnya ditambah mata pelajaran Bahasa Arab dan Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari Al-Qur'an Hadist, Akhidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Kondisi ini mengakibatkan tuntutan beban belajar di MA menjadi lebih berat dibandingkan dengan sekolah formal pada umumnya.
7 Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukkan kepada siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Mereka menyampaikan bahwa selain harus memahami materi pelajaran, mereka juga harus memahami materi keagamaan yang tidak ada pada sekolah menengah atas pada umumnya. Keadaan ini mengakibatkan waktu belajar menjadi lebih padat sehingga mereka sering merasa kurang memahami pelajaran yang diberikan. Selain itu, pengamatan yang dilakukan di dalam kelas menunjukkan bahwa kepercayaan diri sebagian siswa telah berkembang namun masih banyak siswa yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan penting yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kerpercayaan diri tersebut.
8 Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dan potensi yang terdapat pada langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik menggunakan model pembelajaran TPS dan SGD perlu diteliti tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, diidentifikasi beberapa masalah penelitian yaitu :
1. Kemampuan pemecahan masalah siswa masih belum maksimal. 2. Pengembangan sikap kepercayaan diri siswa masih belum terfasilitasi
secara maksimal.
3. Beban belajar siswa MA lebih berat dibandingkan siswa SMA karena selain harus melaksanakan kurikulum nasional masih perlu ditambah dengan muatan keagamaan.
4. Belum diketahui keefektifan model pembelajaran model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa.
C. Pembatasan Masalah
9 saintifik dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa kelas X MIA di MAN 1 Yogyakarta pada materi barisan dan deret.
D. Perumusan Masalah
1. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?
2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa?
3. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?
4. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa ?
10 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, manakah model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan malalah siswa.
2. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.
3. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.
4. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.
11 (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik. 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, maka
untuk mendeskripsikan manakah yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik.
F. Manfaat Penelitian 1. Guru
a. Memberikan referensi bagi guru dalam menerapkan pendekatan saitifik yaitu dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD).
b. Memberikan referensi bagi guru mengenai cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. c. Membantu guru dalam menciptakan suasana pemebelajaran
matematika yang menarik dan efektif. 2. Siswa
a. Membantu siswa dalam melatih kepercayaan diri.
b. Membiasakan siswa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika.
12 3. Peneliti
a. Memberikan sarana pengembangan diri dalam hal penelitian dan proses mengajar.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Pembelajaran Matematika
Menurut Suyitno (2004 : 1) pembelajaran merupakan usaha untuk
membentuk kondisi yang mendukung kemampuan, minat, bakat, serta
kebutuhan siswa agar tercipta interaksi yang optimal. Kondisi yang
mendukung proses belajar akan mendorong siswa untuk mencapai hasil
belajar yang maksimal. Hal ini diperkuat oleh Erman Suherman, dkk.
(2001 : 8) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha untuk
mengatur lingkungan agar program belajar bisa berkembang secara
optimal.
Pembelajaran merupakan bagian penting dari pendidikan.
Pembelajaran berkaitan dengan pengkondisian lingkuangan serta interaksi
antara guru dan siswa. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Depdiknas, 2003 : 7).
Dengan demikian, pembelajaran melibatkan beberapa komponen penting
yaitu interaksi antara siswa dan guru, serta dengan lingkungannya.
Di lain pihak, matematika didefinisikan dengan banyak makna.
Abraham S Luchins dan Edith N Luchins (Herman Hudojo, 2001 : 17)
menyatakan bahwa matematika akan diartikan sesuai dengan siapa yang
14 matematika memiliki banyak arti berbeda sesuai dengan orang yang
mendefinisikannya. Jadi, definisi tentang matematika akan mengikuti
sudut pandang masing-masing orang.
Ruseffendi (Erman Suherman, dkk. 2001 : 16), mendefinisikan
matematika sebagai suatu hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan
penalaran, ide, dan proses. Pendapat ini menekankan bahwa matematika
merupakan suatu ilmu yang membutuhkan kemampuan berpikir. Di
sekolah matematika diharapkan mampu melatih kemampuan berpikir
siswa dalam menyelesaikan masalah. Di sisi lain, menurut Ebbutt dan
Straker (Marsigit, 2012: 8) hakekat matematika sekolah antara lain:
matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; matematika
adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan;
matematika adalah kegiatan problem solving; dan matematika adalah alat
komunikasi. Dengan kata lain, pembelajaan matematika di sini
menekankan kegiatan siswa untuk melatih kemampuan berpikirnya
sendiri.
Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya, Yansen
Marpaung (2008 : 24), menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran
matematika siswa sebaiknya aktif dalam melakukan proses matematisasi.
Matematisasi di sini diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada
siswa untuk merekonstruksi pengetahuan melalui kegiatan : mengamati,
mengklasifikasi, menyelesaikan masalah, berkomunikasi, berinteraksi
15 melakukan estimasi, mengambil kesimpulan, menyelidiki keterkaitan,
dan sebagainya. Sebagai fasilitator guru diharapkan berperan untuk
mengarahkan siswa agar aktif dalam proses matematisasi ini. Dengan
demikian, proses rekonstruksi pengetahuan oleh siswa dapat berjalan
dengan baik.
Dari uraian yang telah disampaikan di atas, disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika menekankan pada kegiatan siswa, sedangkan
guru hanya bersifat memfasilitasi siswa untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang mendukung proses matematisasi.
2. Efektivitas Pembelajaran Matematika
Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti berdampak. Kata
efektif dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang membawa dampak yang
baik. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2002: 159), efektivitas berasal
dari kata efektif berarti memiliki efek, akibat, atau pengaruh. Sementara
itu, menurut Institute of Education University of London (2002: 4),
efektivitas merujuk pada tujuan tertentu. Dengan demikian, sesuatu akan
dikatakan efektif apabila telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.
Apabila efektivitas dikaitkan dengan pembelajaran maka pembelajaran
yang efektif merupakan pembelajaran yang mampu mencapai tujuan atau
keberhasilan.
Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika diperlukan
suatu pedoman. Menurut O”Neil (Roy Killen, 2009: 4) pembelajaran
16 a. Siswa mampu menggunakan pengetahuannya untuk
menyelesaikan masalah.
b. Siswa mampu mengomunikasikan pengetahuannya kepada temannya.
c. Siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan yang baru.
d. Siswa dapat mengingat pengetahuan yang baru diperolehnya untuk waktu yang lama.
e. Siswa mampu menciptakan pengetahuannya sendiri. f. Siswa mau belajar lebih.
Sementara itu, kerangka pembelajaran efektif menurut Kyriacou
(2009: 7-9) terdiri dari tiga hal, meliputi context, process, dan product.
Context (konteks) dalam pendapat ini berkaitan dengan ciri pembelajaran
yang dilakukan. Process (proses) dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan
yang berlangsung dalam pembelajaran meliputi strategi, model
pembelajaran, pendekatan, kondisi siswa dan guru serta tugas yang
diberikan. Selanjutnya, product ( produk ) berkaitan dengan tujuan yang
diinginkan, tujuan ini bisa berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan,
motivasi, ataupun pengembangan sikap sosial.
Dari dua pendapat yang sudah diuraikan dapat dinyatakan kembali
bahwa salah satu kerangka dasar pembelajaran efektif menurut Kyricacou
adalah product yaitu hasil dalam pembelajaran berdasarkan tujuan yang
telah dibuat. Hasil ini misalnya kepercayaan diri siswa. Sehubungan
dengan itu, dari pendapat O”Neil diketahui bahwa salah satu karakteristik
pembelajaran matematika yang efektif adalah kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah.
Dengan demikian, efektivitas yang dimaksud di sini adalah tingkat
17 TPS dan SGD dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri
dan kemampuan pemecahan masalah.
3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif mengarahkan siswa untuk belajar secara
berkelompok. Proses belajar ini, diharapkan mampu meningkatkan
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Arends & Kilcher (2010 :
306) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model atau
strategi yang memaksimalkan keterlibatan siswa dalam kegiatan kelompok
seperti diskusi, debat, atau belajar untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan
yang dimaksud dalam pendapat ini seringkali dihubungkan dengan
pemecahan masalah. Sejalan dengan hal ini, Robert E.Slavin (2009 : 8)
menambahkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa saling
berdiskusi, bekerja sama, dan berargumentasi dalam suatu kelompok kecil
untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
Pembelajaran kooperatif dipandang sebagai suatu pembelajaran
paling efektif untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kegiatan
penyelesaian masalah yang dilakukan secara berkelompok akan
memfasilitasi siswa untuk membangun konsepnya sendiri. Menurut
Spencer Kagan & Miguel Kagan (2009 : 3.1-3.2) pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Ketercapaian tujuan pembelajaran ini, akan
18 Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif
akan membawa manfaat bagi siswa. Pembelajaran ini memfasilitasi siswa
untuk bertukar pikiran dalam kelompok belajar. Menurut Robert E. Slavin
(2009 : 10), manfaat dari pembelajaran kooperatif yaitu siswa
bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman
satu timnya sehingga mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya.
Hal ini menyebabkan kemampuan semua siswa di dalam kelas akan
berkembang secara beriringan, sehingga kesenjangan kemampuan
pemecahan masalah akan berkurang.
Selain itu, tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar
siswa bisa saling berbagi pengetahuan. Proses saling membagi
pengetahuan ini akan mempercepat pembangunan konsep oleh siswa.
Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan akan lebih efektif. Hal
ini dikuatkan oleh pendapat Isjoni (2010 : 135), yang menyatakan bahwa
tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar siswa
memperoleh pengetahuan dari teman sesamanya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini
merupakan model pembelajaran yang mengkondisikan siswa dalam suatu
kelompok kecil untuk saling membantu dalam memperoleh pengetahuan.
4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)
Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan
19 Arends dan Kilcher (2010 : 316) menyatakan, "in think pair share, the
teacher poses a question, individual student think about (and record) their
answer. Individuals then pair with another student to share their answer.
The teacher calls on individuals or pairs to share with the large
group". Pendapat ini dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran TPS guru
mengajukan pertanyaan kemudian siswa memikirkan jawabanya secara
mandiri kemudian jawaban ini dibawa dalam diskusi kelompok,
selanjutnya guru akan memanggil siswa secara individu atau kelompok
untuk menyampaikan hasil diskusinya kepada kelompok besar.
Pada pembelajaran TPS siswa akan memiliki kesempatan yang
lebih besar dalam berpartisipasi menyelesaikan permasalahan. Pada model
pembelajaran ini siswa diberi kesempatan terlebih dahulu untuk
memikirkan penyelesaian masalah secara individu baru membawanya
dalam diskusi kelompok. Hal ini akan membuat pembelajaran kelompok
menjadi lebih aktif. Menurut Fogarty dan Robin (Daryanto, 2014 : 38)
pembelajaran kooperatif tipe TPS melatih siswa untuk berani
menyampaikan pendapatnya dan mudah dilaksanakan dalam kelas yang
besar.
Selanjutnya, Abdul Majid (2013 : 191-192) menyatakan bahwa
tahap-tahap model pembelajaran kooperatif TPS dapat dijabarkan
20 1. Tahap think atau berpikir
Pada tahap awal, guru akan menyajikan permasalahan untuk
siswa, selanjutnya siswa diminta untuk mencoba memikirkan
solusi dari permasalahan itu secara mandiri terlebih dahulu.
2. Tahap pair atau berpasangan
Tahap yang selajutnya, siswa dipasangkan secara heterogen untuk
saling berdiskusi, membantu dan bertukar ide dalam
menyelesaikan permasalahan.
3. Tahap share atau berbagi
Pada tahap akhir, masing-masing kelompok diminta untuk
membagikan hasil diskusi yang sudah mereka peroleh kepada
kelompok yang lebih besar melalui presentasi di depan kelas.
Presentasi dilakukan sampai seperempat kelompok telah
mendapat kesempatan untuk melakukan presentasi.
