• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Terapi Bercerita Terhadap Tingkat Depresi Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Terapi Bercerita Terhadap Tingkat Depresi Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP TINGKAT

DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA

WANA SRAYA DENPASAR

OLEH :

NI MADE GITA ANINDITA NIRMALA PUTRI NIM. 1102105038

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

i

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP TINGKAT

DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA

WANA SRAYA DENPASAR

Untuk memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

NI MADE GITA ANINDITA NIRMALA PUTRI NIM. 1102105038

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ni Made Gita Anindita Nirmala Putri NIM : 1102105038

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Mei 2015

Yang membuat pernyataan,

(4)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP TINGKAT

DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA

WANA SRAYA DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

NI MADE GITA ANINDITA NIRMALA PUTRI NIM. 1102105038

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(5)

iv

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA WANA SRAYA

DENPASAR

OLEH :

NI MADE GITA ANINDITA NIRMALA PUTRI

NIM. 1102105038

TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI

PADA HARI : SENIN

TANGGAL : 8 JUNI 2015

TIM PENGUJI :

1. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep. Kom (Ketua) ………… 2. A.A Ngurah Taruma Wijaya, S.KM (Sekretaris) ………….

3. Ns. Ni Made Dian S., M.Kep Sp.Kep J (Pembahas) ………….

MENGETAHUI:

DEKAN KETUA

FK UNIVERSITAS UDAYANA PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengaruh Terapi Bercerita Terhadap Tingkat Depresi Lansia Di Panti Sosial

Tresna Werdha Wana Sraya Denpasar.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep.Kom , sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat waktu.

4. A.A Ngurah Taruma Wijaya, S.KM, sebagai pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat waktu.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Mei 2015

(7)

vi ABSTRAK

Putri, Ni Made Gita Anindita Nirmala. 2015. Pengaruh Terapi Bercerita Terhadap Tingkat Depresi Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep.Kom; (2) A.A. Ngurah Taruma Wijaya, S.KM.

Masa lansia adalah perkembangan terakhir yang dialami oleh manusia. Gangguan mental terbanyak yang dialami oleh lanjut usia yang tinggal di PSTW adalah depresi. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah terapi bercerita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di PSTW Seraya Denpasar. Penelitian ini menggunakan studi Pre Eksperimental, dengan desain one group pretest posttest. Sampel yang digunakan yaitu 23 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Terapi ini dilakukan satu hari sekali dengan durasi 30 menit dan diberikan selama tiga hari. Hasilnya, dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai nilai signifikansi (2-tailed) 0,000, p<0,05 artinya ada pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Terapi bercerita dapat diberikan pada lansia dengan depresi dengan media buku cerita dengan tujuan terapi bercerita dapat membangkitkan sifat arif bijaksana sehingga lansia menjadi individu yang terbuka dan positif.

(8)

vii ABSTRACT

Putri, Ni Made Gita Anindita Nirmala. 2015.The Therapeutic Effect of Storytelling Towards the Depression Levels of the Elderly in the Retirement Home Wana Seraya Denpasar. Undergraduate Thesis, the Study Program of Nursing Science,the Faculty of Medicine of Udayana University Denpasar. Supervisors: (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep, Sp.Kep.Kom; (2) A.A. Ngurah Taruma Wijaya, S.KM.

The period of the elderly is the latest development experienced by humans. Most mental disorders experienced by the elderly who live in the Retirement Home Wana Seraya Denpasar were depression. One of the therapies that can be given is the storytelling therapy. The purpose of this study was to determine the effect of storytelling therapy on the level of depression in the elderly in the Retirement Home Wana Seraya Denpasar. This study uses a Pre-Experimental study, with one group pretest posttest design. The sampling used 23 respondents who were in accordance with inclusion and exclusion criteria. This treatment was conducted once a day with duration of 30 minutes for three days. The findings showed that with a confidence level of 95%, it was obtained the values of significance of (2-tailed) 0.000, p <0.05 which means there was a storytelling therapeutic effect on the level of depression in the elderly at the Retirement Home Wana Seraya Denpasar. Storytelling therapy can be given to the elderly people with depression through the medium of a story book in the intention that storytelling therapy can foster wisdom, so that the elderly become open and positive individuals.

