• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN IPA MENGGUNAKAN PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI DITINJAU DARI KEMAMPUAN ANALISIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN IPA MENGGUNAKAN PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI DITINJAU DARI KEMAMPUAN ANALISIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL INKUIRI

ISSN: 2252-7893, Vol 1, No 2, 2012 (hal 142-153) http://jurnal.pasca.uns.ac.id

142 

PEMBELAJARAN IPA MENGGUNAKAN PENDEKATAN INKUIRI

TERBIMBING MELALUI METODE

EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI

DITINJAU DARI KEMAMPUAN

ANALISIS DAN SIKAP

ILMIAH SISWA

 

Ika Candra Sayekti1, Sarwanto2, Suparmi3

1

Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126, Indonesia

ikacansay@gmail.com

2

Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126, Indonesia

sar1to@yahoo.com

3

Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126, Indonesia

suparmiuns@gmail.com

Abstract

The aims of the research were to know the effect among guided inquiry approach through experiment and demonstration methods, analytical skill, and scientific attitude and their interaction toward students’ achievement in science. The research used quasi experimental method. The sample was taken using cluster random sampling consisted of 2 classes, VIIIB as experiment learnt by experiment method and VIIID as experiment II learnt by demonstration method. The data was collected using test for cognitive achievement and analytical skill, questionnaire for scientific attitude and affective achievement, and observation sheet for affective achievement. The data was analyzed using Anova with 2X2X2 factor design and continued using Scheffe’ calculated by PASW 18. The result showed that: (1) there was no effect of guided inquiry usage through experiment and demonstration method toward students’ achievement; (2) there was no effect of high and low of analytical skill toward students’ achievement; (3) there was effect of high and low of scientific attitudes toward students achievement; (4) there was no interaction between guided inquiry usage through experiment and demonstration method and analytical skill toward students’ achievement; (5) there was interaction between guided inquiry usage through experiment and demonstration approach and scientific attitude toward students’ achievement affective domain but there was no effectin cognitive one; (6) there was no interaction between analytical skill and scientific attitude toward students’ achievement; (7) there was no interaction among guided inquiry approach through experiment and demonstration methods, analytical skill, and scientific attitude toward students’ achievement. 

Keywords: guided inquiry, experiment, demonstration, analytical skill, scientific attitude

Pendahuluan

Pendidikan nasional mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu bangsa. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3. Berdasarkan undang-undang tersebut, pendidikan memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang cakap dan berkarakter kuat.

Namun, selama ini implementasi tujuan dan fungsi pendidikan sebagaimana amanah

(2)

diperlukan kontribusi dari berbagai pihak khususnya pendidikan agar terbentuk manusia Indonesia yang berkarakter kuat dan cerdas sesuai harapan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional.

Dalam upaya mendukung tujuan tersebut, perlu ditanamkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran ke dalam diri siswa yang bertujuan antara lain untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Adanya pembentukan karakter dan sikap yang baik dari siswa akan dapat membangun kehidupan bangsa yang lebih berhasil. Karena keberhasilan suatu bangsa dapat dicerminkan melalui kualitas sumber daya manusia di dalamya.

Berdasarkan data yang dicatat Badan Pusat Statistik dan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional dalam Uliyati (2005) menunjukkan bahwa data tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah yakni 61% penduduk Indonesia di atas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Selain itu angka partisipasi sekolah penduduk belum sesuai dengan yang diharapkan karena 19% penduduk usia sekolah tidak mengenyam bangku pendidikan. Angka-angka pada kutipan di atas mengindikasikan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Melihat kenyataan ini, maka pendidikan harus mendapat perhatian dan penanganan yang lebih baik dari semua pihak sehingga dapat memperoleh hasil yang diharapkan.

Adapun berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2008 yang memuat angka indeks kualitas sumber daya manusia (Human Development Index-HDI) dari 176 negara di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-102 (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_Index). Hasil survey lainnya yaitu TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2007 Indonesia menduduki peringkat 26 dari 39 negara dengan nilai 427, padahal skor rata-rata internasional adalah 500. Kedua hasil survey tersebut menjadi indikator rendahnya kondisi dan kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari TIMSS kemampuan sampel dari siswa Indonesia belum memiliki kapabilitas yang cukup baik untuk memecahkan masalah ranah kognitif tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor

kurikulum, guru, siswa, atau mungkin faktor lain yang terlibat dalam proses pembelajaran.

Pada umumnya sekolah di Indonesia menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). “KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan” (BSNP, 2006: 3). KTSP merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan khususnya bagi guru dan kepala sekolah. Guru memegang peranan penting dalam menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, tidak hanya secara tertulis yang tertuang dalam silabus maupun RPP tetapi juga dalam hal pelaksanaan pembelajaran siswa di kelas. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 236). Tapi pada kenyataannya masih ada guru di sekolah yang menyelenggarakan proses pembelajaran tidak terencana, tidak terarah, dan tidak terprogram.

Fisika sebagai cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga meliputi metode ilmiah dan sikap ilmiah. NSES (2009) dalam Holmes (2011) menyatakan bahwa pembelajaran IPA adalah yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan kepada siswa.

(3)

memenuhi karekteristik IPA diperlukan suatu pendekatan dan metode tertentu.

