• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi dan Modal Kultural Etnis Bugis di Riau dan Jambi Tradition and Cultural Capital of Bugisnese in Riau and Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tradisi dan Modal Kultural Etnis Bugis di Riau dan Jambi Tradition and Cultural Capital of Bugisnese in Riau and Jambi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

127 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018

KONTEKSTUALITA

p-ISSN: 1979-598X

Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan e-ISSN: 2548-1770

Vol. 33 No. 2, Desember 2018 (hlm. 127-142) DOI: 10.30631/kontekstualita.v35i02.80

Tradisi dan Modal Kultural Etnis Bugis di Riau dan Jambi

Tradition and Cultural Capital of Bugisnese in Riau and Jambi

Jamaluddin

Fakultas Tarbiyah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Jl. Lintas Jambi - Muara Bulian KM.16, Simpang Sei Duren, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi 36361

jamaluddin@uinjambi.ac.id

Abstrak: Artikel ini memaparkan tradisi keagamaan perantau Bugis di Indragiri

Hilir, Provinsi Riau, dan Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ia juga mengungkapkan nilai-nilai dominan yang menjadi kekuatan pendorong mereka dalam kehidupan sosial. Didasarkan pada penelitian lapangan di dua Kabupaten tersebut, artikel ini menemukan bahwa perantau Bugis masih mempertahankan tradisi Islam yang mereka pelajari dari guru mereka di Sulawesi Selatan, seperti

mangaji tudang, mappandre temme’, mabbarazanji, mammudu’, mammiraje’, mattampung, mappendrek tojang, mendre hajji, dan cemme sapareng. Tidak hanya

berfungsi sebagai media untuk aktualisasi dan simbolisasi religiusitas, tetapi juga berfungsi sebagai motivasi untuk sukses. Tradisi-tradisi tersebut berjalan selaras dengan falsafah budaya asal mereka, yaitu pandangan dunia Panggadereng dan

Siri, yang menjadi modal kultural dan sosial dalam proses akomodasi, akulturasi,

asimilasi, dan integrasi dengan komunitas lokal.

Kata Kunci: Perantau Muslim Bugis, Tradisi dan Modal Kultural, Riau dan Jambi Abstract: This article describes the religious traditions of Bugis migrants in

Indragiri Hilir, Jambi Province, and Tanjung Jabung Timur, Jambi Province. It also reveals the dominant values that become their driving force in social life. Based on the field research in both districts, this article concludes that Bugis migrants still maintain the Islamic traditions that they learned from their teachers in South Sulawesi, such as mangaji tudang, mappandre temme’, mabbarazanji, mammudu’,

mammiraje’, mattampung, mappendrek tojang, mendre hajji, and cemme sapareng.

These traditions are not only as a medium for the actualization and symbolization of religiosity, but also served as a motivation for success. These traditions are also in line with their original cultural philosophy, namely the Pangadereng and Siri world views as cultural and social capital in the process of accomodation, acculturation, assimilation, and integration to local communities.

(2)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 128 Pendahuluan

Etnis Bugis merupakan salah satu etnis di Nusantara yang terkenal sebagai perantau dengan menggunakan perahu Bugis (pinisi). Tradisi ini dipengaruhi oleh ideologi sosial yang terangkum dalam jiwa passompe’ (penghijraan dan pengembaraan) sebagai karakter khas sosial1 Ideologi ini kemudian melahirkan kebanggaan terhadap keunggulan budaya mereka. Berbeda dari pengalaman Makassar, diaspora Bugis di tanah Melayu dan Sumatera (bagian) Selatan terbilang sukses. Kesuksesan ini merupakan kombinasi antara keadaan sejarah dan inovasi Bugis yang unik.2 Perbedaan lain yang sangat penting adalah Bugis mampu menciptakan diaspora pemerintahan berdasarkan asimilasi yang afektif dengan budaya setempat.3

Pelras menyatakan migrasi besar-besaran orang pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 karena merasa tertekan secara ekonomi dan keamanan Mereka bermigrasi ke Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, Sumatera, Borneo dan Semenanjung Tanah Melayu4. Migrasi pada hakikatnya termasuk salah satu produk perang dan produk sosial terhadap suatu sistem pemerintahan yang tidak memberi nuansa kebebasan bagi rakyat-baik sifatnya ekonomis maupun non-ekonomis.5 Konteks hubungan Melayu-Bugis telah terjalin melalui berbagai bentuk, terutama melalui pelibatan serta kedudukan dalam politik, perdagangan, perkawinan yang seterusnya membawa kepada proses sosialisasi dan asimilasi berkesinambungan antara Melayu-Bugis hingga hari ini6. Penyebaran suku Bugis di tanah Melayu, mulai dari awal abad ke 20 khususnya di kawasan Indragiri Hilir (Inhil) Riau dan Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur) Jambi saat ini mencapai angka yang cukup signifikan. Data statisitik menunjukkan bahwa jumlah warga Bugis yang berdomisili pada kedua daerah tersebut mencapai masing-masing 150.816 jiwa dan 65.480 jiwa. Kehadiran mereka di negeri tujuan telah memberikan kontribusi yang cukup masif khususnya dalam pembukaan lahan-lahan perkebunan dan persawahan, disamping sektor lain yaitu kemaritiman dan beberapa dekade terakhir pada sektor pemerintahan. Namun demikian, keberhasilan pada sektor tersebut seolah menjadi stigma bahwa Bugis identik dengan dunia kelautan dan perdagangan, sementara aspek lain seperti pendidikan dan tradisi syiar Islam Nusantara yang cukup kental di kalangan Etnis ini belum banyak terekspos.

