• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Taijiquan Gaya-Chen Bagi Seorang Master Taijiquan (Studi IPA (Interpretative Phenomenological Analysis) Mengenai Pemaknaan Seni Beladiri Taijiquan).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna Taijiquan Gaya-Chen Bagi Seorang Master Taijiquan (Studi IPA (Interpretative Phenomenological Analysis) Mengenai Pemaknaan Seni Beladiri Taijiquan)."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tàijíquán (TJQ) adalah salah satu jurus dalam wŭshù (seni beladiri Cina) yang berkarakter lembut dan mengalir dengan pernafasan mendalam dan konsentrasi, sehingga seringkali disebut “the walking meditation”. Terdapat empat gaya dalam jurus TJQ; penelitian ini difokuskan pada salah satu gaya, yaitu TJQ gaya-Chen.

Chen-style Competition Routine TJQ 56-Jurus adalah jurus standar pertandingan internasional yang menuntut keterampilan baik teknik maupun fisik yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apakah makna TJQ gaya-Chen bagi seorang master TJQ, dan bagaimana pemaknaan ini membentuk diri dan eksistensinya secara aktual.

Penelitian eksistensial ini menggunakan metode IPA (Interpretative Phenomenological Analysis) untuk memahami bagaimana seorang master TJQ memaknakan pengalaman TJQ-nya. Wawancara dilakukan dalam bentuk SSI (semi-structured interview) dengan satu orang partisipan, sehingga penelitian ini menjadi studi-kasus-tunggal. Analisis mendetail dari partisipan (disajikan dalam tema pengalaman) dipersatukan dengan interpretasi peneliti, sebagai aplikasi metode IPA yaitu double-hermeneutika (interpretasi berganda).

Hasil penelitian ini adalah pemahaman mengenai: (1) Makna TJQ gaya-Chen sebagai “The Path of Life”, “The Art of Life”, dan “The Wheel of Life” bagi sang master TJQ; dan (2) Bagaimana pemaknaan TJQ gaya-Chen membentuk konsep Diri-nya sebagai Perkasa-Kesatria dan eksistensinya sebagai Gunung dan Naga-Tripitaka.

Kesimpulan yang diperoleh mendukung fakta subjektivitas idiografi dalam pemaknaan manusia yang tidak terlepas dari pengaruh: (1) Latar belakang etnik dan konteks historis-filosofis-sosial-budaya-demografis; (2) Persepsi-tubuh; (3) Pemaknaan biopsychosocial-spiritual; (4) Kekhasan dan keunikan subjektif; (5) Nature and nurture, pengaruh hereditas dan lingkungan, destiny/fate and free-will/free-choice; (6) Metode fenomenologis “verstehen”; (7) Participant-centered approach; (8)Pemaknaan subjektif; (9) Pemaknaan sejati bagi orang yang mengalami pengalaman secara langsung; (10) Eksistensi “being-living-becoming” yang tidak berakhir sepanjang hayat.

Peneliti menyarankan agar Subjek semakin memperdalam keimanan dan spiritualitas demi menemukan kekuatan dan damai sejahtera dalam menghadapi kehidupan yang tidak terprediksi dan terus berubah. Bagi penelitian lanjutan di masa mendatang, disarankan penelitian lanjutan berbasiskan aspek fisik yang dapat mengafirmasikan aspek psikis, sosial, maupun spiritual sebagai bentuk terapi dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi olahraga, psikologi eksistensial, psikologi budaya, psikologi spiritual, psikologi kesehatan, dan psikologi energi dengan pendekatan indigenous, kontekstual, dan pelbagai metode fenomenologis.

Kata kunci: Tàijíquán, wŭshù, IPA, Tripitaka, idiografi.

(2)

iv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

Tàijíquán (TJQ) is one kind among many styles in wŭshù (Chinese martial arts) which characterized by gentle and flowing body movements, along with deep breathing and concentration, thus is often called “the walking meditation”. There are four styles in TJQ; however, this research is focused on one particular style, which is the Chen-style TJQ.

The 56-Movements Chen-style Competition Routine is a standard form for international competiton which requires a fairly high level of physical and technical skill. This study aims to understand the significance of Chen-style TJQ for a TJQ master, and how his comprehension of this style would mould his personal Self and existence actually.

This existential research used IPA (Interpretative Phenomenological Analysis) method to examine how the TJQ master makes meaning of his TJQ experiences. SSI (semi-structured interview) were conducted with one participant, which makes this research as a single-case-study. A detailed analysis of personal accounts (followed by presenting and discussing the experiential themes) is paired with researcher’s own interpretation, which is an expression of double-hermeneutics in practice of IPA.

This research found: (1) The significance of Chen-style TJQ as “The Path of Life”, “The Art of Life”, and “The Wheel of Life” for the master; and (2) The significance of personal Self as the Mighty-Warrior-Dragon and of personal existence as the Mountain-Dragon and the Tripitaka-Dragon.

The summary of the findings support the reality of idiographic subjectiveness in the perception in human experiences, affected by: (1) Ethnical background and historical-philosophical-social-cultural-demographical context; (2) Body-perception; (3) Biopsychosocial-spiritual comprehension; (4) Subjective uniqueness and peculiarity; (5) Nature and nurture, hereditary and environmental influences, destiny/fate and free-will/free-choice; (6) Phenomenological “verstehen”; (7) Participant-centered approach; (8) Subjective interpretation; (9) True comprehension of the first-person as the agent of experience; (10) Longlife existence of“being-living-becoming”.

Research suggests that Subject keep deepening the spiritual faith for strength and peace to go through the unpredictable and constant-changing daily life-hassles. For next research in the future, it is advisable to conduct a physical-based research for the affirmation of psychological, social, and even spiritual aspects as a kind of psychotherapy in various field of psychology, such as developmental, educational, sport, existential, cultural, spiritual, health, and energy psychology; together with the indigenous or contextual approaches and various methods of phenomenological inquiries.

Keywords: Tàijíquán, wŭshù, IPA, Tripitaka, idiographic.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA... xxv

DAFTAR GAMBAR... xxvi

DAFTAR TABEL ... xxviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 27

1.3 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian ... 27

1.4 Metodologi ... 29

(4)

xiii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2.1 LANDASAN TEORI ... 32

2.1.1 PSIKOLOGI KESEHATAN ... 33

2.1.1.1 Sejarah Body-Mind-Soul ... 34

2.1.1.2 Model Biopsikososial ... 38

2.1.2 OLAHRAGA ... 42

2.1.2.1 Filsafat Olahraga ……… 43

A. Relativisme dan Moral Reasoning ... 44

B. Etika Olahraga ... 45

C. Competition with Self ... 49

D. Nilai-nilai Sosial dalam Olahraga ………... 51

E. Karakter dan Integritas Olahraga …...……. 53

F. Manfaat Olahraga bagi Kehidupan …...…. 55

2.1.2.2 Psikologi Olahraga ………...…… 56

A. Sejarah Psikologi Olahraga ………... 56

B. Orientasi Umum Psikologi Olahraga …... 56

C. Sport Personology ………... 60

D. Aspek Mental Olahraga ………...…... 64

(5)

II. Emosi ……….….…... 66

III. Inteligensi …………...…..…....….. 66

E. Agresivitas Olahraga ………...…..….. 67

F. Pemaknaan Positif Ketegangan Olahraga 68

2.1.3 PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ………..…..…. 72

2.1.3.1 Elemen Pokok Perkembangan Manusia ... 73

2.1.3.2 Tahap Perkembangan Manusia ……...…… 75

2.1.3.3 Perspektif Humanistik dalam Perkembangan

Manusia ………..………...…. 76

2.1.4 PSIKOLOGI HUMANISTIK ………... 77

A. Kearifan Kemanusiaan ……… 78

B. Kemanusiaan Psikologi Timur dan Barat 81

C. Latar Belakang Psikologi Humanistik …. 84

I. Ketidakpuasan terhadap Behaviorisme

dan Psikoanalisis ……..…….…….. 84

II. Kondisi Sosial-Politik dan Orientasi

Baru …... 87

III. Public Idolatry………... 90

(6)

xv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

V. Psikoterapi: Kebutuhan Manusia .. 92

VI. Tokoh Psikologi Humanistik ... 95

VII. Kekuatan Ketiga ………...…96

2.1.4.1 Eksistensialisme ………...…… 97

A. Latar Belakang Filosofis ………... 98

B. Awal Eksistensialisme: Kierkegaard dan Nitezsche ………....….. 99

C. Pokok-Pokok Eksistensialisme ……...….. 103

2.1.4.2 Fenomenologi ……….….…. 105

2.1.4.3 Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) ... 108

2.1.5 PSIKOLOGI INDIGENOUS ………... 116

A. Psikologi Indigenous: Ranah Budaya .... 116

B. Pendekatan Kontekstual ………. 119

2.1.5.1 Psikologi Indigenous Cina ………...… 119

2.1.5.2 Konsep Diri (Self) Cina ………....… 125

A. Sejarah Self Cina ………....…… 127

B. Self dalam Kesatuan Body and Mind... 128

(7)