Model pembelajaran TPS memberi kesempatan bagi siswa untuk
menyelesaikan masalah secara individu terlebih dahulu kemudian
membawa hasil pemikirannya pada diskusi kelompok. Akibatnya,
kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi lebih berkembang baik
secara individu maupun berkelompok. Selain itu, TPS memiliki tahapan
share yang dapat melatih kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan
pendapat. Namun, karena kelompok yang dibentuk dalam TPS hanya
terdiri dari dua orang atau berpasangan maka kemungkinan ide yang
21 pemecahan masalah akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan
kelompok yang beranggotakan lebih banyak.
Selanjutnya, berdasarkan definisi sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaraan kooperatif tipe TPS merupakan pembelajaran
yang mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap
berfikir, berpasangan, dan berbagi.
5. Pembelajaran Kooperatif Tipe Spontaneous Group Discussion (SGD)
Spontaneous Group Discussion (SGD) merupakan metode diskusi
kelompok yang tidak direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan secara
spontan dan sederhana (Miftahul Huda, 2012: 129). Pembelajaran
kooperatif tipe SGD menuntut siswa untuk aktif dalam berdiskusi
kelompok. Siswa diharapkan mampu bertukar pikiran mengenai cara
pemecahan masalah melalui kegiatan diskusi. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat (Gagne dan Briggs, 2010: 251) yang menyatakan bahwa
pembelajaran SGD merupakan pembelajaran interaktif yang melibatkan
anggota kelompok untuk saling bertukar pendapat dalam pemecahan
masalah.
Selanjutnya Miftahul Huda (2012 : 129) menyebutkan bahwa
langkah-langkah pembelajaran model SGD adalah sebagai berikut :
1) Meminta siswa untuk berkelompok;
2) Siswa berdiskusi tentang sesuatu, yaitu soal atau permasalahan tentang materi pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa; 3) Guru memanggil kelompok satu persatu; dan
22 Di samping itu, menurut Umi Solihatun (2012 : 31)
langkah-langkah pembelajaran inovatif menggunakan model Cooperative Learning
tipe SGD yaitu:
1) Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi; 2) Meminta siswa belajar kelompok dan mengerjakan LKS;
3) Memanggil nama kelompok satu per satu untuk mempresentasikan hasil LKS serta membahas hasil diskusi/LKS; dan
4) Memberi penghargaan kelompok.
Model pembelajaran SGD mudah untuk dilakukan karena
pembelajarannya yang sederhana dan spontan sehingga tidak
membutuhkan banyak persiapan. Pembelajaran SGD yang dilakukan
secara berkelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling
bertukar ide dalam diskusi pemecahan masalah. Selain itu, dalam model
pembelajaran SGD terdapat tahap pemanggilan semua kelompok untuk
melakukan presentasi, tahap ini mendorong siswa untuk meningkatkan
kepercayaan diri terutama dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena
kelompok dibentuk secara spontan maka besar kemungkinan bahwa
anggota pada masing-masing kelompok memiliki kemampuan yang
homogen. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kemampuan
pemecahan masalah di antara para siswa.
Selanjutnya, berdasarkan keterangan yang telah disampaikan maka
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe SGD merupakan
pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah
23 tentang permasalahan, guru memanggil kelompok satu persatu, kemudian
meminta siswa untuk melakukan presentasi hasil diskusi.
6. Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik memiliki pengaruh yang besar dalam
perbaikan proses pembelajaran. Menurut Varelas, M and Ford, M,
(2008 : 31) pendekatan saintifik memudahkan guru dalam membantu
peningkatan proses pembelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran
akan dipisah dalam tahapan-tahapan terperinci yang memuat instruksi
untuk siswa dalam melaksanakan kegiatan. Pemecahan kegiatan ini akan
membuat siswa menjadi lebih fokus dalam belajar. Selain itu, tahapan
yang dirancang berdasarkan metode ilmiah akan melatih siswa untuk
berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah.
Pendekatan saintifik sesuai untuk menghadapi tuntutan dunia
global yang senantiasa menginginkan inovasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Vhurumuku & Mokeleche (Washington T Dudu, 2014: 1)
menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan
pembelajaran dengan menggunakan langkah yang dilakukan oleh ilmuwan
dalam mengembangakan ilmu pengetahuan yang valid. Siswa yang telah
terbiasa menggunakan pendekatan saintifik diharapkan menjadi lebih peka
terhadap lingkungannya sehingga inovasi-inovasi dalam dunia ilmu
pengetahuan akan semakin berkembang.
Pendekatan saintifik memiliki karakteristik yang membedakan
24 berkaitan dengan tahapan metode ilmiah yang menuntut keaktifan peneliti
dan kemampuan pemikiran tingkat tinggi. Hosnan (2014 : 36)
menyampaikan bahwa pendekatan saintifik memiliki karakter sebagai
berikut :
a. Terpusat pada siswa
b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip.
c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.
d. Mampu mengembangkan karakter siswa.
Pada prinsipnya pendekatan ilmiah akan membantu siswa dalam
membangun konsep matematika yang dipelajarinya. Proses membangun
konsep bisa terjadi karena siswa mengikuti langkah-langakah yang
dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh ilmu baru. Hal ini selaras
dengan pendapat yang disampaikan oleh Daryanto (2014 : 51) yang
menyatakan bahwa pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran
yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep
atau hukum melalui proses :
a. Mengamati,
b. Merumuskan masalah, c. Mengajukan hipotesis, d. Mengumpulkan data, e. Menganalisis data,
f. Menarik kesimpulan dan mengomunikasikan prinsip, konsep, atau hukum.
Dalam Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV
25 kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan
langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu:
a. Mengamati
Proses mengamati dapat dilakukan melalui kegiatan menyimak,
mendengar, melihat, dan membaca. Kegiatan ini difasilitasi oleh
guru mata pelajaran. Dalam hal ini guru juga mengarahkan siswa
untuk melakukan kegiatan pengamatan yang berkualitas.
b. Menanya
Kegiatan menanya akan melatih siswa untuk memiliki pemikiran
yang kristis dalam menghadapi suatu permasalahan. Dalam
kegiatan ini guru mengarahkan siswa untuk membuat pertanyaan
mulai dari pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkrit
sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep,
prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang
bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik.
