• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAPTASI ORGANISME BENTIK DI ZONA INTERTIDAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADAPTASI ORGANISME BENTIK DI ZONA INTERTIDAL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ADAPTASI ORGANISME BENTIK DI ZONA INTERTIDAL

Djunaidi A. Wally *

Staff Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon

Diterima 11-12-2010; Terbit 31-06-2011 ABSTRACT

Intertidal organisms exposed to the wet phase (pairs) and the dry phase (low tide) which lasted as much as two times a day. The existence of this tidal indirectly will affect the salinity, temperature, water density and the light will change continuously. Benthic organisms in the intertidal zone requires adaptation to the loss of water, heat balance, mechanical pressure, respiratory, feeding, salinity, reproduction and zoning. Adaptation zoning is largely determined by the shape of the substrate, which affects various forms of adaptation and diversity of intertidal organisms.

Keywords: Adaptation, benthic organisms, intertidal PENDAHULUAN

Zona intertidal merupakan wilayah laut yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut karena berada di kedalaman 0 – 100 m. Zona intertidal diukur dari pasang tertinggi (high tide) sampai surut terendah (low tide). Zona intertidal dan zona sublittoral sering disebut zona littoral. Pada zona intertidal perubahan lingkungan sangat ekstrim sekali. Pada waktu tertentu organisme intertidal dihadapkan pada fase basah (pasang) dan fase kering (surut) yang berlangsung sebanyak 2 kali dalam sehari. Adanya pasang surut ini secara tidak lansung akan mempengaruhi salinitas, suhu, densitas air dan cahaya yang akan mengalami perubahan secara terus menerus. Pengaruh gelombang dan arus yang kuat pada zona intertidal juga

sangat menentukan adaptasi organisme

intertidal (Brotowidjoyo, et al. 1999).

Organisme bentik di zona intertidal memerlukan adaptasi yang sangat berbeda

dengan organisme laut lainnya, karena

keberadaan di lingkungan bentik pada zona intertidal akan mengalami dampak secara lansung dari berbagai perubahan faktor lingkungan. Oleh karena itu sangat penting organisme di lingkungan ini beradaptasi demi

mempertahankan eksistensinya dalam

ekosistem laut.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pola perilaku adaptasi organisme laut khususnya organisme bentik di zona intertidal dalam

menghadapi perubahan lingkungan demi

mempertahankan diri dan berkembangbiak, sehingga dapat bermanfaat bagi konservasi organisme di zona intertidal.

Zona Intertidal

Zona intertidal (pasang-surut)

merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, zona intertidal (lihat gambar 1) memiliki pinggiran yang sempit sekali hanya beberapa luasnya karena terletak di antara air tinggi dan air rendah. Zona ini merupakan bagian laut yang mungkin paling banyak dikenal dan dipelajari karena sangat mudah ditemui oleh manusia (Nybakken, 1993). Walaupun luas daerah ini terbatas tapi di daerah ini terdapat variasi faktor lingkungan terbesar dibandingkan dengan daerah bahari lainnya dan variasi ini dapat terjadi pada daerah yang hanya berbeda jarak beberapa sentimeter saja, dengan keragaman kehidupan yang sangat besar, lebih besar dari pada yang terdapat di daerah subtidal yang lebih luas.

Organisme Bentik di Zona Intertidal

Organisme bentik yang dihidup di daerah intertidal lebih banyak dari jenis organisme yang menetap pada dasar substrat seperti golongan kerang, limpet, kepiting, alga, kiton, anemon, teritip, bintang laut, bulu babi, tumbuhan lumut hitam dan lain-lain. Keberadaan organisme tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis substrat pada daerah bentik. Karena jenis substrat mempengaruhi cara adaptasi, pola migrasi, berkembang biak, mencari makan dan mekanisme pertahanan.

(2)

Gambar 1. Zonasi Organisme Bentik di Intertidal Substrat Zona Intertidal

a. Pantai Berbatu

Pantai berbatu yang tersusun dari bahan yang keras merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Hamparan vertikal pada zona berbatu amat beragam, bergantung pada kemiringan

permukaan, kisaran pasang surut dan

keterbukaan terhadap gerakan ombak

(Nybakken, 1988). b. Pantar Berpasir

Faktor fisik yang penting dalam mengatur kehidupan di pantai berpasir adalah gerakan ombak dan ukuran partikel. Jika gerakan ombak kecil, partikel-partikel berukuran kecil juga tetapi jika gerakan ombak besar makan ukuran partikel-partikel menjadi kasar dan membentuk deposit kerikil. Butiran pasir yang halus, melalui gaya kapilernya cenderung untuk menampung lebih banyak air di atas tingkat pasang surut dalam celahnya setelah pasang turun. Faktor fisik kedua adalah pergerakan substrat. Saat ombak memukul, partikel-partikel substrat akan terangkut, teraduk dan terdeposit kembali. Oleh karena itu partikel-partikel bergerak dan dipisah-pisahkan secara teratur. Hal ini menyebabkan hanya sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk menetap secara permanen di permukaan pantai pasir atau kerikil.

