• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tata kelola sektor publik, karena dengan audit dapat dilakukan penilaian obyektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tata kelola sektor publik, karena dengan audit dapat dilakukan penilaian obyektif"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Audit dalam sektor publik merupakan landasan untuk dapat dilakukannya tata kelola sektor publik, karena dengan audit dapat dilakukan penilaian obyektif mengenai apakah sumber daya yang dikelola publik telah dikelola dengan penuh tanggungjawab dan efektif untuk mencapai hasil yang dinginkan (Goodson et al., 2012). Audit sektor publik di Indonesia, dilakukan oleh 2 (dua) lembaga utama yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk audit internal dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk audit eksternal. Keberadaan dua lembaga tersebut dimaksudkan agar tata kelola sektor publik di Indonesia dapat dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan efektif.

Transparency International Indonesia menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 Indonesia masih berada dalam posisi merah dalam praktik korupsi (Transparency International Indonesia, 2014). Nilai indeks persepsi korupsi (CPI) Indonesia hanya 34 dengan nilai CPI = 1 untuk negara yang paling terkorup sampai dengan nilai CPI = 100 untuk negara yang paling bersih dari korupsi. Hasil ini menempatkan Indonesia dalam rangking ke 107 negara terkorup di dunia dari 175 negara yang disurvei. Praktik korupsi tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya tindakan amoral dari pejabat negara. Tindakan ini kemungkinan disebabkan oleh kurang berfungsinya penegakan hukum dan peran akuntan atau auditor yang seharusnya secara sistematis bekerjasama sebagai tenaga profesional teknis untuk mencegah dan mengungkapkan kasus korupsi. Hal ini sesuai dengan

(2)

Goodson et al., (2012) yang menyatakan bahwa seharusnya auditor dapat membantu organisasi sektor publik mencapai akuntanbilitas dan integritas, meningkatkan operasional, dan mendukung adanya pengawasan yang ditujukan atas apa yang seharusnya dilakukan entitas sektor publik termasuk berfungsi untuk mendeteksi dan mencegah korupsi sehingga menanamkan kepercayaan warga negara dan pemangku kepentingan terhadap entitas sektor publik yang akan meningkat.

Peranan auditor di sektor publik, khususnya auditor eksternal menjadi lebih strategis dengan telah diterbitkannya Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawabannya, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Auditor BPK sebagai satu-satunya auditor eksternal pemerintah Indonesia harus melakukan pemeriksaan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Hal ini tercantum dalam UU No. 15 tahun 2004 bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dilaksanakan berdasarkan SPKN agar hasil pemeriksaan BPK diharapkan dapat lebih berkualitas. Hasil pemeriksaan berkualitas artinya memberikan nilai tambah yang positif bagi pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia seluruhnya. Auditor BPK yang melaksanakan audit atau pemeriksaan juga harus berpegang teguh pada nilai-nilai dasar yang telah diperkenalkan dalam

(3)

Rencana Strategis (Renstra) 2011-2015 (independensi, integritas dan profesionalisme) dan juga harus berpegang teguh pada visi dan misi BPK. Salah satu misi BPK adalah berperan aktif dalam menemukan dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara. Namun demikian, ternyata sampai saat ini kualitas audit yang dilakukan BPK masih dirasakan kurang baik yang berdampak pada kepercayaan publik kepada BPK dan juga masih terjadi adanya perilaku-perilaku disfungsional yang dilakukan oleh auditor BPK itu sendiri.

Hasil survei reguler yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada awal bulan Juni 2011 terhadap 1.200 responden yang mewakili populasi nasional 33 propinsi menunjukkan ketidakpercayaan terhadap BPK. Hasil survey menyatakan bahwa hanya 47% publik menyatakan kinerja BPK sudah baik, 28,2% mengatakan kinerja BPK buruk dan 24,9% tidak menjawab. Sementara itu, berdasarkan latar belakang pendidikan responden sebanyak 52,4% publik berpendidikan tinggi (kuliah) mengaku tidak lagi percaya dengan BPK, sedangkan ketidakpercayaan publik dari kalangan berpendidikan rendah adalah SD (28,2%), SMP (35,3%), dan SMA sebanyak 44,9% (sumber: www.hukumonline.com/ Kamis, 1 Maret 2012 yang diakses pada tanggal 11 Mei 2014). Hasil ini mengindikasikan bahwa BPK masih dinilai kurang baik oleh masyarakat ditambah lagi dengan adanya kasus-kasus yang menimpa auditor BPK.