Untuk mencapai kemampuan bertanya tingkat tinggi siswa
awalnya mendapatkan bantuan dari guru setelah terbiasa maka
siswa akan mampu untuk menyusun pertanyaannya sendiri.
Kemampuan bertanya akan mendorong siswa untuk mencari
informasi yang lebih banyak berkaitan dengan obyek yang
26
c. Mengumpulkan informasi
Setelah menyusun daftar pertanyaan, kegiatan selanjutnya yang
akan dilakukan oleh siswa adalah mencari informasi dari berbagai
sumber terkait dengan permasalahan yang sedag dihadapi. Proses
mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan membaca buku,
referensi online atau mengamati objek secara lebih teliti atau
bahkan melakukan eksperimen.
d. Mengasosiasi
Langakah selanjutnya setelah mengumpulan informasi adalah
mengasosiasi. Mengasosiasi di sini dimaksudkan untuk
menemukan keterkaitan antarinformasi yang sudah diperoleh. Pada
tahap berikutnya setelah keterkaitan antarinformasi ditemukan
maka dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pola keterkaitan
informasi.
e. Mengkomunikasikan
Kegiatan terakhir dalam pendekatan saintifik adalah
mengomunikasikan. Kegiatan ini mengarahkan siswa untuk
menyampaikan hasil yang sudah mereka peroleh. Penyampaian ini
dapat berupa menuliskan hasil ataupun menceritakan hasil
penemuan mereka.
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa pendektan saintifik merupakan proses pembelajaran
27 hukum melalui proses mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
7. Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Pendekatan Saintifik
Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik
menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe Think Pair Share
(TPS) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui
tahap-tahap saintifik yang dilakukan secara berkelompok menggunakan model
TPS sehingga di akhir pembelajaran siswa mampu menemukan konsep,
prinsip atau hukum matematika tertentu.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan
saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran
IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :
a. Mengamati
b. Menanya
c. Mengumpulkan informasi
d. Mengasosiasi
e. Mengomunikasikan
Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model TPS yang
dijelaskan sebelumnya terdiri atas :
a. Think (Berpikir)
b. Pair (Berpasangan)
28 Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan
saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe TPS disajikan
dalam tabel berikut.
Tabel 1. Langkah Pembelajaran TPS dengan Pendekatan Saintifik
No Tahap TPS Tahap Saintifik Keterangan
1
Think (berpikir)
Mengamati
Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan dan memperhatikan ( melihat, membaca, mendengar ) berbagai hal yang penting dari suatu objek secara mandiri.
Menanya
Siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.
Mengumpulkan informasi
Siswa diberi kesempatan mencari data dan mencoba mengerjakan permasalahan secara mandiri.
2 Pair
(berpasangan) Mengasosiasi
Siswa diminta untuk berdiskusi secara berpasangan mengenai hasil pemikiran, pengamatan, dan informasi yang sudah diperoleh.
3 Share
(berbagi) Mengomunikasikan
Beberapa pasangan
mempresentasikan hasil diskusi yang sudah diperoleh kepada pasangan lain di depan kelas. Siswa dari pasangan lain memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang dipresentasikan.
8. Pembelajaran Kooperatif Tipe SGD dengan pendekatan Saintifik
Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik
menggunakan model kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion
tahap-29 tahap saintifik yang dilakukan secara spontan dan sederhana. Pembelajaran
ini akan mengarahkan siswa untuk lebih berperan aktif dalam berdiskusi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan
saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran
IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :
a. Mengamati
b. Menanya
c. Mengumpulkan informasi
d. Mengasosiasi
e. Mengomunikasikan
Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model SGD yang
dijelaskan sebelumnya terdiri atas :
a. Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi
b. Berdiskusi mengenai masalah
c. Guru memanggil kelompok satu persatu dan meminta siswa
untuk mempresentasikan hasil diskusi yang diperoleh.
Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan
saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe SGD
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2. Langkah Pembelajaran SGD dengan Pendekatan Saintifik
No Tahap SGD Tahap Keterangan
1 Berkelompok secara spontan dan
bervariasi
Mengamati Guru memfasilitasi siswa untuk
melakukan pengamatan dan
memperhatikan (melihat,
30
No Tahap SGD Tahap Keterangan
secara berkelompok.
Menanya Siswa diberi kesempatan untuk
membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.
Mengumpulkan
informasi Siswa diberi kesempatan untuk mencari data yang dibutuhkan dan mencoba memecahkan masalah untuk menjawab pertanyaan yang diajukan secara berkelompok. kategori berdasarkan informasi, menetukan keterhubungan data, kemudian menyimpulkan
Mengomunikasikan Guru memberi kesempatan kepada
setiap kelopok untuk melakukan presentasi dengan memanggil tiap kelompok ke depan kelas secara bergantian.
Kemudian, setiap kelompok
mempresentasikan hasil yang diperoleh. Sementara itu siswa dari kelompok lain memberikan
pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang
dipresentasikan.
9. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suatu masalah. Setiap
hari manusia akan terus dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal ini
mendorong mereka untuk terus berusaha melakukan proses pemecahan
masalah. Herman Hudojo (2003 : 148) menyatakan bahwa memecahkan
masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia, sehingga memiliki
31 Kemampuan pemecahan masalah relevan dengan proses
pembelajaran yang diharapkan oleh kurikulum 2013 yaitu pembelajaran
saintifik. Dalam pembelajaran saintifik kondisi pembelajaran yang
diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong siswa dalam mencari tahu
dari berbagai sumber, melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu
(Daryanto, 2014 : 51). Siswa yang melakukan proses mencari tahu akan
terdorong untuk memecahakan masalah yang dihadapinya secara mandiri.
Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalahnya akan terus terasah.
