• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) PASCA INSTRUKSI DIRJEN BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/I TAHUN 2015 PERSPEKTIF KEPUTUSAN MENTERI AGAMA No 298 TAHUN 2003 DI KUA Kec. CANDI Kab. SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSISTENSI PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) PASCA INSTRUKSI DIRJEN BIMAS ISLAM NOMOR DJ.II/I TAHUN 2015 PERSPEKTIF KEPUTUSAN MENTERI AGAMA No 298 TAHUN 2003 DI KUA Kec. CANDI Kab. SIDOARJO."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

2003

DI KUA Kec. CANDI Kab. SIDOARJO”

Skripsi

Oleh

MUCHAMMAD IQBALUL FAUZI

NIM. C31210091

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Keluarga

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Perspektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003 di KUA Kec. Candi Kab.

Sidoarjo merupakan riset lapangan (Field Research) yang didasarkan pada

Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 tentang eksistensi P3N

di KUA Kec. Candi Kab. Sidoarjo. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini

adalah Bagaimana Implementasi dan Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 di

Kec. Candi Kab. Sidoarjo. Rumusan masalah tersebut kemudian dibahas dalam

analisis hukum positif, yakni tentang UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan PP No. 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan dalam sebuah pernikahan dan Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah kualitatif dan bersifat deskriptif analitis, dengan begitu penulis berupaya menjelaskan serta menganalisa fakta kasus yang terdapat dalam lapangan secara objektif dan sistematis. Adapun untuk mempermudah mengambil kesimpulan dari hasil analisa kasus, maka pola fikir deduktif sangat relevan untuk dihadirkan sebagai alat tinjau dari kerangka teoritis prihal hukum positif yang membahas tentang pencatatan pernikahan.

Hasil dari penelitian menjelaskan bahwasanya dari segi implementasi aturan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 telah di laksanakan oleh pemerintah KUA di Kec. Candi Kab. Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut, pemerintah dalam hal ini menyatakan bahwa program P3N hanya di berlakukan dalam kondisi dan wilayah tertentu atas pertimbangan kategori wilayah pedalaman, daerah yang secara kualitas SDM masih rendah dan kondisi keagamaan yang masih lemah. Oleh sebab itu pemberlakuan aturan tersebut tidak berlaku dalam masyarakat kategori perkotaan.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II PERKAWINAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM TINJAUAN YURIDIS ... 18

A. Pengertian dan dasar hukum perkawinan ... 18

(8)

C. Pencatatan Perkawinan ... 26

D. Pelaksanaan Perkawinan ... 32

E. Petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ... 39

BAB III PERAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH DI KUA Kec. CANDI Kab. SIDOARJO ... 43

A. Profil Kecamatan Candi ... 43

a. Profil kecamatan candi ... 43

B. Profil dan Struktur KUA Kecamatan Candi ... 45

a. Letak Geografis KUA Kecamatan Candi ... 45

b. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Candi ... 45

c. Daftar Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Di Kecamatan Candi ... 46

d. Peran Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ... 48

BAB IV Analisis Hukum Positif Terhadap Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Tentang Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Kec. Candi Kab. Sidoarjo ... 56

A. Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/Tahun 2015 Di KUA Kec. Candi Kab. Sidoarjo ... 56

B. Analisis Eksistensi Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N) Pasca Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Di KUA Kec. Candi Kab. Sidoarjo ... 61

C. Analisis Terhadap Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Perspektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003………. 66

BABV PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pencatatan perkawinan sangat penting dalam kehidupan berumah tangga,

terutama bagi kaum perempuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk

melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan.1 Disamping itu pencatatan

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Begitu

pentingnya pencatatan perkawinan sehingga pemerintah mencantumkannya

dalam undang-undang.

Didalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut. Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundangan yang berlaku. UU No. 1 Tahun 1974

menjelaskan bahwa suatu perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dengan

demikian, orang-orang yang beragama Islam, perkawinannya baru dinyatakan sah

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 107. 2

(10)

apabila dilakukan menurut hukum Islam. Selain itu, terdapat keharusan

pencatatan menurut peraturan dan perundangan yang berlaku.

Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu

peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran dan kematian

yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk hal-hal

tersebut. Pencatatan tersebut perlu dilakukan untuk kepastian hukum. Oleh

karena itu, perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut

yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974 ini berlaku dan dijalankan menurut

peraturan perundangan yang lama adalah sah.3

Dalam keadaan tertentu karena luasnya daerah atau besarnya jumlah

penduduk yang perlu diberi pelayanan oleh Kantor Urusan Agama kecamatan

baik dalam pelayanan nikah, talak, cerai dan rujuk maupun bimbingan agama

Islam pada umumnya, menteri agama melalui Keputusan Menteri Agama Nomor

298 Tahun 2003 menetapkan adanya pemuka agama desa setempat yang ditunjuk

untuk melakukan pembinaan kehidupan beragama Islam, berkoordinasi dengan

instansi terkait dan lembaga yang ada dalam masyarakat maka dibentuk pejabat

pembantu yang dinamakan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Hal ini

dilakukan untuk memperbaiki keadaan kelurahan terutama mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan agama, mengingat selanjutnya pemerintahan kelurahan

makin lama semakin sempurna, maka ada pembagian kerja antara anggota –

3

(11)

anggota kelurahan tertentu agar kehidupan beragama penduduk terpelihara

dengan baik.

Diangkatnya Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) sangat penting

sekali dalam rangka pemerataan pelayanan terutama mengenai pelayanan

pernikahan dalam masyarakat. Dalam suatu kecamatan kadang terdapat

kelurahan yang banyak sekali jumlah penduduknya serta jauh dari kantor KUA,

sehingga sulit sekali dijangkau oleh PPN apabila ada masyarakat yang hendak

melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu perlu sekali diangkat seorang

pegawai pembantu.

