Ketika Manusia Dianggap
B
B
E
E
S
S
A
A
R
R
dan
ALLAH Dianggap
K
K
E
E
C
C
I
I
L
L
Mengatasi Tekanan Kelompok,
Saling Ketergantungan, dan
Takut akan Manusia
EDWARD T. WELCH
Penerbit Momentum 2003
Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil:
Mengatasi Tekanan Kelompok, Saling Ketergantungan, dan Takut akan Manusia
Oleh: Edward T. Welch Penerjemah: The Boen Giok Editor: Hendry Ongkowidjojo Tata Letak: Jeffry
Desain Sampul: Bing Fei Editor Umum: Solomon Yo
Copyright © 1997
Originally published in English under the title,
When People Are Big and God Is Small: Overcoming Peer Pressure, Codependency, and the Fear of Man © by Edward T. Welch
Translated and printed by permission of P & R Publishing P.O. Box 817, Phillipsburg, New Jersey 08865-0817, USA Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada
Momentum Christian Literature
Andhika Plaza C/ 5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia Copyright © 2001
Telp: +62-31-5472422; Faks: +62-31-5459275 e-mail: momentum@sby.centrin.net.id
Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Welch, Edward T., 1953–
Ketika manusia dianggap besar dan Allah dianggap kecil: mengatasi tekanan kelompok, saling ketergantungan, dan takut akan manusia/ Edward T. Welch., terj. oleh The Boen Giok – cet.1 – Surabaya: Momentum, 2003. xii + 277 hlm.; 14 cm.
ISBN 979-8131-36-3
1. Hubungan Antarpribadi – Aspek Religius – Kekristenan. 2. Intimidasi. 3. Ketakutan – Aspek Religius – Kekristenan. 4. Penghargaan Diri – Aspek Religius – Kekristenan. 5. Kepercayaan Diri – Aspek Religius – Kekristenan.
248.4–dc21
Cetakan pertama: Februari 2003
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi,
D a f t a r I s i
;
Prakata Penerbit ix Ucapan Terima Kasih xi
1. Tangki Kasih yang Bocor 1
Bagian Pertama: Bagaimana dan Mengapa Kita Takut kepada Orang Lain 15
2. Orang Lain Akan Menyoroti Saya 17 3. Orang Lain Akan Menolak Saya 35 4. Orang Lain Akan Menyakiti Saya 51 5. Dunia Ingin Saya Takut kepada Manusia 79 Bagian Kedua: Mengatasi Takut akan Manusia 103
6. Memahami Takut akan Tuhan 105 7. Bertumbuh dalam Takut akan Tuhan 127 8. Tinjauan Alkitabiah terhadap Apa yang Disebut
Kebutuhan Psikologis 153
9. Memahami Kebutuhan Riil Anda 175 10. Bersukacita di dalam Allah yang Memenuhi
Hidup Kita 195
KETIKA MANUSIA DIANGGAP BESAR DAN ALLAH DIANGGAP KECIL
;
12. Kasihilah Saudara-saudarimu 225
13. “Kesimpulan: Takutlah akan Allah dan Berpeganglah pada Perintah-Nya” 253
P
r a k a t a
P e n e r b i t
;
PEMBAHASAN dalam buku ini secara umum terbagi atas 2 bagian utama. Bagian pertama, berisikan perspektif alkitabiah mengenai ta-kut akan manusia. Inilah yang juga menjadi salah satu tema utama dalam Alkitab, yang secara nyata termanifestasi dalam kehidupan pribadi kita.Bagian kedua, menguraikan sejumlah pokok pikiran da-lam Alkitab yang akan menolong kita untuk memahami dan melaku-kan apa yang disebut sebagai takut amelaku-kan Tuhan, menguji sekiranya kita telah membuat tuntutan yang berlebihan terhadap diri kita, ber-sukacita atas kasih Allah yang telah memuaskan hati kita, dan bela-jar untuk tidak bergantung kepada sesama, melainkan lebih menga-sihi mereka.
Buku ini menawarkan suatu teologi terapeutik untuk menolong kita mengatasi apa yang disebut sebagai epidemi jiwa yang melanda mayoritas manusia di muka bumi. Kita diajak untuk mendiagnosis natur berdosa kita, menyoroti cara penyembuhan melalui pendekat-an psikologi populer ypendekat-ang semu, dpendekat-an mengenali dengpendekat-an tepat cara penyembuhan jiwa kita. Takut akan Tuhan sajalah yang pada akhir-nya akan memampukan kita bersikap proporsional kepada Tuhan, diri sendiri, dan sesama."
