• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB IV"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB POLITIK GPIB

DALAM BERTEOLOGI

DI BAWAH SOROTAN TEOLOGI POLITIK

Bagian ini adalah sebuah usaha untuk menganalisa pemahaman Teologi Politik

GPIB beserta perangkat gereja lainnya dalam sorotan teori yang telah dirumuskan dalam Bab II. Sesuai dengan kedua tujuan yang hendak dicapai, maka pembahasan ini meliputi: Mengkaji dan menganalisa bagaimana gambaran “teologi politik” GPIB yang

dirumuskan dalam Bab III.

a. Apakah ia sesuai dengan defenisi suatu teologi politik dan memenuhi kriteria teologi

politik atau belum.

b. Bagaimana Pemahaman GPIB tentang Teologia Politik dalam Hubungannya dengan

Gereja dan Negara.

c. Faktor-faktor apa yang menyebabkan lahirnya rumusan teologi politik GPIB.

1. Teologi Politik Menjawab Menjawab Realitas Sosial dalam Masyarakat

Dari semua rumusan-rumusan yang ada dalam pemahaman iman, materi katekisasi dan akta gereja nampak belum sesuai dengan rumusan teologi politik yang

telah dijelaskan dalam bab.II.(teori). Sebab salah satu ciri khas dari teologi politik adalah bagaimana gereja dapat menjawab realitas sosial dalam masyarakat. Gereja harus

dapat mengkritisi dirinya, teologi dan siatuasi sosial dalam masyarakat. Sebab keselamatan yang diperjuangkan gereja adalah keselamatan sosial bukan keselamatan pribadi. Keberadaan GPIB di Indonesia mempunyai tantangan tersendiri misalnya;

(2)

Semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab gereja dalam kerangka memberitakan

“Shalom” Damai Sejahtera. Kenyataannya keselamatan yang menjadi titik pangkal dari

pemahaman iman, menjadi tertutup hanya bagi orang kristen saja. Hal ini nampak dari

kutipan ayat-ayat Alkitab yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia itu sendiri, tanpa mengadakan kajian secara hermeneutik. Sesuai konteks sosio-historis dimana ayat-ayat itu ditulis.

Ternyata ayat-ayat Alkitab dijadikan dokrin tentang keselamatan yang harus dipercayai kebenarannya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah suatu dokrin

demikian sudah cukup sebagai suatu refleksi diri terhadap karakter politik suatu masyarakat? Penulis mencatat ada tiga hal yang perlu diperhatikan:

1. Suatu dokrin yang disusun berdasarkan ayat-ayat Alkitab dalam teologi keselamatan barulah merupakan ideal-ideal yang masih terkait dengan konteksnya sendiri. Bukti dari pernyataan ini adalah kenyataan teologi keselamatan sendiri

yang hanya merupakan ideal-ideal ayat Alkitab tentang makna keselamatan.

2. Karena ayat-ayat itu terkait dengan konteksnya, ia juga bukan bentuk transformasi, sebagaimana keharusan suatu teologi politik dibuat. Suatu transformasi terjadi

ketika ada interaksi antara konteks nats, tradisi gereja dan konteks sekarang, serta adanya suatu hubungan dengan pandangan-pandangan luar yang

mempengaruhinya.

3. Dengan demikian teologi keselamatan sebagai dokrin yang disusun menurut ayat-ayat Alkitab itu adalah suatu teologi yang abstrak, menjadi naskah yang kaku dan

(3)

Dengan ketiga catatan tersebut maka timbul pertanyaan kritisnya, bagaimana GPIB

membangun hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain yang juga punya landasan teologi sesuai dengan kitab sucinya?

GPIB menjadikan Firman Allah sebagai sesutu yang mutlak dan harga mati untuk dilaksanakan tanpa memikirkan alternatif lain sebagai wadah untuk menjalin dialog dengan agama dan kepercayaan lain. Teologi proses yang menjadi landasan

berpikir teologi politik memahami bahwa segala yang ada dalam dunia ini tidak ada yang mutlak tetapi semuanya berjalan dalam proses untuk mencapai kehendak dan

rencana Allah. Disinilah titik pangkal perbedaan antara teologi politik (dalam. Bab-II) dan rumusan teologi politik GPIB (dalam bab-III).