D. Konsep Konfusian: Manusia Luhur versus

Manusia Rendah ………...…. 130

E. Self: Body-Mind-Action ………... 132

F. Manusia: Bagian Alam Semesta ………….. 133

G. Diri/Jĭ (Self): Perubahan dan Fleksibilitas .. 134

H. Self Cina: Person-Making Perspective …… 138

2.2 TÀIJÍQUÁN: BELADIRI CINA ……… 139

2.2.1 TAO (DÀO): FILSAFAT BELADIRI CINA ………... 141

2.2.2 TÀIJÍQUÁN (TJQ) ……….……..…...……. 150

2.2.2.1. Tàijíquán dalam Sejarah Wŭshù ... 150

A. Kisah Klasik Tàijíquán (TJQ) ... 157

B. Tàijíquán dalam Klasifikasi Wŭshù ... 160

2.2.2.2 Definisi Tàijíquán (TJQ) ... 162

2.2.2.3 Karakteristik TJQ ... 164

2.2.2.4. Manfaat TJQ ... 169

2.2.2.5 TJQ dalam Praktik ... 171

2.2.2.6 TJQ sebagai Identitas Diri ... 172

(8)

xvii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2.2.2.8 TJQ sebagai Eksistensi ... 175

2.2.3 TJQ DAN SEJARAH GAYA JURUS ... 178

2.2.4 TJQ GAYA-CHÉN ... 183

2.2.4.1 Chén-style Competition Routine ... 184

2.2.5 WŬ DÉ (ETIKA BELADIRI CINA) ... 201

2.2.5.1 Ritual Beladiri ... 204

2.2.5.2 Bakti kepada Shīfu ... 206

2.2.5.3 Budi Pekerti seorang Murid ... 209

2.3 FILSAFAT CINA ... 212

A. Filsafat Cina dan Pandangan Dunia ... 212

B. Filsafat Cina dan Alam Semesta ... 214

C. Filsafat Cina dan Kondisi Alamiah ... 215

D. Filsafat Cina dan Pandangan Masyarakat Cina ... 217

E. Filsafat Cina dan Bahasa ... 220

2.3.1 KOSMOLOGI ... 221

A. Langit, Manusia, dan Bumi ……...… 221

(9)

2.3.1.1 Yì Jīng (Kitab Perubahan) ... 225

A. Sejarah Yì Jīng... 225

B. Filosofi Yì Jīng: Dasar Kehidupan ... 228

C. Yì Jīng dalam Praktik ... 229

2.3.1.2 Yīn-Yáng (Tài Jí) ... 230

2.3.1.3 Qì (Energi Vital) ... 232

2.3.1.4 Wŭ Xíng (Teori Lima Unsur)... 232

2.3.2 IDEOSINKRETISME ... 234

2.3.2.1 Daoism (Taoisme) ... 235

A. Asal-Usul Konsep Tao ... 235

B. Tokoh Taoisme ... 237

a) Lăo Zi ... 237

b) Zhuāng Zi ... 238

C. Filsafat Tao versus Religi/Agama Tao.. 240

D. Etika Taoisme ... 241

E. Prinsip Taoisme ... 242

a) Dào (Jalan Alam Semesta) ... 242

(10)

xix

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

c) Wú Wèi (Tidak Berbuat) ... 244

d) Pú (Keadaan Murni) ... 245

F. Hukum Taoisme ... 245

a) Zì Rán (Kealamiahan) ... 245

b) Law of Reversion (Hukum Keberbalikan) ……….……..…... 246

2.3.2.2 Confucianism ... 247

A. Pokok Ajaran Confucianism ... 247

B. Konsep Utama Confucianism ... 249

a) Pembenaran/Penegakan Nama (Zhèng Míng) ... 249

b) Kebajikan (Yì) ... 250

c) Kemanusiaan (Rén)... 250

d) Bakti/Respek (Xiào)... 251

e) Ritual (Lĭ)... 253

f) Perintah Langit (Tiān Mìng)... 253

C. Confucianism dan Pendidikan ... 255

(11)

E. Tokoh Confucianism ... 259

a) Kŏng Zi ... 259

b) Mèng Zi ... 261

c) Xún Zi ... 261

F. Confucianism dan Peradaban Cin... 263

2.3.2.3 Mohism ... 264

A. Mò Zi: Teladan Kecerdasan ... 265

B. Mohism dan Aspek Perjuangan ... 266

C. Konsep Dasar Mohism ... 267

D. Ciri Mohism ... 268

a) Ritual versus Autentisitas ... 268

b) Politik dan Kenegaraan ... 268

c) Religi: Pertemuan dan Persatuan Komunal ... 269

E. Mohism dan Sikap Hidup Masyarakat Cina ... 270

2.3.2.4 Sun Zi’s the Art of War ………...…. 271

(12)

xxi

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

B. Seni Perang dan Alam Semesta ... 273

C. Seni Perang dan Kehidupan …...… 275

2.3.2.5 Tridharma (Sān Jiào)... 276

A. Sejarah Buddhisme-Chán ... 276

I. Buddhisme: Awal Mula... 276

II. Aksioma dan Konsep Dasar ... 277

III. Perkembangan Buddhisme di Cina... 280

IV. Buddhisme-Chán: the Chinese Way ... 281

V. Inti Buddhisme-Chán ... 283

B. Tridharma: Perpaduan Daoism, Confucianism, dan Buddhisme-Chán ………....…... 284

2.3.3 KOSMOLOGI DAN IDEOSINKRETISME: HARMONI KEHIDUPAN ... 285

A. Kealamiahan: Konsep Bersama ....….. 285

B. Harmoni: Praktik Kehidupan ………... 286

(13)

2.4 TRADITIONAL CHINESE MEDICINE (TCM) ... 290

2.4.1 Pengantar TCM ... 290

2.4.2 Asal-Usul TCM ... 292

2.4.3 Konsep Dasar TCM ... 294

2.4.3.1 Yīn-Yáng (Dào) dan Tubuh Manusia ... 294

2.4.3.2 Qì: Energi Kehidupan Tubuh dan Jiwa ... 295

2.4.3.3 Wŭ Xíng (Lima Unsur) dan Lima Emos.... 296

2.4.3.4 Meridian ... 298

2.4.4 TCM dan Wŭshù ... 298

2.5 KERANGKA PEMIKIRAN ……….…….. 300

BAB III METODE PENELITIAN ... 312

3.1 Desain dan Prosedur Penelitian ... 313

3.1.1 Desain Penelitian ... 313

3.1.2 Prosedur Penelitian ... 315

3.2 Tema, Topik, Pertanyaan Penelitian, dan Definisi ... 318

3.3 Subjek Penelitian ... 323

(14)

xxiii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

3.3.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 323

3.4 Kode Etik ... 324

3.5 Teknik Analisis Data ... 325

3.6 Validitas dan Kualitas . ... 327

3.7 Reflektivitas Peneliti ... 328

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 333

4.1 Analisis dan Pembahasan Tema ... 334

4.2 Diskusi dan Jawaban Pertanyaan Penelitian ... 399

4.2.1 Diskusi... 399

4.2.2 Jawaban Pertanyaan Penelitian... 411

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 432

5.1. Kesimpulan ... 432

5.2. Saran ... 435

DAFTAR PUSTAKA ... 438

(15)
(16)

xxv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Skema 1.1 Skema Desain Pokok Penelitian …………... 31

Skema 2.1 Skema Kerangka Pemikiran ..…………..………... 311

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mode Pemikiran Yīn-Yáng: Wave as Description of State ……124

Gambar 2.2 Mode Pemikiran Yīn-Yáng: Berpusat pada Aktor ………125

Gambar 2.3 Wŏ (‘I’, ‘Me’): Sense of Control & Mastery ………128

Gambar 2.4 Zhí (Direct) + Xīn (Heart) + Chi (Practise) = Dé (Morality).. 133

Gambar 2.5 Piktograf Rén: ‘Manusia’ ……… 135

Gambar 2.6 Piktograf Jĭ: ‘Self’ (‘Diri’) ………..…135

Gambar 2.7 Piktograf Lŏng: ‘Naga’ sebagai Simbol Diri ………... 135

Gambar 2.8 From Snake to Jĭ (‘Self’) and Yĭ (‘Stop’, ‘End’, ‘Already’) ..136

Gambar 2.9 Hubungan Antara Self (‘Diri’/’Saya’, Skala Kecil) dan

Masyarakat (‘Diri’/’Saya’, Skala Besar) ………...……137

Gambar 2.10 Dào (Tài Jí): Keutuhan Yīn-Yáng ……… 144

Gambar 2.11 Wŭ Xíng (5 Unsur) & Bā Guà (8 Trigram) ……….. 148

Gambar 2.12 Trigram Kesatuan Bumi, Manusia, dan Langit …….…... 149

Gambar 2.13 Tài Jí Quán: Grand Ultimate Fist ………..….. 163

(18)

xxvii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Gambar 2.15 Wŭshù Salute – ‘Paipai’ ………. 206

Gambar 2.16 Heaven, Humanity, & Earth becoming Wáng (‘King’).. 222

Gambar 2.17 Yì Jīng: 8 Trigram (Bā Guà) menjadi 64 Hexagram ... 227

Gambar 2.18 Dinamika Yīn-Yáng dalam Keselarasan Tài Jí …...….. 232

Gambar 2.19 Qì: ‘Nasi dan Uap’: Energi Vital ………...….. 232

Gambar 2.20 Wŭ Xíng (Teori 5 Unsur) dan Siklus Pembangkit/

Penghancur Alam ……….……... 233

(19)