c. Pantai Berlumpur

Pantai berlumput hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Ukuran partikel yang sangat halus dan disertai dengan sudut dasar sedimen yang amat datar menyebabkan air di dalam sedimen tidak mengalir ke luar dan tertahan di dalam substrat.

Kondisi ini menurunkan kadar oksigen dan memiliki populasi bakteri internal yang tinggi.

Pantai berlumpur cenderung untuk

mengakumulasi bahan organik, sehingga

tersedia cukup banyak makanan yang potensial untuk organsime penghuni pantai, tetapi keadaan ini mempunyai kemampuan untuk menyumbat alat penapasan organisme.

Faktor Utama Adaptasi Zona Intertidal a. Energi Matahari

Energi matahari yang diterima oleh bumi berupa radiasi elektromagnetik, yaitu radiasi gelombang pendek dalam ultraviolet, yang terlihat dan infra merah. (Rominohtarto dan Juwana, 2005). Jumlah cahaya maupun panas dari matahari yang diterima lautan itu bervariasi menurut musim, hal ini disebabkan matahari itu mendekati atau menjauhi ekuator.

Sinar matahari yang menembus perairan dimanfaatkan oleh organisme lautan untuk melakukan fotosintesis seperti rumput laut bentik dangkal, dinoflagellata yang terapung dan

diatom-diatom fitoplankton yang dapat

menggunakan sinar dengan panjang gelombang 400 – 750 nm. Organisme hidup tersebut merupakan makanan bagi ikan-ikan tertentu. Bagi hewan laut terutama untuk daerah intertidal, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuhan dan berhubungan dengan peningkatan panas pada daerah di atas permukaan air laut. Cahaya juga merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan perpindahan hewan laut untuk akivitas biologis maupun mencari pelindungan dari kehabisan air karena akan meningkatkan suhu udara permukaan.

b. Suhu

Pada daerah intertidal pengaruh suhu udara selama periode yang berbeda-beda, dan suhu ini mempunyai kisaran yang luas, baik secara harian maupun musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas torelansi organisme laut. Jika pasang turun terjadi ketika suhu udara minimum (daerah sedang-dingin) dan ketika suhu udara maksimal (tropik), batas letal dapat terlampaui dan organisme dapat mati. Walaupun kematian tidak segera terjadi. Organisme akan menjadi semakin lemah karena suhu ekstrim sehingga tidak dapat menjalankan sehidupan normal dan akan mati akibat sebab-sebab sekunder. Suhu juga mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Organisme laut dapat mati karena kehabisan air. Kehabisan air dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu.

(3)

c. Pasang Surut (Tide)

Pasang surut akan mempengaruhi

organisme intertidal karena pada saat surut organisme laut akan terkena udara terbuka secara periodik dengan kisaran parameter fisik yang cukup lebar. Oleh karena itu, organisme intertidal memerlukan adaptasi agar dapat menempati zona ini. Lama terkena udara terbuka merupakan hal yang paling penting karena pada saat itu organisme laut akan berada dalam kisaran suhu terbesar dan kemungkinan

mengalami kekeringan (kehilangan air).

Kebanyakan hewan ini harus menunggu sampai air mengenang kembali untuk mencari makan atau berpindah tempat. Semakin lama terkena udara, semakin kecil kesempatan untuk mencari makanan dan mengakibatkan kekurangan energi. Hewan dan tumbuhan di zona intertidal bervariasi kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan ini. Pasang surut yang terjadi secara teratur cenderung menimbulkan irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai seperti kegiatan dalam memijah, mencari makan dan berpindah tempat (Nybakken, 1988).