1
1
B A B
T
angki
K
asih
yang
B
ocor
“UNTUK waktu yang lama, saya sempat kehilangan rasa percaya diri,” demikian William mengawali pembicaraan. “Satu-satunya saat dimana saya merasa nyaman dengan diri saya adalah ketika saya memiliki sepasang sepatu karet seharga $100 serta sebuah sweter se-harga $60. Jika saya tidak memilikinya, saya akan mogok sekolah.”
Siapa mengira bahwa di balik penampilan William yang dingin dan keras itu tersimpan pribadi yang mudah hancur hanya gara-gara sepasang sepatu dan sepotong sweter sederhana? Sayangnya, keba-nyakan rivalnya tidak mengetahui hal tersebut. Seandainya mereka tahu, mereka pasti dapat terhindar dari luka memar akibat tinju William. Namun hanya sebagian kecil dari mereka yang menyadari bahwa William ternyata hanyalah seorang Simson modern, yang ke-kuatannya terpusat pada sepatunya. Rampaslah sepatunya maka ia pasti segera kehilangan kekuatannya.
Tentu saja, bukan sepatu William yang menjadi inti permasa-lahan. Masalahnya terletak pada reputasi William. Masalahnya terle-tak pada apa yang orang lain pikirkan mengenai sepatunya – dan itu juga berarti mengenai dirinya. Apa pun istilah yang Anda pilih – re-putasi, tekanan kelompok, menyenangkan orang lain, saling
keter-KETIKA MANUSIA DIANGGAP BESAR DAN ALLAH DIANGGAP KECIL
;
2
gantungan – faktanya, hidup William dikendalikan oleh orang lain. Dalam hal ini, ia tidak berbeda dari kebanyakan orang lain.
Kesadaran pribadi saya mengenai hal ini baru timbul ketika sa-ya duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU). Sasa-ya cende-rung terlalu pemalu dan terlalu memerhatikan diri sendiri, dikendali-kan oleh apa yang dipikirdikendali-kan (atau yang mungkin dipikirdikendali-kan) oleh rekan sebaya, namun saya tidak pernah menyadari hal tersebut sam-pai pada hari pemberian penghargaan di sekolah.
Saya berjuang mati-matian untuk dapat memenangkan penghar-gaan tersebut, namun juga takut setengah mati akan memenangkan-nya! Auditorium dipadati oleh sekitar 2.000 pelajar SMP dan SMU. Saya duduk di deretan belakang, cukup jauh untuk mencapai podi-um. Satu-satunya hal yang saya pikirkan adalah apa yang mungkin timbul dalam benak teman-teman saya ketika melihat saya berjalan ke depan. Akankah saya terlihat konyol? Akankah saya tersandung ketika menaiki tangga? Akankah seseorang menganggap saya tolol? Saya berdoa agar orang tersebut bukan gadis yang saya sukai. Ba-gaimana dengan para kandidat juara lainnya atau orang-orang yang menjagokan para kandidat tersebut? Apa yang akan mereka pikirkan tentang saya seandainya saya mengalahkan mereka? Apa yang harus saya katakan dalam sambutan singkat saya di podium seandainya saya benar-benar menjadi juara nantinya?
Tuhan, tolong jangan biarkan saya memenangkan perhargaan tersebut! Saya berdoa.
Setelah beberapa penghargaan yang lebih rendah diumumkan, wakil kepala sekolah naik ke podium untuk mengumumkan nama sang juara. Ia mulai dengan sebuah ikhtisar biografi yang ringkas dan tersamar. Kedengarannya tidak terlalu mirip dengan biografi sa-ya, namun cukup mirip juga. Tubuh saya mulai berkeringat dingin, namun saya tak berani bergerak agar tidak terlihat terlalu antusias. Akhirnya, pengumuman tersebut ditutup dengan pernyataan: “Dan pemenang penghargaan tahun ini adalah … Rick Wilson!”
;
Tangki Kasih yang BocorRick Wilson! Saya hampir tidak dapat mempercayai! Dari se-kian banyak orang; tidak seorang pun yang menyangka dia merupa-kan seorang merupa-kandidat juara!