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah Pemuka Agama Islam

di Desa yang ditunjuk dan diberhentikan oleh Kepala Bidang Urusan Agama atau

Bidang Urusan Agama Islam dan Penyelenggaraan Haji atau Bidang Bimas

Islam dan penyelenggaraan haji atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementrian

Agama Propinsi berdasarkan usul Kepala Seksi Urusan Agama Islam dan

penyelenggaraan haji atau Seksi Bimbingan masyarakat dan Penyelenggaraan

Haji atau Seksi Bimbingan Masyarakat dan Kependidikan Agama Islam atas

nama Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten atau kota setelah

mendengar pendapat Bupati atau Walikota Daerah setempat. Dimana Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ini dapat mewakili tugas Pegawai Pencatat

Nikah.4

4

(12)

Apabila di perhatikan Keputusan Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003

maka tugas pokok P3N adalah sebagai berikut :

1) Pembantu PPN di Luar Jawa, atas nama Pegawai Pencatat Nikah mengawasi

nikah dan menerima pemberitahuan rujuk yang dilakukan menurut Agama

Islam diwilayahnya.

2) Pembantu PPN di jawa, membantu mengantarkan anggota masyarakat yang

hendak menikah ke Kantor Urusan Agama yang wilayahnya dan

mendampinginya dalam pemeriksaan nikah dan rujuk.

3) Pembantu PPN di samping melaksanakan kewajiban pada butir 1 dan 2

berkewajiban pula melaksanakan tugas membina ibadah, melayani

pelaksanaan ibadah sosial lainnya dan melaksanakan pembinaan kehidupan

beragama untuk masyarakat Islam di wilayahnya termasuk membantu

Badan Kesejahteraan Masjid (BKM), pembinaan Pengembangan Agama

Islam (P2A), Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) dan Badan

Penasehat, pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).

Pada Pasal 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, PPN

adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pencatatan nikah/rujuk,

pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan. PPN

secara langsung dijabat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, yang

mana dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakilkan oleh Penghulu atau

Pembantu PPN.5

5

(13)

Setelah turunnya surat edaran dari kementrian agama No

kw.06.02/1/kp.01.2/160/2015 tentang pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam

Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Tentang pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah (P3N) maka tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) dihapuskan

dan menyerahkan sepenuhnya urusan pernikahan menjadi tanggung jawab penuh

KUA. Dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan secara terperinci mengenai porsi

maupun hak - hak Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), Sehingga tidak ada

kejelasan mengenai nasib Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) tersebut.

Sebagian masyarakat terutama calon pengantin di wilayah KUA kecamatan

candi belum mengetahui mengenai dihapuskannya Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah (P3N) sehingga masih saja mengurus berkas pernikahan melalui Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang ada di desa, hal ini dikarenakan karena

kurangnya informasi mengenai dihapuskannya Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah (P3N), disamping itu dikarenakan sulitnya mengisi berkas-berkas dan

administrasi untuk pendaftaran menikah yang membutuhkan banyak waktu

sehingga para calon pengantin memilih cara instan yaitu menyerahkan

sepenuhnya urusan administrasi dan pendaftaran kepada Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (P3N).

Begitu pentingnya keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)

dalam hal keagamaan terutama mengenai pengawasan, pendaftaran, pelaksanaan

dan penyelenggaraan perkawinan sehingga menjadi tradisi di masyarakat ketika

hendak melakukan perkawinan melakukan pendaftaran admistrasinya melalui

(14)

penyelenggaraan perkawinan tersebut, sampai sekarang P3N masih melakukan

tugasnya meskipun kedudukannya sudah dihapuskan.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul : “Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)

Pasca Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Perspektif

Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003 di KUA Kec. Candi Kab.

Sidoarjo.”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas terdapat beberapa masalah

dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

a. Pengertian Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

b. Peranan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di KUA kec Candi.

c. Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Tentang

pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

d. Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015

Tentang pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di KUA

kecamatan Candi kab Sidoarjo.

e. Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

f. Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tentang

(15)

g. Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) pasca Instruksi

Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015.

h. Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Perspektif

Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

2. Batasan masalah

Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini, maka peneliti

membatasi masalah dalam pembahasan ini dengan:

a. Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015

Tentang pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di KUA

kecamatan Candi kab Sidoarjo.

b. Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) pasca Instruksi

Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015.

c. Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Perspektif

Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

C. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian masalah diatas, maka dapat diambil rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I

(16)

2. Bagaimana Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca

Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 di Kec. Candi

Kab. Sidoarjo ?

3. Bagaimana analisis terhadap eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah (P3N) prespektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003 ?

D. Kajian Pustaka

Secara umum, kajian pustaka ini dilakukan supaya terlihat jelas tidak

adanya pengulangan dalam penelitian masalah ini. Berikut akan dipaparkan

beberapa skripsi yang membahas tentang pegawai pencatat nikah, di antaranya

adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Iqbal Fakultas Syariah IAIN Sunan

Ampel Surabaya 2003 yang berjudul “Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

dalam menunjang keabsahan suatu pernikahan di KUA kecamatan

Banyuwangi”. Skripsi ini membahas tentang peran PPN di KUA

Banyuwangi apakah sudah sesuai peraturan perundang-undangan di

indonesia. Dan dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa peran

PPN di KUA kecamatan banyuwangi belum sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di indonesia yang dapat berakibat tidak

sah nya suatu pernikahan.6

(17)

2. Skripsi yang ditulis oleh Irawati Fauziah Fakultas Syariah IAIN Sunan

Ampel Surabaya 2004 dengan judul “Persepsi Masyarakat desa Mojojajar

Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto terhadap Peranan Pembantu PPN

(modin) dalam proses pernikahan”. Skripsi ini membahas tentang pandangan

masyarakat desa Mojojajar kecamatan Kemlagi kabupaten Mojokerto

terhadap peranan pembantu PPn dalam proses pernikahan dan menjelaskan

faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat desa Mojojajar menerima atau

menolak terhadap peranan pembantu PPN dalam proses pernikahan.7

3. Skripsi yang ditulis oleh Laila Umaroh Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

2000 dengan judul “Studi atas Is|bat Nikah Akibat Perilaku PPN di

Pengadilan Agama Tulungagung”. Skripsi ini menjelaskan bahwa adanya

Isbat nikah diakibatkan perilaku petugas PPN. Oleh karena itu, Pengadilan

Agama mengesahkan pernikahan melalui Isbat nikah atas permohonan dari

pasangan suami-istri yang sudah menikah ke hadapan PPN dan belum dicatat

dalam akta nikah sehingga pasangan suami-istri tersebut tidak memiliki akta

nikah. Dengan demikian, tujuan Isbat nikah adalah untuk mendapatkan akta

nikah.8

Adapun dalam pembahasan kali ini yang akan diteliti oleh penulis yaitu

mengenai Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) pasca Instruksi

Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 dilihat dari Perspektif Keputusan

7

Irawati Fauziah, “Persepsi Masyarakat desa Mojojajar Kecamatan Kemlagi Kabupaten

Mojokerto terhadap Peranan Pembantu PPN (modin) dalam proses pernikahan”. (Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004).