Secara lebih spesifik, kemampuan pemecahkan masalah perlu
diintegrasikan dalam proses pembelajaran matematika. Disebutkan bahwa
“problem solving is an integral part of all mathematics learning, and
so it should not be an isolated part of the mathematics program” (NCTM,
2000b: 52). Pendapat ini dapat diartikan bahwa pemecahan masalah
merupakan bagian dari matematika sehingga tidak bisa dipisahkan dari
matematika. Keterangan ini memperkuat bahwa pemecahan masalah harus
menjadi bagian dari proses pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika perlu diberikan masalah yang
akan melatih siswa untuk berpikir logis secara matematis. Oleh karena itu,
masalah yang diberikan harus memenuhi kriteria tertentu. Menurut
Herman Hujodo (2003 : 149), masalah bagi siswa harus memenuhi syarat
32 a. Pertanyaan yang diberikan harus dapat dimengerti siswa,
tetapi pertanyaan tersebut juga merupakan tantangan tersendiri
bagi siswa.
b. Pertanyaan yang diberikan tidak dapat dijawab dengan
prosedur rutin yang biasa dilakukan siswa.
Selanjutnya, Sukirman (2005 : 4) menyatakan bahwa masalah
matematika dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu masalah mencari
(problem to find) dan masalah membuktikan (problem to prove) :
a. Masalah mencari (problem to find), dapat teoritis atau praktis,
abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari
masalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah yang dicari?
2) Bagaimana data yang diketahui?
3) Bagaimana syaratnya?
Ketiga bagian utama tersebut menjadi landasan dalam
menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah untuk mencari lebih
penting diterapkan untuk matematika tingkat dasar.
b. Masalah untuk membuktikan (problem to prove) adalah untuk
menunjukkan suatu pertanyaan itu benar atau tidak benar
kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan
konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
33 menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah membuktikan penting
untuk diterapkan pada matematika tingkat lanjut.
Siswa perlu melalui tahapan-tahapan tertentu dalam melakukan
penyelesaian masalah. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan siswa pada
solusi masalah yang diinginkan. Susan O’Connell (2000 : 3) menyatakan
bahwa “Problem solving is a process that requires students to follow a
series of steps to find a solution.” Pemecahan masalah di sini diartikan
sebagai proses yang mengharuskan siswa mengikuti serangkaian
tahap-tahap untuk menemukan sebuah penyelesaian.
Menurut Aisyah (2007 : 6) selama memecahkan masalah siswa
akan dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu memahami masalah
(mengidentifikasi unsur yang diketahui dan yang ditanyakan),
membuat model matematika, memilih strategi penyelesaian model
matematika, melaksanakan penyelesaikan model matematika dan
menyimpulkan.
Di samping itu, menurut Polya (Sri Wardhani, 2010 : 56) terdapat
empat tahap dalam pemecahan masalah, yaitu:
a. Memahami masalah
Langkah pertama dalam menyelesaikan masalah adalah memahami
permasalahan tersebut. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu
menemukan hal yang belum diketahui, data yang sudah diketahui,
dan syarat yang ada dalam masalah. Selanjutnya, siswa diharapkan
34 b. Merencanakan penyelesaian masalah
Dalam merencanakan penyelesaian masalah siswa harus menguasai
materi sebelumnya dan juga memiliki pengetahuan pendukung
mengenai materi itu. Selanjutnya, siswa dituntut untuk memikirkan
langkah-langkah yang harus dilakukan. Pada tahapan ini pengalaman
akan mempengaruhi kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah.
Wheeler (Herman Hudojo, 2003 : 163) menyatakan bahwa dalam
merencanakan penyelesaian suatu masalah, siswa dapat melakukan
beberapa hal, contohnya:
1) membuat tabel, gambar, ataupun model matematika,
2) mencari pola,
3) menyatakan kembali permasalahan,
4) menggunakan penalaran, variabel, ataupun persamaan,
5) menyederhanakan permasalahan,
6) menghilangkan situasi yang tidak mungkin,
7) menggunakan algoritma,
8) memecah kasus menjadi beberapa bagian,
9) menggunakan rumus,
10)menggunakan informasi yang diketahui untuk
mengembangkan informasi baru.
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Setelah membuat rencana penyelesaian masalah, selanjutnya siswa
35 masalah dilakukan dengan perhitungan matematis dan juga
mencantumkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya dengan benar.
d. Melakukan pengecekan jawaban
Langkah terakhir dalam penyelesaian masalah adalah melakukan
pengecekan. Langkah ini dilakukan dengan menguji dan
mempertimbangkan jawaban yang telah diperoleh melalui langkah
pertama sampai ketiga. Menurut Wirdah Pramita (2014 : 3) pada
tahap memeriksa kembali, siswa diminta untuk mengecek hasil yang
diperoleh apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi
kontradiksi dengan yang ditanyakan. Ada empat langkah yang
dapat dijadikan pedoman dalam tahap ini, yaitu :
1) Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan,
2) Menginterpretasikan jawaban yang diperoleh,
3) Mengidentifikasi adakah cara lain untuk mendapatkan
penyelesaian masalah,
4) Mengidentifikasi adakah jawaban atau hasil lain yang memenuhi.
Dari uraian sebelumnya, masalah dalam penelitian ini didefinisikan
sebagai masalah untuk menemukan yang memenuhi syarat dapat
dimengerti oleh siswa namun tetap menjadi tantangan bagi siswa dan tidak
bisa diselesaikan menggunakan prosedur yang rutin dilakukan siswa.
Sementara itu, kemampuan pemecahan masalah matematika diartikan
36 menerapkan empat tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah,
merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah sesuai
rencana, dan melakukan pengecekan jawaban. Secara lebih rinci, indikator
pemecahan masalah dari keempat tahapan pemecahan masalah dijelaskan
melalui tabel berikut.
Tabel 3. Indikator Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika
No Kemampuan Penyelesaian Masalah
Indikator
1 Memahami masalah a. Menuliskan apa yang diketahui dari permasalahan.
b. Menuliskan apa yang ditanyakan dari permasalahan.
c. Menuliskan syarat yang ada dalam permasalahan.