John B Cobb Jr, menegaskan bahwa Teologi Politik adalah teologi politik. Ia bukan teologi yang berada di bawah politik. Ini adalah upaya untuk berpikir secara jernih sesuai dengan waktu dan situasi kita. Teologi politik merupakan panggilan

terhadap gereja untuk berpikir secara politis. Gereja harus ikut terlibat dalam perjuangan politik. Meskipun ia berseberangan dengan beberapa program politik baik pemerintah maupun organisasi masyarakat dan partai lainnya. Gereja tidak harus memaksakan

kehendaknya kepada masyarakat. Tugasnya adalah pertama mengkritik secara politik dan dengan prespektif itu gereja juga mengkritik lembaga-lembaga lain. Sehingga

dalam proses itu gereja dapat menjelaskan prinsip-prinsip kristen yang sesuai untuk menciptakan kedamaian bagi semua ciptaan.

Dalam hal ini GPIB belum memiliki dasar hukum yang kuat tentang teologi

politik. Pemahaman Iman (khususnya: hubungan gereja dan negara) dalam penjelasannya tidak banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap dan

(4)

terjadi penutupan gereja, larangan beribadah, dan kesulitan untuk memperoleh ijin

membangun gedung gereja. Bagaimana sikap GPIB dalam hal ini sebagai lembaga? Apakah itu diserahkan kepada orang-perorang ataukah menjadi tugas lembaga. Kalau

demikian bagaimana tindakan lembaga dalam menyikapi hal ini.

GPIB lebih banyak mengatur tentang hubungan ke dalam baik secara organisatoris kelembagaan maupun hubungan gereja dan perangkat-perangkat teologi

lainnya. Ia lebih banyak menekankan tentang aturan dan peraturan menyangkut tanggung jawab warga jemaat kepada lembaga, bagaimana mengelola lembaga,

hubungan lembaga dengan gereja lain serta pelaksanaan sidang-sidang dan lain sebagainya. Dari seluruh rumusan tersebut tidak memberikan penjelasan terhadap

masalah yang dihadapi warga jemaat. Hal itu berarti bahwa gereja belum terlalu concern dengan hal-hal yang berbau politik. Padahal disatu pihak gereja selalu berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat politik. Dan pada

pihak lain dampak kebijakan-kebijakan politik tersebut sangat mempengaruhi keberadaan dan eksistensi gereja itu sendiri. Menurut penulis GPIB belum sampai kepada kesadaran tersebut, dengan demikian maka rumusan politik GPIB tidak sama

dengan penjelasan dalam teologi politik dalam bab-II (teori).

Perbedaan yang berikut adalah masalah konsep keselamatan. Teologi politik

(teori) menjelaskan bahwa tidak ada keselamatan pribadi tetapi keselamatan sosial mencakup seluruh alam semesta. Kalau keselamatan itu harus bersifat sosial maka struktur dan nilai-nilai masyarakat haruslah menjadi agenda khusus untuk dibahas

termasuk gereja. Gereja harus terlibat dalam penyusunan dan pembuat undang-undang serta hukum yang berlaku. Sehingga gereja bukan saja menjadi gerbong dalam