Kajian terdahulu tentang diaspora Bugis di Nusantara cenderung fokus pada aspek ekonomi dan budaya. Beberapa kajian melakukan penelusuran terkait penyebaran dan

(3)

129 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 kiprah Bugis dalam pembukaan lahan di kawasan Indragiri Hilir serta keberhasilan mereka di bidang perdagangan sampai penguasaan sentra-sentra bisnis.7 Sebagian kecil menggali etnis ini dari aspek tradisi dan pelestarian seni dan budaya leluhur di kawasan pesisir pantai Tanjung Jabung Timur8. Peneliti lain mengkaji dari aspek sosial dan faktor budaya yang menyertai migrasi Bugis kaitannya dengan Islam di Papua9. Kajian diaspora Bugis dilihat dari aspek pendidikan dan syiar Islam di kawasan Indragiri Hilir dan Tanjung Jabung Timur saat ini belum banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Andaya yang mencoba menggali aspek gender dan Islam dalam diaspora Bugis di tanah Melayu.10 Penelitian lainnya melihat bahwa kebudayaan Islam yang berkembang secara khas di kawasan Sulawesi Selatan, telah mengisi ruang dan waktu peradaban Islam di Nusantara pada abad ke-17 hingga ke 19 Masehi yang dibuktikan dengan kehadiran makam-makam bercorak Makassar dan Bugis di pelbagai kawasan di Nusantara.11

Padahal sejumlah fakta di lapangan menunjukkan bahwa diaspora Bugis tidak hanya menyentuh aspek perdagangan, kemaritiman, dan pemerintahan, tapi juga kiprah mereka pada bidang sosial budaya dan pendidikan, dan kesetiaan mempertahankan tradisi syiar Islam yang mereka warisi dari pendahulu. Kajian migrasi Bugis di tanah Melayu dalam kaitannya dengan pendidikan, budaya, dan tradisi Islam menjadi penting guna menemukan pola asimilasi dan akulturasi yang memiliki implikasi pendidikan dan syiar, sehingga dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan strategis oleh Pemeritah dalam memelihara dan mempertahankan kearifan lokal (local wisdom). Bagi masyarakat, kajian ini bermanfaat dalam ikut mempertahankan tradisi lokal nusantara yang menjadi perekat kebinekaan serta memiliki implikasi pendidikan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain etnografik dalam menjelaskan, menganalisis, dan menerjemahkan budaya kelompok yang meliputi prilaku, kepercayaan, dan bahasa yang dikembangkan selama beberapa waktu. Penelitian ini menggunakan tipe etnografik studi kasus kolektif (collective case study)12 dalam memotret problem diaspora etnis Bugis dari kasus sosial, budaya, dan pendidikan di beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong diaspora.

Penelitian ini mengambil latar sosial masyarakat Bugis Bone dan Wajo yang tersebar di sepanjang Pantai Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi, di pinggiran Sungai Gangsal sampai ke pesisir pantai yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir Riau. Pemilihan latar ini didasarkan pada pertimbangan utama bahwa kawasan tersebut

(4)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 130 merupakan daerah tujuan utama migrasi Bugis sejak abad ke 17 dan hingga saat ini masih tetap bertahan, bahkan berkembang menjadi kawasan yang mayoritas dihuni oleh etnis Bugis. Guna mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.

Bugis di Tanah Melayu: Kedatangan dan Penyebaran

Migrasi Bugis ke Tanah Melayu paling tidak mengalami dua fase penting. Fase pertama yakni pada era abad ke 17 ditandai dengan persentuhan imigran Bugis dengan kerajaan-kerajaan setempat yang menghasilkan asimilasi etnik, perkawinan dan tahta. Periode berikutnya di awal abad ke 20, yaitu pada tahun 1935 migrasi Bugis bergerak menuju Enok, sebagian disebutkan merupakan sebaran dari Pontianak yang hutannya kurang memadai.13 Menurut pengakuan salah seroang imigran,14 migrasi mereka disebabkan faktor pemberontakan Kahar Muzakkar, sehingga mereka memilih migrasi meskipun harus menggunakan perahu layar dari Bone. Pada tahun 1940-41 gerakan beralih ke provinsi Jambi, pada awalnya ke daerah pesisir dekat perbatasan dengan Indragiri (KualaTungkal dan Pangkal Pinang) tetapi secara bertahap bergeser lebih jauh ke selatan (Sabak, Lagang, Kampung Laut), dari sini kemudian menyebar ke Palembang.15

Dari Enok, imigran Bugis kemudian menyebar ke berbagai wilayah kecamatan Reteh menuruti sungai Gangsal sampai ke Keritang, dan sebagian menetap di Kuala Enok dan sekitarnya. Disana mereka menempati daerah-daerah/lahan-lahan yang umumnya sudah dibeli oleh pendahulunya, mereka memulai hidup dengan merambah hutan, membuka lahan, menanaminya dengan komuditas kelapa kampung, padi, disamping komuditas pendamping lain, seperti pinang dan kopi. Sebagian lainnya tetap bertahan dengan profesi sebagai passompe yang membawa barang dagangan ke berbagai wilayah, sampai ke negeri Malaysia. Ada juga yang berprofesi sebagai pedagang ilegal (semokel), nelayan, dan buruh pabrik. Dalam kurun beberapa tahun setelah kedatangan imigran Bugis yang membuka lahan perkebunan dengan cara berkapling yang dipisahkan dengan parit-parit kecil dan terhubungan dengan Sungai, Kabupaten Indragiri Hilir kemudian dikenal dengan julukan ‘Negeri Seribu Parit’ dengan potensi kebun terluas di nusantara yaitu 3,7 hektar.

Saat ini, penyebaran imigran Bugis di Kabupaten Indragiri Hilir hampir merata di seluruh kecamatan, namun mayoritas mereka dapati ditemukan Kecamatan Tanah

(5)

131 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 Merah Kecamatan Reteh, Kecamatan Keritang, Kecamatan Kateman, Sungai Danai dan Sungai Sialang. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), sebaran mereka dapat dijumpai di Kecamatan Sadu, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kecamatan Nipah Panjang Kecamatan Mendahara dan Kampung Laut. Berbeda dari imigran Bugis di Inhil yang mayoritas Bugis Bone, pendatang Bugis yang masuk Tanjung Jabung Timur Jambi cukup berimbang antara Bone dan Wajo. Mereka juga umumnya tinggal dan menetap di pinggiran laut/sungai serta mencari penghasilan dari sumber laut baik dengan menangkap ikan, transportasi laut, maupun jasa pelabuhan. Saat ini jumlah etnis Bugis yang menetap di Tanjab Timur mencapai 65.480 (32,01 %) dari total penduduk, lebih besar dari jumlah penduduk asli (Melayu) 23.569 (11,52 %).

Pada era 1980an, kawasan yang dihuni oleh mayoritas etnis Bugis, khususnya di Kecamatan Reteh dan Tanah Merah (Kuala Enok) mengalami era keemasan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pada era tersebut berkembang pesat pabrik-pabrik penggilingan padi yang beroperasi di pinggiran sungai untuk menampung hasil panen masyarakat yang melimpah ruah. Sejumlah perusahaan pengolahan kelapa (kopra) menjadi minyak untuk menampung hasil kebun masyarakat juga berdiri di berbagai lokasi strategis, diantara PT Pulau Sambu Kuala Enok yang berdiri sejak tahun 1967. Sementara itu, kapal-kapal pengangkut barang dari berbagai daerah di Indonesia juga silih berganti merapat di pelabuhan Kuala Enok, di samping kapal penumpang dari dan ke Sulawesi dan Jawa. Pada era ini juga perdagangan smokel ke Singapore meningkat pesat dengan keuntungan yang berlipat sehingga kehidupan ekonomi masyarakat tumbuh pesat, sebagian bahkan berinfestasi dengan membeli tanah dan membangun rumah kontrakan di perkotaan. Era kejayaan tersebut praktis melibatkan orang-orang Bugis sebagai aktor utama, disamping komunitas lain, seperti Cina, Melayu, Jawa, dan Banjar.

Hingga saat ini wilayah-wilayah yang pernah menjadi destinasi migrasi Bugis sudah menjadi perkampungan padat. Di Kabupaten Indragiri Hilir, terdapat paling tidak lima kecamatan yang penduduknya mayoritas Bugis, yaitu Kecamatan Reteh, Keritang, Tanah Merah, Sungai Batang, dan Keteman. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur mayoritas menetap di Kecamatan Nipah Panjang, Sadu, Muara Sabak Timur, dan Mendahara. Kesuksesan ini tidak lepas dari kemampuan untuk merekonseptualisasi wilayah-wilayah yang baru dihuni sebagai tempat-tempat yang telah dikenali sebelumnya.16

(6)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 132 Profesi mereka pun cukup bervariasi mulai dari pengusaha kelapa/kopra, pinang, sawit, petani padi, nelayan, penangkar walet, transportasi laut dan darat, pegawai, guru, dan lainnya. Disamping unggul di bidang perdagangan, dewasa ini imigran Bugis juga sudah mulai merambah dunia politik praktis, tercatat beberapa tokoh Bugis pernah menjadi Wakil Bupati dan anggota DPR di Inhil17 dan Tanjabtimur.

Tradisi dan Modal Kultural Bugis di Indragiri Hilir Riau dan Tanjung Jabung Timur.

1. Mengaji dan Mappangaji: Aktualisasi KeIslaman

Masyarakat Bugis di Tanah Melayu pada umumnya menganut agama Islam. Salah satu manifestasi keislaman mereka adalah tradisi mappangaji, mengajarkan membaca Al-Quran kepada anak-anak mereka sejak dini dengan metode mengeja. Tradisi ini dilakukan di rumah-rumah penduduk dan diasuh oleh ibu-ibu rumah tangga, atau nenek yang tidak memiliki pekerjaan lagi tanpa kompensasi yang tertulis. Pelajaran membaca diawali dari korang biccuk (qur’an kecil) yaitu juz ketiga puluh, setelah itu dilanjutkan korang lopppo (quran besar) dari juz 1 sampai 29. Setelah menamatkan Al- Quran, orang tua anak umumnya mengadakan acara maccerak baca, sebuah tradisi yang dilakukan dengan menyajikan menu nasu likku dan sokko (ayam lingkung dan ketan) bagi guru dan keluarga terdekat seraya membacakan doa selamat yang dipimpin oleh kyai setempat. Anak- anak yang sudah khatam Quran selanjutnya bergabung dalam komunitas pengajian yang lebih besar untuk mempelajari tajwid, fashahah, dan lagu yang biasa di asuh oleh Ustadz / Ustadzah yang diadakan rumah-rumah maupun di Surau atau di Masjid. Pengajian-pengajian seperti ini terbukti efektif dalam mewariskan Al-Quran tidak hanya bagi etnis Bugis tapi juga diakui oleh etnis lainnya. Tradisi ini juga yang kemudian menurut salah seorang pelatih MTQ18 menyisahkan atribut bahwa mayortias generasi Bugis pandai mengaji dan telah banyak melahirkan Qori-qoriah yang bertarap Nasional, diantaranya Hanifah, Hj Rosmiati, Hj Mudalifah, Sumiati, Nurasiah, dan Hj. Khadijah, dan qori Internasional, diantaranya Usman Munif, Hj Nuraini As dan Hj. Musdalifah.

Kultur mengaji di kalangan migran Bugis juga dapat diamati tradisi mappandre

temme, sebuah upacara menamatkan Al-Quran (khataman Quran) yang diwajibkan pada

baik laki-laki maupun perempuan yang akan menjalani hidup berumah tangga. Tradisi ini biasanya dilakukan pada malam hari, setelah mabbarazanji (membaca kitab al

(7)

133 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 Barzanji) sebelum mappacci (berinai ) dipimpin oleh seorang Ustadz/Ulama setempat dengan cara membimbing calon pengantin membaca AL-Quran mulai dari Surah Al - Dhuha sampai Al - Nas dan ditutup dengan doa khataman Quran. Tradisi ini menurut salah seorang ustadz19 bertujuan tidak hanya untuk individu calon pengantin, tapi juga mengandung muatan syiar (Islam) bagi masyarakat pada umumnya, sekaligus bagi pemuda agar terlebih dahulu menamatkan Al-Quran sebelum berkeluarga.

Tradisi mengaji lainnya yang masih dipraktekkan hingga hari saat ini adalah

mappangaji bagi kelurga yang mendapat musibah kematian. Tradisi ini dilakukan

dengan membaca dan menghatamkan Al-Quran mulai dari malam pertama sampai malam ketujuh kematian. Tradisi ini melibatkan keluarga, karabat, dan masyarakat sekitar yang secara sukarela membaca Al-Quran minimal 1 juz per orang setiap malamnya yang pahalanya ditujukan kepada Almarhum/Almarhumah. Bagi masyarakat Bugis di Inhil dan Tanjab Timur tradisi mappangaji masih lebih familiar dibandingkan dengan tradisi tahlilan yang banyak dipraktekkan oleh etnis lainnya. Meskipun demikian, secara perlahan tradisi tahlilan sudah mulai difahami dan dipraktekkan oleh sebagian etnis Bugis, tanpa meninggalkan tradisi mappangaji. Kedekatan etnis Bugis dengan Al Quran, juga dapat dilihat dari kebiasaan membaca dan menghatamkan Al-Quran pada bulan Ramadhan. Tradisi ini meskipun tidak diwarisi secara masif oleh generasi remaja sebagaiman era 80a, namun ditemukan masih jamak dipraktekkan oleh para orang tua. Kebiasan mengaji ramadhan remaja Bugis saat ini lebih banyak dilakukan dalam bentuk tadarrus quran di mesjid pada setiap malam bulan ramadhan. 2. Mabbarazanji: Tradisi untuk Syiar

Masyarakat Bugis di tanah melayu dicirikan dengan tradisi membaca AL

Barazanji, sebuah kitab yang mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad saw dan

sifat-sifat mulia yang dimiliki, pada setiap upacara. Tradisi ini menghiasi hampir semua momen penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bugis, mulai acara malam pernikahan (mamppandre temme’), peringatan kelahiran anak (aqiqah), peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw (mammudu’), syukuran menempati kediaman baru, doa selamat menunaikan ibadah haji. Tradisi ini menjadi salah satu model bagaimana Muslim Bugis mengekpresikan keislaman mereka diantara berbagai etnis dan keyakinan di negeri rantau. Pada masa awal, pembacaan AL Barzanji diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Bugis, namun seiring dengan perkembangan zaman, pertimbangan durasi dan kehadiran etnis lain pada perayaan menjadi pertimbangan

(8)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 134 Barzanji dibacakan dalam bahasa aslinnya (Arab)20. Tradisi ini sejatinya merupakan ekspresi rasa syukur etnis Bugis atas anugerah yang diterima, selain sebagai peneguhkan eksistensi sebagai orang Bugsi yang mematuhi tradisi Islam. ini kemudian meneguhkan eksistensi mereka di antara kelompok masyarakat lainnya.

3. Mandi Safar (Cemme safarreng): Wisata Spiritual untuk Syiar

Mandi Safar merupakan salah satu tradisi masyarakat Migran Bugis yang hingga saat ini masih masif dilakukan. Tradisi ini didasarkan pada keyakinan bahwa dalam satu tahun ada satu malam di mana Allah menurunkan 12 ribu macam bencana ke dunia yaitu pada Rabu malam terakhir bulan Safar. Kepercayaan ini melahirkan tradisi mandi safar dengan cara menuliskan penggalan ayat Quran yang diawali dengan kata ‘salamun’. Tujuannya untuk memohon keberkahan kepada Allah agar bisa terhindar dari segala bencana setahun kedepan. Ritual ini pada awalnya hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat Muslim Bugis tertentu, tertutup, dan tidak terpublikasikan. Namun atas inisiasi salah seorang Ulama Bugis, K.H. As’ad Arsyad yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Walipetu, Kabupaten Tanjab Timur, tradisi ini dikembangkan menjadi ritual tahunan yang dipaketkan dengan tradisi manccera’

kampong21, selanjutnya menjadi agenda wisata tahunan milik Pemerintah Daerah

Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Ritul yang dipusatkan di Desa Air Laut Hitam dari sisi wisata cukup strategi sebab Desa tersebut merupakan salah satu pintu masuk kawasan Taman Nasional Berbak (TNB) yang memiliki potensi ekowisata dengan berbagai jenis flora dan fauna. Selain itu, Desa Air Hitam laut juga sangat dekat dengan pantai Cemara yang memiliki pantai pasir putih dengan hutan cemara laut yang spesifik. Pantai itu memiliki panjang sekitar 20 kilometer dan lebar antara 20-30 meter dengan kedalaman kurang dari lima meter. Saat ombak tenang, pantai atau laut di pulau itu sangat cocok untuk sarana olahraga pantai seperti selancar atau memancing. Ritual ini paling tidak memiliki dua keuntungan, pertama dapat menyatukan masyarakat dalam satu ikatan sosial tanpa melihat suku, ras, dan agama, yaitu kesetiakawanan sosial (ukhuwah insaniyah). Kedua, keuntungan ekonomi, di mana dengan tetap diadakannya ritual mandi shafar, desa Air Hitam Laut sering dikunjungi oleh para petinggi daerah rnaupun masyarakat pada umumnya, sehingga akan mempromosikan potensi perekonomian daerah setempat yang cukup kaya akan hasil laut.22 Tradisi ini merupakan kolaborasi antara penduduk lokal dengan pemerintah, sebagai disarikan dari temuan penelitian bahwa the

(9)

135 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018

programming of Mandi Safar ritual into a tourism event is a mutual collaboration of the common interests between the government and the local elites, especially customary-religious elites. The two actors have the same interest in the development of tourism supporting infrastructure in the region as one of the bases for economic growth. Also, this programming event will preserve the culture and its local wisdom values.23

Meskipun pada awalnya tradisi ini tidak begitu akrab di kalangan masyarakat tempatan (Melayu), demikian juga bagi beberapa etnis pendatang lainnya seperti Jawa, Minang, Cina, kecuali Banjar. Namun sejak ditetapkan sebagai hajatan tahunan daerah oleh Pemerintah setempat, ritual yang notabene ‘milik’ enik Bugis ini kemudian menjadi tradisi yang diterima bahkan diikuti etnis-etnis lainnya tanpa ada resistensi yang berarti baik dari sisi budaya maupun teologi.

4. Haji: Antara Simbol dan Syiar

Bagi mayoritas orang Bugis, haji adalah visi keberagamaan tertinggi, sehingga tidak heran jika dalam memulai usaha mereka memasukkan niat Haji ke Baitullah. Niat tersebut menjadi motivasi intristik yang mendorong mereka untuk bekerja lebih tekun. Kesakralan ibadah Haji bagi mereka terlihat dari antusiasme keluarga dan masyarakat sekitar dalam proses mengantar mereka sampai ke pelabuhan. Para calon Haji yang mengenakan pakaian serba putih dilepas dengan upacara seraya berpelukan dan saling bermaafan. Selama berada di Tanah Suci, keluarga yang ditinggal secara rutin menggelar acara mambaranzi pada setiap malam Jumat guna memanjatkan doa agar keluarga meraka mendapatkan kesehatan dan keberkahan selama di Mekkah. Sekembali dari Mekkah, mereka disambut oleh masyarakat dengan penuh haru sambil mendengarkan kisah perjalanan haji, dan masyarakat yang bertamu pada saat itu dipastikan mendapatkan oleh-oleh berupa sajadah, kurma, air zamzam, tasbih, atau dupa. Sekembali dari Mekkah para Haji mengenakan sonkok Haji (putih) bagi laki-laki dan cipo cipo (penutup kepala ) bagi perempuan setelah melalui proses mappatompo yang dilakukan oleh seorang yang memiliki syech di Mekkah yang memiliki keturunan Bugis. Saat kembali ke tanah Bugis, haji baru ini tidak akan mengerjakan kegiatan selama kurang lebih empat puluh hari Haji masih mengenakan surban. Sementara Hajjah mengenakan jubah Arab yang berwarna hitam yang disebut dengan pakambang. Tradisi Bugis mengajarkan ketika seorang sudah kembali dari tanah marajae dann menyandang status haji, maka harus senantiasa menjaga perilaku.24

(10)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 136

Pada masyarakat Bugis perantau di Inhil dan Tanjab Timur, eksistensi dan status para Haji dan Hajah selain terasa dari tradisi panggilan kehormatan ‘puangngaji’, juga terlihat dari posisi mereka yang selalu ditempatkan pada shaf pertama dalam sholat berjamaah di mesjid, demikian juga dalam pergaulan sosial, mereka selalu diutamakan dan ditempatkan pada posisi terdepan, termasuk dalam upacara-upacara penikahan. Kebanggaan sebagai Haji juga kental mewarnai dua hari Raya Besar Islam (Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari itu para haji (laki-laki) mengenakan pakaian kebesaran jubah (baju lompo), atau menggunakan kopiah Haji dan jubah, demikian juga para hajjah (perempuan) menuju Mesjid untuk menunaikan shalat Id, mereka umumnya mereka menempati shaf terdepan. Sepulang dari mesjid para Haji dengan pakaian Hajinya tersebut bersama masyarakat lainnya saling bersilaturrahmi dari rumah ke rumah. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh mayoritas muslim Indonesia dipenuhi dengan atribut-atribut sosial25. Potret realitas berhajji ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi etnis Bugis di tengah masyarakat dengan berbagai lapisan sosial. Haji meneguhkan eksistensi mereka baik dalam bidang keagamaan maupun sosial sehingga mereka mampu survive di tengah masyarakat.

Modal Kultural- Sosial Etnik Bugis

Pada bagian ini disajikan modal etnik Bugis dalam bertahan di Tanah Melayu. Sajian ini penting dalam memahami faktor-faktor dan nilai dominan yang menjadi driving force orang Bugis dalam proses adaptasi, sosialisasi, akulturasi. Sajian ini juga penting guna memahami bauran antara kultur Bugis dengan tradisi Islam yang dimanifestasikan dalam kepatuhan terhadap simbol-simbol.

Modal budaya merupakan selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi yang mencakup pada rentangan luas properti, seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Modal budaya merupakan hasil dari praktek sosial dan pengembangan sosial dari beberapa simbol dan arti yang termasuk kelas yang lebih tinggi untuk melakukan kultur dominan mereka dalam siklus pengembangan kultur.26

Kesuksesan etnik Bugis di perantauan tidak lepas kultur etos kerja yang mereka miliki. Etos yang sudah membudaya tersebut lahir dari falsafah hidup yang mereka pegang teguh, sejumlah riset misalnya menunjukkan kesuksesan perantau Bugis khsusunya pada gelombang pertama dipengaruhi oleh falsafah tellu cappa (tiga ujung)27

(11)

137 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 28(pertama cappa lila (ujung lidah) yaitu kemampuan melakukan diplomasi, kedua

cappa laso’ (ujung kemaluan) yaitu kemampuan untuk kawin dengan penduduk

setempat, dan ketiga cappa kuali (ujung badik) yaitu penyelesaian dengan cara peperangan. Modal budaya lain yang mereka miliki adalah siri dan pesse. Konsep siri dikaitkan dengan rasa malu, harga diri atau martabat. Siri ini selalu dijunjung oleh orang Bugis bagi mereka "Lebih baik mati dalam membela siri, daripada hidup tidak memiliki siri". Sedangkan konsep pesse terkait erat dengan kekuatan ikatan persaudaraan untuk memperkuat ikatan masyarakat29. (Konsep dari siri dan pesse telah menjadi cara hidup bagi para imigran pedagang Bugis, sehingga mereka menjadi pedagang yang terhormat dan dikagumi oleh pedagang lain serta untuk memperkuat semangat dan mendominasi hubungan perdagangan.

Manifestasi siri tidak hanya berlaku dalam konteks perdagangan tapi juga dalam kehidupan sosial keagamaan. Tradisi mengaji yang diproyeksikan agar generasi mampu membaca al-Quran, naik haji ke baitullah, mabbarzanji pada setiap momen syukuran dan doa selamat, acara cukuran (aqiqah) anak, doa selamat kematian (mattampung), melanjutkan pendidikan, dan berbagai tradisi lainnya sangat dipengaruhi oleh siri. Bagi orang Bugis adalah siri jika anak mereka tidak mampu mengaji (membaca al-Quran), siri jika tidak mampu menunaikan ibadah haji pada usia yg sudah pantas, siri jika tidak mengadakan acara mabbarazanji jika memiliki hajatan selamatan, siri jika tidak mampu menyekolahkan anak. Modal budaya ini menjadikan orang Etnis Bugis memiliki semangat untuk bertahan dengan mengedepankan marwah dan harga diri diatas segalanya.

Disamping siri, etnik Bugis juga memiliki apa yang disebut sebagai pengadereng Unsur paling utama yang disebutkan dalam budaya pangadereng adalah ade, dan nilai utamanya adalah alempureng (kejujuran). Begitu tingginya nilai alempureng dalam budaya dan kearifan lokal Bugis, Tanpa alempureng nilai lainnya, seperti amaccang (kecerdasan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso(usaha), dan siri (malu atau harga diri) sebagaimana yang tersebut dalam Pao Rikadong, atau nila-nilai

sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (salingmenghormati), dan lain-lain yang

terdapat dalam naskah-naskah lontara30. Modal budaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah falsafah sipakatau, sipakainge, sipakalebbi dan sipatokkong yang diwujudkan dalam bentuk rangka perwujudan saling menghargai dan menghormati dengan berbagai etnik yang ada di rantau. Falsafah sekaligus pegangan dalam

(12)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 138

berinteraksi dengan berbagai latarbelakang etnik, ini juga merupakan konsep dasar kehidupan masyarakat Bugis untuk senantiasa hidup rukun dan damai, memelihara sekaligus memperkokoh tali persaudaraan dan sebagai landasan normatif bagi masyarakat Bugis dalam berperilaku.31 Budaya bugis yang diwariskan dari generasi ke generasi sekarang mengalami proses penyaringan berdasarkan Islam, lingkungan, dan kebijakan pemerintah.32

Bentuk modal sosial adalah sumber-sumber moral masyarakat yang terdiri dari tiga komponen yaitu trust, norma sosial, dan jaringan aktivitas33 . Dalam proses asimilasi etnik Bugis terkenal sangat menjunjung tinggi kepercayaan, kejujuran dan komitmen kerja baik terhadap bos, kolega, maupun bawahan. Karena itu mereka dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari pemiliki modal khususnya dari etnis Cina yang mengusai sentra-sentra bisnis. Modal trust ini juga yang mengantarkan orang Bugis mampu berbisnis lintas negara, khususnya pada era smokel. Etnis Bugis juga piawai dalam bergaul dan membangun jaringan-jaringan baik ke pemerintah setempat, pemiliki modal, dan tokoh masyarakat. Uniknya, bangunan jaringan tersebut umumnya mereka bangun tidak secara formal an sich namun melalui obrolan santai di warung-warung kopi yang menjadi kultur masyarakat di pinggir sungai/pantai. Tradisi ‘ngopi’ ini cukup merata khususnya di Kuala Enok, Pulau Kijang, Keritang, Guntung, Nipang Panjang, dan Kampung Laut. Disana interaksi lintas profesi terjadi mulai dari buruh pekerja, pegawai, ustadz/imam, bos, anggota Dewan sampai aparat pemeritah. Modal jaringan lainnya adalah adanya wadah berhimpun warga Bugis yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), wadah ini memiliki posisi bargaining dengan pemerintah. Disamping itu keberadaan etnik Bugis baik di legislatif maupun eksekutif juga menjadi modal sosial yang kuat bagi etnis Bugis dalam proses akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Modal sosial sangat tergantung pada luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif melalui jumlah kapital yang dimiliki suatu masyarakat.34

Kesimpulan

Etnik Bugis yang notabene Muslim di Tanah Melayu yang meliputi kawasan Kabupaten Indragiri Hilir dan Tanjung Jabung Timur berhasil mengantarkan mereka menjadi etnik yang sukses dalam proses asimilasi sehingga tetap bertahan bahkan menjadi ‘tuan rumah’ di negeri orang. Kesukesan etnik Bugis di kedua kawasan tersebut tidak hanya

(13)

139 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 pada sektor ekonomi dan perdagangan namun dan yang tidak kalah masifnya adalah keberhasilan mereka menjaga dan melestarikan tradisi pendidikan dan budaya bernafaskan Islam, seperti mengaji tudang (belajar membaca Quran), maccera baca (syukuran khatam quran), mappandre temme (simbolisasi khatam quran sebelum pernikahan), mabbarazanji (membaca kitab Al-Barzanji) pada setiap perayaan,

mammudu (perayaan maulid Nabi saw), mammiraje’ (peringatan isra miraj), mendre tojang (aqiqah), mattampung (doa selamat arwah), dan cemme safareng (mandi safar),

termasuk berhaji.

Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya merupakan aktualisasi keIslaman tapi juga menjadi menjadi kekuatan pendorong untuk sukses di perantauan. Tradisi ini juga ditopang dengan warisan nilai/falsafah siri dan budaya pangadereng yang mengedepankan nilai alempureng (kejujuran), didukung dengan nilai sipakatau (saling menghormati), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling mengingatkan), dan

sipatokkong (saling membesarkan). Kesemuanya menjadi modal kultural-sosial etnik

Bugis dalam proses akomodasi, akulturasi, asimilasi, dan integrasi dengan budaya di Tanah Melayu.

Catatan

1 Jacqueline Lineton, “Pasompe’Ugi’: Bugis migrants and wanderers,” Archipel 10, no. 1 (1975): 173–201. 2 Leonard Y. Andaya, “The Bugis-Makassar Diasporas,” Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society 68, no. 1 (268 (1995): 119–138.

3 Andaya.

4 Christian Pelras dan Pelras, The Bugis (Blackwell Publishers Oxford, 1996). 5 Andi Ima Kesuma, “Migrasi & Orang Bugis,” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.

6 Norhayati Ab Rahman, “Sejarah hubungan masyarakat Melayu dan Bugis sebagai asas pembinaan naratif dalam novel sasterawan negara arena wati,” MANU: Jurnal Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa (PPIB) 23 (2016).

7 Abdul Fattah dkk., “Penghijrahan Masyarakat Bugis Ke Alam Melayu: Kajian Kes Bugis Di Indragiri Hilir Riau,” 2011.

8 Makmur Haji Harun, Buchcari Katutu, dan Sitti Rachmawati Yahya, “Diaspora Bugis di Sumatera,” t.t. 9 Ismail Suardi Wekke, “Islam and Bugis on Migration in Nusantara : An Exploration of Religious Encounters of Papua,” t.t.

10 Barbara Watson Andaya, “Gender, Islam and the Bugis Diaspora in Nineteenth-and Twentieth-Century Riau,” Sari 21 (2003): 77–108.

11 Rosmawati, “Tamadun Islam Sulaswesi Selatan dan Pengaruhnya di Kawasan Nusantara,” Universitas Hasanuddin, 7 April 2014, http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9449.

12 John W. Creswell, Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative (Prentice Hall Upper Saddle River, NJ, 2002).

13 Lineton, “Pasompe’Ugi’.”

14 Kuraga Kuraga, diwawancara oleh Penulis, Video, 12 Agustus 2018. 15 Lineton, “Pasompe’Ugi’.”

16 Greg Acciaioli, “Kinship and debt: the social organization of Bugis migration and fish marketing at Lake Lindu, Central Sulawesi,” Bijdragen tot de taal-, Land-en Volkenkunde 156, no. 3 (2000): 589–617.

(14)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 140

17 Hapsa Hapsa dan Eko Priyo Purnomo, “Relasi Kuasa Identitas Etnis Dilembaga Legislatif Periode 2014-2019 (Studi Kasus Anggota DPRD Etnis Bugis Dikabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau),” Journal of Governance and Public Policy 3, no. 1 (2016).

18 Hamsiah Siti, diwawancara oleh Penulis, 30 Agustus 2018. 19 Syarifuddin, diwawancara oleh Penulis, 5 September 2018. 20 Syarifuddin.

21 Arsyad Asad, diwawancara oleh Penulis, Tape Recorder, 10 September 2018.

22 L. Bahtiar, Ayub Mursalin, dan Masburiah Masburiah, “Ritual Mandi Safar: Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal: Studi Kasus di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur,” Kontekstualita 23, no. 2 (2008).

23 Irmawati Sagala, “Extension of Religious Ritual Functions in Development Process: Study of Mandi Safar in Air Hitam Ocean Indonesia,” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 156, no. 1 (2018): 012009, https://doi.org/10.1088/1755-1315/156/1/012009.

24 Ismail Suardi Wekke, “Islam And Bugis On Migration In Nusantara: An Exploration Of Religious Encounters Of Papua,” 2015.

25 M. Zainuddin, “Haji Dan Status Sosial: Studi Tentang Simbol Agama Di Kalangan Masyarakat Muslim,” El Harakah 15, no. 2 (2013): 169–184.

26 Pierre Bourdieu, “The forms of capital.(1986),” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81–93.

27 Gene Ammarell, “Bugis Migration and Modes of Adaptation to Local Situstions,” Ethnology, 2002, 51–67. 28 Andi Ima Kesuma, “Migrasi & Orang Bugis,” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.

29 M. Yahya Mustafa, A. W. Tangke, dan A. Nasyaruddin, Siri’dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja (Makassar: Pustaka Refleksi, 2003).

30 Abd Rahim Yunus, “Nilai-Nilai Islam dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis),” RIHLAH 2, no. 01 (2015): 1–12.

31 Sitti Murni Kaddi dan Rahmi Surya Dewi, “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi And Sipattokong As Falsafah And Value Of Local Etnic Bugis (Intercultural Communication Studies Of Bugis Perantau In Palu Central Sulawesi),” Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 1, no. 1 (2017).

32 Andi Adijah dkk., “Reconstruction of Ethnic Identity among Bugis Community In Pontian Johor,” Journal of Management Info 4, no. 2 (2017): 69–83.

33 Robert Putnam, “Social capital: Measurement and consequences,” Canadian journal of policy research 2, no. 1 (2001): 41–51.

34 Richard Harker, Cheleen Mahar, dan Chris Wilkes, An introduction to the work of Pierre Bourdieu: The practice of theory (Springer, 2016).

Daftar Pustaka

Acciaioli, Greg. “Kinship and debt: the social organization of Bugis migration and fish marketing at Lake Lindu, Central Sulawesi.” Bijdragen tot de taal-, Land-en

Volkenkunde 156, no. 3 (2000): 589–617.

Adijah, Andi, Rosman Md Yusoff, Mohd Koharuddin Mohd Balwi, dan Tariq Ahmad. “Reconstruction of Ethnic Identity among Bugis Community In Pontian Johor.”

Journal of Management Info 4, no. 2 (2017): 69–83.

Ammarell, Gene. “Bugis Migration and Modes of Adaptation to Local Situstions.”

Ethnology, 2002, 51–67.

Andaya, Barbara Watson. “Gender, Islam and the Bugis Diaspora in Nineteenth-and Twentieth-Century Riau.” Sari 21 (2003): 77–108.

Andaya, Leonard Y. “The Bugis-Makassar Diasporas.” Journal of the Malaysian branch of

the Royal Asiatic Society 68, no. 1 (268 (1995): 119–138.

(15)

141 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018

Bahtiar, L., Ayub Mursalin, dan Masburiah Masburiah. “Ritual Mandi Safar: Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal: Studi Kasus di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur.” Kontekstualita 23, no. 2 (2008).

Bourdieu, Pierre. Distinction: A social critique of the judgement of taste. Routledge, 2013. ———. “The forms of capital.(1986).” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81–93. Creswell, John W. Educational research: Planning, conducting, and evaluating

quantitative. Prentice Hall Upper Saddle River, NJ, 2002.

Fahmid, Mujahidin. “Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar: Menuju Hibriditas Budaya Politik.” Unpublished doctoral dissertation, Institut

Pertanian Bogor, Bogor. Google Scholar, 2011.

Fattah, Abdul, Rafiuddin Afkari, Mikdar Rusdi, dan Md Abdullah. “Penghijrahan Masyarakat Bugis Ke Alam Melayu: Kajian Kes Bugis Di Indragiri Hilir Riau,” 2011. Hapsa, Hapsa, dan Eko Priyo Purnomo. “Relasi Kuasa Identitas Etnis Dilembaga

Legislatif Periode 2014-2019 (Studi Kasus Anggota DPRD Etnis Bugis Dikabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau).” Journal of Governance and Public Policy 3, no. 1 (2016).

Harker, Richard, Cheleen Mahar, dan Chris Wilkes. An introduction to the work of Pierre

Bourdieu: The practice of theory. Springer, 2016.

Harun, Makmur Haji, Buchcari Katutu, dan Sitti Rachmawati Yahya. “Diaspora Bugis di Sumatera,” t.t.

Kaddi, Sitti Murni, dan Rahmi Surya Dewi. “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi And Sipattokong As Falsafah And Value Of Local Etnic Bugis (Intercultural Communication Studies Of Bugis Perantau In Palu Central Sulawesi).” Prosiding

Konferensi Nasional Komunikasi 1, no. 1 (2017).

Kesuma, Andi Ima. “Migrasi & Orang Bugis.” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004. ———. “Migrasi & Orang Bugis.” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.

Kuraga, Kuraga. Diwawancara oleh Penulis. Video, 12 Agustus 2018.

Lenggono, P. S. “Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal.” Disertasi SPD-IPB, 2011.

Lineton, Jacqueline. “Pasompe’Ugi’: Bugis migrants and wanderers.” Archipel 10, no. 1 (1975): 173–201.

Mustafa, M. Yahya, A. W. Tangke, dan A. Nasyaruddin. Siri’dan Pesse’: Harga Diri Orang

Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi, 2003.

Pelras, Christian, dan Pelras. The Bugis. Blackwell Publishers Oxford, 1996.

Putnam, Robert. “Social capital: Measurement and consequences.” Canadian journal of

(16)

Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 142 Rahman, Norhayati Ab. “Sejarah hubungan masyarakat Melayu dan Bugis sebagai asas pembinaan naratif dalam novel sasterawan negara arena wati.” MANU: Jurnal

Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa (PPIB) 23 (2016).

Rijal, Syamsu. “Penggunaan nama diri masyarakat Bugis.” RETORIKA: Jurnal Bahasa,

Sastra, dan Pengajarannya 8, no. 2 (2012).

Rosmawati. “Tamadun Islam Sulaswesi Selatan dan Pengaruhnya di Kawasan

Nusantara.” Universitas Hasanuddin, 7 April 2014.

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9449.

Sagala, Irmawati. “Extension of Religious Ritual Functions in Development Process: Study of Mandi Safar in Air Hitam Ocean Indonesia.” IOP Conference Series: Earth

and Environmental Science 156, no. 1 (2018): 012009.

https://doi.org/10.1088/1755-1315/156/1/012009. Siti, Hamsiah. Diwawancara oleh Penulis, 30 Agustus 2018. Syarifuddin. Diwawancara oleh Penulis, 5 September 2018.

Wekke, Ismail Suardi. “Islam And Bugis On Migration In Nusantara: An Exploration Of Religious Encounters Of Papua,” 2015.

———. “Islam and Bugis on Migration in Nusantara : An Exploration of Religious Encounters of Papua,” t.t.

Yunus, Abd Rahim. “Nilai-Nilai Islam dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis).” RIHLAH 2, no. 01 (2015): 1–12.

Zainuddin, M. “Haji Dan Status Sosial: Studi Tentang Simbol Agama Di Kalangan Masyarakat Muslim.” El Harakah 15, no. 2 (2013): 169–184.

Referensi

Dokumen terkait

Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif,

Hasil analisis disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan pada ruas jalan dan jembatan Cenrana-Labotto terhadap peningkatan perekonomian

– Situasi di mana jumlah kasus yang bisa diteliti terlalu sedikit, misalnya karena biaya terlalu besar untuk menyelidiki banyak kasus (misalnya unit analisa kota, negara, atau

Tobat ( al-taubah ) terdapat dalam Q.S. Menurut para sufi dosa adalah pemisah antara seorang hamba dengan Tuhannya karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah

Bab ini menguraikan pembahasan dari permasalahan yang diangkat serta menyelaraskan berdasarkan kenyataan yang ada pada objek yang diteliti (yang terjadi) dan dalam

Pasar tradisional Langsa adalah satu- satunya yang berada di Langsa selain dari pasar- pasar pekan yang ada, pasar ini yang terletak dipusat kota memiliki peranan yang

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuladhar dan Dhakal (2011) di Nepal yang menyatakan bahwa kehamilan akan berjalan normal apabila ibu hamil

akad yang banyak megandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak dibenarkan melakukan transaksi wadi‟ah, baik sebagai orang yang menitipkan