Semua pendekatan dan metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun, tidak semua pendekatan dan metode pembelajaran dapat digunakan untuk membelajarkan IPA. Pendekatan pembelajaran yang dapat dipilih dalam pembelajaran IPA harus mampu mengungkap karekteristik IPA itu sendiri. Pendekatan yang dapat digunakan antara lain pendekatan: quantum learning, keterampilan proses, inkuiri terbimbing, inkuiri termodifikasi, inkuiri bebas, Contextual Teaching and Learning (CTL). Adapun metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA antara lain metode: eksperimen, demonstrasi, diskusi.

Di SMP 14 Surakarta, pemilihan pendekatan belum menyesuaikan karakteristik IPA karena siswa lebih sering mendengarkan dan mencatat tanpa dilibatkan langsung memperoleh konsepnya sendiri. Jika pembelajaran dilakukan seperti itu, maka siswa pasif karena keterlibatannya kurang dan siswa akan cenderung belajar secara hafalan tanpa memiliki keterampilan belajar. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sanjaya (2009: xiii) bahwa masih ada proses pembelajaran di dalam kelas yang diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi serta dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.

Melihat kenyataan tersebut, berarti pembelajaran belum dijalankan sesuai dengan karakteristik materi dan karakteristik siswa. Hal tersebut menyebabkan siswa tidak menyukai Fisika dan menjadikan Fisika sebagai mata pelajaran yang susah untuk dipelajari (Naim, 2009). Hal tersebut menyebabkan sebagian besar siswa memperoleh nilai IPA masih rendah. Sehingga diperlukan upaya untuk memperbaiki opini umum masyarakat terutama siswa bahwa IPA itu sulit dan menjadikan IPA terutama Fisika sebagai salah satu pelajaran yang menyenangkan dan dinantikan. Untuk itu dipilih pendekatan inkuiri terbimbing yang sesuai dengan pembelajaran IPA. Pendekatan inkuri terbimbing menempatkan siswa sebagai subjek yang belajar tidak lagi sebagai objek belajar yang hanya menerima pengetahuan dari guru. Selain itu inkuiri terbimbing mermberikan kesempatan berpikir bagi siwa dan juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan metode ilmiah dan sikap ilmiah yang dimiliki siswa.

Pendekatan inkuiri serta metode eksperimen dan demonstrasi ini sejalan dengan teori belajar penemuan yang dikemukakan oleh Bruner. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik (Dahar, 1989: 103). Jadi siswa diharapkan terlibat aktif dalam pembelajaran melalui proses mentalnya sendiri dengan melakukan kegitan-kegiatan yang berorientasi ilmiah. Sehingga perolehan pengetahuan yang berupa konsep IPA diperoleh melalui proses bukan lagi melalui hafalan.

Materi pelajaran IPA (Fisika) kelas VIII SMP semester II meliputi: Getaran dan Gelombang; Bunyi; dan Cahaya yang belum sepenuhnya diajarkan sesuai dengan karakteristik materinya. Pemilihan pendekatan maupun metode pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik materi itu sendiri. Jadi guru tidak boleh sembarang memilih pendekatan dan metode pembelajaran untuk menyampaikan materi kepada siswa. Materi yang dipilih dalam penelitian adalah Bunyi. Karena pada tahun sebelumnya, rata-rata nilai ulangan siswa masih di bawah KKM, yaitu 62,54. Materi Bunyi dapat diamati secara langsung baik melalui percobaan maupun pengamatan dalam gejala alam sehari-hari. Berkaitan dengan karakteristik tersebut maka metode yang dipilih adalah metode eksperimen dan metode demonstrasi. Melalui metode tersebut siswa diharapkan berpartisipasi dalam proses penemuan konsep. Penemuan yang baik dilandasi dengan sikap ilmiah yang baik dan diperlukan juga kemampuan siswa menganalisis fenomena Bunyi yang ditampilkan. Dengan demikian, siswa aktif menemukan konsep-konsep IPA untuk memperoleh pengalaman. Belajar penemuan ini sejalan dengan teori belajar penemuan oleh Jerome S. Bruner.

(4)

mendukung, seperti animasi pembelajaran. Sebagian besar sekolah sudah memiliki fasilitas cukup memadai. Namun, sarana dan media yang sudah ada belum dimanfaatkan secara optimal. Sehingga diupayakan pemanfaatan untuk menunjang proses belajar agar memperoleh hasil sesuai yang diharapkan.

Pemilihan materi Bunyi yang dapat diamati dan dieksperimenkan diharapkan sejalan dengan bentuk pengetahuan menurut teori Piaget. Bunyi merupakan materi yang dapat diperoleh melalui pengamatan secara fisik yang dapat dilakukan dengan eksperimen (physical knowledge) yang dilakukan secara berkelompok yang di dalamnya memerlukan kemampuan kerjasama baik antarsiswa maupun siswa dengan guru (social knowledge) dan dalam konten materi di dalamnya terdapat suatu persamaan matematis yang berbentuk kemampuan matematis (logico-mathematical knowledge).

Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi, di SD siswa pernah memperoleh materi tentang Bunyi. Perbedaannya terletak pada standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kata kerja operasional yang digunakan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar di SMP lebih tinggi daripada SD serta bahasan di SMP lebih luas. Sehingga diharapkan siswa dapat mengkaitkan antara konsep yang telah diperoleh dengan konsep baru yang diperoleh. Hal ini sejalan dengan teori yang sudah dicetuskan oleh Ausubel tentang belajar bermakna. Karena belajar bermakna mengkaitkan konsep baru atau informasi baru terhadap konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Pemilihan pendekatan inkuiri dan metode pembelajaran eksperimen dan demonstrasi diharapkan membantu siswa mencapai keberhasilan proses pembelajaran dan menjadikan pembelajaran lebih bermakna. Namun, kenyataan di lapangan masih banyak guru yang menggunakan pola mengajar yang tradisional yaitu hanya mengajar menggunakan metoda ceramah dan bersifat satu arah (guru bicara, siswa mendengar) (Susanto, 2006). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa kebanyakan guru mengajar di kelas dengan cara yang sama dan menggunakan cara yang monoton. Siswa hanya dijelaskan melalui ceramah dan jarang memfasilitasi siswa dengan percobaan untuk melatih proses berpikir siswa (Suardana, 2007). Hal ini menegaskan bahwa

siswa menerima pelajaran hanya secara teori. Siwa tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam aspek lain sehingga pengembangan proses berpikir, sikap ilmiah dan keterampilan secara psikomotor siswa menjadi terbatas.

Guru sebagai perancang dan pihak yang terlibat langsung dalam pembelajaran harus mampu mendesain pembelajaran sehingga dapat memberi kesempatan peserta didik untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Guru juga berperan membantu siswa dalam upaya pencapaian prestasi belajar yang optimal dan dapat memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. “Guru, siswa, sarana, media yang tersedia serta lingkungan belajar di sekolah merupakan faktor terkait yang mempengaruhi proses pembelajaran dan selanjutnya akan menentukan keberhasilan dalam pencapaian tujuan” (Sanjaya, 2009). Berdasarkan hal tersebut tidaklah mudah bagi guru untuk menciptakan suatu proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang mampu mengakomodasi keperluan seluruh siswa di dalamnya.

Keberhasilan siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, ada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa, yaitu keadaan/ kondisi siswa baik secara jasmani maupun rohani misalnya sikap terhadap belajar, motivasi belajar, rasa percaya diri siswa, intelegensi, kreativitas, dan kebiasaan belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar siswa, yang meliputi: faktor keluarga/keadaan rumah tangga, faktor sekolah seperti pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, guru, sarana, dan faktor masyarakat. Namun, di lapangan masih ada guru yang kurang memperhatikan faktor internal siswa yang sedang belajar.

(5)

keberhasilan yang justru tidak begitu diperhatikan. Dampak yang terjadi, lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang kurang memiliki sikap positif sesuai dengan nilai yang berlaku dan kurang terampil untuk menjalani kehidupan dalam masyarakat lingkungaannya (Zakaria, 2008).

Slamet dalam Pardjono (2009) menyatakan bahwa “tingkat kecakapan berpikir seseorang akan berpengaruh terhadap kesuksesan hidupnya.” Berdasarkan hal tersebut, guru di sekolah perlu menciptakan lingkungan belajar yang mampu mengembangkan keterampilan berpikir yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang ada. Keterampilan kognitif Bloom yang direvisi bersifat dua dimensi. Salah satu dimensinya yaitu dimensi proses kognitif (cara berpikir) berisi enam kategori yaitu: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Berpikir tingkat tinggi terkait dengan kemampuan mengambil keputusan dan mengkonstruksi formulasi masalah, bersifat nonalgoritmik dan berakhir dengan berbagai solusi dan kriteria. Di sekolah metode ceramah yang biasa digunakan guru dalam pembelajaran tidak akan mampu membentuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kreativitas (Pardjono, 2009). Aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi yang diamati adalah kemampuan analisis siswa.

Faktor lain yang berpengaruh pada keberhasilan proses belajar adalah sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah siswa berbeda-beda. Hal ini terjadi karena setiap siswa mempunyai ketertarikan yang berbeda terhadap suatu pelajaran. Sikap ilmiah merupakan sikap-sikap yang melandasi proses IPA, antara lain sikap ingin tahu, jujur, obyektif, kritis, terbuka, disiplin, teliti dan sebagainya. Dewasa ini sikap ilmiah menjadi hal yang semakin langka. Contohnya disiplin, disiplin diri merupakan salah satu aspek utama bagi siswa dalam upaya mengembangkan pemahaman diri sesuai kecakapan, minat, pribadi, dan hasil belajar, mewujudkan peserta didik berperilaku baik dan berprestasi dan menaati tata tertib sekolah (Rachmawati, 2011).

Meskipun demikian, fakta yang terjadi di lapangan tak seindah harapan. Tata tertib sekolah tertulis jelas tetapi masih banyak siswa yang melanggarnya. Pelanggaran tersebut antara lain: terlambat masuk sekolah; tidak mengenakan atribut sekolah lengkap; membawa

rokok dan merokok di lingkungan sekolah; serta adanya perkelahian dan tawuran. Tak hanya itu, sikap jujur pun kini menjadi sangat mahal. Mulai dari lingkungan kelas. Masih ada siswa yang mencontek saat ulangan, hal ini menunjukkan sikap ketidakpercayaan pada diri sendiri terhadap kemampuan yang dimiliki. Tak hanya siswa, bahkan menurut Listyarti dalam Indra Akuntono (2012) menyatakan, guru dan oknum terkait melakukan kecurangan saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Berbagai cara dilakukan meskipun tidak jujur. Lagi-lagi hasil menjadi lebih diutamakan daripada proses, maka segala cara ditempuh untuk dapat meluluskan siswa. Akibatnya siswa enggan bekerja keras untuk menjadi lebih baik. Sikap-sikap dapat dihindari dengan penanaman Sikap-sikap ilmiah. Hal tersebut dapat ditanamkan sejak dini. Namun, sikap ilmiah tidak begitu diperhatikan oleh orang tua, bahkan guru di sekolah.