(5)

lokomotif untuk menentukan arah dan tujuan ke mana pembangunan dan kesejahteraan

Indonesia di arahkan. Keselamatan pribadi hanya dapat membawa gereja kepada eksklusifisme dan kesalehan pribadi. Gereja tidak peduli dengan realitas yang terjadi

dalam masyarakat anta lain; kemiskinan, pemerkosaan hak-hak masyarakat, kesenjangan sosial kaya dan miskin, diskriminasi minoritas dan mayoritas dan sebagainya. Yang terpenting bagi gereja adalah membangun menara gading dengan

penonjolan fisik bangunan gereja yang megah, tabungan deposito yang banyak, seremoni ibadah yang nyaman dan menghiburkan. Kecenderungan-kecenderungan yang

demikian adalah gambaran tetang pemahaman teologi keselamatan yang hanya bersifat pribadi semata. GPIB sebagai gereja nasional yang terdiri dan berbagai macam suku dan

tersebar di 25 propinsi Indonesia. Haruslah lebih terbuka terhadap realitas dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi ternyata dalam praktek hidup bergereja GPIB lebih cenderung eksklusif dan kaku terhadap atauran dan peraturan

gereja. Misalnya; sering terjadi perdebatan, dimana posisi mimbar dan tempat persembahan, bagaimana cara memegang Alkitab ketika menghantar Pelayan Firman, bagaimana menggunakan buku nyanyian dan puji-pujian dalam liturgi ibadah dan lain

sebagainya. Kalau GPIB hanya memperhatikan persoalannya sendiri tanpa memperhatikan persoalan yang terjadi di luar, maka tidaklah mungkin

persoalan-persoalan besar yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan besama dapat tercipta dengan baik. Banyak jemaat yang tidak bisa beribadah dengan nyaman karena perda-perda syariah yang mendeskriditkan, (di Banda Aceh, Sumatera Barat dan Jawa Barat

(6)

Dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa yang berhubungan dengan

kebijakan-kebijakan pemerintah, hukum dan undang-undang, gereja harus terlibat untuk menggumulinya secara kelembagaan, tidak mempercayakan itu kepada orang-perorang.

Disinilah terdapat perbedaan antara pemahaman teologia politik dengan rumusan yang ada pada pemahaman Iman GPIB.

Sesuai dengan penjelasan Pdt.S.Kaihatu bahwa partisipasi politik GPIB itu

nampak pada warga jemaat yang terlibat dalam struktur pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Gereja tidak perlu memperlihatkan

keberadaannya yang tampak dalam masyarakat tetapi ia harus bekerja secara diam-diam seperti garam yang larut dalam masakan. Pertanyaannya sampai sejauh mana GPIB

telah membina warganya dengan kesadaran politik? agar ia dapat mengimplementasikan imannya itu dalam tugas dan jabatannya di tengah masyarakat dan bangsa. Kalu ini belum dilaksanakan, maka jangan diharapkan bahwa warga jemaat dapat mewartakan

suara kenabiannya itu demi penegakan hukum dan keadilan. Gereja tidak menjadikan teologi politik sebagai suatu agenda khusus dalam kerangka menciptakan struktur sosial masyarakat yang adik dan sejahtera. Tidak ada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi,

apabilah masalah partsisipasi politik diserahkan kepada warga jemaat masing-masing. Gereja kehilangan suara kenabiannya dan cenderung menjadi gerbong karena kurang

peduli terhadap masalah-masalah masyarakat yang terjadi. Tidaklah heran kalau keberadaan gereja dilihat sebgai sebuah tanaman asing yang tumbuh di Indonesia. Ia tidak berurat dan berakar di bumi Indonesia serta menjawab persoalan dan masalah

(7)

2. Kedudukan Gereja dan Negara sebagai Hamba Allah

Dalam hal kedudukan gereja dan negara, pemahaman Iman GPIB menempatkan gereja dan negara pada kedudukan yang sama sebagai hamba Allah. Teologi politik juga

menempatkan gereja dan negara sama kedudukannya. Sehingga terbuka kemungkinan untuk diadakan koreksi dan kritik kepada pemerintah. Sebagai hamba, gereja dan negara diberikan kuasa untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan

kehendak Tuhan. Yaitu bagaimana menciptakan keadilan dan kedamaian bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang latarbelakang suku, agama dan kelompok.