(18)

Menteri Agama No 298 Tahun 2003. Dalam penelitian ini akan dibahas

mengenai eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) dan bagaimana

status Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) pasca adanya Instruksi Dirjen

Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 di KUA kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo, melihat betapa pentingnya keberadaan dan pengaruh Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di masyarakat.

E. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca

Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015.

2. Untuk mengetahui Implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I

Tahun 2015 di KUA kec Candi kab Sidoarjo.

3. Untuk menganalisis Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)

Perspektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan menambah wawasan pemikiran di bidang hukum

perkawinan, khususnya tentang pencatatan perkawinan.

(19)

2. Aspek praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan

bagi kepala KUA dalam melaksanakan tugasnya, serta bagi masyarakat yang

akan melangsungkan perkawinan.

G. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman mengenai judul skripsi di atas supaya

jelas arah dan tujuannya, maka penulis memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Eksistensi berasal dari bahasa inggris yaitu excitence; dan dari bahasa latin

existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual,

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksistensi diartikan sebagai

keberadaan. Artinya, eksistensi menjelaskan tentang penilaian ada atau

tidaknya pengaruh terhadap keberadaan seseorang tersebut.9 Dalam skripsi

eksistensi yang penulis maksud yaitu mengenenai bagaimana keberadaan

P3N setelah adanya Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015

serta masih ada atau tidaknya pengaruh keberadaan P3N tersebut pasca

Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 di KUA kec Candi.

2. Implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

“Pelaksanaan atau Penerapan”. Didalam skripsi ini yang di maksud

implementasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 di

KUA kec Candi kab Sidoarjo yaitu bagaimana penerapan dan pelaksanaan

intruksi tersebut di KUA kec Candi.

9

(20)

3. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah Pemuka Agama Islam di

Desa yang ditunjuk dan diberhentikan oleh Kepala Bidang Urusan Agama

atau Bidang Urusan Agama Islam dan Penyelenggaraan Haji atau Bidang

Bimas Islam dan penyelenggaraan haji atas nama Kepala Kantor Wilayah

Kementrian Agama Propinsi berdasarkan usul Kepala Seksi Urusan Agama

Islam dan penyelenggaraan haji atau Seksi Bimbingan masyarakat dan

Penyelenggaraan Haji atau Seksi Bimbingan Masyarakat dan Kependidikan

Agama Islam atas nama Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten atau

kota setelah mendengar pendapat Bupati atau Walikota Daerah setempat. di

suatu kelurahan yang membantu pegawai pencatat nikah (PPN) dalam

rangka pemerataan pelayanan terutama mengenai pelayanan pernikahan

dalam masyarakat.10

4. Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 adalah Peraturan

perundang-undangan yang isinya memuat tentang pengangkatan Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N), sedangkan Keputusan Menteri Agama No

298 Tahun 2003 adalah peraturan perundang-undangan tentang pencatatan

nikah dari Menteri Agama yang didalamnya memuat mengenai tugas dan

fungsi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

Dari paparan diatas, maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah

penilaian terhadap ada tidaknya pengaruh keberadaan Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (P3N) di KUA kec Candi kab Sidoarjo dalam bidang

10

(21)

pelayanan terutama mengenai pelayanan pernikahan pasca Instruksi Dirjen

Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam

penelitian.11 Penulis mencoba mengumpulkan data-data yang relevan, agar

dapat dipertanggung jawabkan. Adapun data tersebut adalah:

a. Data tentang peraturan mengenai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

(P3N) yang berlaku di indonesia.

b. Data tentang pelaksanaan tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)

di KUA kec Candi kab Sidoarjo.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah asal-usul dari mana data

penelitian tersebut diperoleh. Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,

maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber Primer merupakan informasi yang dikumpulkan penulis langsung

dari sumbernya.12 Adapun data primer terdiri atas :

1) Kepala KUA kecamatan Candi.

2) Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

11

HermawanWasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1995), 69.

(22)

b. Sumber Sekunder, yaitu beberapa referensi yang mendukung terhadap

sumber primer yang terdiri atas buku-buku yang membahas tentang

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Di antaranya adalah:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Citra Media

Wacana.

2) Departemen Agama RI. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN),

Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.

3) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian

Negara No. 20 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan

Fungsional penghulu dan Angka Kreditnya.

4) Surat Edaran Nomor : D/Kep. 002/02/1990 Tentang Pelaksanaan

Peraturan Menteri Agama Negara RI No. 2 Tahun 1989 Tentang

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

5) Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015.

6) Surat edaran Kemenag No kw.06.02/1/kp.01.2/160/2015.

7) Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003.

8) Kompilasi Hukum Islam.

9) Surat dan Instruksi Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/113 Tahun 2009

Penggunaan Dana peneriman Negara Bukan Pajak Nikah atau Rujuk

(23)

10) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Nikah.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara (interview) merupakan suatu kegiatan tanya jawab dengan

tatap muka (face to face) antara pewawancara (interviewer) dengan yang

diwawancarai (interviewe) tentang masalah yang diteliti, di mana

pewawancara bermaksud memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari

yang diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti.13

Tujuannya yaitu untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya

langsung dan wawancara dengan Kepala KUA kec Candi kab Sidoarjo

dan para Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) tentang Eksistensi

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca Instruksi Dirjen Bimas

Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Perspektif Keputusan Menteri Agama

No 298 Tahun 2003.

b. Studi Dokumen merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam suatu

penelitian. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi

cenderung menggunakan data sekunder, baik dari buku-buku maupun

dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian.14 Data sekunder

diperoleh dengan cara mencari data dari beberapa Refrensi yang memuat

tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), baik dari buku maupun

dari peraturan-peraturan yang berlaku.

13

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 237. 14

(24)

4. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan-urutan data,

mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian

data.15 Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,

yaitu menggambarkan fakta-fakta secara sistematis kemudian dilakukan

analisis terhadap fakta-fakta tersebut, sehingga dapat ditarik simpulan.

Peneliti menggunakan metode ini berusaha untuk memaparkan fakta-fakta

yang berkaitan dengan Eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)

Pasca Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Perspektif

Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003 kemudian data tersebut

dianalisis dengan pola pikir deduktif, yaitu metode yang diawali dengan

mengemukakan kenyataan-kenyataan yang bersifat umum berkenaan dengan

eksistensi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang kemudiaan di

tinjau dari Perspektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun 2003 untuk

selanjutnya diambil kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah alur pembahasan dalam skripsi ini maka

sistematika pembahasan disusun sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari, latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

15

(25)

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat tentang landasan teori, yaitu tentang pengertian dan

dasar hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, pencatatan perkawinan

serta hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dan tugas - tugas Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

Bab ketiga merupakan data penelitian, yakni menjelaskan tentang profil

KUA kecamatan Candi, Pegawai pencatat nikah (PPN), Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (P3N) di KUA kecamatan Candi dan eksistensi Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

Bab keempat merupakan analisis data, yaitu menganalisis Eksistensi

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) Pasca Instruksi Dirjen Bimas Islam

Nomor DJ.II/I Tahun 2015 Perspektif Keputusan Menteri Agama No 298 Tahun

2003 .

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Kata perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikāh} (حاكن) dan zawāj (جاوز).1 Nikah

menurut bahasa mempunyai arti menghimpit, menindih, atau berkumpul.

Sedangkan nikah mempunyai arti kiasan yakni wata’ yang berarti setubuh

atau aqd yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.2 Perkawinan

merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,

baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.3

Sebagaimana Firman Allah SWT Q.S. Yāsin ayat 36

َا َ ْ ُ

يِذَلا

َ َ َ

َااَ ْأاا

َهَ ُك

َِِ

ُ ِ ْ ُُ

ُ ْأاا

ْ ِ َ

ْ ِهِ ُ ُْ َ

ََِِ

ا

َا ُ َ ْ َُ

Artinya: “Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik

dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa

yang tidak mereka ketahui.”4

Perkawinan ialah akad nikah antara calon suami istri untuk memenuhi

hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat dan yang dimaksud dengan

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 35.

2 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2010), 287.

3 Tihami dan Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 6.

4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,

2005), 862.

(27)

akad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya, dan kabul dari

pihak calon suami atau wakilnya.5

Menurut ahli us}u>l, arti nikah terdapat 3 macam pendapat yakni:

1. Golongan Hanafi, arti hakiki nikah adalah setubuh dan menurut arti

majāzi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan

kelamin antara pria dan wanita.

2. Golongan Syafii, arti hakiki nikah adalah akad yang dengannya menjadi

halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti

majazi adalah setubuh.6

3. Golongan Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat artinya antara

akad dan setubuh.7

Adapun perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Sedangkan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan ghali>z}an untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.9

5 Mawardi Al. Hukum Perkawinan Dalam Islam. (Yogyakarta: BPFE, Cet 3, 1984), 1.

6 Nasrul Umam Syafii dan Ulfi Ulfiyah, Ada apa dengan nikah beda agama, (Tangerang: Agro

Media Pustaka,2007), 24.

7 Abd. Shomad, Hukum islam penormaan…,259.

(28)

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah dan

merupakan sunnah Rasulullah. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan hal ini

adalah:

1. Surat al-Nu>r ayat 32

ا ُ ِكْ َ َ

ىَ َ اا

ْ ُكْ ِ

َ ِِا َللاَ

ْ ِ

ْ ُكِا َ ِ

ْ ُكِا َ ِ َ

ْاِ

ا ُ ُكَ

َااَ َ ُُ

ُ ِهِ ْ ُُ

ُ َ لا

ْ ِ

ِ ِ ْ َ

ُ َ لاَ

ٌ ِ اَ

ٌ ِ َ

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.10

2. Surat al-Ru>m ayat 21

ْ ِ َ

ِ ِ َ

ْاَ

َ َ َ

ْ ُكَل

ْ ِ

ْ ُكِ ُ ُْ َ

ًجاَ ْأَ

ا ُ ُكْ َتِل

َهُْ َلِ

َ َ َجَ

ْ ُكَ ُْ َُ

ً َاَ َ

ً َْ َأَ

َاِ

ِ

َ ِلَ

ٍا َ

ٍ ْ َ ِل

َا ُ َكَ َُتَُ

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.11

10Departemen Agama RI…, 354.

(29)

3. Surat al-Nah}l ayat 72

ُ َ لاَ

َ َ َج

ْ ُكَل

ْ ِ

ْ ُكِ ُ ُْ َ

ًجاَ ْأَ

َ َ َجَ

ْ ُكَل

ْ ِ

ْ ُكِجاَ ْأَ

َ ِ َ

ً َ َ َ َ

ْ ُكَ َأَأَ

َ ِ

ِا َ ّ َللا

ِ ِا َ ْل ِ َ َ

َا ُ ِ ْ ُُ

ِ َ ْ ِ ِ َ

ِ َ لا

ْ ُ

َا ُ ُ ْكَ

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri

dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah

mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah.”12

Selain ayat-ayat al-Qur’an juga terdapat hadis-hadis Nabi yang

menerangkan tentang anjuran untuk menikah dan juga tentang larangan

untuk membujang. Di antaranya adalah:

1. Hadis Nabi

ْ َ

ِ ْ َ

َ ْ َ لا

ْ ِ

َا َ َ ْ َُ

:

َا َ َُ

َ َل

ُاْ ُ َأ

ِ ّ لا

ىَ َص

ُ َ لا

ِ ْ َ َ

َ َ َ َ

َ

َ َ ْ َ

ِا َ َ لا

ْ َ

َا َلَتْ ِا

ُ ُكْ ِ

َ َا َ لا

ْاَ َ َُتَ ْ َُ

ْ َ َ

َْ

ْ ِلَتْ َ

ِ ْ َ َ َُ

ِ

ِ ْ َللا

ُ َ ِ َ

ُ َل

ٌا َجِ

(

ا َأ

يأ خ لا

)

13

Artinya: Dari ‘Abdillah Ibn Yaryid berkata Rasullah SAW bersabda: “Hai

para pemuda, barang siapa yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah

berpuasa karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.”

(HR.Bukhori).

2. Hadis Nabi

ْ َ

َ َ ِا َ

ْ َل َ

:

َا َ

ُا ُ َأ

ِ َ لا

ىَ َص

ُ َ لا

ِ ْ َ َ

َ َ َ َ

ُا َكّ لا

ْ ِ

ِ َ ُ

ْ َ َ

َْ

ْ َ ْ َُ

ِ َ ُ ِ

َ ْ َ َُ

ّ ِ

ا ُجَ َ َُ َ

ّ ِ َ

ٌ ِا َكُ

ْ ُكِ

َ َ ُْاا

ْ َ َ

َا َك

اَ

ٍاْ َا

ْ ِكْ َُ ْ َُ

ْ َ َ

َْ

ْ َِ

12 Ibid., 274.

13 Abi> Abdilla>h Muhammad Ibn Isma>’il al-Bukho>ry, S}ah}ih} Bukho>riy , juz V (Beirut: Da>r al-Fikr,

(30)

ِ ْ َ َ َُ

ِ َ ّلل ِ

َاِ َ

َ ْ َللا

ُ َل

ٌا َجِ

(

ُااَ َأ

ُ ْ ِا

ُ َج َ

)

14

Artinya: Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda, pernikahan merupakan

sunahku barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku maka bukan dari golonganku, menikahlah sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak, barang siapa yang sudah sanggup maka menikahlah dan bagi yang belum

dapat maka berpuasalah, sesungguhnya puasa dapat mengekang nafsu.” (HR.Ibnu

Ma>jah).

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa syarat

tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak melaksanakan

perkawinan maupun yang berhubungan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.15

Syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum16 atau sesuatu

yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)

tetapi sesuatu itu tidak termasuk rangkaian pekerjaan itu.17 Sedangkan Rukun

ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum18 atau sesuatu yang harus ada

yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.19 Rukun-rukun perkawinan itu ada lima

macam, yaitu: Shighat (ijab-kabul), calon istri, calon suami, wali (calon suami

14 Abu> Abdilla>h Muhammad Ibn Yazi>d al-Quzwainiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Da>r al-Fikr,

2004) , 152-153.

15 Ibid., 19.

16Pedoman Pegawai…, 35.

17 Abd. Rahman Ghazaly, fikih munakahat, cet.II (Jakarta: kencana, 2003), 45.

18Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Departemen Agama RI Proyek Peningktan Tenaga

Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: 2003), (PPN), 35.

(31)

dan wali inilah yang disebut dengan dua pihak yang berakad) dan dua orang

saksi.20

Menurut jumhur ulama’ rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing

rukun itu mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Laki-laki.

c. Jelas orangnya.

d. Dapat memberikan persetujuan.

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Calon istri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Perempuan.

c. Jelas orangnya.

d. Dapat dimintai persetujuannya.

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.21

Di antara pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan yaitu

mempelai pria dan wanita harus memenuhi syarat-syarat tertentu supaya

perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Adapun

syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah:

1) Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna.

20 Rosidin, Fikih Munakahat, (Malang: Litera Ulul Albab, 2013), 35.

21 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),

(32)

2) Berakal sehat.

3) Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan kesukarelaan kedua

belah pihak.

4) Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah

satu macam wanita yang haram untuk dikawini.22

3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki.

b. Dewasa.

c. Mempunyai hak perwalian.

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.23

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki.

b. Hadir dalam ijab kabul.

c. Dapat mengerti maksud akad.

d. Islam.

e. Dewasa.24

5. Ijab kabul, syarat-syaratnya :

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai.

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata

tersebut.

22 Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan undang-undang perkawinan, (UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan) (Yogyakarta: Liberty,2007), 31.

23Mardani, Hukum perkawinan islam…, 10.

(33)

d. Antara ijab dan kabul bersambungan.

e. Orang yang terkait ijab dan kabul tidak sedang ihram, haji atau umrah.

f. Majlis ijab dan kabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon

mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang

saksi.25

Adapun syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974

meliputi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat materiil yaitu syarat-syarat

yang mengenai diri pribadi calon mempelai yang terdapat dalam KHI Pasal 15

sampai 18.26 Adapun tentang syarat-syarat perkawinan yang lain diatur di dalam

Bab II UU No. 1 Tahun 1974, terutama pasal 6 dan 7.27 Sedangkan syarat formil

menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat

dilangsungkan perkawinan. Adapun syarat formil, di antaranya adalah sebagai

berikut:

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai

Pencatat Nikah.

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Nikah.

3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya.

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pecatat Nikah.28

25Mardani, Hukum Perkawinan Islam…, 10. 26Kompilasi Hukum Islam …, 5.

