Citra Multiwaktu di Kota Langsa
Iswahyudi1, Abdurrachman21Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Samudra 2Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Samudra
e-mail: 1[email protected] Abstrak
Konversi lahan sawah ke non sawah di Kota Langsa terus terjadi dan sulit dihindari akibat pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk sehingga mendorong terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan-kegiatan non sawah. Peraturan mengenai perlindungan lahan pertanian pangan telah dibuat oleh pemerintah, namun implementasinya belum dilaksanakan di semua kabupaten/kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besaran konversi lahan sawah di Kota Langsa. Penelitian ini menggunakan analisis overlay untuk mengetahui konversi lahan sawah pada tahun 2010 dan 2016. Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan sawah terkonversi dari tahun 2010 hingga 2016 adalah seluas 109,15 Ha (6,5%). Untuk mencegah konversi lahan sawah pada masa yang akan datang, maka diperlukan pembuatan Qanun (Perda) yang memuat tentang tata cara alih fungsi lahan (sawah beririgasi), larangan dan sanksinya.
Kata kunci : Konversi, sawah, overlay,qanun.
PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) merupakan regulasi yang diharapkan mampu melindungi dan mengendalikan laju konversi lahan pertanian untuk ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam Undang-undang PLP2B diatur bahwa Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan pedesaan di wilayah kabupaten, yang didalamnya ada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Cadangannya (LCP2B)[1].
Tahun 2016, Pemerintah Kota Langsa melalui Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKPP) memprioritaskan tujuan pembangunan pertaniannya untuk meningkatkan produksi pangan terutama komoditas padi. Meskipun prioritas pembangunan pertanian nasional meningkatkan produktivitas tanaman padi, jagung dan kedelai (Pajale), namun khusus Kota Langsa lebih fokus pada produksi padi, karena sesuai dengan potensi daerah[2].
Konversi lahan sawah ke non sawah di Kota Langsa terus terjadi dan sulit dihindari akibat pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk sehingga mendorong terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan-kegiatan non sawah. Dampak konversi lahan sawah menjadi lahan nonpertanian menyangkut dimensi yang sangat luas, selain penurunan produksi pangan, karena terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat.
Arah perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian serta pembangunan pertanian baik di tingkat regional maupun nasional. Selain aspek ekonomi yang secara nyata timbul akibat konversi lahan pertanian, kerugian sosial jangka panjang juga akan terjadi diantaranya adalah (1) penurunan produksi pangan,
(2) degradasi agro ekosistem, (3) degradasi tradisi dan budaya pertanian, (4) sempitnya garapan usaha tani dan (5) turunnya kesejahteraan petani[3].
Penelitian tentang konversi lahan sawah juga telah dilakukan di sepanjang jalur jalan tol Jakarta-Cikampek dan jalan nasional Pantura, Kabupaten Karawang, dengan menggunakan analisis citra IKONOS tahun 2000 dan 2011. Hasil dari analisis tersebut yaitu sampai jarak 3 km dari jalan, bertambahnya lahan permukiman terbesar adalah pada jarak terdekat, perubahan semakin kecil dengan menjauhnya jarak dari jalan. Pengurangan lahan sawah yang besar terjadi pada jarak sampai 1 km, dan berkurang konversinya pada jarak lebih dari 1 km, namun justru lebih kecil dibanding dengan fenomena yang sama di seluruh wilayah Kabupaten Karawang[4]. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran konversi lahan sawah di Kota Langsa.
METODE PENELITIAN
2.1.Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kota Langsa Provinsi Aceh, selama 3 bulan (bulan Juli sampai dengan bulan September 2017). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara “purposive”. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 2.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa data luasan sawah eksisting Kota Langsa dan peta sawah Kota Langsa tahun 2010 dan 2016. Sedangkan data sekunder berupa Citra satelit Landsat peliputan tahun 2010 dan 2016, Peta Dasar (Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Penggunaan Lahan Kota Langsa tahun 2016 dan Peta RTRW Kota Langsa yang didapatkan dari Bapedda Kota
Langsa), Peta luas baku lahan sawah Kota Langsa tahun 2013 yang diperoleh dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, laporan dan dokumen serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Bapeda Kota Langsa, DKPP Kota Langsa, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, serta berbagai jurnal, materi seminar dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian.