Persoalannya yang terjadi adalah bagaimana kedua bela pihak (gereja dan negara) tidak melaksanakan kehendak Allah. Teologia politik mengajarkan agar gereja menggunakan

suara kenabiannya untuk mengoreksi tindakan penerintan/negara yang bertentang dengan kehendak Allah. Gereja tidak perlu takut kepada pemerintah kalau memang apa yang diperjuangkan gereja tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya

memperjuangkan keadilan dan kebenaran, mensejahterakan masyarakat, memperjuangkan penegakan hukum dan hak asasi manusia dan sebagainya. Apalagi GPIB sebagai badan hukum1 yang dijamin oleh Undang-Undang, ia harus lebih pro aktif dalam praktek pelaksanaannya.

1

1].Kelembagaan GPIB diakui oleh Negara dipersembahkan sebagai Badan Hukum dan diatur berdasarkan :

(8)

Materi katekisasi dan akta gereja, menjelaskan bahwa pemerintah ditempatkan

sebagai hambah Allah. Dimana kuasa yang ada pada pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan bagi pekerjaan dan kemuliaan Tuhan. Kuasa yang ada pada

pemerintah tidak bersifat mutlak tetapi sementara saja selama rakyat masih mempercayakannya untuk memerintah selama ia menjabat, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yukatif.

Dengan mengacu kepada penjelasan Wogaman, maka model ke-III dari teorinya yaitu pemisahan secara damai antara agama (gereja) dengan pemerintah sama dengan

pemahaman GPIB. Karena keduanya sama-sama menekankan kepada fungsi dan kewenangan masing-masing. Tanpa ikut campur dalam hal tugas dan tanggung jawab

masing-masing lembaga. Keduanya bertanggungjawab kepada Allah sebagai pemberi kuasa dalam kerangka menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini nampak dalam pengertian tentang politik.

Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “polis” dan bahasa inggris

“politics”. Kedua kata tersebut pada hakekatnya merujuk pada arti yang sama yakni

kebijaksanaan. Dalam konteks ini dapat pula diartikan sebagai usaha-usaha untuk

mencapai kehidupan yang baik.2 Komarudin Sahid mengutip Miriam Boediardjo mengemukakan bahwa, konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara (state),

kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policys beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Secara terurai, Miriam Bsoediardjo menjelaskan bahwa politik adalah

bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di

2

(9)

dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan tujuan-tujuan

dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau

alokasi dari sumber-sumber yang ada. Dan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses

ini.3 Kekuasaan politik merupakan salah satu unsur atau bagain dari kekuasaan sosial itu. Politik terkait dengan penggunaan dan penyelenggaraan kekuasaan untuk mengatur

keseluruhan hidup suatu masyarakat.4 Dengan kata lain kekuasaan adalah sarana yang dibutuhkan oleh politik untuk mewujudkan apa yang dilihat sebagai yang mungkin.

Sebuah kemungkinan merupakan alternatif untuk apa yang secara riil ada. Oleh karena itu kita tidak dapat berbicara tentang politik selama kita hidup di dalam alam kekuasaan yang absolut. Sebab kekuasaan mempunyai hubungan erat dengan wewenang, yakni

kepercayaan. Antara kekuasaan dan wewenang secara teoritis dan praktis tentunya

berbeda.5

Jadi wewenang adalah kekuasaan yang bersifat khusus. Kekhususannya adalah

ia (kekuasaan) mempunyai legitimasi atau mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, tidak semua kekuasaan adalah wewenang, tetapi semua

wewenang pasti kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mendapatkan legitimasi.6

3

Ibid., 5.

4

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1986), 37 mengartikan kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk memengaruhi kebijakan umum (Pemerintah) baik terbentuknynya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri.

5

Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),50 membedakan kekuasaan dan wewenang ialah, bahwa kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak orang yang memegang kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari warga masyarakat.