DAFTAR TABEL

(20)

xxix

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Interview Schedule (Panduan Wawancara)

LAMPIRAN II 1. Wawancara Verbatim I: Sejarah Wushu dan TJQ

2. Wawancara Verbatim II: Filsafat TJQ

3. Wawancara Verbatim III: Sam Kok -- Characters

4. Wawancara Verbatim IV: Chinese Tradition

5. Wawancara Verbatim V: Four Styles of TJQ

6. Wawancara Verbatim VI: Takdir TJQ

7. Wawancara Verbatim VII: Frustration & Discouragement

8. Wawancara Verbatim VIII: My TJQ Style

9. Wawancara Verbatim IX: I Am

10. Wawancara Verbatim X: Filsafat TJQ 2

11. Wawancara Verbatim XI: The Path of Life

12. Wawancara Verbatim XII: TJQ Gaya-Chen

13. Wawancara Verbatim XIII: Takdir 2 -- Karunia

14. Wawancara Verbatim XIV: I am Shifu

15. Wawancara Verbatim XV: Good or Evil

16. Wawancara Verbatim XVI: Health

(21)

18. Wawancara Verbatim XVIII: Simbol

19. Wawancara Verbatim XIX: Pengharapan

20. Wawancara Verbatim XX: Life and Death

LAMPIRAN III Chen-style Competition Routine:

Pemaknaan Fisiologis + Psikologis + Filosofis-Spiritual

LAMPIRAN IV Superordinate Themes Summaries:

1. Summary 1: Pemaknaan TJQ Gaya-Chen

2. Summary 2: Pembentukan Diri (Self) Personal

3. Summary 3: Pembentukan Diri (Self) Sosial

4. Summary 4: Pembentukan Eksistensi

LAMPIRAN V Tàijíquán (TJQ) dalam Sejarah Wŭshù (WS) & Dinasti Cina

(22)

1

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

Mens sana in corpore sano Corpus Sanum in Mentem Sanam

Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat Tubuh yang sehat dalam jiwa yang sehat

(dalam Mutohir, Muhyi, & Fenanlampir, 2011:x; Porat (tanpa tahun):4-5)

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

“The spirit finds a way to be born. Instinct seeks for ways to survive.”

(Toba Beta, seorang penulis Indonesia, sumber:

http://www.goodreads.com/quotes/tag/survival-of-the-fittest). Dalam Merriam-Webster Dictionary (http://www.merriam-webster.com/dictionary/) ‘survive’

berarti ‘to remain alive’; ‘to continue to live’; ‘to continue to exist’. Bagi masyarakat umum, hal-hal paling mendasar bagi manusia untuk survive seringkali diklasifikasikan sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun, seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum dianggap lengkap bila kualitas segi-segi kehidupan yang lain tidak dioptimalkan hingga mencapai taraf yang dianggap cukup, memadai, atau ideal.

(23)

sejahtera. “Sejahtera” dalam Kamus Bahasa Indonesia Online berarti “aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan)”.

Sejahtera umumnya sering pula diartikan “terpenuhi dengan lengkap (dalam segala kebutuhan hidupnya)”.

Kesejahteraan manusia tidak hanya dinilai berdasarkan kualitas kesejahteraan lahiriah saja (kesehatan fisik dan kebendaan), namun juga berdasarkan kualitas kesejahteraan batiniah (pikiran, jiwa) dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, kehidupan sejahtera adalah kehidupan yang terpenuhi secara utuh (baik lahir maupun batin) yang bermakna dan tidak sia-sia. (the will to meaning--Frankl, dalam Bastaman [Gunarsa], 1989:222).

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pelbagai pemikiran dan ilmu pengetahuan muncul demi mencapai kehidupan yang semakin sejahtera dan bermakna--sesuai bidang kajian dan perspektif masing-masing. Munculnya ilmu psikologi didorong oleh berbagai pertanyaan yang kompleks tentang sifat, kegiatan intelektual, dan perilaku manusia. “Psikologi”, sesuai dengan akar etimologisnya berasal dari dua kata, yaitu ‘psyche’ (‘nafas kehidupan’, ‘jiwa’, ‘roh’, atau ‘pikiran’) dan ‘logos’ (‘pengetahuan’, ‘kajian’). Secara harafiah

‘psikologi’ berarti ‘ilmu yang mempelajari tentang jiwa’ (Gunarsa, 1975:9;

Benson & Grove, 2000 (1998):3; Graham, 2005 (1986):5). Psikologi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan memecahkan masalah manusia (Morgan, et al., 1986 (1956):4) dan masalah sosial. Miller (1969, dalam Atkinson et al.,

1993:2) menyatakan bahwa:

(24)

3

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha menerapkan psikologi pada diri sendiri dan mengajarkannya kepada orang yang benar-benar membutuhkannya ... saya tidak dapat membayangkan apa yang dapat lebih relevan kita lakukan untuk kesejahteraan manusia.”

Oleh karena itu, psikologi berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dengan menyelidiki proses dalam batin/jiwa manusia menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan bermakna.

Salah satu cabang ilmu psikologi, Psikologi Kesehatan, berusaha memahami bagaimana sikap, pandangan, dan kondisi psikologis seseorang dapat memengaruhi kesehatan orang tersebut: bagaimana dia hidup sehari-hari untuk tetap sehat, mengapa dia sakit, dan bagaimana respons seseorang saat dia menderita suatu penyakit (Taylor, 2006:15). Psikologi Kesehatan pun melihat pelbagai masalah kehidupan manusia yang seringkali muncul akibat masalah kesehatan, yang disebabkan oleh perilaku, kebiasaan, dan gaya hidup seseorang yang kurang baik.

World Health Organization pada tahun 1948 mendefinisikan “kesehatan”

sebagai “a complete state of physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease and infirmity” (Taylor, 2006:15). Kesehatan bukan

hanya berarti suatu kondisi dengan ketiadaan penyakit dan kelemahan tubuh, melainkan juga suatu kondisi dalam kesejahteraan yang lengkap, mencakup kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang seimbang.

(25)

sehat” (Decimus Iunius Iuvenalis/Juvenal, 60-140 M, sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Juvenal; Marwoto, 2009:39). Begitu pula sebaliknya, “Corpus Sanum in Mentem Sanam” yang berarti “Badan yang sehat dalam jiwa yang sehat” (Porat (tanpa tahun):4-5). Memandang kesehatan

haruslah secara utuh, seperti kata Plato (429-347 SM), “Inilah kesalahan terbesar dalam perawatan tubuh manusia hari ini, yaitu dokter memandang jiwa raga

secara terpisah,” (sumber:

http://bandar-katabijak.blogspot.com/2009/08/101-kutipan-inspirasi-kesehatan.html). Hippocrates mengatakan, “Orang bijak harus menganggap kesehatan sebagai rahmat terbesar untuk manusia, dan belajar

bagaimana mengambil hikmah dari penyakitnya.” (sumber:

http://onestoptiens.com/index.php/motivasi/95-kata-kata-bijak-mengenai-kesehatan). Di Indonesia terdapat kata mutiara kesehatan yang terkenal, “Lebih baik mencegah daripada mengobati.” Begitu pula dengan nasihat orang-orang

tua: “Uang yang banyak tidak dapat membeli kebahagiaan atau kesehatan. Namun, dengan tubuh yang sehat, segala hal dapat diperjuangkan.” Negara Cina

pun memiliki nasihat bijaksana dalam kitab medis tradisional “Huangdi Neijing”: “Orang bijak tidak mengobati kalau sudah jatuh sakit, namun mencegah sebelum

sakit.” (Wang, 2012:134). Dari negeri Arab: "Orang yang memiliki kesehatan,

memiliki harapan. Orang yang memiliki harapan, memiliki segalanya." Mahatma

Gandhi (1869-1948), seorang pahlawan, pemimpin, dan pejuang tanpa kekerasan dari India menyatakan, “Kesehatan adalah kekayaan sejati. Bukan emas atau perak.” (sumber: http://ter-paling.blogspot.com/2012/04/pepatah-kesehatan.html).

(26)

5

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha terbesar dalam kehidupan, dan cara terbaik menjaga kesehatan adalah dengan menjalani gaya hidup yang sehat.

Gaya-hidup adalah suatu jalan hidup yang dilakukan seseorang dalam suatu pola tindakan untuk menjalani kehidupannya sehari-hari; yang memengaruhi kualitas kesehatannya (Hung, 2002:4). Secara umum, gaya hidup sehat mencakup: (a) Mengatur asupan gizi seimbang; (b) Berolahraga secara teratur; (c) Menghindari rokok dan alkohol; (d) Menjaga mental/batin tenang dan seimbang (Hung, 2002:4). Menjadi sehat adalah suatu pilihan yang memerlukan tindakan nyata disertai disiplin dan kerja keras. Gaya hidup—baik disadari maupun tidak—banyak memengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan fisik, psikis, dan lingkungan sosial seseorang. Karena peneliti memiliki ketertarikan pada olahraga, penelitian ini difokuskan pada gaya-hidup berolahraga.

(27)

perilaku positif sehingga manusia pun dapat memilih suatu keputusan yang positif (Roizen & Oz, 2006:133). Dalam penelitian kedokteran, ditemukan bahwa orang yang mengalami depresi umumnya memiliki kadar serotonin (suatu hormon yang menghasilkan rasa gembira) yang rendah dalam otak mereka. Pengobatan depresi dapat dilakukan dengan pemberian resep obat ataupun dengan cara alamiah, yaitu dengan berbagai teknik relaksasi (Oz & Roizen, 2009:82). Menurut Ann Louise Gittleman, seorang pakar nutrisi, olahraga menekan depresi dan stress, meningkatkan produksi serotonin, dopamine, dan norepinephrine. Ketiga hal ini adalah neurotransmitter yang membantu menenangkan tubuh hingga empat jam setelah berolahraga (Gittleman, 2003:100). Manfaat olahraga teratur adalah mood yang membaik, produkivitas dan self-confidence yang meningkat, karena aktivitas fisik membantu meningkatkan kesehatan emosional, mengurangi stress, dan meringankan depresi (Roizen & La Puma, 2008:330).

(28)

7

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha menerapkan aktivitas fisik melalui olahraga, terutama olahraga yang berintensitas-sedang dan dilakukan secara konsisten.

Sebagai warga kota Bandung, peneliti melihat fenomena olahraga yang cukup menarik di kota ini. Secara geografis, Bandung yang terletak di dataran tinggi memiliki alam yang berbukit-bukit dengan cuaca yang sejuk. Melakukan outdoor sport di Bandung terasa lebih nyaman dibandingkan kota besar lain

seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang umumnya bercuaca lebih panas (karena terletak di dataran rendah atau berada di dekat pantai/pelabuhan). Masyarakat Bandung tampak memiliki antusiasme yang besar pada outdoor sport, seperti biking, hiking, jogging, athletic, senam pagi, senam aerobik, dan pelbagai senam lainnya. Terdapat beberapa lapangan outdoor di Bandung sebagai sarana olahraga yang disediakan/terbuka bagi publik/masyarakat umum setiap hari dengan jadwal pagi dan sore, bahkan ada pula yang terbuka sepanjang hari.

Peneliti memilih GOR (Gelanggang Olah Raga) Pajajaran yang berlokasi di daerah utara Bandung, karena GOR ini adalah GOR yang sangat teratur dalam manajemen operasional kegiatan olahraga sehari-hari. Terdapat pelbagai macam kegiatan olahraga outdoor yang dilakukan setiap pagi, seperti atletik, stretching, jogging, walking, archery (panahan), martial arts (seni beladiri), senam aerobik,

(29)

TJQ adalah salah satu jurus dalam Kūngfu/Wŭshù (olahraga beladiri tradisional Cina) yang dilakukan dalam gerakan senam. Senam TJQ ini memiliki rangkaian jurus (koreografi) yang indah, artistik, perlahan, relaks, bergerak melingkar dan berkesinambungan dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan irama nafas dan pikiran, sehingga disebut “walking meditation”, “meditation in movement” (Sutanto, 1991 [1986]:19; O’Brien & Sing, 2005:105).

TJQ memiliki latar belakang historis dan kultural dalam ranah beladiri Cina yang berlandaskan filsafat Cina kuno, seperti konsep Yīn-Yáng dan tradisi Tridharma (Taoisme, Kong Hu Chu, dan Buddhisme-Cina).

Walaupun berasal dari Cina, TJQ kini bukan hanya milik komunitas etnis Cina. Popularitas senam beladiri ini mulai meluas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam kancah internasional, TJQ (sebagai salah satu jurus dalam Wŭshù) telah dipertandingkan dalam SEA Games sejak tahun 1991 dan juga

mulai dipertandingkan dalam Asian Games sejak tahun 1994 (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pesta_Olahraga_Asia_Tenggara#Cabang_olahraga; dan http://www.ariefew.com/other/daftar-cabang-olahraga-dipertandingkan-asian-games/). Wŭshù (dan termasuk TJQ) telah menjadi cabor (cabang olahraga resmi) dalam KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) sejak tahun 1992, dan mulai dipertandingkan dalam kompetisi olahraga nasional, yaitu sejak PON 2001 di Jawa Timur (sumber: http://gelorawushu.blogspot.com/).

(30)

9

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha kanak-kanak), mayoritas praktisi senam ini didominasi oleh para dewasa-madya hingga lanjut-usia/lansia. Tahap usia dewasa-dewasa-madya berkisar antara 40-60 tahun, sedangkan tahap lansia berkisar sekitar 60 tahun dan seterusnya (Hurlock, 1980:320, 380; Indriana, 2012:4). Walaupun para praktisi TJQ telah memasuki tahap usia yang menua, peneliti melihat passion mereka yang luar biasa dalam berlatih sehari-hari. Mereka dengan penuh disiplin bangun pagi dan berlatih TJQ setiap hari; gigih mempelajari dan menghafalkan berbagai jurus dan style (gaya) TJQ dengan penuh perjuangan dalam usia mereka yang telah menua, dan pantang menyerah--sesulit/sepanjang apapun jurusnya. Mereka mendaftarkan diri menjadi anggota perguruan TJQ, membayar iuran secara rutin, mengikuti pelbagai pelatihan dan kegiatan TJQ sehari-hari, hingga menceburkan diri dalam pertandingan TJQ lokal, nasional, maupun internasional sebagai wakil perguruan.

Peneliti memulai penelitian TJQ dengan bergabung dengan salah satu grup di TJQ, yaitu grup XX. Peneliti memohon izin kepada ketua XX untuk melakukan wawancara kepada para anggota. Setelah diizinkan, peneliti membagikan kuesioner singkat mengenai gaya-hidup-sehat. Terdapat 20 orang praktisi (13 pria, 7 wanita) yang bersedia untuk diwawancarai dan mengisi kuesioner. Mayoritas dari 20 orang praktisi berusia dewasa-madya dan lansia (15 orang), kecuali beberapa praktisi muda (5 orang) yang memang berprofesi sebagai atlet wŭshù dan sedang mengikuti pelatihan TJQ.

Wawancara diawali dengan satu pertanyaan sederhana: “Apakah TJQ adalah olahraga favorit Anda?”; jika jawabannya adalah “Ya”, maka dilanjutkan

(31)

sebagai olahraga favorit?” Jawaban para praktisi ternyata cukup bervariasi;

bahkan terkadang overlapped dengan variasi jawaban lainnya. Lima belas orang menjawab bahwa TJQ menjadi suatu kebanggaan identitas diri sebagai etnis Cina. Tiga belas orang menjawab bahwa mereka merasakan adanya kewajiban moral untuk menjunjung dan mendalami jurus seni beladiri warisan tradisi-budaya nenek-moyang. Lima belas orang merasakan kesesuaian gerakan TJQ yang “ramah lingkungan” bagi tubuh mereka yang telah mengalami “Faktor-U” (faktor usia yang makin menua). Delapan belas orang menyukai senam TJQ karena simple dan praktis (tidak memerlukan tempat luas atau peralatan, dan dapat

dilakukan dalam waktu singkat). Dua belas orang menyukai gerakan TJQ yang halus, lembut, elegant, dan dapat dilakukan secara individual, sehingga tubuh aman dari benturan (zero-body-impact). Namun, bagi sembilan orang, TJQ justru amat menarik karena dapat diaplikasikan dalam pertarungan bebas. Sembilan orang menyatakan bahwa TJQ menghasilkan efek berupa ketenangan dalam berpikir, berkonsentrasi, berbicara, dan berperilaku, serta meningkatkan keseimbangan dalam gerakan tubuh sehari-hari. Tubuh terasa tidak mudah oleng dan gerakan menjadi lebih tenang; tidak grusa-grusu. Dan delapan belas orang orang menyatakan bahwa TJQ memberikan kebahagiaan besar bagi mereka, karena tumbuhnya rasa kebersamaan dan persahabatan dalam grup. Mereka merasa memiliki keluarga baru sebagai sesama saudara seperguruan, yang amat berharga dan bermakna bagi mereka.

(32)

11

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha mempraktikkan senam TJQ sejak usia muda, namun pada masa tersebut mereka sama sekali tidak merasa tertarik. Mereka dahulu berpendapat bahwa gerakan TJQ terlalu lambat, loyo, dan membosankan; senam itu hanya cocok bagi para oma dan opa. Namun, saat mereka sendiri mulai menapaki usia tiga puluhan, mereka

merasa mulai tertarik dan ingin bergabung dengan grup/perguruan TJQ untuk belajar dan berlatih jurus bersama orang-orang lain. Ketertarikan mereka berawal saat mereka mulai menyadari bahwa gerakan TJQ yang selama ini mereka pandang begitu lambat dan loyo ternyata sebenarnya indah dan anggun, namun tetap gagah. Ibarat terbangun dari tidur yang panjang, mereka kini menyadari bahwa TJQ adalah suatu kombinasi dari: koreografi jurus wŭshù yang halus, indah, artistik, dan lembut; kekuatan kuda-kuda kaki yang kokoh; postur tubuh yang alamiah; ekspresi roman yang gagah; konsentrasi meditative; dan pernafasan yang dalam dan teratur. Keindahan jurus TJQ yang anggun dan luwes--berpadu dengan gerak postur yang atletis, gagah, dan ekspresif--dapat mereka saksikan saat para praktisi melakukan senam TJQ dalam barisan besar yang teratur, dipimpin oleh beberapa orang shifu/suhu (guru). Setelah mereka berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka merasakan suatu kepuasan yang optimal karena merasa senang melakukan olahraga beladiri yang bukan hanya indah, anggun, berseni, dan memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan identitas mereka, melainkan juga terasa menyehatkan, membugarkan, dan menyeimbangkan tubuh mereka.

(33)

olahraga beladiri tradisional, memang dipengaruhi oleh filsafat Daoism/Taoisme, Confucianism dan Buddhism. Ketiga aliran ini berpadu dalam budaya Cina dan

disebut Tridharma, yang—baik disadari maupun tidak—menjadi suatu tradisi budaya khas Cina; diwariskan turun temurun sebagai suatu identitas pribumi setiap orang Cina. Konsep Yin-Yang dari Taoisme secara filosofis diaplikasikan dengan anggun dalam jurus TJQ, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para praktisi yang mayoritas adalah dewasa-madya dan lansia (lanjut-usia). Berdasarkan wawancara terhadap kelima praktisi senior ini, peneliti melihat bahwa mereka yang berada dalam tahap usia ini rata-rata telah matang dalam pengalaman hidup dan mampu melihat serta menghargai pelbagai aspek kehidupan pribadi mereka dalam perspektif yang lebih luas.

(34)

13

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha merasakan munculnya kepekaan intuitif, yang walaupun sulit mereka definisikan, namun dapat mereka rasakan dan deskripsikan dalam imajinasi dan interpretasi masing-masing.

Peneliti pun mengamati para shīfu mempraktikkan pelbagai style dalam jurus TJQ, baik yang bergaya indah dan tenang, maupun yang penuh semangat dan gagah dalam permainan jurus individu atau latihan pertarungan. Patut diketahui bahwa terdapat empat style/gaya TJQ, yaitu gaya Chén, Yáng, Sun dan Wu yang berbeda-beda karakter, masing-masing menampilkan fenomena dan

kesan yang tersendiri. Menurut salah seorang shīfu, pengalaman dan kesan dalam jurus semakin jelas saat jurus tersebut dipraktikkan dengan penghayatan filsafat yang mendalam dan konsentrasi penuh pada proses penyatuan pikiran, nafas dan gerakan. Saat peneliti menanyakan hal tersebut pada para shīfu lainnya, mereka pun menjawab bahwa pengalaman dan kesan demikian pun dialami dan dirasakan oleh masing-masing saat berlatih jurus TJQ. Walaupun setiap orang merasakan sensasi, pengalaman, perasaan, interpretasi, dan pemaknaan yang berbeda, unik, dan khas, peneliti melihat beberapa pola dan kesamaan tertentu. Masing-masing merasakan suatu kesadaran terhadap munculnya imajinasi, personifikasi, dan pelbagai pengalaman mental (selain pengalaman fisik) dalam latihan ini.

Selain pengenalan diri, kepekaan intuitif, personifikasi, dan pengalaman mental, dua orang shīfu menyatakan bahwa penghayatan senam TJQ yang

semakin didalami ini pun mengarahkan mereka pada pemikiran dan penghayatan spiritual mengenai diri mereka sendiri—sebagai manusia yang ada dan

(35)

Pencipta. Kematangan usia, pengalaman hidup dan relasional, serta penghayatan

dan pemaknaan jurus TJQ yang mereka cintai ini--bagi tubuh yang telah mulai menapaki “Faktor U” (usia tua)--mengingatkan mereka mengenai kefanaan hidup, sebagai manusia yang tidak berdaya. Mereka sadar bahwa mereka semakin

hari semakin tua, lemah, dan menuju suatu kepastian di masa depan, yaitu kematian, yang mengingatkan mereka pada Sang Pencipta. Hal-hal ini memengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak sehari-hari, mengenai makna diri, makna kehidupan, amal-bakti dan pembekalan kebijaksanaan untuk diwariskan bagi generasi penerus, bagaimana mereka ingin dikenang setelah kematian, dan pelbagai kemungkinan maupun kepastian mengenai kepercayaan mereka mengenai Tuhan dan kehidupan setelah kematian.

Berdasarkan wawancara tersebut, peneliti melihat bahwa para praktisi TJQ dewasa-madya dan lansia memberikan suatu penilaian dan penghargaan positif terhadap olahraga ini. TJQ dianggap memiliki makna dan nilai yang berbobot; bukan hanya meningkatkan kesehatan dan kekuatan jasmani serta praktis untuk beladiri, melainkan juga memenuhi kebutuhan rohani/spiritual, karena memberikan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan mental/jiwa, serta insight personal-reflektif. TJQ pun mengingatkan mereka pada identitas jati diri

mereka, karena TJQ memiliki nilai historis, filsafat, budaya, dan seni yang tinggi. Mereka pun merasakan semangat dan kegembiraan saat berhasil mempelajari jurus baru, karena keindahan dan kompleksitas jurus memberikan tantangan tersendiri bagi mereka untuk melatih daya ingat dan konsentrasi.

(36)

15

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha bahwa olahraga (termasuk TJQ) merangsang pelepasan endorfin, yang menstimulasi pusat kepuasan pada otak dan memberikan aksi-aksi yang positif dalam tubuh (Roizen & Oz, 2006:133, Pasiak, dalam Sutanto, 2013:165, Sarwono, dalam Sutanto, 2013:228). Selain itu, bergabung dalam grup TJQ pun memberikan kebahagiaan, karena mereka merasakan suatu kebersamaan dan kekeluargaan di antara mereka. Secara ringkas, wawancara kepada para praktisi

TJQ di lapangan memiliki kesesuaian dengan pernyataan para ahli kesehatan tentang TJQ, yaitu melatih fine motoric skill, balance, menajamkan pencerapan dan sensoris, memberikan input maksimal personal-reflektif untuk mempersiapkan aktualisasi diri yang lebih baik (Purnami, dalam Sutanto, 2013:176), dan memberikan kesempatan untuk seseorang untuk terlibat dengan manusia lain dalam partisipasi yang saling mengembangkan diri sendiri dan sesamanya (Takwin, dalam Sutanto, 2013:214).

(37)

Laporan penelitian TJQ bagi efek psikobiologis cukup banyak. Liu, et al. (Liu, Mimura, Wang & Ikuta, 2005) dalam Neuropsychobiology, November 2005 melakukan penelitian experimental di Osaka, Jepang mengenai efek psikologis dan fisiologis dari olahraga dengan membandingkan penggunaan 24-jurus Simplified TJQ dan cycle-ergometry exercises (stationary bicycle); menemukan

bahwa TJQ terbukti lebih efektif menenangkan gelombang otak, membuat tubuh rileks, meningkatkan konsentrasi, dan meningkatkan vigor/semangat dibandingkan hasil dari stationary bicycle. Selain itu, latihan senam TJQ pun dilaporkan efektif untuk menangani masalah nyeri akibat arthritis, osteoporosis, osteoarthritis, fibromyalgia, memperbaiki tonus otot, membantu penderita

gangguan pernafasan, menstabilkan gula darah, menurunkan tekanan darah tinggi, meningkatkan kekuatan fisik dan koordinasi tungkai bawah, memperbaiki pola tidur, dan memperbaiki keseimbangan tubuh, sehingga dapat mengurangi risiko jatuh (falling down) bagi para lansia (lanjut-usia) yang seringkali menjadi penyebab hip-fracture/keretakan tulang panggul (Colbert, 2007:189; Wolf, Barnhart, & Kutner, 1996 dalam Northrup 2006:766; Wang (2009) dan Callahan (2011) dalam Suwatdi, [dalam] Intisari, Juni 2011:104-108; Lehrhaupt, 2003:45; Setiabudhi, dalam Sutanto, 2013:233-238). TJQ pun memberikan manfaat cardiovascular (Setiabudhi, dalam Sutanto, 2013:236), juga menyehatkan dan

meningkatkan imunitas secara alami (Purnami, dalam Sutanto, 2103:175). Christiane Northrup, M.D. menyatakan bahwa TJQ mengombinasikan body, mind, and spirit very consciously, dan juga meningkatkan strength, endurance,

(38)

17

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha menghasilkan efek psikologis dan fisiologis. Para praktisi TJQ melaporkan munculnya perasaan yang lebih bersemangat (Colbert, 2007:189), dan TJQ memperbaiki kondisi mood dengan mengurangi depresi, anger, fatigue, confusion, dan anxiety (Jin, 1989, dalam Northrup, 2006:766), dan stress, serta gangguan penyakit tua, seperti Alzheimer, Syndroma Metabolik, Parkinson, gangguan musculo-skeletal, dan gangguan neorologik (Setiabudhi, dalam Sutanto,

2103:236-238).

Penelitian yang membahas efek psikobiologis TJQ dalam kaitannya dengan psikososial dilakukan oleh Nedeljkovic, Wirtz, dan Ausfeld-Hafter yang meneliti efek psikobiologis TJQ dikaitkan dengan psychosocial stress reactivity, melalui pengukuran mindfulness and self-compassion in healthy (beginner) participants (Nedeljkovic, Wirtz, & Ausfeld-Hafter, 2012). Begitu pula penelitian

TJQ oleh Wall sebagai mindfulness-based stress reduction bagi para siswa SMU di Boston (Wall, 2005) untuk meningkatkan subjective well-being dan self-awareness mengenai self and others, membangun self-confidence in self-defense

dalam problem lingkungan sosial di sekolah sehari-hari (juvenile, violent environment, bullying, and gang identity).

Penelitian TJQ yang memfokuskan penelitiannya dengan specific tools seperti yang dilakukan oleh Liu, et al. (Liu, Mimura, Wang, & Ikuta, 2005) dengan menggunakan 24-jurus Simplified TJQ dan cycle-ergometry exercises (stationary bicycle) disertai pengukuran dengan alat electroencephalography

(39)

(dalam Setiabudhi (Sutanto, 2013:238-239); 37-jurus TJQ gaya-Yáng (Nedeljkovic, Wirtz, & Ausfeld-Hafter, 2012); latihan tempur (push-hands), meditasi, dan tradisi Buddha-Zen melalui cerita-pendek/Koan (Wall, 2005); penggunaan online surveys dan analisis data kuantitatif dengan program SPSS oleh Nedeljkovic, et al. (Nedeljkovic, Bürgler, Wirtz, Seiler, Streitberger, Ausfeld-Hafter, 2012).

Penggunaan specific/various methods and design dalam penelitian TJQ seperti time-series design (Liu, Mimura, Wang & Ikuta, 2005; dalam Setiabudhi (Sutanto), 2013:238-239); perbandingan experimental (intervention) and control groups in time-series design (Nedeljkovic, Wirtz, & Ausfeld-Hafter, 2012);

analisis data kualitatif naratif (Wall, 2005); mixed-method of qualitative and quantitative (Nedeljkovic, Bürgler, Wirtz, Seiler, Streitberger, Ausfeld-Hafter,

2012).

Menilik pelbagai metode yang digunakan dalam ragam penelitian TJQ tersebut, tercakup baik metode kuantitatif, kualitatif, maupun mixed-method; namun penelitian Wall (2005) menggunakan metode yang kreatif dan aplikatif berupa praktik hypnogogic state meditation, story-telling (Koan) dari tradisi Japanese-Zen dan teknik push-hands (tuishou) sebagai praktik offense-defense

(40)

19

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha pencerahan batin (dari tradisi Buddha-Zen) bagi diri partisipan. Pencerahan Zen ini membukakan gerbang bagi pengenalan diri, pembentukan life-skill dan pembentukan well-being setiap partisipan dengan memberikan kebebasan bagi kreativitas personal masing-masing. Dapat dikatakan bahwa metode Wall ini menggunakan pendekatan fenomenologis yang bersumber pada pengalaman yang dialami dan dimaknakan secara langsung oleh partisipan.

Pencarian sumber literature dan artikel lain yang berkaitan dengan penelitian TJQ melaporkan suatu konsistensi bahwa latihan TJQ menghasilkan efek fisiologis dan psikologis (Yudiarto; Purnami; dan Setiabudhi; dalam Sutanto, 2013). TJQ dikaitkan pula dengan gelombang frekuensi tubuh (Handojo, dalam Sutanto, 2013); successful aging (Yudiarto, dalam Sutanto, 2013); perbandingan dengan olahraga dan senam (Markam & Mayza, dalam Sutanto, 2013); hubungan kinestetik TJQ dan cell harmonization (Warongan, dalam Sutanto, 2013); hubungan TJQ dengan stimulasi otak (pre-frontal cortex) dan perbaikan moral bangsa (Dwiyanto, dalam Sutanto, 2013); keterkaitan TJQ dengan produktivitas dan masa pensiun (Sutanto, dalam Sutanto, 2013), pemaparan filosofis serta autobiografi naratif mengenai TJQ (Sutanto, 1988, 1991 (1986), 2013; Lehrhaupt, 2003). Dari pelbagai hasil laporan dan penelitian TJQ tersebut, memang terlihat hasil yang cukup mendetail mengenai efek latihan TJQ, baik bagi kesehatan fisik maupun psikis.

(41)

(1996), Wall (2005), Northrup (2006), Colbert (2007), Wang (2009), dan Callahan (2011) di Amerika dan Nedejkovic, et al. di Bern, Swiss). Begitu pula laporan artikel mengenai TJQ yang banyak dibahas dalam publikasi medis Barat, yaitu British Journal of Sports Medicine edisi April 2008 dan The American Journal of Chinese Medicine tahun 2008, dan eksplorasi autobiografi naratif

mengenai TJQ oleh Lehrhaupt, seorang wanita Jerman (Lehrhaupt, 2003). Hal ini menarik bila mengingat asal-usul TJQ yang berakar dalam kebudayaan Timur, yaitu Cina.

Fakta mengenai banyaknya penelitian ilmiah TJQ yang dilakukan oleh para ilmuwan di dunia Barat mengimplikasikan beberapa hal, yaitu: (a) Penelitian ilmiah TJQ (sebagai seni beladiri Timur) sangat menarik perhatian para ilmuwan dunia Barat, dan (tampaknya) kurang dieksplorasi secara ilmiah oleh para ilmuwan dunia Timur; (b) Kebanyakan partisipan adalah Westerner-beginner-participants yang tidak mengetahui filsafat Cina pada umumnya dan filsafat TJQ

pada khususnya; (c) Karena para partisipan adalah Westerner-beginner-participants, kebanyakan penelitian hanya menjangkau lapisan peripheral dari

TJQ, seperti efek fisiologis dan psikologis yang dapat segera dirasakan dan diukur; (d) Penelitian yang lebih mendalam secara kualitatif (seperti makna pengalaman, makna diri, dan eksistensi) menjadi lebih sulit karena terbatasnya pemahaman dan penjiwaan TJQ, yang terkait dengan latar belakang dan identitas etnis para partisipan.

(42)

21

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha bangsa (bukan terjemahan) mengenai seni beladiri Timur, khususnya TJQ. Selain buku-buku TJQ karangan Jusuf Sutanto (1986, 1988, 2013), peneliti menemukan pula buku tentang aliran wŭshù/gōngfu (seni beladiri Cina) dan TJQ karangan Sugiarto, Siswantoro, & Lauw (1999); Sugiarto, et al. (2006); dan dan juga buku panduan-jurus wŭshù dan TJQ bagi kalangan intern suatu perguruan olahraga beladiri di Bandung (1990). Namun, penelitian yang khusus meneliti TJQ sebagai karya ilmiah dalam ilmu psikologi di Indonesia belum peneliti temukan hingga saat ini (saat penelitian ini mulai dilakukan).

Untuk bahan perbandingan, peneliti mencari pula pelbagai literature mengenai seni beladiri nasional, yaitu pencak silat, yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Walaupun cukup sulit dicari, peneliti menemukan beberapa buku dan artikel berupa pemaparan filosofis, pemaknaan, autobiorafi mengenai pencak silat dan tokohnya (Siregar & Arum, 2014; Redana, 2013; Abdullah, 2013), dan sebagai suatu cara “mengada” dalam dunia (Takwin, dalam Sutanto, 2013:159-169).

(43)

pengetahuan mengenai sejarah jurus TJQ, kemahiran teknik jurus, dan kematangan usia para praktisi; (c) Penelitian TJQ yang mendalam secara kualitatif (seperti makna dan eksistensi) hanya dapat dilaksanakan dalam suatu penelitian yang cukup intensif, ekstensif, dan eksploratif; (d) Penelitian TJQ secara kualitatif yang intensif, ekstensif, dan eksploratif akan berhubungan langsung dengan tubuh dari orang yang melakukan jurus TJQ (sebagai pengalaman-orang-pertama yang mengalaminya secara langsung); (e) Ketersediaan partisipan yang memenuhi syarat untuk pemaknaan TJQ secara kualitatif yang mendalam (intensif, ekstensif, dan eksploratif) akan semakin mengerucut dalam purposive sampling menuju pemilihan partisipan.

Peneliti melihat adanya beberapa hal yang belum diteliti dari pelbagai penelitian ilmiah TJQ yang ditemukan dalam jurnal dunia penelitian Barat (yang terfokus pada efek psikobiologis dan psikososial dengan single methodology [kebanyakan dengan quantitative-method] dan rata-rata diikuti oleh beginner-participants). Pembahasan dan penelitian TJQ di dunia Timur--khususnya

(44)

23

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha 2010) dan holistik (biologis, psikologis, sosial, dan spiritual), serta metode IPA (Interpretative Phenomenological Analysis; Smith, Flowers, & Larkin, 2010 [2009]) demi mencari makna pengalaman TJQ ini, dan bagaimana makna pengalaman TJQ ini membentuk pemaknaan diri praktisi TJQ secara eksistensial.

Pencarian partisipan untuk subjek penelitian eksistensial tidaklah mudah, karena: (a) Tidak setiap praktisi TJQ sungguh-sungguh memahami makna jurus secara mendalam (dalam kapasitas pengetahuan historis-filosofis TJQ, keterampilan/kemahiran teknik dan aplikasi jurus, dan pendalaman serta pemaknaan jurus TJQ secara pribadi bagi dirinya sendiri); (b) Tidak setiap orang sanggup (dan bersedia) untuk diwawancarai secara intensif, ekstensif, dan eksploratif dalam rentang waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, kriteria pemilihan partisipan untuk penelitian eksistensial ini cukup tinggi dan demanding, baik dalam kriteria kualitas keterampilan dan kemahiran jurus; pengetahuan dan pemahaman TJQ secara historis, filosofis, tradisi, dan budaya; penghayatan mengenai diri sendiri dan spiritualitas; maupun kekayaan pengalaman pribadinya dalam berolahraga TJQ; dan tentu saja kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian ini.

(45)

TJQ bukanlah tidak beralasan, karena sejak masa mudanya M memiliki reputasi yang baik sebagai juara TJQ di tingkat regional, nasional, dan internasional. Kemahirannya dalam mengaplikasikan jurus TJQ dalam pertempuran langsung (one-on-one) pun diakui dan disegani oleh seluruh guru/pelatih dan atlet kalangan

beladiri lain (seperti pencak silat, maenpo, wing-chun, karate, judo, jujitsu, aikido, taekwondo, muay-thai, dan lain-lain). Dalam usianya yang menapaki tahap

dewasa-madya, M telah kenyang pengalaman, baik sebagai atlet maupun shīfu (guru), hingga dipercayai sebagai wasit/juri wŭshù/TJQ senior. Sebagai shīfu, M telah menghasilkan pula banyak atlet muda yang menjadi juara wŭshù maupun TJQ dalam tingkat regional, nasional, dan internasional. Pengetahuan dan pemahaman M mengenai TJQ secara historis dan filosofis pun cukup tajam dan mendalam. Berdasarkan keseluruhan kualitas personal M (baik dalam hal keterampilan dan kemahiran teknik jurus TJQ, pengetahuan historis dan filosofis, latar belakang pengalaman dan prestasi pribadi, kualitas pengajaran, maupun pengakuan kalangan masyarakat beladiri), peneliti mengistilahkan shīfu M

sebagai seorang master TJQ dalam penelitian ini.

Dalam melakukan penelitian TJQ, patut diketahui bahwa terdapat empat style (gaya-jurus) TJQ, yaitu gaya Chén, Yáng, Wu, dan Sun. Setiap style TJQ

(46)

25

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha keseluruhan jurus (a routine of forms) yang utuh berdurasi kira-kira 3-5 menit, bergantung pada style dan jumlah jurus yang dipraktikkan.

Agar penelitian eksistensial ini dapat lebih terarah, peneliti meminta M untuk memilih suatu style tertentu yang akan diteliti lebih lanjut bagi penelitian psikologi ini. M secara khusus memilih 56-Jurus TJQ gaya-Chén (Chén-style Competition Routine), karena dia merasakan bahwa gaya-jurus (style) inilah yang

paling merepresentasikan dirinya.

Demi mendapatkan perspektif dan pemahaman yang lebih mendalam, peneliti pun melakukan observasi alamiah di lapangan saat M mengajarkan TJQ pada murid-muridnya dan saat M mempraktikkan jurus-jurus TJQ, serta observasi kehidupan M sehari-hari dengan mencari dan mengumpulkan informasi mengenai latar belakang personal, keluarga, fakta, dan faktor (internal maupun eksternal) sebagai intervening conditions. Kondisi-kondisi ini berpotensi menjadi pencetus, pemicu, penghambat, maupun pendukung bagi pelbagai perubahan keadaan diri M yang dia rasakan secara psikologis dan berpengaruh secara fisiologis, sosial, maupun spiritual.

Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk memahami pemaknaan TJQ gaya-Chén secara eksistensial bagi seorang master TJQ, yang memiliki

(47)

sepatutnya memiliki keterkaitan biologis (genetika), psikologis (jiwa/batin), dan spiritual dan religi yang kuat dengan latar belakang jurus (secara filosofis,

historis, sosial, dan kultural), sehingga penelitian TJQ menuju pencarian makna,

pembentukan diri dan eksistensi yang autentik dapat memiliki harapan yang lebih besar untuk terwujud. TJQ--olahraga (fisik) yang melibatkan konsentrasi, relaksasi, meditasi (mental), dan pernafasan mendalam--dieksplorasi secara intensif dan ekstensif; dengan menelaah pemaknaan filosofis, psikologis, dan spiritual melalui pengalaman-tubuh dengan dunia dan lingkungan sosial

sekitarnya; dan diinterpretasikan dengan metode IPA (Interpretative Phenomonological Analysis). Metode ini adalah suatu pendekatan kualitatif yang

meneliti bagaimana partisipan memaknakan pengalaman hidupnya (Smith, Flowers, & Larkin, 2010 [2009]). Metode IPA menggunakan double-hermeneutic dalam analisisnya. Dengan metode ini, peneliti secara aktif menginterpretasikan/memaknakan pengalaman partisipan yang memaknakan pengalamannya. Pemilihan satu orang partisipan dalam penelitian IPA dapat diterima berdasarkan tujuan dari metode IPA, yaitu menyerap data secara mendalam demi memahami pemaknaan partisipan secara idiografik (uniqueness and peculiarity; individualistic and subjective) dalam fenomena tertentu dan

konteks tertentu (Smith, Flowers, & Larkin, 2010 [2009]:49). Oleh karena itu, penelitian ini menjadi suatu studi IPA mengenai apakah makna TJQ gaya-Chén bagi seorang master TJQ, dan bagaimana pemaknaan jurus TJQ gaya-Chén tersebut membentuk diri dan eksistensinya yang autentik.

(48)

27

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Penelitian ini berusaha memahami bagaimana seorang master TJQ memaknakan senam TJQ gaya-Chén dalam dua pertanyaan:

1. “Apakah makna TJQ gaya-Chén bagi seorang master TJQ?”

2. “Bagaimana TJQ gaya-Chén membentuk pemaknaan diri dan eksistensi

seorang master TJQ?”

Kedua pertanyaan tersebut menjadi arah penelitian tesis ini.

1.3 MAKSUD, TUJUAN, DAN MANFAAT PENELITIAN

1.3.1 Maksud Penelitian:

1. Untuk memahami apakah makna 56-jurus TJQ gaya-Chén bagi M, seorang master TJQ;

2. Untuk memahami interpretasi/penafsiran makna jurus-jurus TJQ gaya-Chén dalam pembentukan diri dan eksistensi seorang master TJQ yang

autentik.

1.3.2 Tujuan Penelitian:

(49)

dipraktikkan ini diinterpretasikan secara intensif, ekstensif, dan eksploratif menuju proses pembentukan diri dan eksistensi seseorang yang autentik.

1.3.3 Manfaat Penelitian:

1.3.3.1 Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi para praktisi beladiri--khususnya TJQ:

• Untuk mengenal diri dan eksistensi yang autentik melalui

penggalian nilai-nilai seni, etika, dan filsafat kehidupan dalam olahraga beladiri yang dia praktikkan sehari-hari;

• Untuk mencapai serta menjaga nilai kemanusiaan yang luhur

dalam setiap aspek dan bidang kehidupan yang dia jalani sebagai manusia;

• Untuk mengarahkan kesadaran pada kenyataan mengenai esensi

kehidupan yang tidak kekal dalam dunia ini.

1.3.3.2 Manfaat Teoretis:

Memberikan masukan bagi ilmu psikologi mengenai:

Penerapan metode Interpretative Phenomenological Analysis

(50)

29

Program Magister Psikologi Universitas Kristen MaranathaPenerapan pendekatan indigenous dan analisis eksistensial demi

memahami eksistensi dan pengalaman manusia secara konkrit sesuai konteks budaya-lokalnya;

Penelaahan terhadap keterkaitan konteks historis, filosofis,

budaya, demografis dan holistik-integratif

(biopsychosocial-spiritual) demi memahami manusia secara mendalam, utuh, dan

menyeluruh.

1.4 METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan untuk memahami makna TJQ gaya-Chén bagi seorang master TJQ, dan bagaimana pemaknaan jurus-jurus tersebut berproses secara dinamis menuju pembentukan konsep diri dan eksistensi sang master yang autentik. Desain yang digunakan untuk penelitian ini adalah desain penelitian kualitatif dengan menggunakan metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). IPA adalah suatu metode dalam penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologis dan double-hermeneutic untuk meneliti/menafsirkan bagaimana seseorang (subjek/partisipan) memaknakan suatu pengalaman yang dia anggap signifikan bagi dirinya (Smith & Osborn, 2007; Smith, Flowers, & Larkin, 2010 [2009]).

(51)

purposive-sampling yang demanding hingga akhirnya terdapat 1 (satu) orang yang

memenuhi kriteria partisipan dan bersedia menjadi subjek penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi suatu studi kasus tunggal (single-case study).

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan in-depth interview dalam bentuk semi-structured interview (SSI). Dalam melakukan in-depth interview, peneliti membuat interview-schedule (panduan wawancara). Hasil dari wawancara ini dicatat secara tertulis dan direkam pula dengan audio-recorder. Selain in-depth interview, peneliti melakukan pula perekaman--baik secara audio maupun

visual--saat subjek mempraktikkan TJQ, dan mencatat/merekam pemaknaan/interpretasi subjek terhadap setiap jurus yang dipraktikkan tersebut.