Auditor BPK yang terlibat kasus sebagian besar terjadi karena auditor menerima suap dari entitas yang diaudit (auditee) agar auditor mengeluarkan opini audit wajar tanpa pengecualian meskipun sebenarnya auditee tidak layak untuk mendapatkanya. Hal ini tercantum dalam kode etik BPK bahwa auditor

(4)

BPK dilarang untuk meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan. Auditor BPK yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK diantaranya Suharto dan Enang Hermawan (auditor BPK kantor perwakilan wilayah Jawa Barat tahun 2010) yang diduga telah menerima suap dari Pemkot Bekasi untuk memberikan opini audit wajar tanpa pengecualian (www.politik.news.viva.co.id/ Rabu, 30 Juni 2010), Munzir dan Bahar (auditor BPK Manado, Sulawesi Utara) pada tahun 2011 oleh Walikota Tomohon (www.news.detik.com/8 Agustus 2011). Auditor yang tetap mengeluarkan opini audit wajar tanpa pengecualian meskipun entitas yang diaudit tidak layak mendapatkannya dapat dilakukan dengan perilaku disfungsional audit, diantaranya tidak mengumpulkan bukti audit yang cukup, tidak melakukan prosedur audit yang sudah ditetapkan, dan sebagainya.

Perilaku disfungsional auditor juga terjadi di negara-negara lain. Coram et al. (2003) yang menyelidiki 38 auditor dari berbagai ukuran perusahaan di Australia menemukan bahwa 63% dari auditor mengakui telah melakukan praktik-praktik mengurangi kualitas audit (Reduced Audit Quality Practices/RAQP) terutama di bidang uji kepatuhan, siklus kreditur dan penyelesaian audit. Mereka juga menemukan 40% dari auditor melihat rekan mereka telah melakukan RAQP dalam mempercepat pengujian audit khususnya dalam menolak item-item yang janggal yang tampak dari sampel sebanyak 54%, menerima bukti audit yang meragukan sebesar 50%, dan tidak menguji semua item dalam sampel yang dipilih sebesar 43%. Otley dan Pierce (1996b) yang meneliti auditor di 6 besar perusahaan di Irlandia menemukan bahwa 88% dari auditor senior dalam tiga hari

(5)

mengaku terlibat dalam setidaknya satu tindakan RAQP dalam menolak item-item yang janggal yang tampak dari sampel.

Berry et al. (1987) yang menguji tentang kinerja prosedur-prosedur audit yang dilakukan oleh auditor pemerintah di Amerika Serikat. Hasil temuannya mengindikasikan bahwa terdapat sejumlah auditor pemerintah yang signifikan diantara 897 auditor yang melakukan tindakan menghentikan langkah-langkah audit tanpa mempertimbangkan ketentuan audit yang telah disyaratkan (false sign off). Penelitian ini juga menemukan bahwa auditor eksternal pemerintah secara signifikan mempunyai perilaku false sign off lebih tinggi dibandingkan dengan auditor internal. Survei yang lain dilakukan oleh Paino et al. (2010) yang menemukan bahwa perilaku perilaku auditor disfungsional juga terjadi pada praktik-praktik auditor di Malaysia. Total dari 57% responden mengakui telah melakukan beberapa bentuk perilaku disfungsional diantaranya premature sign off.

Perilaku disfungsional auditor adalah perilaku yang dapat mengurangi kualitas audit, baik secara langsung (Alderman dan Deitrick, 1982) maupun tidak langsung (Kelley dan Margheim, 1990) yang pada akhirnya akan mengancam keberlangsungan profesi audit itu sendiri. Hal ini disampaikan oleh panel efektifitas audit yang dikeluarkan oleh AICPA’s Public Board (2000) yang menguji isu-isu kualitas audit. Panel tersebut mengumpulkan informasi dari peer reviews dan survey eksekutif keuangan, serta profesi auditor internal dan auditor eksternal. Temuan mereka mengindikasikan bahwa perilaku disfungsional auditor merupakan perilaku yang dapat merugikan profesi audit, baik bagi individu maupun institusi. Paino et al. (2012) menyatakan bahwa Dysfunctional Auditor

(6)