Anda dapat menebak reaksi saya. Lega? Jelas tidak. Saya mera-sa gagal total. Sekarang, apa yang akan dipikirkan orang tentang saya? Mereka tahu bahwa saya telah bersiap-siap menerima peng-hargaan tersebut, tetapi ternyata orang lain yang terpilih. Betapa ko-nyolnya saya.
Segera saja pikiran saya mencoba mengumpulkan sederet alas-an pembenaralas-an. Sealas-andainya saya belajar mati-matialas-an tahun ini,
sa-ya pasti menang. Sasa-ya jelas memiliki peluang untuk menang, namun saya memang tidak ingin menang. Saya adalah seorang juara yang tertunda; kelak di universitas saya akan membuktikannya. Saya
malu untuk kembali ke kelas saya. Menyedihkan, bukan?
Kemudian, di hari yang sama, peristiwa tersebut kembali terlin-tas dalam benak saya. Betapa konyolnya! Saya kembali merenung-kannya. Saya telah menjadi seorang anak yang kikuk. Saya terlalu
terpaku pada apa yang dipikirkan atau mungkin dipikirkan oleh orang lain. Tetapi, memang itulah masalahnya. Saya tidak
menemu-kan jalan keluarnya. Saya tidak memiliki cukup referensi Alkitab untuk menemukan solusi bagi masalah yang saya alami ini. Sejauh yang saya ketahui, tak ada jalan keluar bagi masalah itu. Itulah kehi-dupan saya. Dipenuhi dengan kesadaran diri yang berlebihan, terlalu didikte oleh pendapat orang lain, atau apa pun namanya itu, hanya dapat dikendalikan, bukan disembuhkan. Mungkin kesuksesan di masa mendatang dapat menolong. Atau (dan menurut saya ini cukup cerdik) saya dapat mengemukakan alasan pembenaran yang melintas dalam benak saya hari itu: Saya mampu melakukan dengan baik, na-mun tidak pernah dapat berkonsentrasi pada suatu tugas tertentu. Maka, ketika saya ternyata tidak berhasil dan harga diri saya terhem-pas ke titik terendah, saya dapat mencari pembenaran diri dengan
KETIKA MANUSIA DIANGGAP BESAR DAN ALLAH DIANGGAP KECIL
;
4
menyatakan bahwa saya dapat menjadi yang terbaik seandainya sa-ya belajar dengan lebih baik. Setidaknsa-ya sasa-ya dapat berpikir bahwa
saya baik-baik saja, karena memang inilah yang terpenting.
Saya tidak menemukan jawabannya, namun peristiwa hari itu mulai membuat saya merenungkan hal ini. Peristiwa tersebut mini-mal menjadi awal kebangunan pribadi bagi saya.
Di sekolah, saya berusaha melawan momok ini dengan menam-pilkan sikap sok sukses, baik dalam bidang akademis maupun atle-tik, dan saya menerapkan strategi “saya dapat melakukannya dengan lebih baik jika saya berusaha dengan sungguh-sungguh,” tetapi
mo-mok ini tetap saja muncul. Saya adalah orang Kristen, namun hal ini
tidak menolong saya mengatasi momok tersebut. Saya tetap saja me-rasakan kehadirannya. Setiap kali mengalami penolakan; setiap kali mengalami kegagalan; setiap kali orang yang saya perhatikan tidak balik memerhatikan saya; saya selalu diingatkan bahwa keberadaan diri saya ternyata masih sama dengan keadaan ketika saya duduk di deretan belakang auditorium SMU itu.
DIBENARKAN DALAM KRISTUS
Ada beberapa perubahan yang terjadi selama saya belajar di se-minari. Pada tahun pertama berada di sana, saya berkesempatan me-mimpin sebuah acara Pemahaman Alkitab (PA) yang membahas ki-tab Roma. Saya sudah pernah membahas tema pembenaran oleh iman dalam kitab Roma, namun kali ini pembahasan tersebut terasa lebih relevan, karena saya mengaitkan ketergantungan kepada orang lain dengan hal dibenarkan oleh iman. Waktu itu saya memahami bahwa saya tidak perlu memenuhi standar penilaian publik karena penilaian Allah terhadap diri saya didasarkan pada karya Kristus yang telah genap. Sekalipun saya adalah seorang pendosa, Allah sa-ngat mengasihi saya dan telah menganugerahkan pembenaran kepa-da saya, sehingga untuk apa saya memedulikan penilaian orang lain