2 Merencanakan penyelesaian masalah
Menuliskan langkah – langkah yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, hal ini dapat berupa :
a. Menyatakan kembali permasalahan b. Menuliskan rumus yang akan
digunakan
c. Menuliskan langkah penyelesaian masalah yang akan digunakan. 3 Menyelesaiakan masalah
sesuai rencana
Menyelesaikan masalah sesuai langkah yang telah dituliskan.
4 Melakukan pengecekan kembali
a. Melakukan pengecekan jawaban dengan perhitungan matematis atau cara lain dengan benar.
b. Mencocokkan hasil yang sudah didapatkan dengan pertanyaan.
c. Menuliskan kesimpulan dari proses yang dilakukan.
10.Kepercayaan Diri
Menurut Lauster (2002 : 4) kepercayaan diri merupakan keyakinan
atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak
37 keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam
berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat
mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Rasa yakin yang
dimaksud di sini adalah keyakinan bahwa seseorang tersebut dapat
mencapai keberhasilan dari tujuannya. Kepercayaan diri akan menjadi
jembatan bagi seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya. Orang yang
memiliki kepercayaan diri akan memiliki rasa yakin terhadap
kemampuannya. Hal ini mengakibatkan kemampuannya dapat digunakan
secara maksimal.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Lauster, menurut Yusuf
AL-Uqshari (2005 : 9) self confidence adalah keyakinan seorang individu
akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaannya.
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki sikap positif
yang didasari oleh kemampuannya. Sikap positif ini membantu mereka
dalam menghadapi permasalahan yang menimpa mereka.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Gençtan (Ali Haydar Sar, 2010 :
1205) yang menyatakan “Self-confidence is defined as an individual’s
recognition of his own abilities, loving himself and being aware of his own
emotions”. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri
didefinisikan sebagai penghargaan terhadap kemampuannya sendiri,
mencintai diri sendiri dan sadar akan kondisi emosinya. Dengan
penghargaan terhadap kemampuan yang dimiliki, seseorang dapat
38 Pengaktualisasian kemampuan diri akan mengarahkan seseorang dalam
suatu keberhasilan tujuannya.
Selanjutnya, Lauster (Sudarjo Siska & Esti Hayu Purnamaningsih,
2003: 69) menyatakan bahwa kepercayaan diri juga perlu dilatihkan
dan ditanamkan pada diri masing-masing siswa, misalnya dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan kepercayaan diri bukanlah
kemampuan bawaan namun sesuatu yang diperoleh melalui latihan dan
pengalaman. Dengan demikian, diharapkan melalui penerapan sikap
percaya diri dalam pembelajaran matematika, siswa akan memiliki
kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan yang menimpanya
dalam kehidupan nyata.
Terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk
meningkatkan kepercayaan diri siswa. Akrim Ridha (2002 : 29)
menyatakan bahwa terdapat enam faktor yang dapat meningkatkan
kepercayaan diri yaitu melalui :
a. Menanyakan mengapa kita tidak mau berusaha.
b. Bekerja atau berbuat langsung.
c. Mengganti kelemahan dan kekurangan menjadi potensi dalam hati.
d. Menerima dan menghadapi kemungkinan sesuai kemampuan.
e. Menghitung segala bentuk kesuksesan yang pernah diraih.
f. Keimanan.
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan terlihat melalui
39 memiliki kepercayaan diri tinggi dan rendah. Lauster (Surya Bintarti,
2013: 93) menyebutkan aspek-aspek kepercayaan diri sebagai berikut.
a. Keyakinan akan kemampuan diri, merupakan sikap mempercayai
kemampuan diri mengenai apa yang akan dilakukan.
b. Optimis, merupakan sikap yang mendorong seseorang untuk selalu
memiliki pandangan yang baik dalam menghadapi segala sesuatu,
baik tentang diri maupun kemampuan.
c. Objektif, merupakan cara memandang masalah menggunakan
kebenaran yang semestinya, dengan demikian unsur subjektivitas
pribadi dapat dikurangi.
d. Bertanggung jawab, merupakan sikap untuk menerima akibat dari
segala sesuatu yang sudah dilakukan.
e. Rasional dan realistis, merupakan kemampuan untuk menganalisis
masalah menggunakan pemikiran yang logis berdasarkan
kenyataan yang ada.
Di lain pihak, menurut Ignoffo (dalam Megawati, 2010 : 3),
terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan individu yang
memiliki kepercayaan diri yaitu :
a. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.
b. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
c. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.
d. Berpikir positif dalam kehidupan.
e. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.
f. Memiliki potensi dan kemampuan.
Selanjutnya menurut Jacita F. Rini, (Abu Al-Ghifari, 2003 : 16).
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya
40 a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima
oleh orang lain atu kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain dan berani
menjadi diri sendiri.
d. Mempunyai pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya
stabil).
e. Mempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan atau
kegagalan, tergantung dari usaha sendiri dan tidak mudah menyerah
pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan
bantuan orang lain).
f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri,
orang lain dan situasi di luar dirinya.
g. Mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sendiri,
sehingga ketika harapan itu tidak terwujud ia tetap mampu melihat
sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya maka kepercayaan
diri pada penelitian ini adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri
untuk bisa mencapai tujuan tertentu. Adapun aspek kepercayaan diri yang
dimaksud meliputi : keyakinan akan kemampuan diri, kempunyai internal
locus of control (memandang keberhasilan dari usaha dan tidak mudah
menyerah), objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis. Secara
lebih rinci aspek dan indikator dari kepercayaan diri disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 4. Indikator Kepercayaan Diri Siswa
No Aspek Kepercayaan Diri
Indikator
1 Keyakinan akan kemampuan diri
a. Memiliki keyakinan untuk mengerjakan tugas atau PR tanpa bantuan orang lain.
b. Tidak mencontek saat ujian
41
No Aspek Kepercayaan Diri
Indikator
kelas. 2 Mempunyai internal
locus of control
b. Memiliki semangat bersaing dengan teman-temannya.
c. Mau berusaha dengan keras untuk memahami materi yang diberikan.