2.3. Analisis Konversi Lahan Sawah
Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk 2 (dua) titik tahun: tahun 2010 dan tahun 2016 menggunakan analisis citra. Delineasi lahan sawah eksisting (2013) diperoleh dari data Kementerian Pertanian (2013), yang merupakan hasil kegiatan pengukuran lahan sawah menggunakan citra beresolusi tinggi, IKONOS. Dalam kegiatan oleh Kementerian Pertanian ini, interpretasi citra dilaksanakan, diikuti pengecekan lapang. Liputan lahan eksisting selain sawah didelineasi menggunakan citra Landsat tahun peliputan 2016.
Dengan citra ini, klasifikasi liputan lahan dilakukan secara terbimbing, diikuti dengan pengecekan lapang. Klasifikasi dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Liputan lahan tahun 2010 diperoleh dari citra Landsat tahun peliputan 2010, yang merupakan citra arsip. Pengklasifikasian pada citra arsip ini dilakukan dengan berpedoman pada citra 2016 dalam hal kenampakan visualnya. Terhadap kedua liputan lahan hasil interpretasi (tahun 2010 dan 2016), dilakukan overlay untuk analisis perubahan penggunaan lahan. Perhatian utama diberikan pada penggunaan lahan sawah. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tutupan lahan tahun 2010 dan tahun 2016 beserta perubahannya di Kota Langsa disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1.
Tabel 1. Tutupan lahan dan perubahan tutupan lahan tahun 2010-2016 di Kota Langsa Tutupan Lahan 2010 2016 Perubahan 2010-2016 Ha % Ha % Ha % Sawah 1.159,61 4,89 1.050,46 4,43 -109,15 -0,46 Tambak 4.864,72 20,51 3.285,79 13,85 -1.578,93 -6,66 Tubuh Air 1.083,26 4,57 2.189,67 9,23 1.106,41 4,66 Perkebunan 5.659,34 23,86 6.188,02 26,09 528,68 2,23 Permukiman 1.777,61 7,49 1.974,08 8,32 196 0,83 Semak/Belukar Rawa 347,77 1,47 347,77 1,47 0 0,00
Pertanian Lahan Kering 1.668,41 7,03 2.022,24 8,52 353,83 1,49 Hutan Mangrove Sekunder 3.641,49 15,35 3.529,99 14,88 -111,50 -0,47 Pertanian Lahan Kering
Bercampur Semak
3.519,22 14,84 3.133,41 13,21 -385,82 -1,63 Total 23.721,43 100 23.721,43 100 0,01 0,00 Sumber : Data primer diolah, 2017.
Dari Tabel 1 diatas terlihat bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Kota Langsa dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Beberapa tutupan lahan terjadi peningkatan luasanya, yaitu: tubuh air, perkebunan, permukiman dan pertanian lahan kering. Penambahan terbesar terjadi pada penggunaan lahan tubuh air, dari 1.083,26 Ha pada tahun 2010 menjadi 2.189,67 Ha pada tahun 2016, atau penambahan sebesar 4,66 % dari luas wilayah. Lahan perkebunan bertambah, dari 5.659,34 Ha pada Tahun 2010 menjadi 6.188,02 Ha pada tahun 2016, atau betambah 2,23% dari luas wilayah. Sementara itu, beberapa penggunaan lahan lainnya berkurang luasnya, meliputi sawah, tambak, hutan mangrove sekunder dan pertanian lahan kering bercampur semak. Pengurangan terbesar terjadi pada penggunaan lahan tambak, dari 4.864,72 Ha pada tahun 2010 menjadi 3.285,79 Ha pada tahun 2016, atau pengurangan sebesar 6,66 % dari luas wilayah. Lahan sawah berkurang, dari 1.159,61 Ha pada Tahun 2010 menjadi 1.050 Ha pada tahun 2016, atau berkurang 0,46% dari luas wilayah.