Selain wawancara dan perekaman audio-visual, peneliti pun melakukan observasi alamiah mengenai kehidupan, perilaku, ekspresi diri, dan kata-kata subjek. Keseluruhan hasil observasi alamiah yang tampak signifikan akan dipersandingkan dengan hasil perekaman wawancara audio-visual.

Seluruh data yang diperoleh diketik secara verbatim, dan teknik analisis data dimulai dengan menginterpretasikan teks verbatim dalam beberapa tahap yang menjadi standar dalam metode IPA, yaitu Komentar Eksploratoris, Tema Emergen, dan dikelompokkan (clustered) menjadi Tema Superordinat.

Tema-tema ini dianalisis lebih lanjut demi mendapatkan suatu kesimpulan berupa pemahaman mengenai makna TJQ, diri, dan eksistensi subjek penelitian.

(52)

31

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Keterangan:

S = Subjek; P = Peneliti

Tahap preliminary-field study (20 orang) menuju pemilihan partisipan (1 orang)

Tahap-tahap Pemaknaan TJQ oleh S (Subjek) (1 orang)

Tahap-tahap IPA oleh Peneliti

Hasil akhir

Interpretasi Subjek

Interpretasi Peneliti

(53)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna TJQ gaya-Chen bagi seorang master TJQ dan bagaimana pemaknaan TJQ tersebut berimplikasi dalam pembentukan diri maupun eksistensinya, peneliti menarik beberapa kesimpulan:

1. Pemaknaan seseorang terhadap suatu hal tidak terlepas dari konteks dan latar belakang yang membentuk dirinya, yaitu identitas diri, latar

belakang etnis, didikan orang tua dan keluarga, latar belakang historis, tradisi adat-budaya, filsafat kehidupan, pengaruh sosial dan ekonomi, serta tempat (dunia) hidup seseorang, baik secara demografis, politik, maupun era/masa.

2. Pemaknaan seorang manusia terhadap suatu fenomena kehidupan tidak terlepas dari persepsi pengalaman-tubuhnya, karena hanya melalui tubuhnya sendiri (dengan panca-indera) seorang manusia dapat melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan mengecap pelbagai hal yang muncul dalam segenap kehidupannya dan kemudian memaknakannya secara personal.

(54)

433

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha manusia sebagai seorang individu yang unik dan khas, sebagai seorang pribadi yang memiliki peran-diri dalam komunitas sosial, dan sebagai

makhluk spiritual yang menyadari eksistensi dirinya sebagai ciptaan

yang memiliki akal budi dan hati nurani.

4. Pemaknaan setiap manusia bersifat idiografik (unik, khas, dan subjektif); berkat karunia dan talenta dari Sang Pencipta yang membentuk manusia dengan pelbagai keunikan diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. 5. Dalam kesadaran mengenai konsep nature and nurture, hereditas dan

lingkungan; destiny/fate and free-will/free choice, dapat dipahami bahwa

pelbagai keragaman aspek pemaknaan seseorang pun merupakan suatu

konstelasi dari keseluruhan makna dan nilai yang

diperoleh/diciptakannya sepanjang tahap-tahap kehidupan manusia itu sendiri.

6. Penggunaan metode fenomenologi, khususnya IPA (Interpretative Phenomenological Analysis) adalah untuk melihat bagaimana peneliti

menginterpretasikan (para) subjek atau partisipan yang

menginterpretasikan pengalamannya yang dia anggap signifikan

(bermakna); bukan untuk menerangkan (erklären) atau membuktikan

benar/salahnya suatu pemaknaan, melainkan untuk memahami (verstehen) pemaknaan pengalaman tersebut.

(55)

ketahui, dan membuka telinga--mendengarkan interpretasi subjek/partisipan tanpa penghakiman--merupakan suatu bentuk

penghargaan pada hakikat dan martabat manusia.

8. Suatu pemaknaan pada dasarnya akan selalu bersifat subjektif--baik bagi orang pertama (partisipan/subjek) sebagai agent of experience maupun bagi peneliti (yang berusaha melakukan penelitian se-objektif mungkin)--karena partisipan dan peneliti adalah sama-sama manusia; masing-masing dipengaruhi oleh latar belakang yang kontekstual dan

integratif.

9. Pemaknaan yang sejati hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh

orang yang mengalaminya sendiri; sedangkan pemahaman manusia lain

(seperti posisi peneliti dalam penelitian ini) hanyalah sebagai latar/screen level kedua. Peneliti memahami bahwa sedalam-dalamnya usaha peneliti untuk menginterpretasikan dan memahami interpretasi partisipan/subjek (dengan cara epoche), peneliti hanya dapat “mendekati” bagian luar/periferal dari pemahaman sejati subjek itu sendiri.

10. Eksistensi merupakan suatu “ke-berada-an yang meng-ada” (being) yang

“sungguh-hidup-menghidupi-hidupnya” (living) dalam proses “ke-menjadi-an” (becoming) seorang manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani; terus berkembang hari demi hari dalam corak dan variasi

(56)

435

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha muka bumi ini, karena apa yang telah menjadi kesimpulan pemaknaan hari ini akan menjadi awal pemaknaan esok hari.

5.2 SARAN

Setelah melalui proses penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran, baik bagi Subjek maupun bagi penelitian selanjutnya:

Bagi Subjek:

(57)

Bagi penelitian selanjutnya:

Penelitian TJQ yang memiliki dimensi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual dengan pemaknaan eksistensial ini dapat menjadi model bagi

perkembangan penelitian selanjutnya. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan pendekatan aspek fisik (biologis) yang mengafirmasikan aspek-aspek psikis

sebagai suatu intervensi dalam bentuk terapi, seperti penelitian yang meneliti aspek-aspek motorik dari gerakan fisik dalam pelbagai perkembangan tahap

usia manusia (kanak-kanak, remaja, dewasa, dan lanjut-usia) dan pengaruhnya

bagi kesehatan fisik, psikis, dan sosial sebagai bentuk terapi. Selain itu, dapat dilakukan penelitian dalam bidang psikologi pendidikan/pengajaran yang meneliti pemaknaan filosofis yang bersumber dari gerak fisik (seperti makna filosofis olahraga, seni beladiri, senam kesehatan, tarian tradisional) maupun

prinsip-prinsip kehidupan (dari tradisi budaya atau kebijaksanaan

lokal/indigenous) bagi pengembangan psikis, karakter, dan etika, pembentukan kurikulum dan ekstrakurikuler demi perkembangan kepribadian anak didik, membantu memahami perbedaan dan keunikan individu, serta pencarian metode mengajar yang efektif dalam kebutuhan-kebutuhan khusus/tertentu. Penelitian ini pun dapat menjadi model bagi penelitian eksistensial yang berpusat pada gerakan fisik (olahraga dan seni pertunjukan/performance art) dan bagaimana gerakan fisik tersebut berpengaruh pada aspek psikologis, kehidupan sosial, dan eksistensi. Juga dapat dilakukan penelitian psikologi olahraga, psikologi budaya, dan psikologi spiritual melalui pendekatan indigenous dan kontekstual (konteks

(58)

437

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha spiritual) dengan metode-metode fenomenologis. Dalam bidang psikologi kesehatan dan psikoterapi, dapat dilakukan penelitian mengenai psikologi

energi yang kini sedang berkembang—dengan memanfaatkan sistem energi tubuh

untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi, dan perilaku berbasiskan Traditional Chinese Medicine (TCM)--baik yang berpusat pada efek gerakan fisik dan

pernafasan (senam kesehatan tradisional) maupun penekanan titik-titik

accupressure dalam tubuh manusia sebagai bentuk terapi dalam dimensi

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan pembelajaran matematika di SD N 01 Limau Manis berpedoman kepada kurikulum yang digunakan oleh sekolah Kurikulum pada kelas III masih menggunakan

Tabel 3 menunjukkan bahwa anggota ke- luarga yang memiliki pola makan yang kurang baik, yaitu sering mengonsumsi makanan sum- ber lemak, tinggi karbodidrat dan protein lebih

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang tingkat Subjective well Being Anak Usia dini yang Berasal dari Keluarga Berstatus ekonomi Sosial yang

Pada tahap ujicoba kelompok besar yang digunakan soal pemahaman konsep dan kemampuan penalaran matematika peserta didik yang diberikan kuis di setiap pertemuan

Wakil Bupati Lombok Tengah atas nama H. Moh Suhaili dan Lalu Fathul Bahri dengan tidak melakukan verifikasi terhadap syarat pencalonan pasangan calon tersebut terkait dengan

Disarankan bagi peneliti lanjutan untuk meneliti variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi penerimaan diri selain faktor persepsi terhadap dukungan

Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, untuk meneliti pola komunikasi para penyiar di RRI Bandung terhadap pendengar ini, penulis ingin mendalami secara langsung dengan

Pengkaderan program GOPRO menempatkan karang taruna sebagai mitra karena merupakan organisasi sosial yang mewadahi kegiatan- kegiatan kepemudaan dan bersentuhan