(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………...i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………...ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………iii

PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ……… iv

KATA PENGANTAR ………..v

3.3 Hubungan Terapi Bercerita dengan Depresi ………32

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1Kerangka Konsep ………..………..…… 34

3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ……..………... 35

(10)

ix BAB IV METODE PENETILIAN

4.1 Jenis Penelitian ………. 37

4.2 Kerangka Kerja ……….….38

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ………....39

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ……….….. 39

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ………41

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ………....42

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ………..51

5.2 Pembahasan Penelitian ………...56

5.3 Keterbatasan Penelitian ………..65

BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan ………..67

6.2 Saran……….68

DAFTAR PUSTAKA

(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL 1 Geriatric Depression Scale (GDS) ……….…22 TABEL 2 Definisi Operasional Variabel ………...34 TABEL 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ….52 TABEL 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur………53 TABEL 5 Distribusi Tingkat Depresi Sebelum Terapi Bercerita………….53 TABEL 6 Distribusi Tingkat Depresi Setelah Terapi Bercerita…………..54 TABEL 7 Uji Normalitas Data ……….55 TABEL 8 Analisa Tingkat Depresi Sebelum Dan Setelah Diberikan

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Jadwal Penelitian Lampiran 2: Penjelasan Penelitian

Lampiran 3: Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4: Panduan Pelaksanaan Terapi Bercerita Lampiran 5: Kuisioner

Lampiran 6: Dana Penelitian Lampiran 7: Naskah Cerita Lampiran 8: Master Tabel

Lampiran 9: Hasil Output Karakteritik Responden yang Mengalami Depresi Lampiran 10: Hasil Output Tingkat Depresi Sebelum dan Setelah diberikan

Terapi Bercerita Lampiran 11: Uji Normalitas Data

Lampiran 12: Analisis Tingkat Depresi Sebelum dan Setelah Terapi Bercerita Lampiran 13: Uji Kesepahaman

Lampiran 14: Dokumentasi Pelaksanaan Terapi Bercerita

(14)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

ADL : Activity Daily Living

DASS : Depression Anxiety Stress Scale ECT : Electroconvulsive Therapy GDS : Geriatric Depression Scale IQ : Intelegentia Quocient

KNEPK : Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan PSTW : Panti Sosial Tresna Werdha

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia (Nugroho, 2008). Masa lansia adalah suatu perkembangan terakhir yang dialami oleh manusia. Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Seiring dengan pertambahan usia maka permasalahan pada lansia mulai muncul. Darmojo (2004) menyatakan bahwa permasalahan yang timbul pada lansia ada dua yaitu dari aspek fisologi dan psikologi. Aspek fisologi yaitu penurunan fungsi panca indra, penurunan kekuatan otot, dan penurunan fungsi organ. Aspek psikologis yang timbul adalah kesepian, dukacita, dan stress. Pelayanan kesehatan saat ini untuk mengatasi masalah tersebut telah dilakukan melalui beberapa jenjang yaitu posyandu lansia, puskesmas, maupun di rumah sakit, namun jumlah lansia yang semakin meningkat menjadi suatu kendala dalam mewujudkan kesejahteraan lansia.

World Health Organization (WHO, 2013) menyatakan bahwa masyarakat menua

(16)

2

penduduk lansia di Bali tahun 2010 sebanyak 360 ribu jiwa dari 3,9 juta penduduk Bali. Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 371 ribu jiwa pada akhir tahun 2011 dan hampir 400 ribu jiwa pada akhir 2013. Lansia berada diseluruh lapisan masyarakat baik di komunitas maupun di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW).

Panti Sosial Tresna Werdha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lansia yang secara fisik atau kesehatan masih mandiri, akan tetapi mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (Darmojo, 2010). Andini & Supriyadi (2013) menyatakan ketika lansia diantarkan oleh keluarga ke PSTW maka lansia merasa tidak berguna dan tidak diinginkan sehingga membuat banyak lansia akan mengembangkan perasaan rendah diri dan marah terhadap diri sendiri, orang lain dan juga lingkungan. Interaksi sosial akan menurun serta lansia akan secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Henuhili (2004) menyebutkan bahwa gangguan mental terbanyak yang dialami oleh lanjut usia yang tinggal di PSTW adalah depresi.

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada Activity Daily Living (ADL), sampai ada ide bunuh diri (Kaplan, 2010; Yosep 2009).

(17)

3

dan 1,6% adalah angka lansia yang mengalami ketidakmampuan dalam melakukan ADL. Gejala depresi pada lansia sering diabaikan dan tidak diobati karena bersamaan dengan masalah kesehatan lainnya dalam proses penuaan. Nevid, Rathus dan Greene (2005) menyatakan bahwa tingkat depresi lebih tinggi diantara lanjut usia penghuni PSTW karena hidup jauh dengan keluarga atau sanak saudara dapat menimbulkan perasaan kesepian, karena tidak ada lagi orang-orang yang selama ini hidup bersama dan berbagi segala sesuatu. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan terapi yang bersifat kekeluargan, memotivasi dan dapat mengembalikan semangat hidup. Salah satu terapi yang dapat dikembangkan adalah terapi bercerita.

