• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN UMAT HINDU MODERN TERHADAP DEWA GANESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDANGAN UMAT HINDU MODERN TERHADAP DEWA GANESA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)

Disusun Oleh: ASEP ABDURAHMAN. S

NIM: 1112032100054

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv َﻦﯿِﻤَﻠَٰﻌۡﻟٱ ﱢبَر ِﮫﱠﻠِﻟ ُﺪۡﻤَﺤۡﻟٱ

ﺪﯾِﺪَﺸَﻟ ﻲِﺑاَﺬَﻋ ﱠنِإ ۡﻢُﺗۡﺮَﻔَﻛ ﻦِﺌَﻟَو ۖۡﻢُﻜﱠﻧَﺪﯾِزَﺄَﻟ ۡﻢُﺗۡﺮَﻜَﺷ ﻦِﺌَﻟ ۡﻢُﻜﱡﺑَر َنﱠذَﺄَﺗ ۡذِإَو

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu

mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim : 7) ﺎَﻣ ُﺮﱢﯿَﻐُﯾ ﺎَﻟ َﮫﱠﻠﻟٱ ﱠنِإ مۡﻮَﻘِﺑ ُﮫﱠﻠﻟٱ َداَرَأ ٓاَذِإَو ۗۡﻢِﮭِﺴُﻔﻧَﺄِﺑ ﺎَﻣ ْاوُﺮﱢﯿَﻐُﯾ ٰﻰﱠﺘَﺣ ٍمۡﻮَﻘِﺑ ءٓﻮُﺳ ﺎَﻣَو ۚۥُﮫَﻟ ﱠدَﺮَﻣ ﺎَﻠَﻓ ا ﻦِﻣ ۦِﮫِﻧوُد ﻦﱢﻣ ﻢُﮭَﻟ ٍلاَو

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki

keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

(Q.S. Ar Ra’d : 11)

Setiap pergerakan pasti diawali dengan sebuah tindakan, setiap kisah sukses pasti diawali dengan tindakan. Segeralah bertindak, segala yang anda butuhkan sebenarnya

telah ada. Yang paling anda butuhkan sekarang hanyalah sebuah tindakan. Banyak orang gagal, bukan karena ia hidup dalam kekurangan, tapi karena ia

kekurangan tindakan.

Hanya tindakanlah yang bisa membuat anda bergerak maju. Jika anda ingin sukses, maka anda harus membiasakan diri anda untuk bersahabat dengan tindakan.

(6)

v

Agama Hindu merupakan agama yang sudah sangat tua sesuai peradaban manusia dan menjadi salah satu agama yang dianut di Indonesia. Konsep tentang Ketuhanan yang mempercayai dewa-dewi tidak jarang menimbulkan kesalahfahaman sehingga dianggap sebagai agama politheisme. Diantaranya kepercayaan dan pemujaan terhadap dewa Ganesa. Pemujaan terhadap dewa Ganesa selalu menjadi pembuka sebelum ritual-ritual lain baik untuk ritual sakral maupun profan sampai melahirkan pemujaan khusus. Meski di masa modern dengan kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, kepercayaan terhadap dewa Ganesa tetap masih dipegang teguh oleh umat Hindu.

Dewa Ganesa merupakan putra Sang Hyang Siwa dan Dewi Parwati (perwujudan dewi Durga) berbadan manusia dan berkepala gajah. Perpaduan dalam bentuk dewa Ganesa dipercayai sebagai simbol perlambangan wujud sempurna yang dapat menyeimbangkan antara wujud binatang dan manusia. Dewa Ganesa memiliki beberapa gelar atau sebutan, namun gelar utama adalah Vinayaka, Vighnesvara atau

Vighnaraja, berarti dewa penghalau rintangan atau dewa penolak bala/bencana.

Melalui pendekatan sosiologis dengan menggunakan teori fungsionalisme Robert K. Merton ditemukan bahwa kepercayaan terhadap dewa Ganesa memberikan implikasi positif dan negatif bagi umat Hindu. Implikasi negatif berupa fanatisme yakni sikap menyalahkan kepercayaan orang lain. Sedangkan Implikasi positif berupa sikap patuh dan taat, sikap menerima, percaya diri dan sikap terpuji. Sikap-sikap positif inilah yang akan melahirkan ketenangan dan kenyamaan dalam setiap diri pribadi umat Hindu, serta ajaran yang telah diterima sepenuh hati menjadi nilai dan norma bersama untuk menciptakan integrasi sosial atau menyongsong Hindu

Jagadhita yakni kesejahteraan bagi seluruh umat.

(7)

vi

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pandangan Umat

Hindu Modern Terhadap Dewa Ganesa”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai suri tauladan untuk semua umat sampai akhir zaman.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari bahasa yang digunakan maupun sistematika penulisan, hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Namun berkat bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

2. Dr. Media Zainul Bahri, MA. selaku Ketua dan Dra. Halimah Mahmudy, MA. selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Agama.

3. Syaiful Azmi, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu di tengah kesibukannya, dengan sabar dan penuh keikhlasan membimbing dan menyumbangkan ilmunya, serta memberikan pengarahan

(8)

vii

meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi, nasihat, pemikiran, dan pengarahan kepada penulis selama masa studi di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas memberikan ilmu dan memotivasi penulis sebagai bentuk pengabdiannya kepada generasi muda, terutama kepada Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, MA., Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, MA. sebagai Guru Besar Fakultas Ushuluddin, penulis sangat bangga dan berbahagia bisa memperoleh ilmu dari beliau, dan kepada Dr. Ahmad Ridho, DESA., Drs. M. Nuh Hasan, MA., Ismatu Ropi, Ph.D., Din Wahid, Ph.D., Dr. Hamid Nasuhi, MA., Dra. Hj. Hermawati, MA., Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dr. Siti Nadroh, MA., dan Dr. Sri Mulyati, MA., serta para dosen yang lainnya.

6. Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama (PU) dan Perpustakaan Fakultas (PF), yang sudah menyediakan buku sebagai referensi, selalu melayani dalam proses peminjaman buku dan bantuan lainnya, serta seluruh staff Jurusan Perbandingan Agama terutama Bang David atas saran dan bantuannya.

7. Ibunda tercinta Siti Habibah dan Ayahanda tercinta Alm. KH. Saepudin Soleh (Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu) yang tak pernah berhenti dan bosan mendo’akan penulis di setiap sujud dan hembusan nafasnya untuk

(9)

viii zaman.

8. Segenap Keluarga Besar Nenek tercinta Umi Mimin dan Kakek tercinta Alm. H. Halimi (Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu) yang selalu mendo’akan, memberi semangat, nasihat, didikan dan finansialnya kepada penulis. Semoga segala kebaikan dan amal shalehnya dibalas berlipat ganda oleh SWT. Aamiin. Terima kasih juga kepada Ua Mimid, Ua Aan, Mang Herman, Mang Ayep, Mang Asep, Mang Ajat, Mang Hasyim, Mang Wawan, Mang Ecep, Mang Iif, A Dayat, A Ujang, A Sayuti, A Satibi, Teh Nyai, Teh Imas, Teh Ai, Teh Mela, Teh Eni, Teh Eneng, Teh Ati, dan semuanya. Semoga selalu berada dalam lindungan dan rahmat Allah SWT. aamiin.

9. Kakak tercinta Zaenudin, S.Kom. dan Adik tercinta Latifah Solihah, Neneng Munifah serta Irpan Solehudin. Terima kasih atas bantuan, motivasi, do’a dan finansialnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan kuliah. Dan tak lupa juga kepada keluarga besar yang ada di Sukabumi, dan Cianjur, terima kasih atas do’anya. Semoga senantiasa ada dalam Ridha Allah SWT. aamiin.

10. Teman-teman seperjuangan Perbandingan Agama 2012: Hujazi, Jarkasih, Fauzan, Rizky, Laili. F, Rini, Elvita, Abdurahman Ashari, Anwar, Bambang, Fauzi, Hidayat, Agus An’in, Ubad Badru Salam, Hendri Purnawan, Hendri, Heri. H, Mardianto, Riswandi, Zamil, Eki, Uzma, Nufus, Adel, Gilang, Nurul, Dita,

(10)

ix kebersamaannya selama hampir 4 tahun.