27 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

(34)

C. Pencatatan Perkawinan

Di dalam hal pencatatan perkawinan, Hukum Islam tidak mengatur secara

jelas apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Akan tetapi pencatatan

perkawinan merupakan peristiwa yang penting dan juga mempunyai banyak

kegunaannya bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik di

dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat. Misalnya dengan

dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami

tidak mungkin mengingkari istrinya demikian juga sebaliknya seorang istri tidak

mungkin mengingkari suaminya.29

Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum,

yang dalam hal ini adalah pernikahan, sebenarnya tidak diambil dari ajaran

Hukum Perdata Belanda (BW) atau Hukum Barat, tetapi diambil dari

ketentuan Allah SWT yang dicantumkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]:

282:

…. ُا ُ ُتْك َ ىّ َ ّ ٍ َجَ َ ِ ٍ ْ َ ِ ْ ُت َ اَ َ اَ ِ ا ُ

َ اَا َ ِذَلا َهُّ َ َ

Artinya “ wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya... (QS Al-Baqarah [2]:282)

Apabila diperhatikan ayat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya bukti

otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya

(35)

dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada

kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun.30 Tidak ada

sumber-sumber fikih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan pernikahan dan

membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat muamalah

tersebut.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mi>tha>qan

ghali>z}an) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah

tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah,

yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan

atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab,

maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau

memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri

memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.31

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengatur tentang tata cara dan tata laksana melaksanakan

perkawinan dan pencatatan perkawinan. Di antara Pasal yang dianggap penting

untuk dikemukakan, yaitu pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ayat 1 yang menentukan

30 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013),

100.

(36)

pencatatan perkawinan bagi orang Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954.32

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan pencatatan suatu

perkawinan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya

perkawinan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974

yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.”33

Di samping ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1, bahwa sahnya perkawinan

adalah ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, maka

menurut Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di dalam

penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 di atas mengatakan bahwa pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan

dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga muat dalam daftar

pencatatan.34

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat

dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa

perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak

lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula

32 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak dicatat menurut Hukum tertulis

di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2012), 217.

(37)

dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu sehingga sewaktu-waktu

dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti yang

otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu

perbuatan yang lain.35

Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam

Bab II PP No. 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai

berikut:

1. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah:

a. Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Nikah dan Rujuk.

b. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil atau

Instansi/Pejabat yang membantunya.

2. Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 Tahun

1975.36

Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah Pegawai

Pencatat Perkawinan dan perceraian pada KUA Kecamatan bagi umat Islam dan

Catatan Sipil bagi nonmuslim.37 Mengenai hal tentang pencatatan perkawinan,

akan dijelaskan dalam ketentuan UU berikut ini:

35 Ibid. 36 Ibid.

(38)

1. Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu.38 Pada penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa: “dengan perumusan

Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945”. “yang

dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu dan kepercayaannya

itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan

agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

ditentukan lain dalam UU ini.”39

2. Pasal 4 KHI: “perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum Islam sesuai

dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila suatu perkawinan telah

dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya berdasarkan hukum Islam

maka perkawinan itu adalah sah karena telah memenuhi ketentuan hukum

materiil perkawinan. Namun demikian, perkawinan tersebut belum memenuhi

ketentuan hukum formil perkawinan belum dicatat pada Pegawai Pencatat

yang berwenang/belum memiliki akta nikah. Oleh sebab itu, meskipun secara

materiil perkawinan itu sah tetapi secara formil belum sah, sehingga

selamanya dianggap tidak pernah ada perkawinan kecuali jika dapat

dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Sehubungan dengan pencatatan perkawinan di atas, dalam UU diatur pada:

38 Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta:

Sinar Grafika, 1996), 18.

(39)

1. Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pada penjelasan umum angka 4 huruf b, dinyatakan bahwa tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. “pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta

resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”

2. UU No. 22 tahun 1946 pasal 2

Pegawai pencatat nikah dan orang yang tersebut pada ayat 3 pasal 1 membuat

catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan

tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya, catatan yang

dimaksudkan ke dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja

diadakan untuk hal itu dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh menteri

agama.

3. KHI pasal 2, pasal 5 ayat 1 dan 2, pasal 7 ayat 1.

4. PP No. 9 Tahun 1975

a. Pasal 2 ayat 1 pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah

sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang

pencatatan nikah, talak dan rujuk.

b. Pasal 11 ayat 2 kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta

(40)

5. PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 26 sampai pasal 27.

D. Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanaan perkawinan adalah semua kegiatan-kegiatan yang harus

dilaksanakan oleh para pihak sebelum sampai dengan saat dilakukannya

perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan.40

1. Menurut UU No. 1 tahun 1974

Tentang pelaksanaan perkawinan, telah diatur dalam peraturan

perundaang-undangan sendiri, sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 12

UU No. 1 Tahun 1974. Adapun Peraturan Perundang-undangan sendiri

tersebut terdapat di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Adapun tata cara perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 10 sampai

dengan Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing

hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai

40 Masjkur Anhari, Usaha-Usaha Untuk Memberikan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan,

(41)

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,

selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah

tercatat secara resmi.41

2. Menurut KHI, terdapat dalam Pasal 6 yaitu:

Pasal 6

a. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

b. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

tidak mempunyai kekuatan hukum.

3. Menurut PMA 11 tahun 2007

Pasal 21 ayat 1 menyatakan bahwa akad nikah dilaksanakan di KUA

dan ayat 2 menyatakan bahwa atas permintaan calon pengantin dan atas

persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.

Mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan ini sesuai dengan

ketentuan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan diatur

lebih lanjut dengan perundang-undangan tersendiri.42 Secara umum tatacara

pelaksanaan perkawinan sekarang sudah diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975

dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12.

Khusus bagi mereka yang beragama Islam, sesuai dengan penjelasan

Pasal 12, maka mereka dalam melaksanakan perkawinan tetap mengikuti

ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun

41 PP No. 9 Tahun 1975

(42)

1954. Adapun ketentuan mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan yang

diatur dalam UU No. 32 Tahun 1954 pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a. Mereka yang hendak melakukan perkawinan harus membawa surat

keterangan dari kepala Kampung atau Kepala Desa masing-masing.

b. Orang yang melakukan perkawinan harus lebih dulu menyampaikan

kehendak mereka itu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad

nikah dilangsungkan. Pemberitahuan itu disampaikan kepada Pegawai

Pencatat Nikah di wilayah tempat akan dilangsungkan perkawinan.

c. Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami dan

calon istri atau oleh wakil mereka yang sah.

d. (1) Pegawai Pencatat Nikah membuat pengumuman tentang

pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan perkawinan tersebut

dengan cara menempelkannya.

(2) penempelan pengumuman harus pada tempat-tempat yang mudah

dibaca orang.

(3) lama berlakunya penempelan pengumuman kehendak nikah tidak

boleh kurang dari 10 hari. Artinya sebelum lewat 10 hari tidak boleh

dilepas atau dirobek.

e. Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak nikah,

harus memeriksa calon suami istri dan wali yang bersangkutan tentang

(43)

f. Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah sebelum

hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan diterimanya dan

hari waktu pemberitahuan tidak diperhitungkan.

g. Akad nikah dilakukan di muka Pegawai Pencatat Nikah dan calon suami

serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah dilaksanakan.

h. (1) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai Pencatat

Nikah.

(2) Pegawai Pencatat Nikah harus meneliti tentang pembayaran mahar.

(3) Pegawai Pencatat Nikah harus mencatat perkawinan itu dalam buku

daftar nikah.43

Tata cara proses pelaksanaan pencatatan nikah meliputi pemberitahuan

kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman nikah, akad nikah dan

penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.44

1. Pemberitahuan kehendak nikah

PPN dan pembantu PPN ataupun Badan Penasehat Pembinaan dan

Pelestarian Perkawinan (BP4) dalam memberikan penasihatan dan

bimbingan hendaknya mendorong kepada masyarakat dalam

merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan pendahuluan

sebagai berikut:

43Soemiyati, Hukum perkawinan islam…, 74.

(44)

a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang

apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka

menyetujui/merestuinya.

b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan,

baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya

penolakan atau pembatalan perkawinan.

c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang rumah

tangga, hak dan kewajiban suami istri dan lain sebagainya.

d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan,

calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepala calon

mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.

e. Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang

yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada

PPN/Pembantu PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya

akad nikah, sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah

dilangsungkan.

2. Pemeriksaan nikah

Pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikah

sebaiknya dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada

halangannya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan

(45)

sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga-tiganya selesai

diperiksa secara benar.

3. Pengumuman kehendak nikah

PPN/Pembantu PPN mengumumkan kehendak nikah (dengan

model NC) pada papan pengumuman setelah persyaratan dipenuhi.

Pengumuman dilakukan:

a. Oleh PPN di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan

dilangsungkan dan di KUA Kecamatan tempat tinggal

masing-masing calon mempelai.

b. Oleh Pembantu PPN di luar jawa di tempat-tempat yang mudah

diketahui umum.

4. Akad nikah dan pencatatan.

a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/dihadapan PPN

setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam Akta

Nikah rangkap dua (model N).

b. Kalau nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat

pada halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, istri, wali

nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasinya. Kemudian

segera dicatat dalam Akta Nikah (model N), dan ditandatangani

hanya oleh PPN atau Wakil PPN.

c. Akta Nikah dibaca, kalau perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa

(46)

ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN

atau Wakil PPN.

d. PPN membuatkan Kutipan Akta Nikah (Model Na) rangkap dua,

dengan kode dan nomor yang sama. Nomor tersebut menunjukkan

nomor unit dalam tahun, nomor unit dalam bulan, angka romawi

bulan dan angka tahun.

e. Kutipan Akta Nikah diberikan kepada suami dan istri.

f. Nomor di tengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi

nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.

g. Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh

PPN, dalam hal Wakil PPN yang melakukan pemeriksaan dan

menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, Wakil PPN hanya

menandatangani daftar pemeriksaan nikah, pada kolom 5 dan 6

menandatangani Akta Nikah pada kolom 6.

h. PPN berkewajiban mengirimkan Akta Nikah kepada Pengadilan

Agama yang mewilayahinnya, apabila folio terakhir pada buku Akta

Nikah selesai dikerjakan.

i. Jika mempelai seorang janda/duda karena cerai talak atau cerai

gugat, PPN memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang

mengeluarkan Akta Cerai bahwa duda/janda tersebut telah menikah

dengan menggunakan formulir model ND rangkap 2. Setelah

pemberitahuan nikah tersebut diterima. Pengadilan Agama

(47)

stempel dan tandatangan penerima. Selanjutnya PPN

menyimpannya bersama berkas Daftar Pemeriksaan Nikah (model

NB).45

E. Petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

1. Pengertian Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 pada pasal 1 ayat (4)

tentang pencatatan nikah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan P3N

adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor

Departemen Agama kabupaten atau kota untuk membantu tugas PPN di desa

tertentu.46

P3N yang berkedudukan di setiap desa atau pegawai pencatat nikah

yang berkedudukan di setiap kecamatan yang di bawah setruktur KUA.47 Pada

surat dan intruksi Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/113 Tahun 2009 tentang

penggunaan dana penerimaan Negara bukan pajak nikah dan rujuk termasuk

penataan pembantu pegawai pencatat nikah, dijelaskan bahwa tidak boleh

memperpanjang masa kerja P3N dan mengangkat P3N yang Baru, kecuali

untuk daerah-daerah yang sangat memerlukan seperti daerah pedalaman,

45 Ibid., 21. 46

Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang pencatatan nikah Pasal 1 Ayat (4).

47 Muhammad Zaid dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft

(48)

perbatasan daerah dan kepulauan dengan persetujuan tertulis dari Dirjen

Bimas Islam.48

Surat Inspektur Jendral Kementerian Agama RI: 1J/INV/STL/R/PS.

01.5/0078/2003 tentang penataan dan batasan kewenangan P3N menegaskan

bahwa P3N yang melanggar atau mengabaikan tugas pokok dan fungsinya

termasuk melibatkan diri dalam politik praktis dapat dikenakan sanksi

pemberhentian.

1. Syarat Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi pegawai P3N adalah

sebagai berikut:49

a. Warga Negara Republik Indonesia;

b. Beragama islam;

c. Membatu dan mengamalkan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari;

d. Setia pada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan Republik

Indonsia, serta tidak terlibat dalam gerakan yang tidak menentang

agama Islam;

e. Berakhlak Mulia;

f. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

g. Berusai antara 25-26 tahun;

48 Surat dan Instruksi Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/113 Tahun 2009 Penggunaan Dana peneriman

Negara Bukan Pajak Nikah atau Rujuk Termasuk Penataan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

49 Surat Edaran Nomor : D/Kep. 002/02/1990 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Agama

(49)

h. Lulusan pedidikan sekurang-kurangnya madrasah ibtidaiyah;

i. Lulus testing yang diadakan khusus untuk itu oleh departemen agama

kabupaten/ kotamadya. Materi testing untuk diangkat menjadi

Pembantu pegawai pencatat nikah, sebagai berikut :50

1. UUD 1945.

2. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan

peraturan-peraturan pelaksanaannya.

3. Fiqih Munakahat dan Fiqih Ibadah.

4. Tulis Baca Al quran.

5. Praktik Khutbah Nikah dan Doa Upacara nikah serta memberikan

nasihat perkawinan.

2. Tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

Tugas pembantu pegawai pencatat nikah51 sebagaimana dijelaskan

dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Pembantu

Pegawai Pencatat Nikah adalah :52

a. Pembantu pegawai pencatat nikah di luar Jawa, atas nama pegawai

pencatat nikah mengawasi nikah dan menerima pemberitahuan rujuk yang

dilakukan menurut Agama Islam di wilayahnya.

50 Surat Edaran Nomor : D/Kep. 002/02/1990 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Agama

Negara RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

51 Sedangkan tugas tambahan P3N di Kecamatan Candi adalah membantu pegawai pencatat

nikah di KUA Kecamatan Candi seperit tugas amil dan modin. Berdasarkan wawancara dengan bapak sebagai Kepala KUA Kecamatan Candi, pada hari , tanggal .

52 Peraturan Menteri Agama Negara RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Pembantu Pegawai Pencatat

(50)

b. Pembantu pegawai pencatat nikah di jawa membantu mengantarkan

anggota masyarakat yang hendak menikah di Kantor Urusan Agama yang

mewilayahi dan mendampinginya dalam pemeriksaan nikah dan rujuk.

Tugas P3N membantu Kantor Urusan Agama (KUA) untuk

menyaksikan pernikahan tersebut, serta mengantarkan berkas untuk

pernikahan tersbut kepada Kantor Urusan Agama (KUA) untuk dicatatkan

oleh petugas KUA tersbut, sedangkan P3N hanya mencatat dan

mengembalikan Berkas kepada Kantor Urusan Agama. Tugas P3N tidak

hanya membantu PPN menikahkan saja akan tetapi setiap kali ada yang

berhubungan dengan kegiatan agama yang berada di daerah tersbut contohnya

memandikan jenazah.53

53 Kementrian Agama Direktorat Jenderal bimbingan masyarakat Islam Direktorat Urusan

(51)

BAB III

PERAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH

DI KUA Kec. CANDI Kab. SIDOARJO

A. Profil Kecamatan Candi

a. Profil Kecamatan Candi

Kecamatan Candi terletak dibagian Selatan Pusat Pemerintahan Kabupaten

Daerah Tk. II Sidoarjo dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Wilayah KecamatanTanggulangin

Sebelah Selatan : Wilayah KecamatanSidoarjo

Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Selat Madura

Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Tulangan

Luas wilayah Kecamatan Candi adalah Luas : 40,667 Ha yang menjadikan

Kecamatan dengan desa Paling banyak dibandingkan dengan Kecamatan lainnya

di Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan ini meliputi 24 desa di seluruh Kecamatan

Candi, yaitu:

1. Desa Candi

2. Desa Bligo

3. Desa Larangan

4. Desa Tenggulunan

5. Desa Sumokali

(52)

6. Desa Sepande

7. Desa Karangtanjung

8. Desa Kedung Kendo

9. Desa Sugihwaras

10. Desa Gelam

11. Desa Sumorame

12. Desa Ngampelsari

13. Desa Balong Gabus

14. Desa Kendal Pecabean

15. Desa Balong Dowo

16. Desa Kali Pecabean

17. Desa Kedung Peluk

18. Desa Wedoro Klurak

19. Desa Klurak

20. Desa Kebon Sari

21. Desa Durng Bedug

22. Desa Sidodadi

23. Desa Jambangan

(53)

B. Profil dan Struktur KUA Kecamatan Candi

a. Letak Geografis KUA Kecamatan Candi

Kantor Urusan Agama Kecamatan Candi adalah salah satu Kantor Urusan

Agama di wilayah Kota Sidoarjo. Pada awalnya KUA Kecamatan Candi

menempati kantor Kecamatan Candi di jalan H. Noor No. 1 Sidoarjo, dengan

status tanah dan bangunannya masih milik pemerintah Kecamatan Candi, seiring

dengan bertambahnya arsip dan volume pekerjaannya di KUA Candi, Pada tahun

1978, KUA Candi mendapat sebidang tanah untuk mendirikan KUA Candi

seluas 180 meter di Jalan Balai Desa No. 1 Candi untuk ditempati.

b. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Candi

KUA merupakan Lembaga Pemerintah yang diberi kewenangan dan tugas

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan masalah-masalah

keagamaan, lembaga ini diselenggarakan di setiap Kecamatan di indonsia. Peran

utama KUA adalah pelaksanaan pencatatan nikah. Dalam hal ini pihak KUA

telah berusaha semaksimal mungkin agar seluruh diwilayah Kecamatan atau

wilayah kerja KUA dapat dilakukan melalui pencatatan dan sesuai dengan

Undang-undang.1

1 Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indnsia, (Ciputat

(54)

Struktur Organisasi KUA, terdiri dari Kepala KUA, Sekertaris dan Anggota

yang sebagian juga merangkap sebagai PPN, dan

Referensi

Dokumen terkait