Untuk mengetahui perubahan luasan lahan sawah dilokasi penelitian dari kedua tahun pengamatan menggunakan data luas lahan sawah tahun 2010 sebagai nilai dasar (Gambar 3). Dari hasil analisis terlihat bahwa dibandingkan dengan tahun 2010, maka pada tahun 2016 telah terjadi konversi lahan sawah di Kota Langsa seluas 109,15 ha (6,5%), sehingga pertahun terjadi konversi lahan sawah menjadi non sawah seluas 18,19 ha (1,08%). Secara lebih rinci tentang konversi lahan sawah berdasarkan kecamatan di Kota Langsa disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4.
Tabel 2. Konversi lahan sawah tahun 2010-2016 berdasarkan kecamatan di Kota Langsa
No Kecamatan 2010 2016 Perubahan 2010-2016 Ha % Ha % Ha % 1 Langsa Barat 63,38 5,47 62,36 5,94 -1,02 -0,47 2 Langsa Timur 895,88 77,26 840,77 80,04 -55,11 -2,78 3 Langsa Kota 53,44 4,61 43,69 4,16 -9,75 -0,45 4 Langsa Lama 146,91 12,67 103,64 9,87 -43,27 -2,8 5 Langsa Baru 0 0,00 0 0 0 0 Total 1.159,61 100 1.050,46 100 -109,15 -6,5
Sumber: Data primer diolah, 2017.
Gambar 3. Peta sebaran lahan sawah di Kota Langsa
Dari Tabel 2 diatas dapat kita lihat bahwa pada semua kecamatan yang memiliki lahan sawah di Kota Langsa telah terjadi konversi lahan. Sejak Kota Langsa dimekarkan dari Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2001, maka Pemerintah Kota Langsa membangun kantor pemerintahannya menyebar di seluruh wilayah kecamatan dengan maksud untuk pemerataan pembangunan kecamatan. Dengan adanya perpindahan beberapa kantor pemerintahan ke kecamatan tersebut maka di sekitar kantor juga mulai terjadi pertumbuhan dengan perubahan fungsi lahan sawah menjadi ruko, pemukiman/perumahan.
Potensi terjadinya konversi lahan dapat terjadi karena kebutuhan akan lahan terbangun dan adanya ketersediaan lahan sawah yang mudah untuk dikonversi. Dari hasil pengamatan di lapangan, bahwa hampir sebagian besar lahan sawah yang terkonversi terletak disepanjang jalan raya yang merupakan kawasan strategis untuk kegiatan bisnis. Lahan sawah yang terletak di sepanjang jalan raya berada di lahan dengan topografi datar dan mempunyai aksesibilitas yang baik ke jalan.
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi konversi lahan bila dilihat dari aspek lanskap adalah aksesibilitas ke lokasi lahan. Semakin baik dan mudah aksesibilitas ke lokasi lahan akan mempercepat konversi lahan pertanian[5].
Kemudian faktor internal yang signifikan mempengaruhi konversi lahan adalah lokasi lahan. Semakin dekat dengan jalan utama akan meningkakan konversi lahan pertanian. Lokasi tanah akan mempengaruhi konversi lahan pertanian. Hal ini sesuai dengan 'teori lokasi' dari Alonso yaitu lokasi tanah secara langsung berkaitan dengan
Selanjutnya faktor yang mempengaruhi konversi sawah di Bekasi adalah jarak ke pemukiman, perumahan, jalan, kabupaten/ ibukota kota dan kawasan industri. Semakin dekat dengan akses ke kota (pasar) akan meningkatkan tingkat konversi lahan pertanian[7].