3 Objektif a. Mau menerima saran dan kritik atas pendapat yang disampaikan.
b. Mampu menghargai pendapat lain yang lebih baik dari pendapatnya sendiri.
c. Lebih mementingkan kebenaran pendapat daripada orang yang menyampaikannya
4 Bertanggung jawab a. Mengerjakan PR yang diberikan dengan sungguh-sungguh.
b. Menyelesaikan tugas yang diberikan tepat pada waktunya.
5 Rasional dan realistis a. Mampu menyelesaikan permasalahan matematika menggunakan konsep yang sudah dimiliki.
b. Mampu mengaplikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pemecahan masalah. c. Mengetahui kekurangan kemampuan diri sendiri
dalam pemecahan masalah
d. Merasa dapat menyelesaiakan permasalahan jika sudah belajar dan berlatih
e. Menggunakan fakta yang diketahui untuk menyelesaikan permasalahan
Kedua kemampuan yaitu kemampuan pemecahan masalah dan
kepercayaan diri merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh siswa.
Walaupun demikian kedua kemampuan ini ternyata tidak saling
mempengaruhi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sena Gürşen
Otacioğlu menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan
kepercayaan diri siswa tidak saling berhubungan. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut “It has been revealed that the
42
negative. “ (Sena Gürşen Otacioğlu, 2008 : 915). Kesimpulan ini
menunjukkan bahwa hubungan antara kepercayaan diri siswa dan
kemampuan pemecahan masalah adalah negatif. Dari keterangan ini
diketahui bahwa kedua variabel tidak saling mempengaruhi sehingga
menyebabkan kedua kemampuan penting ini nantinya dapat diuji secara
terpisah.
11.Tinjauan Materi Barisan dan Deret
Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), materi pada
pembelajaran matematika wajib SMA / MA kelas X MIA meliputi fungsi
eksponen dan logaritma, persamaan dan pertidaksamaan linear, sistem
persamaam dan pertidaksamaan linear, matriks, relasi dan fungsi, barisan
dan deret, persamaan dan fungsi kuadrat, geometri, trigonometri, limit
fungsi aljabar, statistika, dan peluang.
Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2012: 8) salah satu hakikat
matematika sekolah adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
Materi barisan dan deret dirasa sesuai untuk hakekat matematika ini.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari barisan dan deret menggambarkan
keteraturan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga diharapkan siswa
akan lebih tertarik dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan
dengan barisan dan deret.
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar materi Barisan dan Deret
43
Tabel 5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Materi Barisan dan Deret
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
3. Memahami, menerapkan, dan
menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan
metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan
masalah.
3 8. Memprediksi pola barisan
dan deret aritmetika dan
geometri atau barisan
lainnya melalui pengamatan
dan memberikan alasannya.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri, bertindak secara
efektif dan kreatif, serta mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah
keilmuan.
3 9. Menyajikan hasil,
menemukan pola barisan
dan deret dan penerapannya
dalam penyelesaian masalah
44 Berikut merupakan uraian singkat materi barisan dan deret :
a. Barisan Aritmetika
Barisan aritmetika adalah barisan bilangan yang beda setiap dua suku
yang berurutan adalah sama. Beda, dinotasikan “b”
(Kemendikbud,2014:202).
Barisan U1 , U2 , U3 , … , U n-1 , Un disebut suatu barisan aritmatika
jika memenuhi hubungan U2 - U1 = U3 - U2 = b
Rumus umum barisan aritmatika adalah sebagai berikut :
U1 = a
U2 = a + b
U3 = a + 2b
U4 = a + 3b
………
Un = a + (n-1) b
Jadi rumus umum suku ke n barisan aritmatika adalah Un = a + (n-1) b
dimana :
Un = suku ke n
a = U1 = suku pertama
n = banyaknya suku
45
b. Deret Aritmetika
Jika U1, U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan aritmetika
maka :
U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret aritmatika dan ditulis :
Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau :
Sn= a + ( a+b) + ( a + 2b) + ….+ ( a + (n - 1)b)
Sn = Un+ (Un - b)+ (Un - 2b)+ ….+ a
2Sn = (a+Un) + (a+Un)+ (a+Un)+ (a+Un)+….+ (a+Un)
Sn = n (a+Un)
= .n ( a + a + (n-1) b)
= .n ( 2a + (n-1) b)
Jadi rumus jumlah n suku pertama deret aritmatika adalah
Sn = . n ( 2a + (n-1) b)
Sn : jumlah n suku pertama
a : suku pertama
n : banyak suku
b : beda
46
c. Barisan Geometri
Barisan geometri adalah suatu barisan dengan pembanding
(rasio) antara dua suku yang berurutan selalu tetap (Kemendikbud, 2014 :
275). Berikut merupakan bentuk umum dari barisan geometri.
U1 , U2 , U3 , U4 , ... , Un-1 , Un
a , ar , ar2 , ar3 , … , arn-2 , arn-1
Rumus suku ke-n barisan Geometri adalah sebagai berikut :
47
e. Contoh soal penyelesaian masalah
Pada sebuah panggung terdapat empat baris tempat duduk. Setiap baris
memuat sejumlah kursi tertentu. Banyaknya kursi pada baris pertama,
kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika dengan beda
bukan nol. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat akan
membentuk barisan geometri. Jika banyaknya kursi pada baris kedua
adalah 16 kursi, berapakah jumlah semua kursi pada keempat baris?
Solusi :
1. Memahami masalah
Siswa diharapkan mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan dari permasalahan.
Diketahui :
Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat
membentuk barisan aritmetika.
Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat
membentuk barisan geometri.
Banyaknya kursi pada barisan kedua adalah 16 buah.
Beda barisan aritmetika bukan nol
Ditanyakan :
48
Syarat
Dalam permasalahan ini digunakan aturan dari barisan aritmetika pada
suku pertama, kedua, ketiga dan keempat serta aturan bilangan geometri
pada suku pertama kedua dan keempat.
2. Merencanakan penyelesaian masalah
Siswa diharapkan mampu menyatakan kembali permasalahan,
menuliskan rumus yang akan digunakan dan menuliskan langkah yang
akan dilakukan.