(18)

4

untuk menanamkan semangat hidup pada lansia (Asfandiyar, 2007). Judul cerita Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, dan Keong Mas, cerita ini menggambarkan mengenai sifat-sifat kebaikan, ketamakan, kebijaksanaan, kearifan, serta ketuhanan. Cerita tersebut mengandung banyak pesan moral yang bisa dijadikan tauladan dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita ini dapat memotivasi, hal tersebut sesuai dengan tipe kepribadian lansia yaitu arif dan bijaksana. Terapi bercerita ini dilakukan dengan cara berkelompok, terapi kelompok adalah terapi yang dilakukan secara berkelompok untuk memberikan stimulasi bagi seseorang dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008). Manfaat dari terapi kelompok secara umum yaitu meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive atau bertahan terhadap stress dan adaptasi. Manfaat khususnya yaitu menyalurkan emosi secara konstruktif dan meningkatkan kemampuan tentang pemecahan masalah-masalah kehidupan (Yosep, 2007).

(19)

5

2013). Selain itu, pada usia lanjut terjadi perubahan stabilitas emosi (Padila, 2013), maka terapi bercerita ini layak diterapkan ada lansia.

Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar adalah salah satu PSTW yang ada di Bali dengan jumlah lansia 44 orang. Sumber daya manusia (SDM) yang ada di Panti 17 orang yang bertugas untuk melayani lansia. Terdapat poliklinik khusus di Panti ini yang disediakan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang dialami lansia seiring proses penuaan. Hasil wawancara terhadap lima orang lansia yang tinggal di PSTW tersebut diperoleh informasi bahwa lansia sering merasa kesepian, putus asa, dan tidak memiliki harapan apapun untuk masa depannya. Studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar dengan menggunakan kuisioner penilaian tingkat depresi Depression Anxiety Stress Scale (DASS) diperoleh angka depresi cukup tinggi.

Hasil menunjukkan dari 40 orang lansia yang mengisi kuisioner 5 orang tidak mengalami depresi, 7 orang mengalami depresi ringan, 13 orang mengalami depresi sedang, 9 orang mengalami depresi berat dan 6 orang mengalami depresi sangat berat. Menurut petugas panti, sampai saat ini belum pernah dilakukan terapi apapun untuk mengatasi permasalahan ini.

(20)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Adakah pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar ?”

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar.

1.3.2Tujuan Khusus

A. Mengidentifikasi tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar sebelum diberikan terapi bercerita.

B. Mengidentifikasi tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar sesudah diberikan terapi bercerita.

(21)

7

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini sebagai kajian bagi penelitian selanjutnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan bagi peningkatan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan kesehatan. 1.4.2 Manfaat Praktis

A. Bagi Lansia

Setelah menerapkan terapi bercerita ini lansia akan merasa lebih nyaman, rileks dan mampu mengendalikan perasaan negatif yang dialami agar suasana hati lansia tenang.

B. Bagi Keluarga

Bagi keluarga yang memiliki lansia di PSTW dapat menerapkan terapi ini untuk memotivasi lansia serta menjaga hubungan emosional, agar hubungan kekeluargaan semakin erat dan lansia merasa dihargai.

C. Bagi Petugas di PSTW

Apabila sudah diketahui bahwa terapi bercerita dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia, maka dapat direncanakan dalam hal penerapan terapi bercerita ini bagi lansia di PSTW untuk meningkatkan kesejahteraan lansia.

D. Bagi Perawat Gerontik

(22)

8

(23)
(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2008). Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan bentuk tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Lansia

World Health Organization (WHO) mengelompokkan lanjut usia atas tiga kelompok,

yaitu kelompok middle age (45-59 tahun), kelompok elderly age (60-74 tahun), dan kelompok old age (75-90 tahun).

2.1.3 Perubahan Akibat Proses Menua

Perubahan yang terjadi pada lansia antara lain: A. Perubahan Mental

(25)

1. Memori

Memori atau ingatan kenangan jangka panjang yaitu jangka waktu beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu dan mencakup beberapa perubahan. Ingatan jangka pendek yaitu dalam jangka waktu 0-10 menit. Ingatan yang buruk bisa mengarah ke demensia.

2. Intelegentia Quocient (IQ)

IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor berkurang. Terjadi perubahan pada daya membayangkan kerena tekanan faktor waktu.

B. Perubahan Psikososial Perubahan psikososial meliputi: 1. Penurunan Kondisi Fisik

Memasuki masa lansia umumnya mulai mengalami kondisi fisik yang patologis seperti tenaga berkurang, kulit keriput, gigi rontok, tulang semakin rapuh, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan ketergantungan kepada orang lain, agar dapat tetap menjaga kondisi lansia harus mampu mengatur cara hidup dengan baik, misalnya makan, tidur istirahat dan bekerja seimbang (Padila, 2013).