Dengan adanya sikap ilmiah yang baik dan kemampuan analisis yang baik diharapkan dapat mewujudkan prestasi belajar yang baik pula. Namun, kedua aspek ini kurang diamati oleh guru di dalam kelas. Bahkan guru hampir tidak memperhatikan kemampuan analisis dan sikap ilmiah siswa sebagai faktor yang dapat menentukan keberhasilan belajar siswa.

Metode Penelitian

(6)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berikut ini adalah data hasil penelitian prestasi belajar pada tiap selnya, seperti disajikan pada Tabel 1:

Tabel 1. Data Prestasi Belajar

Prestasi Belajar

SD 9,105 9,051 11,731 13,887

S I R

N 8 11 8 11 Mean 71,25 66,18 108,75 121,18

SD 14,038 10,078 13,285 10,562

K

SD 8,563 3,314 8,958 4,200 S

I R

N 9 12 9 12 Mean 64,78 69,08 114,00 118,58

SD 9,859 7,403 11,214 11,759

Tabel 1 menggambarkan distribusi data prestasi belajar siswa pada ranah afektif dan kognitif. KA menyatakan kemampuan analisis, SI menyatakan sikap ilmiah, ME menyatakan metode eksperimen dan MD menyatakan metode demonstrasi.

1. Hipotesis Pertama

Pada penelitian ini pokok bahasan yang dipilih adalah Bunyi. Karakteristik materi Bunyi dapat dipelajari dengan pengamatan secara langsung. Salah satu pembelajaran yang membuat siswa melakukan pengamatan adalah dengan pendekatan inkuiri terbimbing yang bisa dilakukan melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi. Pembelajaran Bunyi dengan pendekatan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen memberikan kesempatan siswa menemukan bukti kebenaran dari teori yang sedang dipelajari. Siswa juga diberi kesempatan untuk mengalami atau melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses. Keunggulan metode eksperimen bila dibandingkan dengan metode demonstrasi adalah mampu memberikan kesempatan penuh kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki untuk menemukan konsep atapun teori yang sedang dipelajari.

Sedangkan metode demonstrasi adalah penyajian bahan pelajaran oleh guru baik yang berwujud benda maupun berupa prosedur tertentu yang dilakukan secara langsung atau menggunakan media pengajaran yang dapat melibatkan peran serta siswa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Melalui metode demonstrasi siswa memiliki batasan-batasan tertentu sehingga siswa tidak dapat meng-explore seluruh kemampuan yang dimiliki. Siswa hanya bisa memperhatikan apa yang diperagakan oleh guru. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran memiliki intensitas yang lebih kecil bila dibandingkan dengan metode eksperimen yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri lebih besar. Namun keunggulan yang dapat pembelajaran melalui metode demonstrasi adalah manajemen waktu lebih terkontrol karena dikendalikan oleh guru.

Pada penelitian ini, secara statistik dinyatakan bahwa tidak ada pengaruh pembelajaran IPA dengan pendekatn inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa baik ditinjau dari aspek kognitif maupun afektif siswa. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mempengaruhi adalah alokasi waktu. Alokasi waktu antara yang tertuang di RPP tidak bisa berjalan sesuai rencana. Penelitian terhadap kedua kelas eksperimen dilakukan pada hari yang berbeda. Kelas VIII B yang mendapat perlakuan menggunakan metode eksperimen dilaksanakan pada hari Jumat yang ternyata alokasi waktu 2X30 menit, padahal jika sesuai standar proses adalah 40 menit untuk satu jam pelajarannya. Sedangkan kelas VIII D yang mendapat perlakuan menggunakan metode demonstrasi dilaksanakan pada hari Rabu dengan alokasi waktu 2X40 menit. Perbedaan alokasi waktu ini berdampak pada kelompok eksperimen I yang terkadang tidak dapat menyelesaikan seluruh sintak pembelajaran.

(7)

pengaruh penggunaan kedua metode melalui pendekatan inkuiri terhadap prestasi belajar siswa.

Kedua metode pembelajaran yang digunakan ditempuh melalui pendekatan inkuiri terbimbing. Salah satu kelemahan inkuiri terbimbing dalam J.W. McBride et al, (2004) menyatakan bahwa jumlah siswa yang banyak menjadi kendala dalam penyelenggaraan pembelajaran inkuiri. Hal ini sejalan dengan kondisi lapangan pada saat penelitian dengan jumlah siswa di kelas berkisar 40 siswa. Ini merupakan jumlah rombongan belajar yang besar. Padahal berdasarkan standar proses bahwa jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar adalah 32 peserta didik untuk sekolah menengah. Kelompok belajar yang baik akan memungkinkan iklim belajar menjadi kondusif dan tenang sehingga berdampak pada semangat belajar siswa. Apabila iklim belajar tidak tenang dan nyaman maka akan menghambat terjadinya proses pembelajaran di sekolah. Terhambatnya proses pembelajaran akan berdampak pencapaian prestasi belajar siswa. Sehingga kedua metode yang digunakan dalam pembelajaran ini tidak berpengaruh pada prestasi belajar siswa.