Gambar 4. Konversi lahan sawah di Kota Langsa
Konversi lahan yang terus meningkat di Kota Langsa merupakan ancaman bagi ketahanan pangan. Hal ini, karena peningkatan konversi lahan sawah menyebabkan luas lahan sawah terus menurun tiap tahun. Berdasarkan target indikatif dari Dinas Pertanian Provinsi Aceh, pada tahun 2017 luas tanam komoditas padi yang harus dicapai di Kota Langsa adalah 3.367 ha. Apabila konversi lahan sawah ini tidak dikendalikan, maka target indikatif tersebut dikhawatirkan tidak akan tercapai. Apalagi dari 1.050, 46 ha lahan sawah yang ada pada saat ini, hanya seluas 470 ha yang merupakan lahan sawah irigasi yang lokasinya berada di tiga gampong yakni Gampong Alue Pineung, Gampong Alue Merbau dan Gampong Buket Meutuah, Kecamatan Langsa Timur[2].
Untuk menekan laju konversi lahan sawah yang terjadi setiap tahun di Kota Langsa, maka solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan dibuatnya Qanun (Perda) yang memuat tentang tata cara alih fungsi lahan (sawah beririgasi), larangan dan sanksinya. Lahan sawah bisa dialihfungsikan jika terjadi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau bencana alam yang menghilangkan fungsi lahan dan jaringan irigasi. Selain itu Pemerintah Kota Langsa juga harus menyediakan prasarana usahatani yang baik yang dapat meningkatkan peluang petani untuk bersedia mengikuti PLP2B.
KESIMPULAN
1. Konversi lahan sawah di Kota Langsa dalam kurun waktu tahun 2010-2016 seluas 109,15 ha (6,5%), atau 18,19 ha (1,08%)/tahun.
2. Potensi terjadinya konversi lahan sawah dapat terjadi karena kebutuhan akan lahan terbangun dan adanya ketersediaan lahan sawah yang mudah untuk dikonversi. SARAN
1. Pemerintah Kota Langsa harus tegas dalam melaksanakan peraturan tentang PLP2B. 2. Untuk pencegahan konversi lahan di lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan sawah
di RTRW (saat ini) maka perlu dibuatkan Qanun PLP2B yang memuat tentang tata cara alih fungsi lahan (sawah beririgasi), larangan dan sanksinya.
3. Pemerintah Kota Langsa harus menyediakan prasarana usahatani yang baik yang dapat meningkatkan peluang petani untuk bersedia mengikuti PLP2B.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Rektor Universitas Samudra dan LPPM-PM Universitas Samudra untuk pembiayaan penelitian ini, melalui Program Dana Hibah Penelitian Dosen Muda di Lingkungan Universitas Samudra tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Zulfikar, M., Barus, B., Sutandi, A. 2013. Pemetaan Lahan Sawah dan Potensinya Untuk Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Jurnal Tanah Lingkungan. No. 15 Vol. 1 Hal. 20-28.
[2] [DKPP] Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Langsa, 2016. Statistik Pertanian Kota Langsa. Langsa.
[3] Harini, R., Nurdin, M.H., Aprilia, L. 2014. Tinjauan Spasial Analisis Ekonomi Usahatani Pada Lahan Pertanian Terkonversi di Kabupaten Sleman. Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT)) Ikatan Geografi Indonesia ke 16. Yogyakarta, 15-17 November 2014. Hal. 475-489.
[4] Widiatmaka, Ambarwulan, W., Munibah, K., Santoso, P.K.B. 2013. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Sawah di Sepanjang Jalur Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Nasional Pantura, Kabupaten Karawang. Prosiding Seminar Nasional dan Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia (FIT ISI). Yogyakarta, 31 Oktober 2013. Hal. III.7-III.14. [5] Benu NM, Maryunani, Sugiyanto, Kindangen P. 2013. Analysis of Land Conversion
and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia. Journal Asian Transactions on Basic and Applied Sciences. Vol. 03 No. 2 Hal. 65-72.
[6] Harini, R., Yunus, H.S., Kasto; Hartono, S. 2012. Agricultural Land Conversion: Determinants and Impact for Food Sufficiency in Sleman Regency. Indonesian Journal of Geography. Vol. 44 No. 2 Hal. 120 – 133.