11. Segenap Keluarga Besar Bude di Pondok Labu, khususnya kepada Bude Iem, Mbak Pani, Mas Iyon, Mas Amat (Ahmad F), Pak Min dan Pak Sukidi, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bisa tinggal di Kosannya selama kurang lebih tiga tahun, terima kasih juga atas nasihat, motivasi dan arahan selama penulis tinggal. Semoga Allah SWT. membalas kebaikannya dengan balasan yang berlipat ganda. Aamiin.

12. Segenap Keluarga Besar KAHFI: teman-teman; Lutfi, Hasan, Ikhsan, Nadhif, Latif, Taufiq, Ozy, Andi, Fauzan, Alwan, Erdin, Asep Kole, Indra, Lingga, Hendri, Asep Opose, Abil, Bang Bete, Agung, Hafis, Habib, Bang Doel, Ambar, Isna, Elva, Umi, Rita, Wulan, Lala, Yuyun, Yumna, dan Guru-guru; Kak Abe, Kak Eni, Kak Ozy, Kak Irfan, Kak Mamdu, Kak Icha, Kak Ibnu, Kak Munir, Kak Syarif, Kak Habib, Kak Eka, Kak Harsin, Kak Azka, Mbak Wie dan khususnya Guru Sehat KAHFI Dr. Tubagus Wahyudi, ST., MSi., MCHt., CHI (Om Bagus). Semoga segala kebaikan dan amalnya dibalas oleh Allah SWT. serta semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima Kasih atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini.

13. Teman-teman seperjuangan Beasiswa BLU 2012: Sahabat Hujazi (terima kasih atas motivasi, tempat berbagi dan berdiskusi, sehingga menjadi sahabat sejati),

(11)

x

Kang Nurdin Rohendi, SE., Hadiyanto, S. Pd. I, Faisal Wibowo, S. Th. I (terima kasih atas motivasi, saran dan arahannya selama ini, khususnya semasa kuliah), Nurjaman, S. Th. I, Kastubi, dan semuanya. Salam Sukses untuk kita semua!!! 15. Teman-teman KKN STAR 2015, Ifud (M. Ilham Fuadi), Farid Wadji G, Rizky

Fauzi I, Didin M, Fadli, Milzam, Beni, Gina Rafahiyah, Neng Ayu, Iin, Liza, Lina, Fani, Gita, Gina Ashila, Zulfa, yang sangat luar biasa kompak dan berkesan, kalian sudah menjadi seperti saudara sendiri buat penulis, semoga silaturahim kita tetap selalu terjaga.

16. Segenap keluarga besar Yayasan Pendidikan Islam Al-Bashry Kalapanunggal Sukabumi, Ibu papah, Ema Idah, Ibu Atih, Ibu Aas, Ibu Aan, Ibu Euis, Ibu Rina, Ibu Erni, Pak Ujang Abdurahman, Pak Aos, Pak Maman, Mang Uci, Teh Puroh, dan guru-guru: Bapak Ismatullah, Mr. Andi, Kang Ace, Ms. Rina, dan guru-guru lainnya, terkhusus untuk Bapak Alm. DR. (HC) K. H. Abdullah Hasby (Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu) yang telah memberikan ilmu, semangat, motivasi, nasehat, dan pengalaman hidup, serta rasa kekeluargaan yang begitu kental, sehingga sudah anggap penulis seperti keluarga sendiri. Semoga Al-Bashry tetap istiqomah dan berjaya. Insya Allah, Aamiin.

(12)

xi

18. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT. membalas segala kebaikan kita semua. Aamiin.

Semoga Allah SWT. selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan penyajian skripsi ini.

Jakarta, 29 September 2016

Penulis,

(13)

xii

LEMBAR PERNYATAAN PENULIS ... iii

MOTTO ... iv

ASBTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjaun Pustaka ... 9 E. Kerangka Teori ... 10 F. Metodologi Penelitian ... 15 1. Jenis Penelitian ... 15 2. Data Penelitian ... 15 3. Pengumpulan Data ... 16 4. Metode Penelitian ... 17 5. Teknik Penulisan ... 18 G. Sistematika Penulisan ... 18

(14)

xiii

C. Penggambaran atau Simbol Dewa-dewi ... 33

BAB III DEWA GANESA DALAM AGAMA HINDU A. Penggambaran Dewa Ganesa dalam Agama Hindu ... 38

B. Mitologi Hindu tentang Dewa Ganesa ... 45

C. Perayaan dan Mantra-mantra Dewa Ganesa ... 49

BAB IV SIGNIFIKANSI DEWA GANESA BAGI UMAT HINDU MODERN A. Peran Dewa Ganesa bagi Umat Hindu Modern ... 61

B. Signifikansi dan Implikasi Kepercayaan terhadap Dewa Ganesa bagi Kehidupan Hindu Modern ... 66

1. Signifikansi Dewa Ganesa bagi Umat Hindu Modern ... 66

2. Implikasi Kepercayaan terhadap Dewa Ganesa . ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hinduisme lahir dari bekas–bekas runtuhan ajaran–ajaran Veda dengan mengambil pokok pikiran dan bentuk–bentuk rupa India purbakala dan berbagai kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh di semenanjung itu sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap Agama Hindu sebagai kelanjutan dari ajaran–ajaran Veda dan menjadi bagian dari proses evolusinya.1 Dari kitab suci Veda dapat diketahui perkembangan agama Hindu menurut corak dan pandangan hidupnya yang dibedakan menjadi beberapa zaman, yaitu: zaman Veda2, zaman Brahmana3, zaman Upanishad4, dan zaman Tantrayana5.6

Begitu pula dengan keberadaan dewa-dewa dalam Hinduisme merupakan sinkretisme yang dibentuk dari kompromi antara berbagai jenis kepercayaan dan

1Alef Theria Wasim, “Agama Hindu,” dalam Mukti Ali, Ed., Agama-Agama Di Dunia

(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 93-94.

2

Dimulai kedatangan bangsa Arya di daerah Punjab sekitar 2500 SM yang belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.

3 Pada zaman ini (sekitar 1000 SM) para imam, yaitu para Brahmana, sangat berkuasa dan

menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan kitab Veda. Sekarang penyesuaian diri dengan peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.

4 Pada zaman ini (sekitar 800 SM) pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat

peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga. Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Veda Samhita, yang berarti perkumpulan Veda.

5 Pada zaman ini (sekitar 600 SM) mulai tumbuh dan berkembang bersamaan Purana dengan

konsep theologi yang melihat dari segi peranan sakti (kekuatan Tuhan).

6 I. B. Suparta Ardhana, Sejarah Pekembangan Agama Hindu di Indonesia (Surabaya:

(16)

kebudayaan di anak benua India. Ada dua kebudayaan utama yang bercampur dalam agama Hindu, yakni Dravida dan Indo-Aria.7

Bangsa Dravida telah menyumbangkan kepada Hinduisme banyak dewa-dewa, adat kebiasaan keagamaan yang menyembah patung, kependetaaan, serta mandi suci di sungai keramat, dan doktrin tentang reinkarnasi dan avatar, semisal Siwa. Sedangkan bangsa Indo-Aria dalam kepercayaannya sebagaimana ditemukan dalam Rgveda digambarkan sebagai penjelmaan alam. Dewa-dewi adalah penjelmaan lebih kurang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan alam. Umpamanya ada Agni sebagai dewa api, Bayu sebagai dewa angin, Surya sebagai dewa matahari, dan seterusnya. Mereka dipandang sebagai makhluk yang lebih tinggi dari manusia, dan kewajiban manusia untuk menyembah, mematuhi, dan memberi sesaji kepada mereka.8

Namun demikian, di samping bangsa Dravida dan Arya yang telah memiliki kebudayaan dan kepercayaan cukup maju, terdapat pula sejumlah besar penduduk asli India. Mereka memiliki satu tingkat kebudayaan yang lebih rendah. Mereka menyembah setan dan hantu serta juga menyembah sungai, gunung, pepohonan, serta binatang. Tata cara serta cara penyembahan mereka itupun masuk dalam Hinduisme. Di antara dewa-dewa yang muncul dari budaya kaum

7Ulfat Aziz-us-Samad, Agama-agama Besar Dunia Penerjemah Imam Musa Prodjosiswojo

(Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah 2002) h. 11-12.