Behavior (DAB) dapat berdampak buruk terhadap kemampuan perusahaan akuntan publik untuk menghasilkan pendapatan, melengkapi kualitas profesional kerja berdasarkan basis waktu dan evaluasi kinerja karyawan secara tepat. Hal ini terjadi karena perilaku disfungsional auditor dapat mengurangi kualitas audit yang pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan auditee pada profesi auditor dan institusinya. Auditee yang sudah tidak percaya lagi pada seorang auditor akan mengalihkan permintaan jasa auditnya kepada auditor lain. Tindakan auditee ini akan berdampak pada menurunnya pendapatan profesi auditor dari hasil jasa audit yang diberikan. Kualitas profesional kerja berdasarkan basis waktu dan evaluasi kinerja karyawan tidak dapat dilakukan secara tepat. Hal ini dikarenakan waktu dan kinerja audit tidak seragam dan tidak mencerminkan dari yang seharusnya dilakukan dalam proses audit.

Penelitian mengenai perilaku disfungsional auditor telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan bermacam-macam pendekatan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku disfungsional auditor. Faktor-faktor-faktor tersebut diantaranya faktor karakteristik personalitas auditor dan karakteristik pelaksaanaan audit (Kelley dan Margheim, 1987; Kelley dan Margheim, 1990), faktor pengendalian kualitas dan prosedur review perusahaan audit (Margheim dan Pany, 1986), faktor sistem pengendalian (Otley dan Pierce, 1995; Lightner et al., 1983; Alderman dan Deitrick, 1982). Kelley dan Margheim (1990) menyatakan bahwa tekanan anggaran waktu mempunyai hubungan positif dengan perilaku auditor disfungsional. Hasil lain dari penelitian ini menyatakan auditor tingkat junior cenderung untuk melakukan underreporting of time ketika disupervisi oleh senior dengan tingkat skor Type A Personality lebih rendah dan

(7)

auditor tingkat junior kurang melakukan jenis tindakan-tindakan mengurangi kualitas audit ketika auditor senior lebih menggunakan struktur pembagian tugas-tugas kerja lebih jelas. Hasil temuan Margheim dan Pany (1986) mengindikasikan bahwa ada atau tidak adanya standar pengendalian kualitas tidak secara signifikan mempengaruhi kemungkinan terjadinya false sign off oleh salah satu subjek atau auditor yang diteliti.

Penelitian lain dilakukan oleh Malone dan Roberts (1996) yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya perilaku-perilaku yang dapat mengurangi kualitas audit. Temuan penelitian ini menyatakan bahwa kekuatan persepsi auditor tentang pengendalian kualitas dan prosedur review perusahaan serta komitmen penalti perusahaan bagi yang melakukan tindakan mengurangi kualitas audit berbanding terbalik dengan timbulnya perilaku-perilaku yang mengurangi kualitas audit (Reduced Audit Quality/RAQ). Gundry dan Liyanarachchi (2007) yang meneliti pengaruh tekanan anggaran waktu terhadap praktik-praktik mengurangi kualitas audit menyatakan bahwa tekanan anggaran waktu hanya berhubungan signifikan dengan premature sign-off. Donnelly et al. (2003) dan Paino et al. (2012) yang menguji toleransi auditor terhadap perilaku disfungsional dengan menggunakan model ekspalanatori karakteristik personil auditor. Hasil temuannya mengindikasikan bahwa auditor yang menerima perilaku disfungsional auditor adalah auditor yang cenderung memiliki external locus of control dan mempunyai levels of self-rated performance yang lebih rendah. Hasil yang berbeda juga ditemukan dalam kedua penelitian tersebut, yaitu pengaruh turnover intention terhadap perilaku disfungsional auditor, dimana Donnelly et al.

(8)

(2003) menemukan pengaruh positif sedangkan Paino et al. (2012) menemukan pengaruh negatif.

Berdasarkan penelitian terdahulu dan literatur yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian yang mencoba menghubungkan antara toleransi perilaku disfungsional auditor dengan konsekeunsi adanya auditor burnout masih jarang dilakukan. Auditor Burnout adalah sindrom stress secara psikologis tertentu yang mana pola tanggapan negatif akan muncul akibat dari tuntutan pekerjaan atau penyebab stress (stressor). Kelley dan Margheim (1990) menyatakan bahwa perilaku-perilaku mengurangi kualitas audit adalah sebuah respon terhadap stres. Kelley dan Margheim (1990) menguji pengaruh tekanan anggaran waktu terhadap perilaku auditor disfungsional dengan personalitas dan gaya kepemimpinan sebagai variabel pemoderasi dalam perspektif model stres. Peneliti berpendapat bahwa penelitian tersebut masih bisa dikembangkan lebih lanjut karena belum terlalu jauh mengeksplorasi auditor burnout sebagai sindrom stres dan pengaruhnya terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor.

Utami dan Supriyadi (2013) menyatakan bahwa bukti empiris dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa burnout mempunyai pengaruh terhadap perilaku disfungsional auditor yang dapat menghasilkan inefisiensi yang substansial terhadap organisasi atau individu, seperti turnover intention, absensi, dan produktivitas yang lemah (Jackson dan Maslach, 1982; Leiter dan Maslach, 1988; Shirom, 1989). Utami dan Nahartyo (2013) menyatakan bahwa burnout adalah salah satu jenis stress dalam bekerja yang diyakini mempunyai konsekuensi atau mengakibatkan terjadinya perilaku disfungsional. Cropanzo et al. (2003) menyatakan bahwa emotional exhaustion (salah satu komponen

(9)

burnout) dapat mempengaruhi perilaku dan sifat kerja. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti berpendapat bahwa auditor burnout kemungkinan juga akan berdampak pada perilaku disfungsional auditor, seperti perilaku premature sign-off, gathering of insufficient evidence, accepting of weak client explanation, altering or replacing audit procedures, dan underreporting of time dalam pelaksanaan audit.

Penelitian yang dilakukan oleh Donnelly et al., 2003; Paino et al., 2012 telah menguji perbedaan karakteristik personil/individu terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. Penelitian tersebut belum menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. Peneliti berpendapat bahwa semakin tinggi komitmen auditor terhadap organisasi, maka semakin kecil kemungkinannya untuk toleran terhadap perilaku disfungsional auditor dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Camilleri (2002) dan Paino et al. (2011) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional dapat digunakan untuk memprediksi absensi, kinerja turnover dan perilaku lainnya termasuk perilaku disfungsional dari karyawan. Oleh karena itu, penelitian ini juga menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor.

Penelitian ini mengacu pada penelitan yang telah dilakukan oleh Donnelly et al. (2003) dan Paino et al. (2012) dengan melakukan beberapa tambahan dan perbaikan. Penelitian ini menggunakan sampel atau responden yang berbeda dari penelitian sebelumnya yang menggunakan sampel dari sektor privat. Penelitian ini menggunakan sampel dari auditor sektor publik (auditor BPK RI) di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menambah literatur mengenai toleransi perilaku

(10)

disfungsional auditor sesuai dengan saran Donnelly et al. (2003) dan Paino et al. (2012) yang menyatakan bahwa penelitian dimasa depan juga diperlukan untuk menentukan apakah variabel yang diteliti dapat digeneralisir untuk perilaku disfungsional dalam pengaturan akuntansi dan tempat yang berbeda lainnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Gundry dan Liyanarachchi (2007) yang menyatakan bahwa lingkungan audit sangat kompleks sehingga perlu menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku-perilaku yang dapat mengurangi kualitas audit.

1.2. Rumusan Masalah

Pada saat ini peran auditor BPK dianggap semakin strategis dalam membantu pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.. Namun demikian, sampai dengan saat ini kualitas audit yang dilakukan oleh BPK masih dinilai kurang baik yang ditunjukkan dengan masih rendahnya kepercayaan publik terhadap kinerja BPK. Hal ini diperparah dengan masih adanya beberapa auditor BPK yang berperilaku disfungsional dengan menerima dana suap dari entitas yang diperiksa. Hal ini mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh faktor-faktor menyebabkan masih terjadinya perilaku disfungsional pada auditor BPK RI.

Penelitian mengenai perilaku disfungsional auditor telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dengan berbagai pendekatan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku disfungsional auditor. Peneliti berpendapat bahwa penelitian yang menghubungkan toleransi perilaku disfungsional auditor dengan kondisi auditor yang sedang mengalami burnout

(11)

masih jarang dilakukan. Kelley dan Margheim (1990) menyatakan bahwa perilaku disfungsional auditor dapat terjadi sebagai akibat respon terhadap stress.