6

(10)

Oleh karena itu GPIB sebagai gereja yang memiliki badan hukum ia mempunyai

wewenang untuk mengingatkan pemerintah bahwa apa yang dilakuknnya sangat bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Undang-undang yang diskriminatif

merugikan kaum minoritas dan menguntungkan kaum mayoritas harus ditiadakan. Karena tidak sesuai dengan prikemanusaan dan prikeadilan yang diatur dalam UUD 1945. Pendampingan Pendeta pada saat mengambilan sumpah/janji jabatan dalam akta

gereja mempunyai makna yang dalam yakni ikut bersama pemerintah dan negara dalam menciptakan pemimpin-pemimpin yang arif dan bijaksana bagi terciptanya suatu

masyarakat yang adil dan makmur. Pendampingan pendeta terhadap warga jemaat yang mengambil sumpah/janji tidak semata-mata dilihat sebagai seremonial saja tetapi

tanggung jawab moril kepada Tuhan yang memberikan kuasa dan jabatan itu. Pertanyaanya sampai sejaumana GPIB membina warga jemaatnya dalam kerangka pengambilan sumpah/janji. Sehingga warga jemaat tersebut ketika melaksanakan

tugasnya benar-benar ia bekerja dengan baik, jujur dan rajin tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, misalnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam rumusan akta gereja dikatakan bahwa warga gereja yang mengambil

sumpah/janji, tidak boleh mengucapkan kata sumapa demi apapun. Apalagi kepada manusia, dalam hal ini pimpinan yang di atasnya.

Hanya kepada Allah saja manusia harus takut dan berserah diri. Oleh karena itu warga jemaat diajarkan untuk berkata jujur tanpa ada motivasi lain. Katakan “Ya Jika

Ya dan Tidak Jika Tidak”. Dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa rumusan teologi

politik GPIB sama dengan teologi politik yang di jelaskan dalam bab teori. Karena rumusan politik GPIB menempatkan pemerintah dan negara sebagai hamba Allah yang

(11)

suatu ketika ia akan memberikan pertanggung jawaban kepada Allah akan jabatan yang

ia sandang. Tidak ada jabatan dan kekuasaan yang mutlak selain dari dari pada kekuasaan Allah.

3. Teologi Politik GPIB: Faktor-Faktor Pendukung

Pada bagian ini penulis akan menganalisa beberapa faktor-faktor pendukung yang mepengaruhi lahirnya teologi politik GPIB serta dampaknya bagi keberadaan

GPIB di masa mendatang.

3.1. GPIB adalah Gereja Nasional

Keberadaan GPIB dengan wilayah pelayanan yang luas dari timur ke barat (Kendari sampai dengan Sabang) dan utara ke selatan (Nunukan sampai dengan

Banyuwangi) yang terdapat di 25 propinsi di Indonesia. Selain itu pula warga jemaat yang terdiri dari berbagai macam suku serta status sosial yang ada dalam masyarakat. Menjadikan GPIB memliki tantangan dan peluang yang besar untuk merai masa depan.

Tantangan yang dihadapi GPIB sebagai gereja nasional tersebut adalah bagaimana ia menyikapi perubahan-perubahan politik dan struktur yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya sikap terhadap otonomi daerah yang lebih menekankan kepada

kekuasaan pemerintah daerah dan perda-perda syariah yang sangat diskriminatif. Bagaimana GPIB menyikapi hal ini? Terutama jemaat-jemaat yang ada di wilayah

pelayanan yang berbasis Islam. (Seperti; di Padang, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Palembang dan sebagainya).

Salah satu butir dalam rumusan PI (gereja dan negara) mengatakan bahwa: “Berdasarkan tuntutan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus warga negara

(12)

ancaman dari pihak luar, terutama dari kelompok-kelompok radikal Islam yang tidak

menghendaki keberadaan gereja dan umat kristen di Indonesia.

Ketika undang-undang dan peraturan daerah itu dibuat, dan gereja tidak ikut

untuk menggumulinya maka, suatu ketika undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut akan melindas dan menghambat keberadaan gereja. Pada saat itu gereja tidak dapat mengatakan apa-apa, karena ia mengangap bahwa urusan itu adalah urusan

pemerinta/negara, bukan urusan gereja. Kalau sampai terjadi demikian maka lambat laun keberadaan GPIB yang ada di daerah-daerah wilayah Muslim akan teraniaya dalam

suatu penderitaan yang tak kunjung selesai.