Dilihat dari sebaran prestasi belajar yang diberikan pada kedua metode yang diberikan, terlihat bahwa kedua metode dapat memberikan hasil prestasi belajar yang sama baik dibandingkan dengan KKM yang sudah ditetapkan di sekolah. Hal ini sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel bahwa siswa belajar dengan pengalamannya langsung maka belajar akan menjadi bermakna dan ilmu yang diperoleh akan membekas lebih lama dibandingkan jika siswa tidak terlibat langsung dalam pembelajaran. Selain itu, melalui pendekatan dan metode yang diberikan siswa merasa senang dan dapat terlibat dalam pembelajaran. sehingga melalui pendekatan dan metode yang digunakan dapat menghilangkan rasa jenuh dan bosan siswa.

2. Hipotesis Kedua

Kemampuan analisis adalah keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Kemampuan analisis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Setiap siswa memiliki kemampuan analisis yang berbeda satu dengan yang lain. Kemampuan analisis diperkirakan turut mempengaruhi prestasi belajar IPA siswa.

Namun, pada penelitian ini tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara kemampuan analisis terhadap prestasi belajar siswa baik pada aspek kognitif dan afektif.

Hal ini mungkin disebabkan karena kemampuan analisis merupakan bagian dari kemampuan kognitif, sedangkan pada instrumen soal kognitif yang diberikan, presentase soal ranah kemampuan untuk menganalisis tidak terlalu banyak sehingga tidak bisa membedakan siswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan kemampuan analisis rendah. Berdasarkan proses pembelajaran di lapangan, meskipun pada setiap pembelajaran siswa mengidentifikasi langkah-langkah percobaan hingga akhirnya siswa menarik sebuah kesimpulan, namun nyatanya hal ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar yang diperoleh.

Menurut Bruner dalam Winataputra (2008), pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang. Ada tiga proses kognitif yang salah satunya adalah proses mentransformasikan infromasi yang diterima merupakan suatu proses bagaimana memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses, atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan siswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan rendah tidak memiliki perbedaan dalam menganalisis dan memproses informasi dari proses pembelajaran yang berlangsung untuk menjadi sebuah konsep yang suatu saat bermanfaat.

Proses belajar bermakna, berguna dan mudah diingat tidak hanya sekedar dipengaruhi oleh kemampuan memahami struktur mata pelajaran yang berisi ide, konsep dasar, hubungan antar konsep, atau contoh yang akan dipelajari atau dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan analisis siswa. Namun, prestasi belajar dapat juga dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif siswa. Jadi kemampuan analisis bukan satu-satunya kemampuan yang berpengaruh pada prestasi belajar siswa.

(8)

kategori tinggi dan rendah. Kesulitan pengkategorian ini menjadi tinggi dan rendah dari rerata yang rendah tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih baik jika penentuan pengkategorian melihat skor rerata terlebih dahulu.

3. Hipotesis Ketiga

Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar baik kognitif maupun afektif. Hal ini berarti bahwa antara siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi dan sikap ilmiah rendah berbeda prestasi belajarnya. Hal ini sejalan dengan beberapa studi yang menemukan bahwa sikap ilmiah memiliki korelasi positif terhadap prestasi IPA siswa dan memiliki peran dalam pembelajaran IPA (Simpson & Oliver, 1990; Lee & Burkam,1996; Papanastasiou & Zembylas, 2004 dalam Kirikkaya, 2011). Prestasi belajar dapat diraih tidak lepas dari proses pembelajaran yang dilakukan. Berdasarkan Sanjaya (2009), salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran adalah faktor sifat yang dimiliki siswa. Faktor sifat yang dimiliki siswa meliputi: kemampuan dasar, pengetahuan, dan sikap. Salah satu sikap tersebut adalah sikap ilmiah.

Sikap ilmiah merupakan sikap dapat dipandang sebagai sikap-sikap yang melandasi proses IPA. Sikap ilmiah dapat dianggap sebagai nilai dan norma yang dipegang untuk mengikat manusia dalam ilmu pengetahuan alam. Norma ini diungkapkan dalam bentuk aturan, larangan, pilihan, dan kebolehan. Norma dan nilai ini harus diinternalisasi oleh siswa dan setelah itu siswa akan membiasakan diri dengan kebiasaan yang ilmiah. Sikap ilmiah tersebut antara lain sikap ingin tahu, jujur, obyektif, kritis, terbuka, disiplin, teliti dan sebagainya.

Sebagai contohnya siswa yang memiliki sikap ingin tahu tinggi cenderung haus pada pengetahuan baru yang belum diketahui dan berusaha untuk mencari jawaban tentang yang tidak atau belum diketahui. Adanya usaha, siswa yang teliti akan mengerjakan suatu pekerjaan dengan cermat, hati-hati dan tidak terburu-buru akan mampu meminimalisasi kesalahan yang mungkin akan muncul dalam penyelesaian suatu masalah. Jadi sikap ilmiah melekat dalam diri siswa dalam upaya mencapai prestasi belajar. Siswa yang berprestasi tidak lepas dari berkerja keras dan tekun. Kedua aspek prestasi belajar baik ranah kognitif dan afektif dan sikap ilmiah tersebut

saling berhubungan satu sama lain. Sehingga siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi dan rendah akan memberikan pengaruh yang terhadap prestasi belajar yang akan diperoleh. Dari beberapa tinjauan di atas dapat dilihat bahwa ada pengaruh sikap ilmiah kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa. Berdasarkan data yang diperoleh siswa dengan sikap ilmiah tinggi memperoleh hasil yang lebih baik daripada siswa yang memiliki sikap ilmiah rendah.

4. Hipotesis Keempat

Pada penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara kemampuan analisis dengan metode belajar terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif. Pengaruh yang diberikan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan kemampuan analisis. Begitu pula sebaliknya, pengaruh yang diberikan kemampuan analisis terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan metode eksperimen dan metode demonstrasi.

Artinya, kelompok siswa dengan kemampuan analisis tinggi, jika diberikan perlakuan melalui metode eksperimen dan demonstrasi akan memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar serta kelompok siswa dengan kemampuan analisis rendah, perlakuan dengan metode eksperimen dan demonstrasi juga memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar. Demikian juga pada metode eksperimen, antara kelompok siswa dengan kemampuan analisis tinggi dan rendah tidak ada perbedaan prestasi belajar yang signifikan dan hal yang sama pada metode demonstrasi. Dua variabel bebas tersebut tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi antara pembelajaran inkuiri melalui metode eksperimen dan demonstrasi dengan kemampuan analisis siswa terhadap prestasi belajar siswa baik pada ranah kognitif maupun afektif.

(9)

dalam penelitian karena ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa.

Jika dilihat dari metode pembelajaran yang digunakan adalah eksperimen dan demonstrasi yang di dalamnya mengandung metode ilmiah yang erat kaitannya dengan sikap ilmiah siswa sedangkan tinjauan kemampuan analisis siswa, komponen yang digunakan sebagai instrument untuk mengukur kemampuan analisis siswa bukan ke arah kemampuan analisis dalam proses ilmiah tetapi lebih mengacu pada ranah kognitif dari siswa. Sehingga antara dua variabel kemampuan analisis dan metode pembelajaran eksperimen dan demonstrasi mungkin tidak memiliki interaksi dan hubungan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, tidak ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi dengan kemampuan analisis siswa terhadap prestasi belajar siswa saat mengikuti pelajaran IPA pokok bahasan Bunyi.

5. Hipotesis Kelima

Pada penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara sikap ilmiah dengan metode belajar terhadap prestasi belajar kognitif. Pengaruh yang diberikan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar kognitif merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan sikap ilmiah. Begitu pula sebaliknya, pengaruh yang diberikan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif merupakan pengaruh yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan metode eksperimen dan metode demonstrasi.

Artinya, kelompok siswa dengan sikap ilmiah tinggi, jika diberikan perlakuan melalui metode eksperimen dan demonstrasi akan memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar serta kelompok siswa dengan sikap ilmiah rendah, perlakuan dengan metode eksperimen dan demonstrasi juga memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar. Demikian juga pada metode eksperimen, antara kelompok siswa dengan sikap ilmiah tinggi dan rendah tidak ada perbedaan prestasi belajar yang signifikan dan hal yang sama pada metode demonstrasi. Dua variabel tersebut tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi antara pembelajaran inkuiri melalui metode

eksperimen dan demonstrasi dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar siswa pada ranah kognitif.

Siswa dengan sikap ilmiah kategori yang berbeda jika diberikan perlakuan menggunakan metode yang sama ternyata tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap prestasi belajarnya. Proses pembelajaran yang diberikan melalui metode eksperimen dan demonstrasi yang keduanya menanamkan metode ilmiah. Sikap ilmiah pun mengukur sikap siswa yang melandari proses IPA. Adapun prestasi belajar dibagi menjadi prestasi belajar kognitif berkaitan dengan pengatahuan siswa dan afektif berkaitan dengan siswa. Antara metode dan sikap ilmiah memiliki interseksi yang kuat karena keduanya berkaitan dengan sikap siswa, namun prestasi belajar ranah kognitif yang melihat aspek pengetahuan (perolehan konsep) saja. Maka wajar jika antara metode pembelajaran, sikap ilmiah dan prestasi belajar kognitif tidak ada interaksi. Hal ini berbeda ketika metode pembelajaran dikaitkan dengan sikap ilmiah dan prestasi belajar afektif, maka ketiganya memiliki hubungaan yang kuat karena ketiganya mengandung aspek metode ilmiah. Maka sikap ilmiah mendukung pembelajaran yang menggunakan metode ilmiah dan jika diukur melalui prestasi belajar afektif maka akan terdapat hubungan yang kuat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar afektif siswa saat mengikuti pelajaran IPA pokok bahasan Bunyi. Namun, tidak ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar afektif siswa saat mengikuti pelajaran IPA pokok bahasan Bunyi.

6. Hipotesis Keenam

(10)

masalah yang disajikan. Siswa yang memiliki kemampuan analisis rendah tetapi siswa tersebut memiliki kemauan untuk teliti, pantang menyerah jika mengalami kegagalan, ulet dalam menyelesaikan masalah, kritis terhadap fenomena yang ada dan terbuka atau mau menerima masukan yang membangun, memberikan hasil belajar yang baik. Bagi siswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi namun sikap ilmiahnya rendah, hasil belajarnya ternyata tidak lebih baik. Siswa dengan sikap ilmiah tinggi dengan kemampuan analisis yang rendah tidak memberikan pengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa. Demikian pula siswa dengan sikap ilmiah rendah prestasi belajarnya rendah meskipun memiliki kemampuan analisis yang tinggi.

Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara kemampuan analisis dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif. Pengaruh yang diberikan kemampuan analisis terhadap prestasi belajar kognitif maupun afektif merupakan pengaruh yang independen dan tidak berhubungan dengan sikap ilmiah. Dua variabel yang diteliti ini tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi antara kemampuan analisis dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar siswa baik pada aspek kognitif maupun afektif.

Artinya, kelompok siswa dengan sikap ilmiah tinggi dengan kemampuan analisis yang berbeda memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar serta kelompok siswa dengan sikap ilmiah rendah dengan kemampuan analisis yang berbeda juga memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar. Demikian juga pada kelompok kemampuan analisis tinggi dengan kelompok siswa sikap ilmiah tinggi dan rendah tidak ada perbedaan prestasi belajar yang signifikan dan hal yang sama pada siswa dengan kelompok kemampuan analisis rendah. Dua variabel tersebut tidak menghasilkan kombinasi efek yang signifikan, sehingga disimpulkan tidak ada interaksi antara kemampuan analisis siswa dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar siswa baik pada ranah kognitif maupun afektif.

Hal ini disebabkan karena komponen analisis mengukur komponen pengetahuan (kognitif) siswa sedangkan komponen sikap ilmiah mengukur sikap siswa. Jadi kedua variabel moderator tersebut berdiri sendiri. Sehingga tidak akan ada interaksi antara

kemampuan analisis dan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar IPA.

7. Hipotesis Ketujuh

Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh bersama yang signifikan antara metode, kemampuan analisis, dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif dan afektif. Tidak terdapatnya interaksi antara metode eksperimen dan metode demonstrasi, kemampuan analisis dan sikap ilmiah terhadap prestasi belajar kognitif maupun afektif dapat dijelaskan karena pada metode eksperimen siswa memiliki rata-rata yang lebih baik daripada melalui metode demonstrasi, siswa dengan kemampuan analisis tinggi memiliki rata-rata lebih baik daripada siswa dengan kemampuan analisis rendah, siswa dengan sikap ilmiah tinggi memiliki rata-rata lebih baik daripada siswa dengan sikap ilmiah rendah.

Meskipun tidak ada interaksi yang signifikan antara tiga variabel bebas terhadap variabel terikatnya, namun berdasarkan Holmes (2011) yang melakukan penelitian dengan mengkaji pelajaran melalui inkuiri menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri dapat melatih kemampuan berpikir kritis; meningkatkan prestasi dan sikap terhadap mata pelajaran; dan dapat mempertahankan informasi lebih baik. Di dalam berpikir kritis menurut Facione (2011) memerlukan suatu kemampuan analisis.

Sikap terhadap pelajaran tidak lain adalah kemampuan ranah afektif. Dilihat dari rata-rata nilai yang diperoleh siswa bahwa ketiga variabel tersebut memiliki dampak yang baik terhadap prestasi belajar siswa karena secara garis besar mampu mendapatkan nilai di atas KKM sekolah

.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan pada bab

sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

(11)

diperoleh siswa dapat melampaui KKM. Siswa dengan perlakuan melalui metode eksperimen memperoleh prestasi belajar rata-rata 70,62 pada aspek kognitif dan 121,28 pada aspek afektif sedangkan siswa dengan perlakuan melalui metode demonstrasi memperoleh prestasi belajar rata-rata 69,44 pada aspek kognitif dan 120,23 pada aspek afektif.

2. Tidak ada pengaruh kemampuan analisis kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar IPA siswa. Hal ini karena rerata kemampuan analisis siswa secara keseluruhan yaitu 53,46 untuk siswa yang mendapatkan metode eksperimen dan 56,41 untuk siswa yang mendapatkan metode demonstrasi. Sehingga sulit dibedakan antara kemampuan analisis kategori tinggi dan rendah. Prestasi belajar yang diperoleh siswa dengan kemampuan analisis tinggi pada ranah kognitif 69,59 dan 120,23 pada ranah afektif, sedangkan siswa dengan kemampuan analisis rendah memperoleh rerata 70,38 pada ranah kognitif dan 121,27 pada ranah afektif.

3. Ada pengaruh sikap ilmiah kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar IPA siswa. Hal ini karena kedua aspek prestasi belajar baik ranah kognitif dan afektif dan sikap ilmiah tersebut saling berhubungan satu sama lain. Sehingga siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi dan rendah akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap prestasi belajar yang akan diperoleh. Prestasi belajar yang diperoleh siswa dengan sikap ilmiah tinggi pada ranah kognitif 72,38 dan 125,33 pada ranah afektif, sedangkan siswa dengan sikap ilmiah rendah memperoleh rerata 67,75 pada ranah kognitif dan 116,30 pada ranah afektif.

4. Tidak ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi dengan kenmampuan analisis siswa terhadap prestasi belajar IPA. Hal ini, karena komponen instrument analisis lebih mengukur ke analisis kognitif, sedangkan metode pembelajaran erat kaitannya dengan metode ilmiah.

5. Tidak ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar pada aspek kognitif saat mengikuti

pelajaran IPA. Namun, ada interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi dengan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi pada aspek afektif. Hal tersebut disebabkan karena metode dan sikap ilmiah dan prestasi belajar ranah afektif memiliki interseksi yang kuat karena keduanya berkaitan dengan sikap siswa, namun prestasi belajar ranah kognitif yang melihat aspek pengetahuan (perolehan konsep) saja.

6. Tidak ada interaksi antara kemampuan analisis dan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar IPA. Hal ini disebabkan karena komponen analisis mengukur komponen pengetahuan (kognitif) siswa sedangkan komponen sikap ilmiah mengukur sikap siswa. Jadi kedua variabel moderator tersebut berdiri sendiri.

7. Tidak ada interaksi antara pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dan demonstrasi dengan kemampuan analisis dan sikap ilmiah siswa terhadap prestasi belajar IPA. Meskipun ketiga variabel tida berinteraksi, namun memiliki dampak yang baik terhadap prestasi belajar siswa karena secara garis besar mampu mendapatkan nilai di atas KKM sekolah.

Rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Peneliti dapat mengembangkan penelitian serupa dengan mengukur prestasi belajar aspek psikomotorik, sehingga mengetahui perbedaan psikomotorik siswa yang diberikan pembelajaran melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi.

2. Perlu dilakukan penelitian tentang faktor internal lain misalkan tentang kecerdasan siswa dari siswa yang dimungkinkan mempengaruhi prestasi belajar siswa.

3. Jika mengkaji sikap ilmiah dan prestasi belajar afektif, sebaiknya komponen yang dijadikan pedoman penilaian kedua aspek dibedakan.

4. Sebaiknya dalam menentukan

(12)

Daftar Pustaka

Badan Standar Pendidikan Nasional. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Education Index. Retrieved tanggal 23 Mei 2011.  Fromhttp://en.wikipedia.org/wiki/Education_ Index.

Facione, Peter A. (2011). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Measured Reasons and The California Academic Press, Millbrae, CA

Harlen, Wynne. (2004). Evaluating Inquiry-Based Science Developments: A Paper Commisisoned by The National Reasearch Council in Preparation for a Meeting on the Status of Evaluation of Inquiry-Based Science Education. Cambridge: National Academy of Sciences.

Holmes, Vicki-Lyn. (2011). Standardizing the Inquiry Lesson: Improving the Caliber of Science Inquiry. E. J. of Literacy Through Science Vol. 10. from htpp://ejlts.ucdavis.edu

I Kade Suardana. (2007). Penilaian Portopolio dalam Pembelajaran Fisika Berbasis Inquari Terbimbing di SMP Negeri 2 Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan: Lembaga Penelitian Undiksha.

Indra Akuntono. (2012, April 20). Kecurangan Terjadi Sebelum UN Dilaksanakan. Kompas.com. tanggal download 11 Juli 2012, from

http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/20/0 5553647/Kecurangan.Terjadi.Sebelum.UN.D ilaksanakan.

J. W. McBride et al. (2004). Using an Inquiry Approach to Teach Science to Secondary School Science Teachers”. Phys. Educ. J. from www.iop.org/journals/physed

Kirikkaya, Esma Bulus. (2011). Grade 4 to 8 Primary School Students; Attitudes towards Science: Science Enthusiasm. Academic J. of Educ. Res. Rev. Vol 6(4) pp. 374-382. ISSN: 1990-3839.

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi

Pardjono dan Wardaya. (2009). Peningkatkan Kemampuan Analisis, Sintesis, dan Evaluasi Melalui Pembelajaran Problem Solving. Cakrawala Pendidikan, November 2009, Th. XXVIII, No. 3

Rachmawati, R. Fitria, (2011). Sistem Pengambilan Keputusan Terhadap Ketidakdisiplinan Siswa SMP di SMP YZA Kota Bogor. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi Volume 2.

Sagala, Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.

Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Susanto, Handy. (2006). Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur No. 06/Th.V/Juni 2006

Uliyati, Tatak Prapti. (2005). Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia. Diakses melalui:http://theindonesianinstitute.com/inde

x.php/2005061146/REFORMASI-

PENDIDIKAN-DASAR-DI-INDONESIA.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2010.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3

Winataputra, Udin S., dkk. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur sektor industri consumer goods

Selanjutnya pada pukul 18.30 dan 20.00 tim terhalang oleh pohon yang roboh menghalangi jalan, dengan chain saw pohon yang tumbang bisa disingkirkan, perlu waktu 30 menit

Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik , (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm.1.. diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif

Dan perangkat yang berfungsi sebagai alat pencegahan tindak pencurian berbasis IoT telah berhasil dibuat dengan fungsi dapat mengambil mac address dari tiap access point, dapat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa desorpsi seng(II) yang terikat pada bimassa A.microphylla diesterifikasi asam

Untuk mengetahui pengaruh dari pemberian sediaan ekstrak pucuk daun mangga ( Mangifera indica L.) kultivar cengkir dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit yang

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Terkomputerisasi pada Siklus Penjualan Perusahaan Manufaktur dan Plastik (Studi Kasus

Sedangkan signifikansi atau pentingnya model penanganan yang dilakukan PPTK Semarang Timur “Kartini” yaitu, Pertama untuk mengetahui penanganan yang tepat dan