(17)

pribumi asli adalah dewa yang dahsyat, yaitu Kali, (yang digambarkan dalam mitologi Hindu sebagai istri Siwa) dan Ganesa sebagai dewa keberuntungan.9

Dewa Ganesa merupakan putra Sang Hyang Siwa dan dewi Parwati (bentuk dari dewi Durga). Putra Siwa yang lain adalah Kartikeya sebagai dewa kebenaran yang melindungi dharma dengan menghancurkan kejahatan. Kartikeya juga dikenal dengan Kumara, Skanda, Subramanya, Sanmukha, atau Muruga. Sanmukha digambarkan sebagai dewa yang berkepala enam melambangkan lima indera dan pikiran harus selaras bagi perkembangan mental, intelektual dan spiritual.10

Dewa Ganesa berwujud dengan badan menyerupai manusia dan berkepala gajah. Perpaduan antara manusia dan binatang ini adalah simbol dari perlambangan manusia yang sempurna, yang diungkapkan oleh para Rsi Hindu. Sang Hyang Siwa menunjuk dewa Ganesa sebagai pemimpin para gana (gana berarti gajah; pasukan pengiring dewa Siwa), yakni pengikut Sang Hyang Siwa. Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha berarti penguasa atau pemimpin. Istilah itu secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau perserikatan. Ganapati adalah nama lain Ganesa, merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata gana, berarti “kelompok”, dan pati, berarti “pengatur” atau “pemimpin”. Oleh karenanya dewa

9 Samad, Agama-agama Besar Dunia, h. 24-25.

10Bansi Pandit, Pemikiran Hindu: Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya

(18)

Ganesa dinamakan Ganapati (pati berarti pemimpin atau penguasa) atau

Ganadipa.11

Ganapati atau Ganesa dikenal sebagai Vinayaka artinya yang

memindahkan rintangan. Kemudian dewa Ganesa juga disebut Vighnesvara atau

Vighnaraja (Vighna artinya halangan atau rintangan; isvara/raja artinya tuan,

penguasa) sebagai dewa yang memiliki kemampuan untuk melenyapkan segala halangan yang dihadapi umat manusia.12 Hal inilah yang menjadikan umat Hindu memuja Ganesa dalam setiap acara yang dilakukan dengan harapan tiada halangan yang merintanginya dan mendapatkan kegembiraan.

Kitab Suci Veda menyebutkan penjelasan yang sejalan dengan sebutan Ganesa sebagai Vinayaka, yakni :13

“O Devata penguasa kategori, Tuhan adalah Penguasa, Rsi Agung diantara para rsi, tiada tertandingi dalam kekayaan, Raja dari semua pemimpin, Devata dari prinsipnya prinsip. Dengarkanlah hamba, silakan mengambil tempat (sthana), anugrahkanlah hamba dengan berbagai kegembiraan”.

Rgveda II.31.1 Ada sebuah cerita yang berhubungan dengan nama dewa Ganesa sebagai

Vinayaka atau Vighnesvara atau Vighnaraja, yang ditemukan dalam kisah Lavanakalambakam, Karthasaritsagara, bahwa para dewa sepakat untuk

menunjuk Subrahmanya sebagai komandan pasukan yang akan membunuh

11Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita 2003), h.

337.

12Svami Harshananda, Dewa-Dewi Hindu Penerjemah I Wayan Maswinara (Surabaya:

Paramita, 2007), h. 86.

(19)

Tarakasura. Ketika dewa Indra mengambil air suci untuk menobatkan Subrahmanya dengan menyiramkan air di kepalanya, Subrahmanya kedinginan, tangannya menggigil dan lumpuh, lalu berdiri karena terkejut. Dewa Siwa kemudian menjelaskan, hal ini dapat terjadi karena segala sesuatu kegiatan tidak dimulai dengan pemujaan kepada Ganesa. Lalu dewa Indra segera saja melakukan pemujaan kepada Ganesa, kemudian tangan Subrahmanya kembali normal tidak mengalami kelumpuhan lagi. Selanjutnya Subrahmanya dinobatkan sebagaimana mestinya.14

Selain itu dewa Ganesa juga dikenal dengan sebutan Lambodara yang berarti “Ia yang berperut buncit”. Tubuh manusia dengan perut yang besar memiliki hati manusia yang menyimbolkan kebaikan dan penyerahan diri pada semua. Tubuh dewa Ganesa biasanya memakai busana merah dan kuning. Kuning melambangkan kemurnian, kedamaian dan kebenaran. Merah melambangkan aktifitas di dunia. Ini adalah sifat dari manusia yang sempurna melaksanakan semua tugasnya di dunia, dengan kemurnian, kedamaian dan kebenaran. perut yang besar memiliki arti bahwa manusia yang sempurna harus memiliki kapasitas yang besar untuk dapat menghadapi semua hal yang menyenangkan dan hal tidak menyenangkan di dunia.15

Kemudian dewa Ganesa menempati posisi yang dominan dalam pemujaan dibandingkan dengan dewa-dewa lainnya yang dihubungkan dengan dengan dewa

14Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 345. 15Pandit, Pemikiran Hindu, h. 197.

(20)

Siwa. Di India Selatan, pemujaan kepada dewa Ganesa menjadi mode tidak kurang dari sejak abad ke-6 Masehi, dan arca Ganesa ditempatkan tersebar luas hingga kini. Di India Selatan pura atau kuil yang dipersembahkan kepada dewa Ganesa tidak kalah jumlahnya dengan pura yang dipersembahkan kepada dewa Subrahmanya. Arca Ganesa diisthanakan di pintu masuk desa-desa dan benteng-benteng, di bawah pohon yang besar, di setiap pintu masuk ke sebuah pura dan di barat daya dari pura untuk memuja dewa Siwa.

Ni Kadek Putri Noviasih16 menjelaskan bahwa Ganesa adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa pelindung, dewa penolak bala/bencana dan dewa kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati,

Vinayaka dan Pilleyar (anak yang mulia). Dalam tradisi pewayangan, ia disebut

Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.

Di Indonesia pada masa yang silam rupanya penempatan dewa Ganesa mirip seperti di India Selatan. Pada bendungan Karang Kates, Jawa Timur yang

16Ni Kadek Putri Noviasih, “Dewa Ganesa,” artikel diakses pada 16 April 2016 dari

(21)

dibangun pada masa pemerintahan Airlangga juga ditempatkan arca Ganesa dengan ciri khas bhairava. Demikian pula di Bali cukup banyak peninggalan purbakala tentang Ganesa yang tersebar. Kini walaupun jarang ditemukan lagi upacara khusus ditujukan kepada dewa Ganesa, namun upacara Rsigana (upacara Ganesa sebagai penyelamat) untuk menyucikan pekarangan dan lain-lain masih dilakukan umat Hindu.17

Shri Arya Agung Partama Wasa mengatakan bahwa pemujaan khusus kepada dewa Ganesa dan dewi Lakshmi, yang merupakan wujud ke-12 dari Sri Ganesa merupakan salah satu cara pendekatan diri kepada Hyang Maha Wenang dalam aspek Kesejahteraan, Keselamatan, Kemuliaan dan Ketentraman Hidup. Keseluruhan mantra dalam pendekaan diri diambil dari Kitab Suci Veda dan Purana,18 yang selalu mengedepankan kesucian, persamaan derajat, keikhlasan dan satvika (persembahan murni, tanpa unsur daging, tidak berlebihan, sederhana).19

Pemujaan khusus kepada dewa Ganesa sebagai salah satu tugas dari dewa nata acharya yang dilakukan oleh masyarakat Hindu serta grup Spiritual Ganachakra dengan melaksanakan Ganesha Lakshmi puja setiap hari selama dua tahun hingga 2017 dimaksudkan untuk menyongsong hindu jagadhita yang artinya kesejahteraan bagi seluruh umat.

17Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 346-347.

18Purana (Sanskerta: pura a, berarti cerita zaman dulu) adalah bagian dari kesusastraan

Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu.

19 Shri Arya Agung Partama Wasa, “Ganachakra-2 Ganesha Lakshmi Puja,” artikel diakses

pada 08 Nopember 2015 dari http://gungzero.com/wp-content/uploads/2015/08/download-ganesha-lakshmi-puja-as-pdf.pdf.

(22)

Agama Hindu memiliki tujuan "Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma", artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.20 Upaya untuk mencapai masyarakat jagadhita dengan melaksanakan Tri Hita Karana, yakni Parhyangan berupa hubungan antara manusia dengan Tuhan, Pawongan berupa hubungan manusia dengan manusia, dan Palemahan berupa hubungan manusia dengan lingkungan. Pemujaan khusus kepada dewa Ganesa merupakan praktik dari parhyangan.