2. Perubahan fungsi dan potensi Seksual

Perubahan ini sering berhubungan dengan gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal seperti diabetes mellitus, vaginitis, kekurangan gizi, atau penggunan obat-obat tertentu (Padila, 2013).

Faktor psikologis yang menyerta lansia menurut Padila (2013) dan Azizah (2011) antara lain:

a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh

tradisi dan budaya

(26)

e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, dan pikun

3. Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan

Perubahan ini diawali ketika masa pensiun, walaupun tujuan pensiun adalah agar lansia menikmati hari tua namun sering diartikan sebaliknya, sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri. Agar pensiun berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji. Merencanakan kegiatan setelah pensiun dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing, misal dengan berwiraswasta dan cara membuka usaha sendiri (Azizah, 2011; Padila, 2013; Nugroho, 2008)

4. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat

Penurunan fungsi panca indra dan gerak fisik maka mucul gangguan atau kecacatan pada lansia. Menghadapi permasalahan ini lansia yang memiliki keluarga maka akan membantu merawat dengan kesabaran dan pengorbanan, namun bagi yang tidak punya keluarga akan hidup dalam pratauan sendiri bahkan sering kali terlantar (Azizah, 2011; Padila, 2013).

5. Perubahan tingkat depresi

Tingkat depresi adalah kemampuan lansia dalam menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu dengan penuh kasih sayang (Padila, 2013)

6. Perubahan stabilitas emosi

(27)

2.1.4 Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan fisik, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut:

A. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

B. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

C. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.

D. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

E. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, rendah diri, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independent (ketergantungan), tipe defensive (bertahan), tipe militan dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

Tipe lansia berdasarkan kepribadiannya menurut Azizah (2011) adalah sebagai berikut:

A. Tipe kepribadian konstruktif (constraction personality)

(28)

sampai sangat tua, bisa menerima fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental.

B. Tipe kepribadian mandiri (independent personality)

Pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome atau diamana keadaan sesorang yang hidup dalam bayangan kebesaran dimasa lalunya, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.

C. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality)

Tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi sedih yang mendalam. Tipe lansia ini senang mengalami pensiun, tidak punya inisiatif, pasif tetapi mawas diri dan masih dapat diterima oleh masyarakat.

D. Tipe kepribadian bermusuhan (hostile personality)

Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang tidak diperhitungkan sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menurun. Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga. Menjadi tua tidak ada yang dianggap baik, takut mati dan iri hati dengan yang muda.

E. Tipe kepribadian defensive

Tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa pensiun.

F. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality)

Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.

(29)

Menurut Potter & Perry (2009) lansia harus menyesuaikan diri seiring perubahan fisik yang terjadi seiring proses penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Adapun tugas perkembangan pada lansia yaitu beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, dan menemukan cara mempertahankan kualitas hidup.

2.2 Depresi

2.2.1 Pengertian Depresi

Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi pada lansia. Seseorang dengan depresi dan khususnya lansia yang mengalami depresi mengalami peningkatan resiko bunuh diri. Orang tua yang mengalami depresi mungkin enggan untuk mengakui terjadinya perubahan emosi dan juga perasaan sedih (Menzel, 2008). Menurut Nugroho (2008) depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam.

(30)

dan kesulitan berkonsentrasi (Idrus, 2007). Stuart (2006) berpendapat bahwa depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal, dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala, sindrom, emosional, reaksi.

2.2.2 Etiologi

Etiologi depresi secara pasti belum diketahui, menurut Idrus (2007) ada beberapa hipotesis yang berhubungan dengan faktor biologi dan psikososial yaitu:

A. Faktor Biologi 1. Biogenik Amin

Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin dan serotonin.

2. Hormonal

Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormon lain seperti growth hormone, luteinizing hormone, follicle stimulating hormone, dan testosteron.

3. Tidur

Pada depresi ditemukan peningkatan aktivitas rapid eye movement (REM) pada fase awal memasuki tidur dan penurunan REM pada fase latensi.

4. Genetik

(31)

B. Faktor Psikososial

1. Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan. Kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi.

2. Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan histrionik mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan kepribadian anti sosial dan paranoid.

3. Faktor psiko-analitik, manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan objek libidinal di mana terjadi penurunan fungsi ego.

2.2.3 Faktor Resiko Depresi

Menurut Kaplan & Saddock (2007), faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh : A. Umur, rata-rata depresi berat dialami pada usia 40 tahun. Ketika memasuki usia

lanjut maka akan terjadi perubahan tingkat depresi (Padila, 2013).

B. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Pada perempuan dan laki-laki terdapat perbedaan hormonal dan perbedaan stressor psikososial.

C. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresi terjadi paling sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena perceraian atau berpisah dengan pasangan.

D. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru, pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.

2.2.4 Tanda dan Gejala

Menurut Azizah (2011), perilaku yang berhubungan dengan depresi meliputi beberapa aspek seperti:

(32)

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan. B. Fisiologik

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.

C. Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat

dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.

D. Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) dalam Idrus (2007) menyatakan diagnosis depresi dapat ditegakkan atas dasar adanya: A. Gejala utama :

1. Suasana perasaan yang depresi / sedih atau murung 2. Kehilangan minat dan kegembiraan

3. Berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.

B. Gejala tambahan :

1. Konsentrasi dan perhatian berkurang 2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tak berguna 4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik

5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri 6. Gangguan tidur

(33)

2.2.5 Tingkat Depresi

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) dalam Idrus (2007) menyatakan bahwa depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu : A. Depresi ringan (mild), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama

ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan yang sudah berlangsung sekurang-kurangnya selama dua minggu. Dan tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya.

B. Depresi sedang (moderate), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat) gejala tambahan. C. Depresi berat (severe), jika terdapat tiga gejala utama ditambah

sekurang-kurangnya empat gejala tambahan, beberapa di antaranya harus berintensitas berat. 2.2.6 Penatalaksanaan Depresi

Penatalaksanaan depresi antara lain yaitu: A. Terapi Fisik

1. Pemberian anti-depresan

Anti-depresan diindikasikan pada depresi sedang atau berat, pada usia lanjut pemberian anti-depresan harus hati-hati. Umumnya diperlukan dosis yang lebih kecil daripada orang dewasa karena dikhawatirkan terjadi akumulasi akibat fungsi ginjal yang sudah kurang baik (Setiawan, 2011).

2. Terapi Electroconvulsive Therapy (ECT)

Untuk pasien depresi berat yang tidak bisa makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi confusion atau permasalahan ingatan. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan emosi (sekitar 5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance harus diberikan untuk mencegah relaps atau kekambuhan

(34)

Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan depresi. Setelah gejala gejala depresi membaik, terapi anti-depresan masih harus dilanjutkan selama 4-6 bulan dengan dosis terapeutik penuh.

Beberapa penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai dua tahun. Penggunaan anti-depresan boleh dihentikan tergantung pada evaluasi klinis (perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi umum) (Setiawan, 2011).

B. Terapi Psikologi 1. Terapi Keluarga

Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari dominan menjadi dependen pada lanjut usia. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap atau struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien (Setiawan, 2011).

2. Terapi Seni

Terapi seni digunakan sebagai sarana menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan keterampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengerahkan realitas, meningkatkan harga diri dan berbagai gangguan psikologis lainnya (Mukhlis, 2011).

3. Terapi Kognitif

(35)

latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas, terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir (Setiawan, 2011).

4. Terapi Bercerita

Terapi bercerita bermanfaat untuk mengurangi perasaan takut, cemas, dan nyeri. Selain membuat tubuh rileks, terapi bercerita juga dapat membantu mengekspresikan emosi, misalnya menurunkan kecemasan, membuat nyaman, dan meningkatkan daya ingat (Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi, 2011).

2.2.7 Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi

Tingkat depresi pada lansia diungkap melalui instrumen pengukuran depresi yang disebut Geriatric Depression Scale (GDS). Geriatric Depression Scale (GDS) yang diciptakan oleh Yesavage, et.al pada tahun 1982 telah diuji dan digunakan secara luas pada lansia. Long Form GDS dengan 30 item pertanyaan, yang kemudian dikembangkan pada tahun 1986 menjadi Short Form GDS menjadi 15 item pertanyaan. Short Form GDS seperti pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Geriatric Depression Scale (GDS)

No Pertanyaan Ya Tidak

1

Pada dasarnya apakah anda merasa puas dengan hidup anda? 2

Apakah anda mengurangi banyak kegiatan dan minat Anda? 3

Apakah anda merasa hidup anda hampa? 4

(36)

Sumber: (Yesavage, et.al, 1982) menunjukkan depresi sedang ; dan 12-15 menunjukkan depresi berat.

5 Apakah biasanya anda memiliki semangat yang bagus? 6 Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan

terjadi pada anda?

7 Apakah biasanya anda merasa bahagia 8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya?

9 Apakah anda lebih memilih tinggal di rumah (kamar), dari pada pergi keluar dan melakukan hal-hal yang baru?

10 Apakah anda merasa mempunyai lebih banyak masalah dengan ingatan anda dibandingkan kebanyakan orang?

11 Apakah menurut anda sangat menyenangkan bisa hidup hingga sekarang ini?

12

Apakah Anda merasa sangat tidak berharga dengan kondisi anda sekarang?