Oleh karena itu rumusan dalam teologia politik GPIB tidak sesuai dengan

penjelasan dalam bagian terori. Walaupun dalam rumusan berikutnya mengatakan

bahwa “warga jemaat wajib memberi saran-saran perbaikan secara kritis dan konstruktif

lewat saluran-saluran pengawasan demi keadilan dan kesejahteraan bangsa”. Tetapi

saran-saran tersebut bersifat pribadi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Kalaupun warga jemaat memberikan saran dan kritiknya, apa efek dan dampaknya bagi keberadaan gereja dan orang kristen dimana ia berada. Bukankah ini akan membawa

citra buruk bagi keberadaan kekristenan itu sendiri. Seakan-akan kehilangan pegangan dan tidak adanya perlindungan lembaga gereja.

Dengan demikian untuk menjadikan GPIB sebagai gereja nasional, bukan saja wilayah pelayanan dan warga jemaat menjadi ciri khasnya, tetapi juga bagaimana GPIB melihat Indonesia sebagai anugerah dan berkat Tuhan, yang Allah tempatkan untuk

dapat berkarya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Peran GPIB yang diharapkan adalah ikut bersama menentukan arah dan tujuan pembangunan bangsa

(13)

GPIB haruslah melihat bahwa urusan politik bukan saja menjadi tanggung-jawab

pemerintah/negara tetapi merupakan tanggung-jawab gereja juga. Hal ini akan terwujud apabila GPIB memiliki konsep teologia politik yang sesuai dengan apa yang di jelaskan

pada bagian teori. Yakni menunjukan sikap kritis terhadap struktur-struktur masyarakat yang tidak adil dan memihak kepada kepentingan golongan tertentu. GPIB harus berani mengoreksi pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, melaui undang-undang dan

perda-perda yang mengacam persatuan dan keatuan bangsa. GPIB secara nasionalis telah membuktikan dirinya dengan meninggalkan sifat kedaerahan (indonesia timur)

dengan merangkul dan menerima seluruh warga jemaat dari belahan Indonesia manapun, baik dari timur, utara dan selatan. Semuanya menjadi satu dalam bahtera

GPIB.

3.2. GPIB adalah Gereja Negara

Latar belakang historis GPIB sebenarnya merupakan latar belakang historis dari

Gereja Protestan di Indonesia, yang pada zaman sebelum perang dunia II dikenal dengan nama “De Protestansche Kerk in Nederlandsch Indie” atau “De Indische Kerk”.

GPIB selaku pewaris dari Gereja Protestan di Indonesia tidak memiliki latar

belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etimologis atau

yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu, tetapi merupakan warisan dari pemerintahan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Dalam artikel 36 dari Nederlandsche Geloofsblijdenis yang ditetapkan oleh Synode di Dordrecht yang berlangsung dari

yahun 1618 sampai dengan 1619. Artikel tersebut berbicara tentang Tugas Pemerintah (raja-raja, pangeran-pangeran dan penguasa-penguasa) bukan hanya untuk menjamin

(14)

memberantas agama berhala dan agama-agama palsu, untuk meruntuhkan kerajaan Anti

Kristus, serta memajukan kerajaan Kristus dan memberitakan Injil dimana-mana.

Di dalam oktroi dari VOC tidak termaktub secara khusus kewajiban untuk

membentuk gereja diluar Belanda. Akan tetapi oleh karena kepada VOC diserahkan kedaulatan pemerintahan atas daerah-daerah seberang, maka kewajiban pemerintah seperti tersimpul dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofsbelijdenis” tadi, menjadi

kewajiban dari VOC pula.