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam dengan judul “PANDANGAN UMAT HINDU MODERN TERHADAP DEWA GANESA”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka penulis memfokuskan penelitian pada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan umat Hindu Modern terhadap dewa Ganesa ? 2. Bagaimana signifikansi dan implikasi kepercayaan terhadap dewa Ganesa

bagi kehidupan Hindu Modern ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah

(23)

a. Untuk menjelaskan pandangan umat Hindu Modern tentang dewa Ganesa.

b. Untuk mengetahui signifikansi dan implikasi kepercayaan terhadap dewa Ganesa bagi kehidupan Hindu Modern.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini untuk menambah informasi baru terhadap pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pandangan umat Hindu modern terhadap dewa Ganesa serta sebagai referensi kepustakaan di Jurusan Studi Agama-agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan mengenai pandangan Umat Hindu Modern terhadap dewa Ganesa.

c. Secara akademis, penelitian ini untuk memennuhi persyaratan akhir perkuliahan untuk gelar kesarjanann Strata (SI) Agama dalam Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran sumber yang dilakukan selama proses penelitian, penulis menemukan beberapa tulisan yang memiliki kajian obyek yang hampir sama dengan kajian yang diteliti oleh penulis. Dalam hal ini ada beberapa tulisan, yakni:

(24)

1. Skripsi “Peranan Nyanyian Aum Untuk Penyembahan Dewa Ganesha Dalam Ibadah Sembahyang Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Mariamman” oleh Indah Sartika Pasaribu dari Universitas Negeri Medan tahun 2013. Skripsi tersebut menjelaskan bagaimana Peranan Nyanyian AUM untuk Penyembahan Dewa Ganesha Dalam Ibadah Sembahyang Mayarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Mariamman. Menurut penulis, skripsi Indah Sartika Pasaribu menjelaskan peranan nyanyian Aum untuk penyembahan dewa Ganesa dengan baik.

2. Tesis “Arca Ganesa Di Daerah Kuala Muda” tulisan Ananthan A/L Nagu dari Universitas Sains Malaysia pada tahun 2005. Tesis tersebut memaparkan tentang arca-arca Ganesa yang terdapat di sekitar Daerah Kuala Muda, Kedah, proses pembuatan arca dewa Ganesa dan jenis media, serta nilai-nilai estetika yang terdapat pada arca dewa Ganesa.

Dua karya tulis tersebut memberikan sumber inspirasi bagi penulis untuk mengembangkan lebih lanjut penelitian tentang dewa Ganesa. Dari dua tinjauan pustaka di atas, nampak terlihat betapa menariknya penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengambil judul skripsi “Pandangan Umat Hindu Modern terhadap Dewa Ganesa,” yang menitikberatkan pada peran dan fungsi dewa Ganesa bagi Umat Hindu Modern yang belum dibahas oleh kedua tulisan di atas.

(25)

Kerangka teori merupakan teori-teori dasar penulis untuk meneliti masalah-masalah yang akan dihadapi penulis pada pelaksanaan pengumpulan data.

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata modern artinya terbaru; mutakhir.21 Sedangkan dari segi bahasa kata modern berasal dari kata “modo”, artinya “yang kini” (just now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para warganya hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi serta organisasi sosial yang baru, yang sesuai dengan konstelasi zaman sekarang. Contoh masyarakat modern adalah masyarakat kota.22

Umat Hindu modern dalam penelitian ini adalah masyarakat kota saat ini. Dikarenakan masyarakat modern telah bergantung dengan kecanggihan teknologi serta kemajuan ilmu pengetahuan yang memudahkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan ajaran atau kepercayaan agama bersifat rohani, berbeda dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern yang cenderung bersifat jasmani.

2. Kata dewa dalam KBBI memiliki arti terang, cahaya, atau roh yang dianggap atau dipercayai sebagai manusia halus yang berkuasa atas alam

21 Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Pusat Bahasa, 4th ed. (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 924.

22 Rowland Bismark Fernando Pasaribu, “Manusia dan Modernisasi,” artikel diakses pada 29

Maret 2016 dari http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/35512/bab-11-manusia-sebagai-modal-pembangunan.pdf

(26)

dan manusia.23 Sedangkan dari segi bahasa, kata dewa berasal dari bahasa Sanskerta, dev artinya sinar.24 Kemudian kata dewa memiliki dua makna. Dewa sebagai Tuhan yang Maha Esa, dengan dewa sebagai para dewa.25 Lalu Tuhan disebut juga Dewata, Maha Dewa (Dewa para dewa), Ista

Dewa atau Ista Dewata (sumber kekuasaan dari semua dewa-dewa). 26 Tetapi ada yang mengartikan berbeda berdasarkan pada gramatika bahasa Sanskerta, bahwa kata devata (dewata) memiliki makna yang sama dengan deva (dewa) sebagai makhluk Tuhan,27 dan Istadevata diartikan sebagai devata pilihan.28 Maka dalam skripsi ini, penulis ketika menggunakan kata devata, bermakna sama dengan

deva, dan istadevata bermakna devata pilihan.

Tuhan yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God (Tuhan Berpribadi). Penggambaran ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:29

a. Penggambaran Anthrophomorphes (sebagai manusia dengan berbagai kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.

23 Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Pusat Bahasa, h. 322. 24

K. Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung: Angkasa, 1993), h. 55.

25 Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 20. 26 Gede Puja, Theologi Hindu, 4th, ed. (Jakarta: Mayasari, 1980), h. 22. 27 Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 18. 28 Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 39.

29 I Made Titib, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan) (Surabaya: Paramita, 1996),

(27)

b. Penggambaran Semianthrophomorphes (sebagai setengah manusia atau setengah binatang) hal ini lebih menonjol dalam purana seperti Dewa Ganesa manusia berkepala gajah, Hayagriwa manusia berkepala kuda, dan sebagainya.

c. Penggambaran Unantrhophorphes (tidak sebagai manusia, melainkan sebagai binatang saja, misalnya Garutman atau Garuda, sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lainnya).

Dari kerangka teori tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, yakni penulis menggunakan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.30

Adapun teori yang digunakan penulis untuk memahami fenomena sosial keagamaan adalah teori fungsionalisme. Fungsionalisme dikembangkan dari teori-teori klasik hasil pemikiran Emile Durkheim, Max Weber, Talcott Parson dan Robert K. Merton. Fungsionalisme yang dikembangkan oleh Robert K. Merton menekankan pentingnya nilai dan norma. Menurut Merton, bila masyarakat puas dengan nilai maka akan menghargainya dan dapat mendorong integrasi sosial, namun bila tidak merasa puas maka akan mendorong disintegrasi sosial.31

30U. Maman, dkk., Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2006), h. 127-128.

(28)

Agama dalam perspektif Merton dapat dianalisis, apakah Agama dapat menjadi pegangan bersama atau tidak. Jika Agama dapat menjadi pegangan bersama dalam masyarakat maka akan menjadi faktor integratif. Namun jika tidak, maka akan menjadi faktor disintegratif.32

Hubungan Agama dengan masyarakat dapat terjadi dalam sebuah proses sosial. Proses sosial yang merupakan faktor utama dalam kehidupan masyarakat sebagai kunci kehidupan bersama. Proses sosial atau yang disebut juga sebagai interaksi sosial sangat berguna dalam memperhatikan dan mempelajari berbagai masalah masyarakat, umpamanya mengenai interaksi sosial antara golongan agama dengan masyarakat.

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu.33 Menurut Herbert Blumer, proses interaksi sosial adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia.

Hubungan sosial dari kelas-kelas dalam masyarakat memiliki proses sosial masing-masing. Kelas-kelas tersebut timbul selama dalam satu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa uang, tanah, kekuasaan ilmu pengetahuan, kesalehan dalam

32 Maman, Metodologi Penelitian Agama, h. 132.

33Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 43th ed. (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

(29)

agama dan sebagainya. Sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya kelas-kelas yang disebut lapisan masyarakat (stratifikasi sosial).34

Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang dan kelas rendah dengan ditandai oleh adanya ketidakseimbangan dalam pembagian antara hak dan kewajiban serta tanggung jawab individu dan kelompok di dalam suatu sistem sosial.35

Adanya lapisan masyarakat dengan interaksi sosialnya yang bisa ditimbulkan dari nilai, norma dan ajaran agama yang dihargai, dapat menjadi sebuah penelitian yang menarik. Apakah ajaran Agama tersebut menjadi faktor integratif, kemajuan, dan kesejahteraan, atau menjadi faktor sebaliknya.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), artinya data-data yang mendukung kajian ini berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku-buku, ensiklopedi, kamus, majalah, jurnal dan karya ilmiah lainnya yang dipandang ada relevansinya dengan tema penulisan. Data-data tersebut dinamakan literature.