d. Gelombang Lautan

Besar gelombang dan kecepatan tergantung pada kecepatan angin, lama hembusan angin dan jarak yang ditempuh angin. Di zona intertidal, gerakan ombak (gelombang lautan) mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap organisme dan komunitas dibandingkan dengan daerah lain. Pengaruh ini terlihat nyata baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung dapat terjadi dalam dua cara utama. Pertama, pengaruh mekanik yang menghancurkan dan menghanyutkan benda-benda yang terkena ombak. Jadi mahluk apapun yang mendiami daerah ini harus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan kekuatan ini. Terpaan ombak dapat menjadi pembatas bagi organisme yang tidak dapat menahan terpaan ombak tersebut, tetapi diperlukan bagi organisme lain yang tidak dapat hidup selain di daerah dengan ombak yang kuat (Nybakken, 1988).

e. Salinitas

Seperti diketahui air laut banyak

mengandung garam sehingga membuat rasanya menjadi asin. Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme intertidal dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang turun dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, sehingga salinitas akan sangat

turun. Pada keadaan tertentu, penurunan salinitas ini akan melewat batas torelansi dan organisme intertidal dapat mati. Kedua, ada hubungan dengan genangan pasang surut, yaitu daerah yang menampung air laut ketika pasang turun. Daerah ini dapat digenangi oleh air tawar sehingga menurunkan salinitas atau dapat memperlihatkan kenaikkan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang hari.

POLA ADAPTASI

Pola Adaptasi Terhadap Kehilangan Air Pola adaptasi ini merupakan usaha organisme intertidal untuk mempertahankan diri di habitatnya dari kehilangan air pada saat

berada di udara terbuka. Untuk

mempertahankan diri, organisme harus

mempunyai sistem tubuh yang dapat

menyesuaikan diri terhadap berbagai pengaruh yang dapat membuat organisme kehilangan air. Keadaan ini dapat terjadi pada saat pasang surut (low tide) dan migrasi untuk kawin, berlindung dan mencari makan

Untuk mengatasi hal ini, hewan-hewan yang

bergerak seperti kepiting, menghindari

kehilangan air dengan cara berpindah dari daerah permukaan yang terbuka di intertidal ke dalam lubang-lubang, celah atau galian yang sangat basah sehingga kehilangan air dapat teratasi. Disamping itu, organisme tersebut dapat memanfaatkan alga yang basah untuk perlindungan. Pola yang sama juga dilakukan

oleh beberapa spesies anemon seperti

Anthopleura xanthigrammica di pesisir Pasifik

Amerika Utara (lihat gambar 6). Spesies ini

memiliki tubuh lunak, tanpa pencegah

kehilangan air, dan lebih memilih di dalam celah untuk beradaptasi sehingga adaptasi fisiologis tidak diperlukan.

Ada adaptasi sederhana yang dilakukan oleh beberapa genera alga intertidal bagian atas seperti Porphyra, Fucus dan Enteromorpha yang beradaptasi dengan jaringannya, karena tidak memiliki kemampuan untuk bergerak dan tidak memiliki mekanisme khusus. Pada saat surut, bentuk tubuh dalam keadaan kering dan kisut, tetapi pada saat pasang naik kembali, tubuh mereka dengan cepat menyerap air dan kembali menjalankan proses-proses metabolisme secara normal. Menurut Kanwisher (1957) bahwa alga ini dapat mentorelansi kehilangan air sebesar 60 – 90 %. Torelansi yang sama juga dijumpai pada beberapa jenis hewan yang menetap. Menurut Boyle (1969) melaporkan bahwa khiton dapat mentorelansikan kehilangan air hingga 75%. Dan menurut Davis (1969) mengatakan

(4)

bahwa limpet dapat mentorelansi kehilangan air sebesar 30 – 70 %, bergantung pada spesiesnya (Rominohtarto dan Juwana, 2005).

Di lain pihak banyak spesies-spesies hewan

intertidal mempunyai mekanisme untuk

mencegah kehilangan air. Mekanisme ini dapat terjadi baik secara struktural, tingkah laku maupun kedua-duanya. Pada saat pasang

surut, spesies-spesies organisme teritip

melakukan dengan merapatkan cangkangnya, sehingga menjadi kedap terhadap air. Limpet dari genus Patella, Acmaea dan Collisella merupakan hewan yang dominan di daerah intertidal berbatu, spesies ini memiliki ‘goresan rumah’ (home scar) sehingga cangkang dapat dengan pas untuk ditempati. Pada saat pasang surut, mereka kembali ke ‘rumahnya’ dan dapat mencegah kehilangan air. Beberapa spesies Limpet yang tidak memiliki goresan, akan menempel rapat pada batu-batu sehingga tidak ada satu jaringan pun yang terbuka kecuali cangkang.