13

Apakah anda merasa penuh semangat? 14

Apakah Anda merasa keadaan anda tidak ada harapan? 15

(37)

2.3 Terapi Bercerita

2.3.1 Pengertian Terapi Bercerita

Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Ada kalanya orang sering mengatakan bahwa bercerita adalah mendongeng (Qudsyi, 2011). Merry dan New (2008) menyatakan bahwa bercerita merupakan sarana untuk membangun karakter, kebanggaan, dan harga diri, memfasilitasi kegiatan yang berarti mendorong tanggung jawab dan solidaritas pribadi. Cerita harus memiliki awal, tengah, dan akhir yang pasti dan panggilan untuk petualangan yang menginisiasi perjalanan fisik, emosional, dan spiritual untuk karakter utama (Bishop & Kimball, 2006). Bercerita juga berarti penggambaran berupa gagasan, pengalaman pribadi dan pembelajaran hidup mengenai suatu cerita (Serrat, 2008).

2.3.2 Jenis-Jenis Cerita

Asfandiyar (2007) menyatakan, berdasarkan isi cerita digolongkan ke jenis-jenis: A. Cerita Tradisional

Cerita yang berkaitan dengan cerita rakyat. Cerita ini berfungsi sebagai pelipur lara dan menanamkan semangat kepahlawanan. Cerita ini disajikan sebagai pengisi waktu istirahat, dibawakan secara romantis, penuh humor, menggambarkan sifat kebijaksaan, kearifan dan sangat menarik. Misalnya, Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, Keong Emas, Malinkundang, Calon Arang, Jaka Tingkir, Sangkuriang, dan lain-lain.

(38)

Cerita ini biasanya bercerita tentang suatu fantastik, misalnya tokoh tiba-tiba menghilang dan juga biasanya cerita ini bercerita tentang masa depan. Misalnya Cinderella dan Putri Tidur.

C. Cerita Pendidikan

Cerita ini diciptakan dengan suatu misi pendidikan bagi dunia anak-anak. Misalnya, menggugah sikap hormat pada orang tua. Misalnya, Penyesalan Kak Setya, Pesan Ayahku, dan Pengalaman Si Mamat.

D. Cerita Fabel

Fabel adalah cerita tentang kehidupan binatang yang digambarkan dapat berbicara seperti manusia. Cerita-cerita fabel sangat luwes digunakan utuk menyindir perilaku manusia tanpa membuat manusia tersinggung. Misalnya, Si Kancil, Kelinci dan Kura-Kura, dan lain lain.

E. Cerita Sejarah

Cerita sejarah biasanya terkait suatu peristiwa sejarah. Cerita ini banyak bertemakan kepahlawanan. Misalnya, Mahabrata, Majapahit, Singosari, dan lain lain.

F. Cerita Terapi (Traumatic Healing)

Cerita yang diperuntukkan bagi korban bencana atau orang sakit. Cerita terapi adalah cerita yang bisa membuat rileks saraf-saraf otak dan membuat tenang hati mereka. Cerita ini juga harus didukung dengan kesabaran pencerita agar audience merasa nyaman.

2.3.3 Manfaat Terapi Bercerita

Manfaat terapi bercerita antara lain :

A. Mendengarkan dan bercerita membantu individu memahami diri sendiri dan orang lain (Bishop & Kimball, 2006).

B. Bercerita memiliki kekuatan untuk mendorong keterbukaan karena melibatkan imajinasi dan emosi (Hilder, 2005).

(39)

D. Pelepasan emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah dialami di kehidupan nyata (Asfandiyar, 2007).

E. Pengembangan aspek-spek kognitif, afektif, sosial, dan konatif (Asfandiyar, 2007).

F. Membuat individu menjadi rileks dan membantu mengekspresikan emosi misalnya menurunkan kecemasan, membuat nyaman, dan meningkatkan daya ingat (Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi, 2011).

2.3.4 Tahapan Bercerita

Bunanta (2008) menyebutkan ada tiga tahapan dalam bercerita, yaitu persiapan sebelum acara bercerita dimulai, saat proses bercerita berlangsung, hingga kegiatan bercerita selesai. Uraian langkah-langkah tersebut adalah:

A. Persiapan sebelum bercerita

1. Memilih judul, memilih judul yang menarik dan mudah diingat. Judul adalah elemen cerita yang pertama kali diingat daripada kalimat-kalimat dalam cerita. Melalui judul, audience maupun pembaca akan memanfaatkan latar belakang pengetahuan untuk memproses isi cerita secara top down. Hal itu digunakan untuk pemahaman unit bahasa yang lebih besar, dan hal tersebut membantu pemahaman dan penyampaian cerita secara menyeluruh (Musfiroh, 2008). Maka untuk menemukan judul yang menarik, pencerita perlu melakukan kegiatan memilah dan memilih bahan cerita.

2. Mendalami karakter tokoh-tokoh dalam cerita yang akan disampaikan, ketika memerankan tokoh-tokoh tersebut, pencerita diharapkan mampu menghayati bagaimana perasaan, pikiran, dan emosi tokoh pada saat bercerita. Dengan demikian ketika menceritakan tidak ragu-ragu lagi karena sudah mengenal ceritanya, sifat tokoh-tokohnya, tempat kejadiannya, serta pilihan kata yang digunakan dalam menyampaikan cerita dengan baik dan lancar.

(40)

mempraktikkannya serta menumbuhkan kepercayaan diri si pencerita dan memperbaiki kualitas dalam bercerita.

B. Saat bercerita berlangsung

Saat terpenting dalam proses bercerita adalah pada tahap bercerita berlangsung. Saat akan memasuki sesi acara bercerita, pencerita harus menunggu kondisi hingga audience siap untuk menyimak cerita yang akan disampaikan. Jangan memulai bercerita jika audience masih belum siap.

Acara bercerita dapat dimulai menyapa terlebih dahulu audience, ataupun membuat sesuatu yang dapat menarik perhatian audience. Kemudian secara perlahan pencerita dapat membawa audience memasuki cerita. Pada saat bercerita ada beberapa faktor yang dapat menunjang berlangsungnya proses bercerita agar menjadi menarik untuk disimak (Asfandiyar, 2007; Musfiroh, 2008), antara lain:

1. Kontak mata

Saat bercerita, pencerita harus melakukan kontak mata dengan audience. Memandang audience dan diam sejenak. Dengan melakukan kontak mata audience akan merasa dirinya diperhatikan dan diajak untuk berinteraksi. Selain itu, dengan melakukan kontak mata kita dapat melihat apakah audience menyimak jalan cerita yang diceritakan. Dengan begitu, pencerita dapat mengetahui reaksi dari audience.

2. Mimik wajah

Pada waktu bercerita sedang berlangsung, mimik wajah pencerita dapat menunjang hidup atau tidaknya sebuah cerita yang disampaikan. Pencerita harus dapat mengekspresikan wajahnya sesuai dengan situasi yang diceritakan. Untuk menampilkan mimik wajah yang menggambarkan perasaan tokoh tidaklah mudah untuk dilakukan.

3. Gerak tubuh

(41)

bercerita dengan posisi yang statis dari awal hingga akhir cerita akan terasa membosankan, dan akhirnya audience tidak antusias lagi medengarkan cerita.

4. Gaya (Style)

Bercerita seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang, menyajikan cerita sebagai hakikat yang berharga, tetap menjadi diri sendiri saat bercerita, dan menjaga cerita tetap fokus, sederhana, dan jelas (Denning, 2005).

5. Suara

Tinggi rendahnya suara yang diperdengarkan dapat digunakan pencerita untuk membawa audience merasakan situasi dari cerita yang diceritakan. Pencerita biasanya akan meninggikan intonasi suaranya untuk menggambarkan cerita yang mulai memasuki tahap yang menegangkan. Kemudian kembali menurunkan ke posisi datar saat cerita kembali pada situasi semula. Selain itu, pencerita profesional biasanya mampu menirukan suara-suara dari karakter tokoh yang diceritakan, misalnya suara ayam, suara pintu yang terbuka, suara gemuruh angin dan lain sebagainya. Namun, bagi orang yang tidak terbiasa untuk menirukan suara-suara karakter tokoh-tokoh ini dirasakan agak sulit dan jika dipaksakan akan terdengar aneh. Jadi, jika kita tidak menguasai teknik menirukan suara sebaiknya jangan dilakukan dan untuk menghidupkan cerita dapat digunakan cara yang lain, misalnya dengan mimik wajah, intonasi suara maupun alat peraga. 6. Kecepatan

Saat bercerita faktor kecepatan juga mempengaruhi menarik atau tidaknya cerita yang diceritakan. Pencerita harus mampu mengatur kecepatannya dalam bercerita agar cerita yang disampaikan tidak terlalu cepat ataupun terlalu lama. Dengan berlatih pencerita dapat memperkirakan kecepatan yang digunakan untuk bercerita.

(42)

Alat peraga dapat pula digunakan untuk bercerita. Bercerita dengan menggunakan alat bantu peraga dapat membuat cerita terasa lebih menarik, karena anak-anak dapat langsung melihat bentuk visual dari tokoh-tokoh. Adapun alat peraga yang dapat digunakan antara lain boneka baik boneka tangan maupun boneka utuh, kain, tali, gambar, wayang, maupun dengan cara menggambar langsung.