2. Data Penelitian

34Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 199. 35 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 220.

(30)

Data dari penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa buku-buku, jurnal, artikel, yang membahas tentang Dewa Ganesa, yakni: Ganachakra-1 (Shri Arya Agung Partama Wasa), Ganachakra-2

Ganesha Lakshmi Puja (Shri Arya Agung Partama Wasa), Dewa-dewi Hindu

(Svami Harshananda, 2007) Penerjemah I Wayan Maswinara, Teologi dan

Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Made Titib, 2003) dan Wawancara di SD

Pura Amrta Jati, Cinere, Depok dengan Bapak Kanadi sebagai Wakil Kepala Sekolah SD Amrta Jati dan Bapak I Wayan Suidana sebagai Guru SD Amrta Jati. Sedangkan sumber-sumber sekunder adalah berupa buku, artikel, jurnal, ensiklopedia, serta karya ilmiah lain yang menyangkut pembahasan dalam penelitian ini.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tulisan ini adalah: a. Kepustakaan

Metode ini merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari data dan informasi yang terdapat di ruang kepustakaan melalui membaca, meneliti dan memahami kitab-kitab suci beserta terjemahan dan penafsiran, buku-buku yang ada hubungan sesuai permasalahan judul skripsi.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan antara

(31)

pewawancara dengan yang diwawancarai. Wawancara dilakukan guna mendapatkan informasi atau data-data yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.36

c. Dokumentasi

Dokumentasi diartikan sebagai suatu catatan tertulis/gambar yang tersimpan tentang sesuatu yang sudah terjadi. Dokumen merupakan fakta dan data tersimpan dalam berbagai bahan yang berbentuk dokumentasi. Kajian dokumen dilakukan dengan cara menyelidiki data yang didapat dari dokumen, catatan, file, dan hal-hal lain yang sudah didokumentasikan.37

d. Observasi

Metode observasi dilakukan dengan cara mengamati perilaku, kejadian atau kegiatan orang atau sekelompok orang yang diteliti. Kemudian mencatat hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan pengamatan penulis dapat melihat kejadian sebagaimana subyek yang diamati mengalaminya, menangkap, merasakan fenomena sesuai pengertian subyek dan obyek yang diteliti.38

4. Metode Penelitian

36 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2006), h. 225.

37 Aunu Rofiq Djaelani, “Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif,” Majalah

Ilmiah Pawiyatan V, no. 1 ( Maret 2013) h. 88.

(32)

Dalam pembahasannya, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan anatara dua gejala atau lebih.39 Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menggambarkan objek dan permasalahan apa adanya, tanpa penetrasi dan campur tangan. Jadi, penulis memberikan penjelasan dalam pembahasan terkait dengan judul skripsi ini, yakni Pandangan Umat Hindu Modern terhadap dewa Ganesa sesuai dengan apa yang terjadi di masyarakat secara apa adanya.

Kemudian dengan melakukan analisa bertujuan untuk menyajikan penulisan skripsi yang sistematis, aktual, akurat mengenai fakta-fakta yang diselidiki.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012/2013 yang disusun oleh biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta.”

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab. Adapun secara sistematika bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

39 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2004), h.

(33)

BAB I merupakan Pendahuluan yang mencakup uraian secara global dan

menyeluruh mengenai tema dan sub bahasan. Di dalamnya terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II berisi tentang penjelasan Konsep Dewa-dewi dalam Agama

Hindu, Pemilihan dan Pemujaan terhadap Dewa-dewi, dan Penggambaran atau Simbol Dewa-dewi.

BAB III penulis akan menjelaskan secara detail tentang Penggambaran

dewa Ganesa dalam Ajaran Agama Hindu, Mitologi Hindu tentang dewa Ganesa, dan Perayaan dan Mantra-mantra dewa Ganesa.

BAB IV berisi mengenai Pandangan Umat Hindu Modern terhadap dewa

Ganesa, dan Signifikansi serta Implikasi Kepercayaan terhadap dewa Ganesa bagi Kehidupan Hindu Modern.

BAB V adalah penutup dari skripsi ini, berisi kesimpulan yang merupakan

jawaban dari rumusan masalah dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis sampaikan terkait skripsi ini.

(34)

20

DEWA-DEWI DALAM AGAMA HINDU A. Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu

Hinduisme dalam ajarannya tentang konsep ketuhanan mengajarkan percaya pada satu dan hanya satu Tuhan (Brahman dalam Upanisad), tetapi memujanya dalam berbagai bentuk dengan berbagai simbol yang disebut dewa-dewi. Hinduisme memuja banyak Tuhan (Dewa) bukanlah politheisme akan tetapi monotheistic politheisme. Pemikiran Hindu yang monotheisme adalah pengakuan tentang Tuhan yang diketahui dengan banyak cara dan dipuja dalam berbagai bentuk.1

Hinduisme mengajarakan tentang Tuhan itu eka, Tuhan yang Maha Esa dalam kitab suci Veda dan praktek keagamaan disebut dengan berbagai nama, dan berbagai wujud untuk menggambarkan-Nya, walaupun Tuhan yang Maha Esa tidak berwujud dalam pengertian materi maupun dalam jangkauan pikiran manusia, yang di dalam bahasa Sanskerta diebut acintyarupa, dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan “tan kagrahita dening manah mwang indriya” (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia).2

Hal ini serupa dengan Veda, yang memandang bahwa Tuhan sebagai pribadi yang berlainan dengan dunia. Tuhan bukan objek seperti benda-benda dunia, melainkan suatu wujud yang transenden artinya diluar kemampuan akal pikiran manusia, berarti Tuhan dalam keadaan tanpa sifat diebut Nirguna atau Sunya. Nirguna atau Sunya merupakan istilah yang dipergunakan untuk memahami hakikat Tuhan dalam keadaan hukumnya semula. Tuhan bukan

1

Bansi Pandit, Pemikiran Hindu: Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya Penerjemah Iga Dewi Paramita (Surabaya: Paramita, 2005), h.. 43.

2

(35)

dan akhir. Tuhan sering disebut wujud “hana tan hana,” yaitu wujud yang ada namun tiada.3

Tuhan juga serentak bersifat immanen artinya mengenal Tuhan dalam sifat-sifatnya yang ada atau Tuhan dengan sifat menurut pikiran manusia, disebut Sadguna.4 Sifat immanen adalah ke-Maha Kuasaan Tuhan dengan sifat wyapi wyapaka, yaitu berinfiltrasi kea lam semesta, terutama meresapi semua makhluk ciptaan-Nya untuk memberikan kehidupan dengan bentuk atman. Atman adalah percikan dari Tuhan yang bersemayam pada setiap makhluk di dunia sehingga terjadinya kehidupan, dan dari kehidupan akan melahirkan karma sebagai perangkat hukum Tuhan.5

Tuhan juga besifat empiris atau sawitarka, artinya ke-Maha Kuasaan Tuhan dalam hal memberikan kekuatannya terhadap simbol-simbol keagamaan. Menurut pandangan ajaran Agama Hindu merupakan identifikasi serta personifikasi sesuai dengan fungsi manifestasi-Nya. Hal ini bersifat realita karena memiliki fungsi yang sangat penting sebagai penuntun rasa bhakti dan keyakinan serta kepercayaan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan.6

Tuhan yang bersifat transenden juga immanen tetap merupakan Tuhan Maha Esa, yang menurut Maharsi Vyasa atau dikenal juga Badarayana dalam bukunya Brahmasutra, Vedantasastra atau Vedantasara, adalah Janmadyasya

3

I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu (Manifestasi Sang Hyang Widhi) (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2000), h. 11.

4

Gde Sara Sastra, Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita 2005), h. 42.

5

I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu (Manifestasi Sang Hyang Widhi), h. 12-13.

6

(36)

Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmadi: asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya: dunia/alam semesta, yatah: daripadanya). Jadi menurut sutra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan yang Maha Esa disebut Brahman. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Purusa Sukta Rgveda, berikut:7

Purusa eedam sarvam Yadbhutam yacca bhavyam, Utamrtatvasyesa no

Yadannenati rohati.

Rgveda X.90.2. (Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juda di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan).

Demikian pula dalam Naraya Upanisad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Sandhya, juga menjelaskan tentang Tuhan yang Maha Esa sebagai asal segalanya, Maha Suci tidak ternoda, yakni:

Narayana evedam sarvam yadbhutam yacca bhavyam niskalanko niranjano nirvikalpo nirakhyatah suddho deva eko nairayano na dvitiyo ‘sti kasccit.

Narayana Upanisad 2. (Ya Tuhan yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang aka nada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada dua-nya).

Dari Narayana Upanisad 2 ini, Tuhan yang Maha Esa disebut juga Sang Hyang Widhi. Arti dari kata tersebut adalah Widhi (Sanskerta Vidhi)

7

(37)

kekuaasaan, rumus, perintah, keputusan, ordonansi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum, petunjuk (teristimewa petunujuk tentang persembahan sesuai kitab-kitab Brahmana, kitab suci Veda, yang menurut Sayana terdiri dari 2 bagian, yaitu:8

1. Vidhi, ialah petunjuk atau aturan seperti “yajate” ia yang mempersembahkan uapcara yajna, “kuryat”, ia yang menyajikan, dan 2. Artha-vada, penjelasan tentnag asal/makna upacara dan penggunaan

mantra, yang dipadukan dengan legenda-legenada dan ilustrasi-ilustrasi). Di dalam Mahabharata dan kitab-kitab kavya lainnya vidhi disebut sebagai Sang Pencipta, juga Pancaratra. Vidhi adalah salah satu nama dari Brahma sebagai pencipta atau penguasa hukum. Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain.

Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Akasa, yakni di atas angkasa, nun jauh disana. Dikatakan juga bahwa Tuhan atau Brahman adalah “Sat Cit Ananda Brahman, artinya sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran pengetahuan-tak terbatas (Mahanirvana Tantra)”. Jadi Tuhan juga diberi gelar “sat” atau “cit”. Dalam mantra, Tuhan disimbulkan dengan aksara suci (pranava) berupa “OM” atau “ONG”.

Kata Ong merupakan aksara pranava Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Kata, Ong mengandung makna yang sama dengan kata, Om sebagai simbol aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

8

(38)

menghormati, serta wujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.9

Sang Hyang Widhi atau Tuhan yang Maha Esa merupakan Tuhan tidak berwujud (Impersonal God) disebut juga Brahman, sedang ketika Ia telah mengambil wujud atau sebagai manifestasi dalam menciptakan alam semesta beserta isinya (Personal God) disebut Brahma.

Manifestasi Tuhan sebagai Personal God disebut juga bhatara yang berasal dari bahasa sansekerta dari urat kata “bhatr” (digunakan) menjadi bhatara yang artinya pelindung. Tuhan dalam wujud-Nya (sinar) sebagai Dewa memberikan perlindungan kepada umat manusia, dunia dan segala isinya. Agama Hindu mengenal banyak bhatara, seperti; Bhatara Bayu yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan udara atau angin. Bhatara Indra yang mempunyai kekuatan untuk mengadakan hujan. Bhatara Agni yang mempunyai kekuatan untuk menjadikan api yang panas, dan bhatara lainnya.10

Manifestasi Tuhan atau aspek Personal Brahma dengan sifat-Nya, atribut-Nya yang ada dimana-mana baik sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengendali jagat raya ini dipuja dalam bentuk pria dan wanita. Sebagai aspek pria, keadaan ini disebut dengan berbagai nama dalam bahasa Sanskerta ada Isvara, Paramesvara, Paramatma, Mahesvara dan Purusa. Walaupun ada perbedaan mendasar dalam arti dari kata Sanskerta itu, secara umum menyatakan sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pengendali dari seluruh alam

9

I Ketut Subagiasta, “Ketuhanan (Brahma Vidyaa) Dalam Perspektif Hindu,” artikel diakses pada 13 Februari 2016 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article.

10

(39)

Mulia, Durga, dan Kali.11

Inilah yang dimaksud bahwa Hinduisme merupakan monotheisme polytheistic. Akan tetapi, ada juga yang keliru dalam mamahami ajaran Hindu. Hinduisme diidentikan dengan agama yang mempercayai banyak dewa atau menyembah Tuhan. Semisal pengertian Hinduisme dalam sebuah buku kamus keluaran Oxford12 : Hinduisme : religions and social system especialy in India with worship of severals gods (Hinduisme adalah agama dan sistem sosial khususnya di India dengan menyembah beberapa dewa).

Di dalam buku kamus tersebut juga dijelaskan pengertian Polytheisme sebagai Polytheisme : belief in, worshir of many gods or more than one gods (Polytheisme adalah percaya atau menyembah banyak Tuhan atau lebih dari satu Tuhan).

Dari pengertian di atas, Hinduisme diartikan sebagai agama yang menyembah banyak Tuhan atau Polytheisme. Hal ini dapat disebabkan, karena dalam agama Hindu adanya pemberian nama terhadap masing-masing kekuatan/fungsi atau manifestai Tuhan. Misalnya ada Brahma sebagai manifestasi Tuhan pencipta, Wisnu sebagai manifestasi Tuhan pemelihara, Siwa sebagai manifestasi Tuhan pengembali atau pelebur, dan lain-lainnya. Dari hal tersebut seolah-olah tampak bahwa agama Hindu mengenal banyak Tuhan.

Namun, Hinduisme dalam ajarannya telah mengenal kepercayaan bahwa Tuhan adalah segala-galanya. Seperti telah tercantum dalam ayat-ayat

11

Pandit, Pemikiran Hindu: Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya, h. 41.

12

(40)

sukar dijangkau pikiran, maka dalam Veda Tuhan disebut Purusa artinya tak terbatas.

Sahasra sirsa purusah sahasraksah sahasrapat, sa bhumin vis ‘vato vrtva, tyatisthad das angulam purusa evedam sarvam, yadbhutam yacca bhavyam.

RgVeda 10.90. 1-2. “(Purusa mempunyai kepala, seribu mata dan seribu kaki (purusan tak terbatas), beliau meliputi alam semesta ini dari semua arah, tetapi diri-Nya sendiri (Purusa) lebih dari alam semesta itu dengan ukuran 10 jari. Semua ini, semua yang sudah jadi dan semua yang akan jadi adalah sama dengan Purusa atau Purusa adalah sama dengan semua ini, yaitu semua yang sudah jadi dan semua yang akan jadi).”

Dalam syair Veda tersebut, Tuhan dikatakan “Purusa” atau sifat Tuhan tidak terbatas. Karena Tuhan menurut Veda adalah absolut, tidak ada duanya. Hanya Tuhanlah yang penguasa alam semesta, karena kuasa Tuhan lebih dari dunia ini, yang berarti Tuhan adalah Tunggal ada-Nya.

Kemudian menurut Veda Tuhan juga disebut Hiranyagarbha artinya penguasa semua mahkluk (RgVeda 10.121. 1.), Prajapati artinya asal segala makhluk (RgVeda 10.121. 10.), Pita artinya ayah dari alam ini (RgVeda 10.81. 1. dan RgVeda 10.81. 3.), yang kesemuaannya itu menandakan Tuhan itu satu (deva eka). Oleh karena Tuhan esa atau tunggal, maka sering digelari Sang Hyang Tunggal. Tuhan juga bersifat abstrak yang lazim disebut Hyang Niskala. Tuhan diberi gelar Hyang Widhi Wasa, juga Ranying Hatalla Langit, Hyang Dewata, Mohotara, dan masih banyak sebutan lain.14

13

Sastra, Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu, h. 45-46.

14

I Ketut Subagiasta, “Ketuhanan (Brahma Vidyaa) Dalam Perspektif Hindu,” artikel diakses pada 13 Februari 2016 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article.

(41)

Kepercayaan kepada dewa-dewi bagi umat Hindu merupakan suatu keharusan. Dikarenakan dalam kitab suci Veda, Tuhan yang Maha Esa disebut juga sebagai Deva (Dewa) atau Devata (Dewata). Kata Deva berasal dari bahasa Sanskerta Dev artinya sinar15, terang, cahaya. Berdasarkan gramatika bahasa Sansekerta, Deva dan Devata mempunyai pengertian yang sama. Kata Devata dibentuk dengan penambahan kata tal pada kata dasar Deva (Deva + tal + r Atamane padam = Deva + ta + a = Devata) sebagai penekanan menurut Astadhyayi karya Panini, tanpa mengubah arti atau makna dari kedua kata itu.16 Hal ini juga senada menurut KBBI, Dewata artinya dewa; sifat dewa; kedewaan.17

Namun kemudian kata devata (dewata) mempunyai pengertian lain. Devata kedudukannya lebih tinggi dari dewa dan tidak sekedar sinar atau dev, tapi di atas dev atau sinar di atas sinar, yakni dewa di atas dewa atau Maha Dewa.18 Pengertian devata ini terdapat dalam kalimat yang termuat dalam RgVeda : X : 12 : 8 dan X : 90 : 3, yang berbunyi “Tuhan melebihi sinar-Nya”. Sinar dalam bahasa aslinya (Sanskerta) adalah dev, ini berarti bahwa devata adalah dewa di atas atau Ia mempunyai kedudukan lebih dari para dewa.

Sebuah penjelasan tentang Dewa dalam kitab Nirukta, sebagai berikut: Maha bhagyad devataya ekam evatma bahudha stuyate,

15

K. Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung: Angkasa, 1993), h.. 55.

16

Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita 2003), h. 18.

17

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Pusat Bahasa, 4th ed. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h 323.

18

(42)

atmayudhamatmesava atma sarva devasya-devasya.

Nirukta VII.4. (Oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari Devata (dalam hal ini Tuhan yang Maha Esa) yang merupakan jiwa alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. Lainnya, para dewa (disebutkan di dalam kitab suci Veda), hanyalah bagian dan atau manifestasi-Nya (dari Jiwa yang Agung itu). Para dewa tampil dengan aneka wujudnya oleh karena berbagai aktivitas-Nya (yang berlipat ganda). Kereta (ratha) adalah dewa (Jiwa dari alam semesta), kuda-kuda kereta adalah dewa adalah cahaya-Nya. Panah-panah-Nya adalah dewa, cahaya-Nya adalah jiwa-jiwa yang sama. Jiwa itu adalah Dewa).

Dalam RgVeda X.12.8, X.90.3. dan Nirukta VII.4. terdapat kalimat yang mengatakan bahwa Tuhan melebihi sinarnya (dalam bahasa aslinya disebut dewa), melebihi dewa. Jadi ada dua kata dewa yang dipergunakan. Dewa yang satu dimaksudkan sebagai Tuhan, sedangkan dewa lainnya dimaksudkan makhluk Tuhan yang sama artinya dengan malaikat.19

Sebagaimana Svami Dayananda Sarasvati mengatakan, arti atau makna kata dewa itu melingkupi dua hal yang sama. Perbedaan antara Dewa (Tuhan yang Maha Esa) dengan dewa (para dewa) adalah seluruh dewa atau devata menerima sinar dari Tuhan yang Maha Esa (merupakan sinar-Nya), sedangkan Tuhan yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya itu.20

Kalau digambarkan seperti matahari dengan sinarnya. Titik tengah atau poros merupakan sumber kekuatan dan tumpuan dari sinarnya. Maksudnya, sinar adalah dewa, sedangkan titik tengah atau poros adalah Dewa para dewa disebut dengan istilah Dewata. Jadi pengertiannya sama dengan Tuhan.21

19

Gede Puja, Theologi Hindu, 4th, ed. (Jakarta: Mayasari, 1980), h. 21.

20

Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 20.

21

(43)

Tuhan yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya: yo ‘asav aditye purusah

so ‘asav aham. Om kham brahma.

Yajurveda XL.17. (Spirit yang terdapat di matahari, itu adalah Aku. Om (nama-Ku) memenuhi seluruh alam semesta).

Beragam dewa-dewi dan jumlahnya dalam Hindu adalah untuk memudahkan membayangkan Tuhan, seperti yang dijelaskan dalam mantram-mantram Veda. Dewa atau deva digambarkan berbagai wujud sebagai yang “Personal” atau yang “Berpribadi”, seperti dewa Indra, Vayu, Surya, dan sebagainya, serta yang “Impersonal” atau “Tidak Berpribadi”, antara lain sebagai Om (Omkara/ Pranava), Sat, Tat dan lain-lain. Jumlah atau nama-nama dewa, seperti kitab suci RgVeda dan Atharvaveda menyebutkan jumlah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Dewa-dewa ini dibagi menjadi tiga kelompok yang beranggotakan sebelas. Satu kelompok berhubungan dengan surga yang dipimpim oleh dewa matahari yakni Surya. Kelompok kedua berhubungan dengan bumi yang dipimpim oleh dewa api, yaitu Agni. Dan yang ketiga kelompok berhubungan dengan air dan atmosfir yang di pimpin oleh dewa angin, yaitu Indra.22

Ye devaso divvy ekadasa stha prthivyam adhy Ekadasa stha, apsuksito mahinaikadasa stha Te devaso yajnamimam jusadhvam.

RgVeda I.139.11. “(Wahai para dewa (33 dewa), sebelas di sorga, sebelas di bumi dan sebelas di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini).”

22

(44)

logika berikut:23

1. Agama Hindu menyadari adanya perbedaan dalam kemampuan pikiran manusia dan perbedaan tingkat spiritual dalam setiap individu. Agama Hindu tidak mengkategorikan manusia ke dalam satu keturunan. Mahabharata mengatakan:

“Akasat patitam toyam yatha gacchati agram, Sarsva deva namaskarah kesavam prati gacchati”.

“Seperti air hujan yang jatuh dari langit yang secara perlahan mencapai lautan, begitu juga pemujaan yang dipersembahkan pada-Nya dengan nama apapun yang kau kehendaki, atau bentuk apapun yang kau sukai, pastilah akan sampai pada-Nya (satu-satunya) Mutlak, Infinit, Kenyataan yang kuasa”.

2. Menjadi Pencipta dari berbagai bentuk alam ini,, Tuhan harus dapat berubah bentuk untuk menyenangkan pemujanya. Terlebih lagi, Tuhan tidak dapat dikatakan hanya memiliki satu bentuk atau nama tertentu karena akan membatasi kekuatan-Nya yang pasti. Inilah mengapa Hindu memuja berbagai nama atau bentuk yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya karena semuanya itu adalah manifestasi dari Tuhan. Hal ini dijelaskan dalam doktrin Atharvaveda:

“Ia adalah satu, Kesatuan itu sendiri,

Dalam dirinya semua dewa-dewi adalah diri-Nya sendiri”.

Memuja bentuk tertentu dari Tuhan tidak membatasi atau bertentangan dengan memuja bentuk lain dari Tuhan. Logika ini mudah dimengerti dengan mempergunakan analogi, semisa; Ketika seseorang bekerja di kantor, maka orang tersebut memakai jas dan dasi atau baju kantor.

23

(45)

bermain tenis memakai pakaian olahraga, dan lain sebagainya. Intinya dalam semua kegiatan tersebut, orangnya adalah sama, hanya pakaianya yang berbeda untuk melakukan berbagai tugas.

Nama-nama sesungguhnya merupakan sifat, sikap, karunia atau kasih-Nya yang diharapkan dan didambakan oleh setiap umat manusia. Permberian atau persembahan nama, sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Luhur, memantapkan keimanan (sraddha) umat kepada-Nya. Pemilihan salah satu devata (dewa) yang sangat digandrungi, didambakan dan selalu diyakini memberi perlindungan, pemilihan salah satu devata (dewa) yang memantapkan sraddha seseorang disebut Istadevata.

Istadevata adalah devata (dewa) pujaan yang sangat didambakan oleh seseorang sesuai dengan profesinya. Seorang ilmuwan merasakan sangat dekat dan senantiasa mendekatkan diri dengan devi Saravati, wujud Tuhan yang Maha Esa sebagai dewi ilmu pengetahuan. Demikian pula seorang pandita (seorang pandita Siwa di Bali) sangat dekat dengan Sang Hyang Siwa (dewa Siwa), demikian juga seorang nelayan, ia senantiasa memohon pertolongan kepada dewa Waruna sebagai penguasa lautan, termasuk yang melindungi ikan-ikan dan binatang lainnya di dalam air. Seseorang bebas menentukan devata (dewa) pilihannya, karena sesuai dengan tingkat pemahaman orang yang bersangkutan.24

Istadevata juga disebut abhistadevata atau “devata (dewa) pilihan” khususnya devata (dewa) yang di arcakan atau dalam bentuk lukisan

24

(46)

menyenangkan hati seseorang. Dengan seeorang menentukan devata (dewa) pujaannya bermaksud lebih mendekatkan diri kepada-Nya dengan membuat sarana pemujaan tertentu untuk-Nya, termasuk citradevata, disebut “murtipuja”, yakni menyembah Tuhan yang Maha Esa melalui devata (dewa) yang diarcakan (dibuatkan patung-Nya).25 Seorang pemuja Murti yang sejati tidak pernah merasa ia sedang menyembah batu atau sepotong llogam. Ia hanya memikirkan Tuhan yang Maha Esa dan melupakan segalanya.

Berkaitan dengan Istadevata dan Murtipuja, seorang penyembah yang tekun melakukan pemujaan kepada-Nya dengan menyembah devata pujaannya melalui sarana arca disebut seorang Adhikara. Kata Adhikara mempunyai pengertian yang sangat luas, diantranya: yang berwenang, pemerintah, administrasi, pembenaran, hak istimewa, gelar, pangkat, pengorbanan, atau pemujaan dengan keberuntungan, hak-hak istimewa dan lain-lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adhikara adalah kebebasan untuk memilih disiplin dan cara tertentu sesuai dengan kemampuan dan bakat atau keenangan atau kesenangannya. Penjelasan ini sesuai dengan ssabda Sri Krsna dalam Bhagavadgita:26

Ye yatha mam prapadyante Tamstathai ‘va bhajamyaham Mama vartma ‘nuvartante Manusyah partha sarvasah

Bhagavadgita IV.11. “(Dengan jalan apapun ditempuh umat manusia, semuanya menuju Aku semuanya Aku terima, dari mana semua mereka menuju jalan-Ku, Oh Partha).”

25

Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 39.

26

(47)

Dalam bahasa Sanskerta kata simbol disebut “pratika”, artinya yang datang ke depan, yang mendekati. Kata ini mengandung makna menunjukkan, menampilkan, atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas kepemilikan atau dengan mengasosiasikan ke dalam fakta atau pikiran. Selain kata pratika, simbol dalam bahasa Sanskerta memiliki beberapa padanannya, antara lain: cihnam, laksanam, lingam, samjna, pratirupa. Di samping itu sescara umum dikenal pula istilah: arca, pratima, prativimba, nyasa, murti, dan lain-lain.27

Swami Sivananda menjelaskan tentang simbol, sebagai berikut: Simbol-simbol yang mengarah ke luar diperlukan dan sangat bermanfaat, bila dipandang dari sudut pandang yang benar. Seseorang akan mendapatkan bahwa hal itu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan material, demikian pula dalam kehidupan spiritual. Walaupun kelihatannya sangat sederhana dan remeh, tetapi hal itu sangat ilmiah dan efektif. Seperti gambar atau arca hal itu menandakan ada hubungan dengan yang disembah, Tuhan yang Maha Esa atau manifestasi-Nya. Simbol itu menggantikan sesuatu yang disucikan dan abadi.28

Berbagai simbol-simbol keagamaan Hindu dari bentuk dan bahannya yang sangat sesderhana sampai kepada yang sangat kompleks dijelaskan dalam kitab suci Veda dan sastra Hindu termasuk pula berbagai lontar di Bali. Bentuk, arca, pratima, atau ssimbol-simbol ketuhanan dalam Hinduisme tidak terlepas dengan konsepsi penggambaran atau perwujudan Tuhan yang

27

Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 64.

28

(48)

dirinci sebagai berikut:

1. Berbentuk manusia dengan berbagai kelebihannya, seperti bertangan empat, delapan, atau dua belas, berkaki tiga, bermata tiga dan lain-lain. Penggunaan simbol manusia baik laki dan wanita, atau separuh laki-laki dan wanita (ardhanarisvari) terutama ditujukan kepada para devata, baik dewa-dewa maupun dewi-dewi, termasuk pula para pengiringnya, Aspara dan Aspari, atau Vidyadhara dan Vidyadhari, penari dan pemusik kahyangan seperti para Kinnara dan Kinnari, juga untuk para leluhur laki-laki atau wanita. Dalam hal tertentu, sebagai Ardhanarisvari, yakni Tuhan yang Maha Esa yang digambarkan sebagai separuh laki-laki dan perempuan, karena sesungguhnya Tuhan yang Maha Esa tidak laki-laki dan tidak perempuan. Demikian juga separuh badan terbelah dari kepala ke kaki berwujud dewa Siwa dan separuhnya berwujud dewa Wisnu. Penggambaran ini ditujukan kepada aspek Tuhan yang Maha Esa yang disebut Harihara (Siwa dan Wisnu dalam satu badan). Berlaku pula untuk acintya, yang mengandung arti tak terpikirkan digambarkan juga sebagai manusia telanjang yang mengangkat kaki kirinya dan setiap “sendi” mengeluarkan cahaya (aura) yang menunjukan kedekan dengan simbol Sivanatyaraja, yakni dewa Siwa sebagai rajanya para penari. Penggambaran simbol-simbol sebagai arca dewa-dewa atau citradevata diatur dalam kitab Silpasastra.29

29

(49)

Sang Hyang Siwa, Barong Bangkung adalah dewa Wisnu ketika ia mengejar ujung Linga Kristal (Sphatikalinga) yang masuk ke dalam bumi. Demikian juga wujudnya sebagai burung garuda yang di dalam kitab suci RgVeda disebut Garutmat, sebagai burung berwarna keemasaan yang menurunkan hujan, menganugrahkan kemakmuran kepada umat-Nya. Wujud lainnya adalah sebagai naga Taksaka yang dalam Sivagama di Bali merupakan wujud Sang Hyang Siwa yang menjaga bumi di langit dalam bentuk atmosfir. Demikian pula naga Ananthaboga merupakan wujud Sang Hyang Brahma yang memeluk inti bumi (berupa kulit bumi) menganugrahkan makanan tiada akhirnya. Naga Vasuki adalah wujud Sang Hyang Wisnu berupa air di muka bumi, ekornya terletak di lereng pegunungan dan kepalanya berada di tengah lautan luas. Disamping sebagai simbol, wujud dewa-dewi juga sebagai “wahana” (kendaraan) dari para devata, misalnya garuda wahana dewa Wisnu, lembu wahana dewa Siwa, angsa kendaraan dewa Brahma, burung merak kendaraan dewa Kumara atau Subrahmanyam, tikus kendaraan dewa Ganesa dan lain-lain. Binatang juga diyakini sebagai peliharaan kesenangan para devata, seperti misalnya berbagai bentuk “pecenangan” (tempat sirih) digambarkan sebagai singa bersayap, harimau putih, ular bersayap, dan lain-lain.30

3. Berbentuk separuh manusia dan separuh binatang. Diantranya dewa Ganesa, putra Sang Hyang Siwa yang lahir dari dewi Uma. Demikian

30

(50)

lain-lain.

4. Berbentuk manusia, berkepala tumbuh-tumbuhan, misalnya pohon Soma, pohon kha dan lain-lain. Namun simbol seperti ini hampir tidak dikenal di Bali.

5. Berbentuk benda-benda atau huruf tertentu, seperti matahari atau cakram (roda) simbol dari Sang Hyang Surya, bulan simbol dewi Candra, huruf Omkara simbol Tuhan yang Maha Esa, Um simbol dewa Wisnu, Am simbol dewa Siwa dan lain-lain. Juga garis-garis tertentu seperti Svastika, teratai, permata (baik yang telah diasah/dibentuk), batu merah delima (rubby) dan lailn-lain. Air suci sebagai wujud devata, misalnya air sungai Ganga merupakan perwujudan dari dewi Ganga. Canang “pelinggih” sebagai sthana devata, daksina sebagai wujud pelinggih devata, dan lain-lain.31

Demikian antara lain bentuk-bentuk simbol yang kiranya tidak terlepas dari arti dan makna kehidupan umat Hindu. Bagi umat Hindu semua bentuk simbol menimbulkan getaran batin dalam dirinya, dirasakan dan diyakini sebagai sarana mendekatkan diri dengan yang dipuja.

Adapun tentang bahan simbol, khususnya bahan arca sebagai salah satu wujud dari para devata, kitab Bhagavata Purana menjelaskan adanya 8 jenis bahan arca, sebagai berikut:

Saili darumayi lauhi lepya lekhya ca saikati Manomayi manimayi pratimasta vidha smrta

Bhagavata Purana XII.27.23.

31

Gambar

Gambar Dewa Ganesa 2

Referensi

Dokumen terkait