Gastropoda lain seperti siput (Littorina) mempunyai operkula yang menutup rapat celah cangkang ketika pasang turun, mereka masuk ke dalam cangkang, lalu menutup celah menggunakan operkulum sehingga kehilangan air dapat dikurangi. Beberapa bivalva seperti

Mytilus californianus dapat hidup di daerah

intertidal karena memiliki kemampuan menutup rapat valvanya untuk mencegah kehilangan air. Organisme seperti anemon Actinia dan hidroid

Clava squamata menghasilkan lendir (mucus)

untuk mencegah kehilangan air. Sedangkan organisme yang berada di substrat pasir dan lumpur biasanya menguburkan diri ke dalam subtrat untuk mencegah kekeringan.

Gambar 2. Mekanisme Adaptasi terhadap Kehilangan Air

Pola Adaptasi Keseimbangan Panas

Organisme Intertidal yang hidup pada daerah terbuka terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrem akan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan tubuh internal. Untuk menjaga keseimbangan panas terhadap suhu yang tinggi, organisme intertidal mengatasi dengan:

1. Pengurangan panas yang diperoleh dari lingkungan

Organisme akan memperbesar ukuran tubuh sehingga luas permukaan tubuh dibanding dengan volume tubuh menjadi lebih kecil, hal ini mengakibatkan peningkatan suhu menjadi lebih kecil. Mekanisme lain untuk mengurangi panas adalah dengan cara mengurangi kontak antara jaringan tubuh dengan substrat, sehingga pada spesies tertentu hanya memerlukan organ yang kecil untuk menempel pada substrat atau tidak sama sekali.

2. Meningkatkan kehilangan panas dari tubuh organisme

Pada organisme bercangkang keras seperti moluska, mekanisme yang dilakukan adalah

dengan memperluas cangkang dan

memperbanyak ukiran pada cangkang. Ukiran pada cangkang berfungsi sebagai sirip radiator

sehingga memudahkan hilangnya panas.

Hilangnya panas dapat diperbesar jika

organisme mempunyai warna yang terang, seperti pada spesies Nerita peleronta. Hilangnya panas juga dapat terjadi melalui penguapan. Untuk melakukan keseimbangan ini, hampir semua hewan intertidal mempunyai persediaan air tambahan sehingga pendinginan dapat terjadi. Air tambahan disimpan dalam rongga mantel teritip dan limpet dan banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan tersebut.

Pola Adaptasi Terhadap Tekanan Mekanik

Gerakan ombak merupakan tekanan

mekanik terbesar pada organisme intertidal, karena ombak mencapai kekuatan puncak pada zona intertidal. Pola adaptasi yang dilakukan pada teritip, tiram dan cacing serpulida adalah dengan melekat kuat pada subtrat. Sedangkan alga menyatukan diri pada dasar perairtan melalui sebuah alat pelekat. Organisme lain juga membuat pelekat kuat tapi tidak permanen,

seperti pada Mytilus yang membatasi

pergerakannya. Moluska intertidal

mempertahankan diri dengan kaki yang kuat dan besar yang diletakkan pada substrat. Organisme motil seperti kepiting lebih memilih berlindung pada celah batu atau di bawah batu. Sedangkan pada moluska intertidal beradaptasi dengan

(5)

mempertebal cangkang sehingga lebih tebal dari daerah subtidal dan mengurangi ukiran tubuh yang amat mudah pecah pila terpukul ombak. Pola Adaptasi Pernapasan

Hewan pada zona intertidal memiliki tonjolan pernapasan yang mampu mengambil oksigen dari air. Tonjolan ini berbentuk tipis dan merupakan perluasan dari permukaan tubuh. Organ-organ ini amat peka terhadap kekeringan di udara dan tidak akan berfungsi kecuali dicelupkan ke dalam air. Diantara hewan

intertidal, terdapat kecenderungan untuk

memasukkan organ penapasan ini ke dalam

rongga perlindungan untuk mencegah

kekeringan. Hal ini dapat terlihat pada berbagai jenis moluska, dimana insangnya terdapat dalam rongga mantel yang dilindungi oleh cangkang. Keadaan yang sama dijumpai pada teritip di mana jaringan mantel bertindak sebagai organ pernapasan.

Hewan-hewan dengan organ penapasan juga harus mempertahankan air pada waktu pasang turun, karena itu mereka sering menutup (operkulum) atau mengaitkan diri (kiton, limpet) dengan demikian pertukaran gas berkurang. Jadi untuk mempertahankan oksigen dan air ketika pasang turun, banyak hewan berdiam diri. Pola Adaptasi Feeding (Cara Makan)

Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian berdaging dari tubuhnya. Hal ini berarti bahwa bagian-bagian yang terbuka ini harus tahan terhadap kekeringan. Karena itu seluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator.