Penelitian Donnelly et al., 2003 merupakan referensi utama dari penelitian ini, namun penelitian tersebut belum menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. Peneliti berpendapat, komitmen organisasional dapat mempengaruhi toleransi perilaku disfungsional auditor. Hal ini sesuai dengan Camilleri (2002) dan Paino et al. (2011) menyatakan bahwa komitmen organisasional juga dapat digunakan untuk memprediksi perilaku disfungsional dari karyawan. Penelitian ini dilakukan untuk memperluas penelitian yang telah dilakukan oleh Donelly et al., (2003) dengan melakukan beberapa tambahan dan perbaikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Donnelly et al. (2003) dan Paino et al. (2012) yang menyatakan bahwa penelitian dimasa depan juga diperlukan untuk menentukan apakah variabel yang diteliti dapat digeneralisir untuk perilaku disfungsional auditor dalam pengaturan akuntansi dan tempat yang berbeda lainnya.

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka pertanyaan diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah auditor burnout berpengaruh terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor?

2. Apakah komitmen organisasional berpengaruh terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor?

3. Apakah niat pindah berpengaruh terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor?

(12)

4. Apakah kinerja pegawai berpengaruh terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku disfungsional auditor dengan menguji: 1. Pengaruh auditor burnout terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. 2. Pengaruh komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional

auditor.

3. Pengaruh intention to leave terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. 4. Pengaruh employee performance terhadap toleransi perilaku disfungsional

auditor.

1.4. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperluas literatur mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi toleransi perilaku disfungsional auditor dengan menambah atau memperbaiki penelitian yang telah dilakukan oleh Donelly et al. (2003). Penelitian ini juga akan menggunakan sampel penelitian pada auditor sektor publik yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih banyak menggunakan auditor sektor privat dengan beberapa tambahan dan perbaikan, baik metode maupun referensi.

Penelitian ini akan menguji pengaruh auditor burnout dan komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor. Hal ini dilakukan karena menurut sepengetahuan peneliti, penelitian yang khusus menguji pengaruh

(13)

auditor yang mengalami burnout terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor (premature sign-off, gathering of insufficient evidence, accepting of weak client explanation, altering or replacing audit procedures, dan underreporting of time) dalam pelaksanaan masih jarang dilakukan. Peneliti sebelumnya lebih menekankan pengaruh auditor burnout terhadap perilaku disfungsional yang lain seperti niat pindah, ketidakhadiran (absensi) dalam bekerja, dan produktivitas yang rendah serta kinerja yang menurun. Penelitian ini juga menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap toleransi perilaku disfungsional auditor yang belum diuji oleh Donnelly et al., (2003).

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam lima bab sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan

Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Tinjauan Pustakan dan Pengembangan Hipotesis

Bab ini menyajikan tinjauan pustaka mengenai toleransi perilaku disfungsional auditor faktor-faktor yang mempengaruhinya yang digunakan untuk landasan dalam penyusunan hipotesis.

Bab III: Metode Penelitian

Bab ini menyajikan metode penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian dan hasil pengujian instrument penelitian. Bab ini berisi sampel, metode pengumpulan data, demografi responden, definisi operasional dan

(14)

pengukuran variabel, metode analisis data, dan hasil pengujian instrumen penelitian.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menyajikan statistik deskriptif dan hasil pengujian hipotesis dan pembahasannya.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyajikan kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan, dan saran untuk penelitian dimasa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Ahmad Dahlan dalam novel ”Sang Pencerah” karya Akmal Nasery Basral dalam bentuk perilaku sang tokoh yang diungkapkan pengarang.. memunculkan perilaku-perilaku berani , prinsipil

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Manajemen Bisnis (M.M.) pada Fakultas Manajemen bisnis. © Ashri Hasian Ekaputri 2016

[r]

Koefisien korelasi berganda (R) = 0,712 yang berarti bahwa variabel motivasi kerja dan kepuasan kerja secara bersama mempunyai hubungan yang signifikan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dataran fluvio-vulkanik merupakan bentuklahan terluas (60,50 %) di Kabupaten dan Kota Kediri; penggunaan lahan terluas sawah irigasi (41,9%)

komputerisasi yang dapat digunakan untuk memudahkan proses audit serta pengendalian internal bagi perusahaan atau organisasi terkait.. Manfaat bagi

Data yang dikumpulkan adalah jumlah kedatangan nasabah dalam interval lima menit dan data pelayanan nasabah yang dimulai pada saat nasabah masuk sampai dengan selesai

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara minat belajar dengan prestasi