C. Sesudah kegiatan bercerita selesai

Setelah selesai bercerita, pencerita dapat mengajak audience untuk mengingat kembali cerita yang disampaikan. Namun, sebelumnya berilah waktu bagi audience untuk beristirahat sejenak setelah ia mendengarkan cerita. Bunanta (2008) menyebutkan, setelah acara bercerita berakhir pencerita dapat melakukan sesi tanya jawab dengan audience seputar cerita yang tadi dibawakan. Dengan bertanya, audience akan terus menerus dilibatkan dalam cerita yang dceritakan serta dapat

menstimulasi pikiran dan imajinasi mereka. Misalkan, dengan menanyakan mengenai tokoh-tokohnya, atau tanyakan mengenai perasaan audience ketika menghadapi situasi yang sama seperti tokohnya.

2.3.5 Syarat Pencerita

Agus (2009) menyatakan, berdasarkan sarana yang digunakan oleh pencerita, syarat-syarat yang perlu diperhatikan adalah:

A. Kemampuan Fisik

1. Pencerita harus mampu menghasilkan suara yang bervariasi. Dalam hal ini pencerita harus mampu menyuarakan peran apapun dan adegan apapun.

2. Pencerita harus mampu menggunakan penglihatan secara lincah. Jika bercerita di hadapan pendengar, ia harus menggunakan mata untuk kepentingan ganda. Pertama, mata digunakan untuk memperkuat mimik. Kedua, sarana itu digunakan pula untuk berkomunikasi dengan pendengar.

(43)

1. Pencerita harus bersikap mental serius, sabar, disiplin, dan senang berkesenian. Semua sikap mental tersebut sangat diperlukan oleh pencerita karena mencerita memerlukan pemahaman yang sangat mendalam.

2. Pencerita harus berpikiran cerdas dan kreatif. Kecerdasan diperlukan karena pencerita harus dapat menafsirkan isi cerita secara tepat. Pencerita tidak boleh menafsirkan isi cerita sesuai dengan kehendaknya tanpa memperhatikan ide dasar cerita.

3. Pencerita harus berpengetahuan umum, luas dan berketerampilan bahasa (Indonesia). Pengetahuan umum sangat bermanfaat bagi pencerita. Dengan memiliki pengetahuan umum yang luas, ia memiliki rasa percaya diri yang tinggi.

2.3.6. Waktu Terapi Bercerita

Waktu penyajian terapi bercerita mempertimbangkan daya pikir dan rentang konsentrasi dan daya tangkap serta tidak menutup kemungkinan waktu bercerita menjadi lebih panjang apabila tingkat konsentrasi dan daya tangkap dirangsang oleh penampilan pencerita yang sangat baik, atraktif, komunikatif dan humoris. Terapi bercerita dilakukan sebelum tidur, bangun tidur dan pada waktu santai (Sudarmadji dkk, 2010).

2.4 Hubungan Terapi Bercerita terhadap Depresi

(44)

mengaktifkan struktur otak pada area limbik, yang berperan dalam emosi. Kecemasan yang terjadi pada lansia merupakan faktor dapat menciptakan mekanisme pertahanan yang negatif sehingga muncul depresi, perasaan yang positif dan emosi yang stabil akan menyebabkan penurunan pada tingkat depresi (Supriani, 2011).

Gambar

Tabel 2.1 Geriatric Depression Scale (GDS)

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ditemukan bahwa depresi lebih rentan dialami oleh lansia wanita yang termasuk usia sangat tua serta terdapat hubungan antara depresi dengan kualitas

Selaras dengan penelitian Novela (2018), dengan judul Pengaruh Terapi Suara Murottal Al-Qur’an Surat Ar- Rahman Terhadap Perubahan Depresi Pada Lansia Di UPT PSTW

Tingkat depresi di UPT PSTW Kabupaten Jember berdasarkan hasil penelitian Post-test dengan nkuisioner GDS (Geriatric Depression Scale) pada kelompok perlakuan

nya hubungan antara stressor lingkungan dengan depresi pada usia lanjut, gambaran tersebut di- peroleh melalui sebaran kondisi responden yakni dari 22 orang yang mengalami

Dari penelitian ditemukan bahwa depresi lebih rentan dialami oleh lansia wanita yang termasuk usia sangat tua serta terdapat hubungan antara depresi dengan kualitas

Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa terapi musik efektif untuk mengatasi depresi, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Purbowinoto

nya hubungan antara stressor lingkungan dengan depresi pada usia lanjut, gambaran tersebut di- peroleh melalui sebaran kondisi responden yakni dari 22 orang yang mengalami

Penelitian lainnya yang mendukung hasil dari penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) mengenai kejadian dan tingkat depresi pada usia