Menyatakan kembali
Misalkan :
banyaknya kursi pada barisan pertama = a
banyaknya kursi pada barisan ketiga = c
banyaknya kursi pada barisan keempat = d
Sehingga,
a , 16, c , d merupakan barisan aritmetika
a, 16 , d merupakan barisan geometri
Menuliskan rumus
Untuk menyelesaikan masalah ini perlu diingat kembali bahwa pada
barisan aritmetika selisih antara dua suku yang berurutan selalu tetap.
Sementara itu, pada barisan geometri rasionya tetap.
49
Menuliskan langkah penyelesaian
Dari keterangan bahwa 16 – a = c - 16 = d – c dan
selanjutnya
dibentuk persamaan untuk menentukan nilai a, c dan d.
3. Menyelesaiakan masalah sesuai rencana
Langkah selanjutnya siswa diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan dengan meggunakan rencana yang telah dibuat.
16 – a = c – 16 maka a + c = 32 maka c = 32 – a ….….. (1)
c - 16 = d – c maka 2c –d = 16 ...…… (2)
……… (3)
2 c – d = 16
↔ 2 ( 32 – a ) – d = 16 (substitusikan persamaan 1)
↔ 64 – 2a - = 16 (substitusikan persamaan 3)
↔ 48 -2a - = 0 (kurangkan kedua ruas dengan 16)
↔ 48a – 2 a2– 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan a)
↔ 2 a2
- 48a + 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan -1 )
↔ (a – 16) ( a – 8 ) = 0 sehingga a = 16 atau a = 8
Pilih a = 8 karena jika a = 16 maka beda barisan aritmetika akan sama
dengan nol.
Substitusi a pada persamaan 1 diperoleh nilai c = 24, substitusi nilai a
50
4. Melakukan Pengecekan kembali
Pengecekan
Pada proses ini siswa diharapkan mampu memastikan kebenaran
jawabannya dengan melakukan pengecekan yang sesuai.
banyaknya kursi pada barisan pertama = a = 8
banyaknya kursi pada barisan kedua = b =16
banyaknya kursi pada barisan ketiga = c =24
banyaknya kursi pada barisan keempat = d =32
Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama,
kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika, gunakan
konsep bahwa beda dua suku yang berurutan pada barisan aritmetika
adalah sama.
b-a =8
c- b =8
d- c = 8
Karena beda dua suku yang berurutan memiliki nilai yang sama maka
barisan ini merupakan barisan aritmetika.
Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama,
kedua dan keempat membentuk barisan geometri gunakan konsep
bahwa rasio pada barisan geometri tetap.
51
Mencocokkan hasil dengan pertanyaan dan Menuliskan
kesimpulan dari proses yang dilakukan.
Hasil yang diinginkan dari pertanyaan adalah jumlah semua kursi
sehingga dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai a = 8, c
= 24 , d = 32, maka jumlah semua kursi adalah a + 16 + c + d = 40
kursi.
Membuat kesimpulan
Jadi jumlah semua kursi pada keempat baris adalah 40 kursi
B. Penelitian Relevan
1. Hasil penelitian Eny Sulistyaningsih (2014) yang berjudul "
Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan Pendekatan
Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika dan Sikap Tanggung Jawab Siswa Kelas VII SMP
Negeri 1 Wates “ menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan pendekatan
kontekstual efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan
masalah peserta didik.
2. Penelitian Fadiah Khairina Pertiwi (2014) yang berjudul
“Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah
Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Think Talk Write
(TTW) dan Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan
52 Kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari Gunungkidul “ menunjukkan
bahwa pembelajaran matematika berbasis masalah menggunakan
model pembelajaran kooperatif TPS efektif ditinjau
kemampuan pemecahan masalah matematika dan kepercayaan
diri siswa.
3. Penelitian Ratih Damayanti (2013) yang berjudul “Peningkatan
Aktivitas Belajar Matematika dengan Metode Spontaneous Group
Discussion “ menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam
memecahkan masalah meningkat dari 17,4 % menjadi 73,91 %.
C. Kerangka Berpikir
Sebagai mata pelajaran wajib, matematika diharapkan mampu
memenuhi tuntutan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mengharapkan
terbentuknya siswa yang memiliki kemampuan kognisi tinggi yang diiringi
dengan keterampilan dan sikap yang baik. Salah satu kemampuan kognisi
dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh siswa adalah kemampuan
pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah matematika penting dimiliki oleh
siswa. Proses pemecahan masalah matematika melatih siswa untuk aktif
dalam mencari informasi. Kemudian, dari informasi yang diperoleh siswa
akan berlatih untuk menganalisis solusi yang tepat dari masalah yang
dihadapi. Pola berpikir logis inilah yang akan melatih siswa untuk
53 Selanjutnya, salah satu sikap yang diharapkan dimiliki siswa adalah
kepercayaan diri. Kepercayaan diri merupakan keyakinan yang akan
mengantarkan siswa pada tujuannya. Dalam pembelajaran matematika
kepercayaan diri dibutuhkan agar siswa mampu menyampaikan hasil
pemikirannya kepada orang lain. Dengan demikian, sikap percaya diri
menjadi salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keberhasilan
belajar siswa dan keberhasilan siswa dalam kehidupan yang sebenarnya.
Di lain pihak, terdapat indikasi bahwa kemampuan pemecahan
masalah dan kepercayaan diri belum berkembang secara maksimal. Hal ini
terjadi di Madrasah Aliyah yang memiliki beban belajar lebih berat
dibandingkan sekolah menengah atas biasa. Tuntutan belajar yang lebih
berat mengakibatkan waktu untuk mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah menjadi
lebih terbatas dibandingkan siswa di sekolah menengah atas pada
umumnya.
Dalam menghadapi hal ini guru diharapkan mampu memfasilitasi
siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan
kepercayaan diri. Salah satu upaya yang bisa ditempuh oleh guru adalah
menerapkan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang tepat.
Berdasarkan kajian yang disampaikan sebelumnya, pendekatan saintifik
merupakan pendekatan yang dianjurkan oleh kurikulum 2013. Selain itu
proses pembelajaran dalam pendekatan saintifik diharapkan mampu