Pola Adaptasi Terhadap Salinitas

Pada zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar, sehingga menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri dengan air laut. Kebanyakan organisme intertidal tidak memperlihatkan adaptasi daya tahan terhadap perubahan salinitas seperti halnya organisme estuaria sehingga tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya (osmokonformer).

Adaptasi satu-satunya yang dapat dilakukan

adalah dengan melindungi tubuh dari

kekeringan, misalnya untuk teritip dan moluska adalah dengan menutup valva atau cangkang.

Keadaan ini akan menyebabkan mortalitas katastrofik jika terjadi hujan deras atau adanya aliran air tawar, tapi keadaan ini jarang terjadi sehingga mekanisme khusus tidak terlalu diperlukan.

Pola Adaptasi Reproduksi

Organisme intertidal pada umumnya hidup menetap atau melekat, sehingga dalam penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton. Adaptasi reproduksi pada hampir semua organisme intertidal adalah mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan pola arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama, gonad Mytilus

edulis menjadi dewasa selama pasang purnama

dan pemijahan berlangsung ketika pasang perbani. Sedangkan pada Littorina neritoides, telurnya diletakkan pada saat pasang purnama. Adaptasi Zonasi

a. Pantai Berbatu

Organisme intertidal pada pantai berbatu menghadapi faktor pembatas seperti suhu yang dapat menyebabkan kehilangan air. Untuk keperluan itu organisme intertidal di pantai berbatu banyak memanfaatkan celah batu untuk berlindung dari kondisi suhu yang ekstrim. Cahaya matahari merupakan pengatur dari penyebaran alga intertidal. Alga intertidal memerlukan cahaya dengan panjang gelombang terpanjang (merah) yang diserab oleh air dengan cepat, sehingga ketika alga berfotosintesis mereka tidak boleh berada pada kedalaman lebih dari 2 meter.

b. Pantai Berpasir

Ada dua cara organisme melakukan adaptasi, yaitu dengan menggali substrat sampai mencapai kedalaman yang tidak dapat dipengaruhi oleh gelombang. Cara kedua adalah kemampuan untuk menggali dengan cepat, mekanisme ini lebih umum dilakukan oleh cacing annelida, kerang kecil dan krustasea. Dalam melakukan adaptasi di zona pantai

berpasir organisme dihadapkan pada

penyumbatan alat pernapasan oleh pasir tersuspensi, sehingga untuk mencegah hal ini saluran penapasan dilengkapi dengan penyaring (sekat) yang mencegah pasir untuk masuk tetapi air dapat masuk.

c. Pantai Berlumpur

Pada umumnya, organisme pada zona pantai berlumpur melakukan adaptasi dengan menggali dan melewati substrat yang lunak dan menempati saluran yang permanent pada

(6)

substrat, sehingga kehadiran organisme ditunjukkan dengan adanya lubang dengan berbagai ukuran. Adaptasi ini sangat berkaitan dengan kondisi yang anaerobik. Untuk beradaptasi dengan kondisi yang anaerobik,

organisme membentuk alat pengangkut

(misalnya, hemoglobin) yang mampu

mengangkut oksigen terus menerus dengan konsentrasi lebih baik dibandingkan dengan organisme dari zonasi yang berbeda.

Kesimpulan

Pada zona intertidal kehidupan organisme dipengaruhi oleh pasang surut, cahaya matahari, suhu, gelombang laut, dan salinitas. Untuk beradaptasi, organisme bentik di zona intertidal membutuhkan adaptasi terhadap kehilangan air,

keseimbangan panas, tekanan mekanik,

penapasan, feeding, salinitas, reproduksi dan zonasi.

DAFTAR PUSTAKA

Brotowidjoyo, D. Mukayat., Tribawono, Djoko dan Mulbyantoro, Eko. 1999. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta. 258 hal

Jones, D. and G. Morgan. 1994. A Field Guide To Crustaceans of Australian Waters. Western Australian Museum.

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach. 3rd Ed. Harper Collins College Publishers.

Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Gramedia, Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit

Djambatan, Jakarta

Rominohtarto, Kasijan dan Juwana Sri. 2005. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Cet ke-2. Djambatan. Jakarta.

Gambar

Gambar 1.  Zonasi Organisme Bentik di Intertidal Substrat Zona Intertidal
Gambar 2.  Mekanisme Adaptasi terhadap  Kehilangan Air

Referensi

Dokumen terkait