Bagi “De Indische Kerk” selaku gereja negara tanggung jawab anggota

-anggota jemaat di bidang keuangan tidak merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta di bayar oleh kas Negara. Dan hasil-hasil kolekte/uang yang tak seberapa itu

digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Berdasarkan kewajiban VOC yang

tersirat dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofbelijdenis”, maka sikap dan cara

pendekatan orang-orang Protestan terhadap agama-agama lain adalah antitesis.

Mengacu kepada latarbelakang sejarah GPIB dengan melihat kepada rumusan yang terdapat dalam pemahamn iman (hubungan gereja dan negara) yakni “berilah

kepada kaisar apa yang kaisar punya da kepada Allah apa yang Allah punya”

menandakan bahwa masing-masing lembaga mempunyai otonomi. Otonomi gereja berbeda dengan otonomi negara. Apabila negara mengambil alih otonomi gereja maka

yang terjadi adalah gereja kehilangan sikap kritisnya terhadap pemerinta/negara. Pengalaman ini terjadi pada jaman pemerintahan Belanda. Gereja kehilangan sikap kritis atas penindasan dan kekejaman Belanda selama menjajah Indonesia. Banyak

aset-aset Belanda yang dihibahkan kepada GPIB (sekolah, rumah sakit, gedung gereja, tanah dan sebagainya). Bangunan gereja yang ditempati GPIB sangat strategis di pusat-pusat

(15)

Kondisi ini membuat GPIB sulit untuk menyuarakan suara kenabiannya pada

saat ia harus berseberangan dengan pemerintah karena berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan iman kristen. Misalnya peristiwa penembakan misterius (Petrus) di jaman

orde baru, penutupan gedung gereja dan ijin membangun gereja yang dipersulit di jaman reformasi. Bagaimana sikap GPIB dalam menyikapi persoalan ini. Asumsis penulis jangan-jangan karena pengaruh sejarah masa lalu itulah maka GPIB lebih

cenderung mengambil sikap diam dan apatis. Partisipasi politik yang dicanangkan GPIB kepada warga jemaat juga kurang efektif. Karena partai-partai politik yang menjadi

wadah aspirasi gereja dan orang kristen sangat terbatas. Kalupun itu ada apakah gereja telah mempersiapkan warganya untuk bertarung dalam memperjuangkan kepentingan

kekristenan di Indonesia.

Pertanyaan ini dapat dijawab apabila GPIB secara tegas harus keluar dari kungkungan sejarah masa lalu. Dengan mengambil basis pelayanan pada konteks masyarakat

Indonesia di mana GPIB itu berada. Sehingga citra sebagai gereja penjajah harus diubah menjadi gereja Indonesia yang merakyat dan membumi dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

4. Sistem Pemerintahan Gereja Tidak Menjawab Konteks dan Persoalan Jemaat Sistem pemerintahan gereja yang menganut Presbiterial Sinodal7, memberikan kewenangan yang besar kepada Majelis Sinode dalam mengambil kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan tugas dan panggilan gereja. Kebijakan dan kewenangan itu tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan para presbiter dalam sidang

7

(16)

tahunan (Persidangan Sinode Tahunan) dan sidang lima tahunan (Persidangan Sinode).

Ternyata dalam praktek pelaksanaannya terkadang kebijakan dan kewenangan tersebut bertentangan dengan perubahan dan struktur masyarakat yang berubah setiap saat.

Tata gereja GPIB mengatur bahwa semua keputusan yang bersifat stategis dan prinsipil harus mendapatkan persetujuan dari sidang tahunan (PST) atau sidang lima tahunan (PS). Untuk menunggu setahun sampai dengan lima tahun, membutuhkan

waktu yang lama ketika GPIB ingin mengambil tindakan politiknya. Bagaimana menyikapi masalah otonomi daerah, perda-perda syariah dan tindakan anarkis kelompok

radikal. Gereja dalam hal ini GPIB selalu terlambat dalam menyikapinya. Ada beberapa jemaat yang mengeluh karena keterlambatan pihak Majelis Sinode dalam menangani

persoalan ijin pembangunan gereja dan tindakan radikal kelompok tertentu yang menutup gedung gereja. Ketika persoalan ini diserahkan kepada Mupel (Musyawarah Pelayanan), ia tidak mempunyai wewenang karena tidak struktural. Apalagi diserahkan

kepada sinode. Pemerintah daerah selalu menolak kehadiran pengurus pusat (Majelis Sinode) dengan alasan otonomi daerah. Wilayah kekuasaan daerah masing-masing berbeda.

Oleh karena itu rumusan yang terdapat dalam pemahaman iman (hubungan gereja dan negara) yang berbunyi bahwa “warga gereja sebagai warga masyarakat perlu

membangun rasa persatuan dan kesatuan yang tidak merusak kebhinekaan dan kesetaraan”. Tidaklah relefan dengan persoalan yang dihadapi jemaat. Untuk rumusan

ini sangat idial tapi penerapannya dalam hidup berbangsa dan bernegara punya

pergumulan tersendiri. Rumusan ini tidaklah dapat menjawab persoalan gereja atau jemaat yang dihadapai. Persoalannya bukan masalah membangun rasa persatuan dan

(17)

gereja. Majelis Sinode sebagai pimpinan gereja harus cepat tanggap dan mengambil

tindakan. Ternyata dalam realisasinya tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan alasan kekurangan tenaga, waktu, biaya dan sebagainya.

Pemahaman teologi politik menurut John B.Cobb, bahwa keselamatan tidak menyangkut orang secara pribadi tetapi seluruh tatanan sosial dalam masyarakat. Masyarakat merupakan basis dimana gereja itu melaksanakan misinya untuk

menciptakan “Damai Sejahtera”. Ketika GPIB melibatkan seluruh tatanan masyarakat

dalam kerangka menciptakan damai sejahtera, maka rumusan ini sama dengan

pemahaman teologi politik John B.Cobb. Tetapi segala keputusan dan ketetapan yang menyangkut kesejahteraan bersama diemban hanya kepada kelompok atau orang

tertentu maka, pemahaman dan rumusan ini berbeda dengan konsep teologia politik John.B.Cobb.

Dengan demikian sistem pemerintahan gereja yang sesuai dengan teori politik

John B.Cobb adalah sistem pemerintahan yang terbuka, transparan, tidak kaku, tetapi menerima kritikan dan masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan tugas dan panggilan gereja di mana ia bedara. Gereja harus benar-benar lahir dari kesadaran iman warganya tentang kasih dan “Anugerah” Tuhan Yesus Kristus. Gereja harus membuka

diri terus menerus kepada suatu proses perubahan menuju kepada kesempurnaan sesuai

Referensi

Dokumen terkait

Adapun repeater adalah alat yang digunakan untuk memperkuat sinyal dengan cara menerima sinyal dari satu segmen kabel LAN lalu memancarkan kembali dengan kekuatan yang sama

Modul I/O adalah suatu komponen dalam sistem komputer yang bertanggung jawab atas pengontrolan sebuah perangkat luar atau lebih dan bertanggung jawab pula dalam pertukaran data

Von Neumann mendesain Electronic Discrete Variable Automatic Computer(EDVAC) pada tahun 1945 dengan sebuah memori untuk menampung baik program ataupun data.Teknik

Erosi adalah tidak sama dengan pelapukan karena pengaruh dari cuaca dan ikim di sekitarnya, yang merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimia dan fisik,

harga penawaran terkoreksi di atas nilai total HPS, pelelangan dinyatakan gagal. 2) harga satuan yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh perseratus)

→ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi Unsur Kebahasaan yang akan selesai dipelajari

Hal ini dapat dikarenakan pada dosis ini asam-asam organik yang dihasilkan dari proses dekomposisi Tithonia dengan adanya bantuan bakteri asam laktat sangat

Pengujian Validitas dan Reliabilitas Tes General Motor Ability Untuk Siswa Sekolah Dasar.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu