• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI BUDAYA DALAM UPACARA ADAT MAPPOGAU HANUA DI KARAMPUANG, KABUPATEN SINJAI, PROVINSI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI BUDAYA DALAM UPACARA ADAT MAPPOGAU HANUA DI KARAMPUANG, KABUPATEN SINJAI, PROVINSI SULAWESI SELATAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

DI KARAMPUANG, KABUPATEN SINJAI,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

7+(&8/785$/9$/8(6,175$',7,21$/&(5(021<2)0$332*$8+$18$ ,1.$5$038$1*6,1-$,5(*(1&<6287+68/$:(6,3529,1&(

Abdul Asis

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: asisabdul72@gmail.com Handphone: 085255330085

Diterima: 6 Juli 2015; Direvisi: 14 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT

0DSSRJDX+DQXDLVRQHRIWKHWUDGLWLRQDOFHUHPRQ\KHOGHYHU\\HDUE\.DUDPSXDQJVRFLHW\7KLVFHUHPRQ\ ZDVFRQGXFWHGZKHQWKHKDUYHVWLQJWLPHLV¿QLVKHGDQGWKHSODQWLQJWLPHDUULYHV7KLVFHUHPRQ\ZDVKHOG on the mountain by parading a number of agricultural products and offerings to be presented to the God 0DQXUXQJQJH LQ.DUDPSXDQJ0DQXUXQJQJHLQ.DUDPSXDQJFRQVLGHUHGKLJKO\PHULWRULRXVEHFDXVHLWKDV LQKHULWHGIHUWLOHDJULFXOWXUDOODQG SDGG\¿HOGVIDUPVDQGIRUHVWV DVVRXUFHRIOLIHIRU.DUDPSXDQJVRFLHW\7KLV UHVHDUFKZDVa descriptive qualitative, that is directly observing the traditional ceremony of Mappogau Hanua LQ.DUDPSXDQJ7KHWHFKQLTXHRIFROOHFWLQJGDWDZDVGRQHE\PHDQVRISDUWLFLSDQWREVHUYDWLRQLQWHUYLHZV OLEUDU\DQGGRFXPHQWDWLRQ7KLVFHUHPRQ\DLPHGWRKRQRUWKHLUDQFHVWRUVWKURXJKZRUVKLSWRDOZD\VEHVDIHW\ DQGDEXQGDQWKDUYHVWV7KHUHVXOWRIWKLVUHVHDUFKVKRZHGWKDWWKHUHZHUHFXOWXUDOYDOXHVRQWKLVFHUHPRQ\WKDW DUHVWLOOPDLQWDLQHGE\WKHVXSSRUWHUVVRFLHW\XQWLOQRZVXFKDVREHGLHQWORFDONQRZOHGJHUHOLJLRXVVROLGDULW\ nature of conservation, and aesthetic values.

Keywords:WKHWUDGLWLRQDOFHUHPRQ\RI0DSSRJDX+DQXDFXOWXUDOYDOXHV0DQXUXQJQJHLQ.DUDPSXDQJ ABSTRAK

Mappogau Hanua merupakan salah satu upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat

Karampuang. Upacara ini dilaksanakan ketika musim panen berakhir dan menjelang musim tanam. Selain itu, upacara ini dilaksanakan di atas gunung dengan mengarak sejumlah hasil pertanian dan sesajen untuk dipersembahkan kepada Dewata (Manurungnge) di Karampuang. Manurungnge di Karampuang dianggap sangat berjasa karena telah mewariskan lahan pertanian (sawah, kebun, dan hutan) yang subur sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Karampuang. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif, yakni mengamati secara langsung pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua di Karampuang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipan, wawancara, pustaka, dan dokumentasi. Upacara ini bertujuan untuk menghormati leluhur melalui pemujaan agar senantiasa diberi keselamatan dan hasil panen yang berlimpah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam upacara tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya hingga kini, antara lain: nilai kepatuhan, pengetahuan lokal, religi, solidaritas, pelestarian alam, dan estetika.

Kata kunci: upacara adat Mappogau Hanua, nilai budaya, Manurungnge ri Karampuang. PENDAHULUAN

Upacara-upacara adat pada masyarakat pedesaan adalah bagian dari sistem budaya karena merupakan manifestasi dari konsepsi-konsepsi ideal yang berfungsi mengarahkan

masyarakat memaknai kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai acuan moral dan tindakan, serta digunakan untuk mempertahankan eksistensi komunitas. Sistem budaya merangkum seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan

(2)

Tomanurung di Karampuang biasa disebut 0DQXUXQJH UL .DUDPSXOXH. Kehadirannya di wilayah Karampuang dianggap orang suci atau “dewata”, karena dianggap sangat berjasa setelah mewariskan sejumlah lahan pertanian, persawahan, dan hutan yang cukup subur sebagai sumber kehidupan masyarakat di Karampauang. Mappogau Hanua merupakan upacara sakral karena di dalamnya terdapat berbagai jenis aktivitas dan sesaji maupun makanan yang mengandung nilai-nilai budaya berupa pesan-pesan leluhur bagi warga masyarakat Karampuang. Pesan-pesan tersebut dikemas dalam bentuk simbol-simbol atau lambang-lambang, baik dalam bentuk benda maupun aktivitas atau tindakan. Oleh karena itu, makna simbol-simbol atau lambang-lambang tersebut perlu diungkapkan agar lebih dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya.

Upacara adat Mappogau Hanua ini memiliki ketertarikan tersendiri. Di mana di dalam pelaksanaannya, tidak mengenal batas usia maupun golongan untuk menjadi bagian dari peserta upacara. Pendukungnya yang sebagian besar masih percaya dan meyakini akan manfaat dari pelaksanaan upacara adat ini. Walaupun pengaruh arus globalisasi sudah tidak dapat dibendung, namun upacara adat Mappogau Hanua masih tetap dipertahankan sejak dahulu. Selain itu, di dalam pelaksanaannya mengandung unsur-unsur religi atau kepercayaan yang mendasari masyarakat adat Karampuang untuk tetap bertahan dalam memelihara tradisi ini. Unsur-unsur religi atau kepercayaan tersebut terkait berupa nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, mahluk-mahluk halus yang masih diyakini keberadaannya.

Penelitian ini akan mengungkap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam upacara adat Mappagau Hanua pada masyarakat Karampuang. Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya penyelamatan aset budaya bangsa, sekaligus memberikan dorongan dan masukan bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat Karampuang, agar lebih mengenal, memahami, dan menghargai warisan nenek moyangnya. Sekaitan dengan maksud tersebut, maka dalam masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum

yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses belajar yang kemudian diacu menata, menilai, dan menginterpretasi benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Melalatoa, 1997:5). Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak, tidak dapat difoto dan difilmkan, dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah dipelajari secara mendalam melalui wawancara intensif, pengamatan yang intensif atau membaca laporan penelusuran antropologis mengenai masyarakat bersangkutan (Koentjaraningrat, 2011:75). Dengan sistem nilai yang dimilikinya, sebuah komunitas membentuk prilaku dan harapan-harapan idealnya mengenai kehidupan (Al-Musanna, 2015).

Upacara tradisional merupakan bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya dan kelestarian hidupnya dimungkinkan oleh fungsinya bagi kehidupan masyarakat pendukungya. Penyelenggaraan upacara tradisional itu sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal ini disebabkan salah satu fungsi dari upacara tradisional adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku. Norma-norma dan nilai-nilai itu secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk upacara yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pendukungnya. Sehingga dengan upacara itu dapat membangkitkan rasa aman bagi setiap warga masyarakat di lingkungannya. Selain itu, dapat pula dijadikan pegangan bagi mereka dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya sehari-hari (Supanto, dkk, 1992:221-222).

Masyarakat di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun melaksanakan upacara adat Mappogau Hanua “Pesta Kampung”. Upacara adat ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upacara adat ini dilakukan setelah selesai masa panen (padi dan jagung) dan menyambut kembali musim tanam. Maksud dari pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua ini dilatarbelakangi dengan kemunculun Tomanurung di puncak bukit Karampuang.

(3)

berikut. (1) Bagaimana prosesi pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua di Karampuang? (2) Nilai budaya apa yang terkandung dalam upacara adat Mappogau Hanua di Karampuang? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua di Karampuang dan nilai budaya yang terkandung dalam upacara adat Mappogau Hanua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang menyangkut upacara-upacara tradisional, karena selama ini penelitian tentang upacara-upacara tradisional kurang mendapat perhatian bagi para peneliti dan pemerhati budaya jika dibandingkan dengan penelitian dalam bidang teknologi. Padahal, upacara-upacara tradisional sebagai warisan budaya suatu bangsa sangat penting untuk ditangani secara serius. Selain itu, hasil penelitian ini hendaknya dapat memacu atau mendorong para peneliti lain untuk melakukan penelitian upacara tentang tradisional yang masih banyak tersebar di pedesaan dan hasilnya dapat dijadikan pembentukan karakter bangsa yang bersumber dari warisan tradisi.

Pada dasarnya manusia selalu ingin memenuhi segala kebutuhan hidupnya, yakni kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Kebutuhan material adalah kebutuhan manusia akan sandang, pangan, dan papan (yakni kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya). Dengan kebutuhan tersebut manusia akan selalu berusaha semaksimal kemampuan pikirnya. Akan tetapi usaha manusia itu kadang tidak selalu lancar. Hal ini dikarenakan keterbatasan akan kemampuan akal dan pengetahuan yang mereka miliki. Namun, biasanya untuk mengimbangi keterbatasannya itu, ada kalanya manusia melakukan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Dengan kebutuhan spiritual tersebut manusia ingin mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Kuasa dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki atau diinginkan dengan melakukan berbagai upacara adat (Asis, 2010:1).

Upacara adat dipahami sebagai ekspresi keagamaan dalam wujud perilaku yang dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan hal-hal yang gaib. Dalam tataran implementasi atau

praktik ritual tersebut, tampil beragam berdasarkan kepercayaan masing-masing sekaligus merupakan karakteristik budaya komunitas tertentu. Salah satu perilaku keagamaan yang paling banyak mengekspresikan ciri-ciri agama komunitas adat adalah ritus-ritus dan tindakan-tindakan upacara. Bentuk dan fungsi ritual sangat beragam, dapat saja dilakukan untuk menunjukkan pemujaan terhadap Yang Maha Esa, untuk mengusir kekuatan jahat, atau untuk menandai suatu perubahan dalam status sosial budaya seseorang atau kelompok dalam melakukan komunikasi ritual.

Komunikasi ritual, biasanya dilakukan oleh komunitas yang sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, pertunangan, pernikahan, hingga upacara kematian (Mulyana, 2005:25). Ritual selalu diidentikkan dengan habit (kebiasaan) atau rutinitas.

M e n u r u t R o t h e n b u h l e r ( 1 9 9 8 : 2 8 ) mengungkapkan bahwa, ”ritual is the voluntary performance of appropriately patterned behavior to symbolically effect or participate in the serious life”. Sementara Couldry (2005:60) memahami ritual sebagai suatu habitual action (aksi turun-temurun), aksi formal dan juga mengandung nilai-nilai transcendental.

Untuk mengungkap nilai budaya dalam pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua, objek kajiannya yakni hasil penelitian lapangan dengan melakukan pengamatan, wawancara, studi pustaka dan informasi tambahan lainnya, seperti dari tanggapan masyarakat mengenai pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua, serta ulasan para informan dan pemerhati terhadap pendukung upacara adat. Semua informasi tentang pembicaraan mengenai upacara adat sangat diperlukan dalam rangka menunjang pembuktian analisis.

Nilai-nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang dianggap ideal, suatu paradigma yang menyatakan realitas sosial yang diinginkan dan dihormati. Nilai-nilai itu menjadi ilham bagi warga masyarakat dalam berperilaku. Karena nilai pada hakekatnya adalah kepercayaan

(4)

bahwa cara hidup yang diidealisasikan tersebut merupakan cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah sebuah kepercayaan, maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan arah yang diterima oleh masyarakat bersangkutan. Sebagai gambaran ideal, nilai itu merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. Dalam hal ini, nilai berfungsi sebagai tolok ukur atau norma (Gabriel,1991:143-444).

Sebagai gambaran ideal dari sebuah komunitas atau masyarakat, nilai budaya membentuk sebuah sistem. Oleh karena itu dikenal adanya sistem nilai budaya. Dalam sistem nilai budaya, terdapat lima hal pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2) masalah hakekat karya manusia, (3) masalah kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hubungan manusia dengan sesamaya (Koentjaraningrat, 1987:28).

Sebagai sebuah nilai yang dihayati, kebudayaan diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi. Proses pewarisan kebudayaan disebut sebagai proses enkulturasi. Proses enkulturasi berlangsung mulai dari kesatuan yang terkecil, yakni keluarga, kerabat, masyarakat, suku bangsa, hingga kesatuan yang lebih besar lagi. Proses enkulturasi ini berlangsung dari masa kanak-kanak hingga masa tua. Melalui proses enkulturasi ini, maka dalam benak sebagian besar anggota masyarakat akan memiliki pandangan, nilai yang sama tentang persoalan-persoalan yang dianggap baik dan dianggap buruk, mengenai apa yang harus dikerjakan dalam hidup bersama dan mengenai apa yang tidak harus dikerjakan.

METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan capaian data yang diharapkan mencakup sistem kognitif masyarakat pendukung kebudayaan Karampuang serta latar belakang pemikiran yang menjadi landasan mereka untuk tetap melaksanakan berbagai bentuk tradisi ritual upacara. Dalam sudut pandang naturalistik, topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi

asli (yang sebenarnya) dari subjek penelitian di mana kondisi ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan (treatment) secara ketat oleh peneliti. Metode-metode kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Steven J. Tylor, 1993:30).

Penelitian kualitatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian yang meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang sifatnya secara holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara deskriptif dari fenomena sosial disajikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa dan dengan metode yang sistematis. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Sementara itu, Sugiono (2007/2008:1) memandangnya sebagai penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), yakni suatu metode penelitian yang meneliti kondisi objek secara alami. Melihat jenis dan sifat penelitian yang alami dan fenomenal sebagai sebuah aktivitas yang sarat dengan simbol, nilai dan makna, maka pendekatan ini diarahkan pada individu dan kelompok secara kolektif (sebagai suatu sistem).

Teknik pengumpulan data menggunakan metode partisipan, wawancara dan pustaka. Analisis menggunakan interpretasi peneliti, dengan mengacu pula pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan masalah atau objek kajian dalam penelitian ini.

PEMBAHASAN

Gambaran Wilayah Penelitian

Karampuang adalah sebuah dusun dalam wilayah Pemerintahan Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Perjalanan menuju lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan jarak tempuh sejauh 255 km dari Kota Makassar. Dari Kota Kabupaten Sinjai melalui jalan beraspal yang agak sempit dan berliku-liku mengikuti lekukan lereng-lereng

(5)

pegunungan yang terjal hingga ke tepi kuno perkampungan Karampuang.

Kata Karampuang diturunkan dari gabungan dua buah kata yaitu ”karaeng” dan “puang”, Kedua kata tersebut masing-masing mengacu pada satu konsep yaitu ”raja”. Kata ”karaeng” setara dengan gelar bangsawan Kerajaan Gowa dan ”puang” merupakan gelar tertinggi bagi raja-raja Bugis.

Karampuang yang salah dusun dalam wilayah Desa Tompobulu adalah merupakan daerah pegunungan dengan hutan yang masih terjaga dan subur. Berbagai macam tumbuhan dan pepohonan yang menghiasi bukit dan lereng-lereng pegunungan hingga menciptakan suatu panorama yang indah, dari kejauhan tampak lekukan-lekukan pematang sawah mengukir dipermukaan tanah. Dengan kondisi alam yang masih terlihat asri dan udara sejuk, ke manapun mata memandang tampak kesuburan dan kehijauan alamnya yang masih tetap terjaga. Dengan luas wilayah hanya 32,03 km2, masyarakatnya telah memanfaatkan secara maksimal yang dikondisikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat setempat.

Jumlah penduduknya pada tahun 2013 yang berjumlah sebanyak 2503 jiwa. Terdiri atas 1264 jiwa penduduk laki-laki dan 1239 jiwa penduduk perempuan. Rumah tangga sebanyak 576 dan kepala keluarga sebanyak 690 jiwa. 7RSRJUD¿VZLOD\DKLQLWHUOHWDNGLDWDVSHUEXNLWDQ dan pegunungan dengan ketinggian berkisar 441 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan berkisar 212 mm dan suhu udara mencapai 230 Celcius. Menilik agama yang dianut oleh warga masyarakat Dusun Karampuang seluruhnya memeluk agama Islam. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak diwarnai kepercayaan dan praktik ritual adat (Sumber data: 3UR¿O'HVD7RPSREXOX 

Persiapan Pelaksanaan Upacara. a. Mabbahang ’Musyawarah’

Mabbahang adalah musyawarah adat dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat Karampuang. Inti dari Mabbahang ini adalah Mattanra Esso “menentukan hari” pelaksanaan upacara. Persiapan pelaksanaan upacara direncanakan setelah seluruh padi yang tumbuh

di kawasan Karampuang mulai dari sawah adat sampai sawah penduduk telah selesai dipanen. Setelah penentuan hari pelaksanaan upacara maka seluruh perangkat adat dan warga masyarakat membantu melakukan berbagai persiapan. Kaum ibu-ibu menyiapkan segala sesuatunya, termasuk harus mallampu ‘menumbuk’ beras ketan dan dijaga dengan baik sesuai norma adat yang berlaku. Sedangkan kaum laki-laki sibuk mencari kayu bakar.

b. Mappaota ‘permohonan izin dan restu kepada leluhur’

Mappaota merupakan sebuah ritual permohonan izin dan restu untuk melaksanakan upacara adat ini. Dalam proses pelaksanaannya, seluruh penghulu adat dibantu oleh masyarakat mengunjungi tempat-tempat suci dengan membawa lempeng-lempeng, sejenis bakul mini yang berisi bahan-bahan sirih dan gambir. Dibawa oleh Sanro dan didampingi dua orang gadis kecil yang masih belia dengan mengenakan pakaian adat khas Karampuang. Bakul-bakul yang dibawa tersebut tersebut diletakkan di atas Batu Barugae, Batu Ragae dan Batu Embae masing-masing berisi dua lempeng sebagai bahan persembahan atau permohonan izin kepada leluhurmya.

Inti dari pelaksanaan Mappaota ini adalah mengenang kembali leluhurnya yang telah berjasa telah memberinya lahan-lahan pertanian yang cukup subur untuk sumber kehidupan masyarakatnya. Jumlah keenam sirih dan gambir tersebut disimbolkan sebagai sebuah kematian, di mana seluruh masyarakat yang mengikuti ritual tersebut senantiasa mengingat bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dan yang abadi adalah di akhirat. Pandangan atau kepercayaan masyarakat adat Karampuang tentang ritual Mappaota, yakni menggambarkan enam macam proses penguburan dalam kematian yaitu Mallayang atau melayang, 'LJDWWXQJ atau digantung, 'LWXQX atau Dibakar, 'LEDODEXUX¶ atau ditumpuk kemudian ditimbun seadanya, 'LZDH atau dihanyutkan, Masseddi-seddi atau satu-satu. Keenam unsur inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar utama pelaksanaan ritual Mappogau Hanua.

(6)

c. 0DEEDMDEDMD atau Mappipaccing Hanua ‘bersih-bersih kampung’

0DEEDMDEDMDDWDXPDSSLSDFFLQJadalah merupakan kewajiban seluruh warga masyarakat Karampuang untuk membersihkan lingkungan di sekitarnya, seperti pekarangan rumah, menata rumah, membersihkan sekolah, pasar, jalanan, sumur dan yang lebih penting adalah tempat upacara. Membersihkan tempat-tempat umum termasuk tempat pelaksanaan upacara, bukan hanya warga setempat yang terlibat langsung dalam kegiatan ini, tetapi dari desa tetangga pun turut berpartisipasi.

d. Mappaenre ‘menyerahkan sumbangan’ Tiga hari menjelang puncak pelaksanaan upacara segenap warga masyarakat Karampuang yang hendak mappaenre (menyerahkan sumbangan) yang akan digunakan dalam upacara. Partisipasi dalam bentuk sumbangan berupa: ayam, beras, gula merah, gula pasir, kelapa, sayur-sayuran (kol, kentang, kacang ijo, ikan dan lain). Perlengkapan Upacara

Perlengkapan upacara adalah merupakan alat-alat yang digunakan dalam melakukan. Peralatan tersebut beraneka bentuknya, mulai dari tempat sesajen, isi sesajen, serta perlatan lainnya, seperti musik atau gendang yang mengiringi pembacaan-pembacaan mantra.

a) Alat perdupaan sebagai media utama untuk melakukan pemujaan kepada leluhurnya. b) Lempeng-lempeng (bakul-bakul mini),

digunakan sebagai tempat mengisi sirih dan ota (pinang), maknanya sebagai bentuk permohonon izin kepada 'HZDWD sebagai penguasa gunung dan air.

F  7HOOXZHVVHDVH (tiga ikat padi), ketiga ikatan padi mewakili jenis padi yang ditanam (putih, hitam dan merah) untuk dipersaksikan/diperhadapkan kepada leluhurnya.

d) Ayam dengan warna bulu khas, digunakan sebagai bahan persembahan kepada penguasa bumi dan penguasa air.

e) Maca-maca (alat pemanggang terbuat dari anyaman bambu), fungsinya digunakan

untuk membakar makanan-makanan yang terbuat dari beras ketan pada saat berlangsungnya upacara.

f) Busana Tradisional yang dikenakan oleh para tetuah adat.

g) Kue tradisional: beppa doko-doko yakni kue terbuat dari tepung beras hitam, gula merah dan kelapa parut dibungkus daun pisang dan kalole (makanan yang dibungkus dengan janur) dibuat hanya sekali dalam setahun. K 6RNNRSDWDQUXSD atau biasa disebut kaddo

minnyak, bahannya terbuat dari beras ketan dan dibuat dengan empat macam warna (putih, hitam, merah, dan kuning).

i) Lauk pauk, berupa masakan ayam untuk dihidangkan kepada tamu-tamu.

j) Kunyit basah dan kapur, digunakan untuk memberi didahi, kening kiri dan kanan. k) Daun-daunan, digunakan untuk ramuan

obat herbal untuk pengobatan kepada seluruh warganya.

l) Kayu bakar, digunakan untuk urusan dapur yakni dipakai dalam kegiatan masak memasak.

m) Sumur adat, tempat mengambil air untuk pencucian benda-benda pusaka.

n) Batu gong difungsikan sebagai wadah untuk penyampai berita secara lisan kepada seluruh masyarakat di sekitarnya, hanya dengan cara memukul batu gong tersebut, warga di sekitarnya sudah berdatangan. o) Makam 0DQXUXQJH UL .DUDPSXDQJ

sebagai tempat melakukan ritual pemujaan terhadap leluhurnya.

p) Pesse pelleng (lampu tradisional), sebagai alat penerang di rumah adat, juga difungsikan pada saat melakukan ritual PDVVXOREHSSDPDEEDOL sumange. Bahannya terbuat dari kemiri dan kapas/ kapuk, lalu ditumbuk bersama kapas/ kapuk kemudian dililitkan pada sepotong kayu atau belahan-belahan bambu yang berukuran kecil. Cara pembuatannya pun sangat sederhana dan praktis, dan bahannya mudah diperoleh di sekitar lingkungan kita. q) L e s u n g k a y u , d i g u n a k a n s e b a g a i

alat menumbuk padi hingga diproses menjadi beras, juga dibunyikan dengan

(7)

cara menumbuk mappadekko pada saat menyambut tamu-tamu terhormat.

Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Pelaksanaan Upacara

Pelaksanaan ritual Mappogau Hanua di Dusun Karampuang baik langsung maupun tidak langsung melibatkan beberapa pihak antara lain:

a) Kepala Desa Tompobulu sebagai pelindung pada pelaksanaan ritual Mappogau Hanua. b) Tamatoa (Arung), selaku penanggung

jawab, sekaligus pimpinan tertinggi, dan juga memiliki peran untuk mengontrol terciptanya keteraturan dan kedamaian dalam memilihara, serta menjaga wibawa adat Karampuang, sekaligus bertindak sebagai koordinator dalam pelaksanaan ritual Mappogau Hanua.

c) Gella, bertanggung jawab dalam urusan kemasyarakatan termasuk masalah pertanian.

d) 6DQUR, bertugas mengelola bahan-bahan persiapan pelaksanaan upacara, dan bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan warganya, serta memimpin dalam pembacaan doa-doa atau mantra dalam ritual upacara.

e) Guru, bertugas membaca doa-doa selamatan dengan cara-cara Islam, serta bertanggung jawab terhadap pendidikan agama Islam dan kesenian-kesenian tradisional budaya Karampuang.

f) Pa’bilang, selaku piranti adat yang ahli dalam menentukan hari hari baik dan buruk, maupun penentuan hari pelaksanaan ritual adat Mappogau Hanua.

g) Ana Malolo Arung dan Ana Malolo Arung, bertugas selaku SDSRMR (juru penerangan) yang diutus untuk menyampaikan kepada ke kerajaan lain atau khalayak.

h) Pinati, bertugas membantu segala persiapan ritual, termasuk perlengkapan sasajen yang akan dipersembahkan kepada arwah leluhur.

i) Warga masyarakat adat Karampuang khususnya dan masyarakat Sinjai umumnya sebagai pendukung kebudayaan ikut

berpartisipasi dalam pelaksanaan ritual, dengan membawa sumbangan yang akan digunakan dalam persiapan pelaksanaan ritual hingga acara selesai.

j) Peserta/pengunjung yang datang dengan tujuan khusus seperti, bernazar, minta rezeki, dan minta jodoh.

k) Para tamu undangan, Pejabat Pemerintah Kabupaten Tingkat II Sinjai (bupati, camat, desa), anggota DPR Sinjai, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sinjai, serta dinas-dinas yang terkait.

Jalannya Upacara

Hari pelaksanaan ritual adat Mappogau Hanua merupakan yang ditunggu-tunggu khalayak bahkan ribuan orang bersiap naik ke gunung menyaksikan jalannya ritual tersebut. a. Mappanre manu

Pertama, diawali pada pagi hari dengan ritual Mappanre manu (memberi makan ayam) yang akan disembelih. Sejumlah ayam-ayam yang terkumpul dari sumbangan warga siap untuk disembelih. Namun, sebelum disembelih terlebih dahulu dilakukan ritual Mappanre manu oleh Sanro di atas rumah adat.

Kaum bapak-bapak bertugas memegang ayam-ayam tersebut sambil duduk melingkar berhadapan langsung dengan 6DQURDihadapan Sanro tersedia perlengkapan ritual, berupa: pedupaan, pesse pelleng (lampu sulo) dan KDOODMDQJ (talang berkaki) yang berisi ota (gambir), daun sirih serta sebuah piring yang berisi minyak. Selanjutnya 6DQUR memulai ritualnya dengan mappanre manu ’memberi makan ayam’ sambil membacakan mantra. Pada bagian jengger dan sayapnya diolesi minyak, yang maknanya untuk disucikan atau dibersihkan dari pengaruh roh-roh jahat. Setelah ayam tersebut diberi makan kemudian turunkan dari rumah adat untuk disembelih. Demikian seterusnya sampai semua ayam-ayam tersebut yang jumlahnya ratusan ekor selesai diberi makan. Setiap kali Sanro melakukan ritual Mappanre manu iringan pukulan genrang 6DQUR terus diperdengarkan oleh kedua orang laki-laki yang ditugasi menabuh gendang secara terus menerus sampai usai ritual. Bunyi-bunyian

(8)

genrang yang diperdengarkan sebagai simbol mengusir roh-roh jahat dan memanggil roh-roh baik datang agar ritual dapat berjalan lancar.

Setelah semua ayam-ayam disembelih, kemudian diserahkan kepada ibu-ibu untuk diolah menjadi bahan masakan (lauk pauk). Masakan ini untuk dipersiapkan kepada tamu-tamu yang hadir pada acara tudang sipulung (makan secara adat). Selain itu, ada pula masakan ayam yang dibuat khusus sebagai bahan persembahan kepada leluhur mereka 0DQXUXQJQJHUL.DUDPSXOXH

Sembari kaum ibu-ibu sibuk didapur menyiapkan bahan makanan dan bahan sesajen, 6DQUR dibantu Pinati (panitia bertugas menyiapkan bahan sesajen) untuk ritual mattuli. Mattuli adalah ritual pemberian berkah dan menyambut kehadiran sang padi, dengan menyiapkan Tellu ZHVVHDVH (tiga ikat padi) yang mewakili 3 jenis warna padi (putih, merah, dan hitam). Ketiga jenis padi itu diletakkan di atas NDSSDUD PDNNLDMH (talang berkaki) dilengkapi dengan sirih dan ota ‘gambir’ serta bahan pedupaan untuk dipersaksikan kepada leluhurnya bahwa panen cucu-cucunya berhasil. Saat berlangsung acara mattuli iringan pukulan JHQUDQJ6DQUR dan gamaru (alat gesek dari bibir mangkok) turut diperdengarkan untuk menambah sakralnya sebuah ritual, juga pertanda upacara akan segera dimulai.

Selanjutnya, semua bahan-bahan sesajen dimasukkan ke dalam beberapa wadah atau tempat kemudian dibungkus dengan kain putih. selanjutnya diarak ke atas gunung sebagai untuk keperluan ritual persembahan kepada 0DQXUXQJQJH UL .DUDPSXOXH ”Manurung di Karampuang”.

b. Menre’ ri bulu ’naik ke gunung’

Menre’ ri bulu adalah acara naik gunung dan merupakan puncak ritual Mappogau Hanua dilaksanakan tiga hari setelah PDEEDMDEDMD, dan sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh warga/ pengunjung upacara. Acara Menre’ ri bulu ini diawali dengan proses yang sangat rumit karena pada malam sebelum pelaksanaan ritual tahap ini, seluruh peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan sudah harus siap termasuk makanan yang akan disantap oleh para tamu yang akan hadir, kemudian menjelang pagi hari, seluruh ayam

yang merupakan sumbangan warga dipotong, dibersihkan, dan dibakar (membersihkan bulu halus) yang kesemuanya dikerjakan oleh kaum pria. Setelah semuanya bersih maka kemudian diserahkan kepada kaum perempuan untuk kemudian diolah menjadi bahan makanan.

Setelah kehadiran para tamu dan rombongan dari pejabat pemerintahan maka musik mappadekko mulai dimainkan kaum ibu-ibu yakni menumbuk lesung dengan ritme dan bunyi yang teratur. Musik mappadekko terakhir diperdengarkan bilamana tamu-tamu tersebut naik ke rumah adat. Keempat pemangku adat (Arung, Gella, Sanro, dan Guru) yang terlebih dulu berada atas di rumah adat menunggu kehadiran para tamunya. Keempat para pemangku adat mengenakan pakaian adat kebesarannya.

Selanjutnya, acara tudang sipulung dan manre ada’ yakni duduk dan makan bersama-sama secara adat. Setelah semua tamu sudah makan, maka 6DQURlangsung berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuruni anak tangga dengan membawa tongkat besi dan diikuti dua orang gadis belia sebagai pengiringnya, kemudian disusul Arung dan Gella, Ana’ Malolo Arung dan Ana’ Malolo Gella. Kedua tokoh adat Sanro dan Gella, serta dua orang gadis pengiring masing-masing mengenakan kostum putih-putih.

Segenap tamu-tamu rombongan dari pejabat-pejabat pemerintahan (bupati, camat, desa) dan dinas-dinas yang terkait beserta jajarannya turut mengikutinya dari belakang. Demikian juga para peserta upacara ikut berbondong-bondong naik ke gunung Karampuang tempat ritual Mappogau Hanua dilangsungkan.

Dalam perjalanannya, 6DQUR dan Gella singgah sejenak memukul batu ’masyarakat kerap menyebut batu gong’ (batu yang bunyinya menyerupai suara gong), yang letaknya tidak jauh dari sumur tua. Memukul batu gong adalah simbol bahwa upacara naik ke gunung sudah dimulai, juga sebagai alat untuk menyampaikan berita lisan kepada warga yang ada di sekitarnya. Selain itu, juga memiliki makna sebagai permintaan izin agar si penghuni dunia atas (makrokosmos) tidak murka dan diterima dengan baik tanpa ada satu pun warganya yang terkena bala. Sanro dan Gella secara bergantian membunyikan masing-masing

(9)

sebanyak tujuh kali pukulan, dengan irama dan tempo yang berbeda. 6DQUR memukulnya dengan interval irama pukulan yang teratur, sedang Gella memukul dengan interval irama pukulan yang agak cepat.

Selesai memukul batu gong Sanro dan Gella berjalan naik ke gunung dan ikuti oleh rombongan termasuk orang bertugas mengarak bahan dan perlengkapan ritual naik ke puncak gunung. Bahan dan perlengkapan upacara langsung diletakkan di luar pagar batu embae (kuburan batu) atau dalam arkeologi disebut dengan susunan batu gelang (Muhannis, 2004).

Peserta upacara yang naik di atas gunung dapat diketahui jumlahnya dengan menggunakan biji jagung dan kotak sumbangan. Para peserta yang naik ke gunung pasti melewati jalan sempit yang kiri kanannya diapit batu besar dan hanya bisa dilalui satu-satu orang. Di dekat jalan sempit tersebut pabbilang ulu ’piranti’ berdiri sambil menghitung dengan memasukkan biji jagung kotak sumbangan sebagai pengganti uang. Bagi peserta yang memiliki uang lebih dapat mengisi kotak sumbangan (tarif tidak ditentukan) sesuai dengan keihlasan hati.

Setelah ketiga pemangku adat (Arung, Gella, dan Sanro) berada di atas gunung. Maka kain lallu pun langsung dipasang untuk pelindung dari panas matahari saat memimpin ritual. Lallu adalah kain putih berukuran dua meter panjang di pasang di sebelah timur pagar batu embae. Pada zaman dahulu lallu difungsikan sebagai tempat bernaung raja ketika bepergian ke suatu tempat

)RWR5LWXDO0HPXNXO%DWX*RQJ

(Musdalifah, 2001:39-39). Setelah lallu terpasang Sanro mulai menjalani ritual yang pertama yakni PDOODMDQJ (melayang), sambil menancapkan tongkat pas didepannya sambil komat-kamit membaca mantra. Dilengkapi bahan ritual berupa sesajen berupa sokko dan ayam yang diletakkan di dalam bakul-bakul. Serta alat perdupaan yang akan dipersembahan kepada arwah leluhurnya. Ritual 0DOODMDQJ sebagai simbol kematian yang dianggap melayang atau menghilang secara tiba-tiba.

Selanjutnya ketiga pemangku adat memasuki pagar batu embae, diikuti dua gadis yang masih belia memegang bakul-bakul mini yang berisi bahan persembahan. Sebelum dimulai mallohong yakni menutup kain putih di atas Makam 0DQXUXQJHUL.DUDPSXOXH, Gella dibantu seorang piranti menyiramkan air dipinggir makam dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu jalannya upacara. Sanro didampingi oleh Arung, sedangkan Gella bersama Ana’ Malolo Arung dan Ana’ Malolo Gella duduk secara teratur di dalam batu embae. Sementara Sanro secara khusyu’ mengirimkan doa persembahan kepada leluhurnya.

Di dalam pagar batu embae, Sanro kembali menancapkan tongkat. Tongkat yang ditancapkan sebagai simbol dari sebatang pohon yang berfungsi sebagai media yang dapat menghubungkan tempat di mana leluhur nenek moyang mereka bersemayam. Sanro didampingi oleh Arung tepat berada di sebelah kanannya dan Gella di sebelah kirinya sedangkan Ana’ Malolo Arung, Ana’ Malolo Gella, dan Pinati berdiri di bagian belakang. Sanro melanjutkan ritual kedua yakni digattung (digantung) sebagai bentuk persembahan kepada 0DQXUXQJHUL.DUDPSXOXH yang dianggap sebagai leluhur mereka. Dengan menyiapkan sesajen sokko patanrupa, manu dua takke (ayam yang dibelah dua), telur, beppa doko-doko dan kelapa muda, dan perdupaan yang berisi (sirih dan gambir), dupa, sebagai media penghubung. Setiap kali Sanro selesai membaca mantra-mantra, alat perdupaan yang sudah dibakar diarak mengelilingi pagar batu embae. Adapun bunyi mantra yang dibacakan oleh Sanro, artinya kurang lebih seperti ini:

(10)

UL .DUDPSXOXH untuk menziarahi makammu, semoga atas izinmu jualah kelak dipanjangkan umurnya, dimudahkan rezekinya, dan selalu diberi kesehatan oleh semua wargamu, agar tahun-tahun kedepannya mereka datang lagi (Wawancara: Sanro, Oktober 2013).

Selanjutnya kembali dilakukan ritual mallohong (meletakkan kain putih ‘kain kafan’ di atas batu altar) di atas makam Manurungnge ri .DUDPSXOXH. Orang-orang yang akan melakukan ritual Mallohong yang punya niat untuk melepas nazar dan kaul. Orang-orang tersebut secara bergantian memasuki pagar batu embae dengan membawa ternak berupa ayam atau kambing, juga kain putih sebagai bahan persembahan kepada leluhur. Di atas batu altar susun temu gelang atau biasa disebut batu embae inilah digantung selembar kain putih sebagai peringatan jalan kematian yang kedua yaitu digattung (digantung). Warga yang merasa hajat dan nazar serta doanya sudah terkabul, juga ikut melakukan ritual Mallohong dan mallippesseng (melepaskan ayam atau kambing), dan semua orang yang hadir di atas gunung berhak untuk menangkapnya.

Ritual Mallohong dipimpin secara bergantian Sanro dan Arung. Selanjutnya giliran Arung yang akan memimpinnya hingga acara selesai. Sementara Gella yang juga berada dalam pagar batu embae hanya sebagai pendamping. Selanjutnya Sanro keluar menuju ke tempat perapian untuk memimpin ritual ketiga yakni ditunu (dibakar) atau mattunu inanre. Ritual ini dilakukan dengan membakar bahan-bahan sesajen sebagai makna peringatan suatu jalan kematian. Bahan-bahan sesajen yang dibakar berupa sokko patanrupa, ayam dan beppa doko-doko, sirih dan gambir, dan lain-lain. Ritual ini menggunakan mediasi api, karena menurut mitos dan kepercayaan mereka, api adalah unsur yang sangat penting dalam pembentukan diri manusia dan alam semesta. Sesajen yang dbakar di atas maca-maca pemanggang yang terbuat anyaman bambu). Setelah Sanro usai melakukan ritual ditunu peserta langsung memperebutkan sesajen-sesajen yang masih berada di atas maca-maca ’pemanggang’. Sesajen yang ia perebutkan sebagian dia makan dan selebihnya dibawa pulang ke rumah untuk sanak keluarganya yang tidak

sempat hadir sebagai barakka (berkah). Selain itu, sesajen yang didapat dapat juga dijadikan obat pada anak-anak yang sering atikkenneng (kerasukan).

Setelah persembahan di atas gunung selesai dilakukan, selanjutnya pemangku adat akan berpindah tempat di batu barugae, untuk memimpin ritual pada tingkat keempat yang disebut dibalaburu yakni lokasi (penguburan dengan cara menumpuk mayat dan hanya ditimbun dengan tanah seadanya) yang dipimpin oleh Gella dan didampingi oleh Sanro.

Peringatan kematian pada tingkat kelima disebut GLZDH ”dihanyutkan/menenggelamkan ke dalam air”. Sanro berjalan menuju Sungai Lamole untuk menjalani ritual di dalam air untuk mengenang kematian tingkat kelima yang disebut GLDZH(menenggelamkan ke dalam air). Menenggelamkan mayat sebagai bentuk persembahan kepada penguasa air yang disebut cinna gaue. Acara persembahan di sungai termasuk acara yang tidak boleh diikuti atau diketahui oleh banyak orang termasuk bahan-bahan sesajen yang disiapkan karena merupakan ritual yang sifatnya sakral.

Terakhir adalah ritual Maseddi-seddi yakni penguburan dengan cara dikubur satu persatu (dikubur dengan cara Islam). Keenam tingkatan ritual kematian selalu diiringi tabahan genrang dedde pangngaru yang sangat atraktif dengan tempo cepat. Di batu barugae inilah merupakan tempat pelantikan pertama kali tokoh adat Karampuang, tepatnya pada sebuah punden berundak tiga berukuran kecil. Punden berundak tiga ini diungkapkan dengan makna

(11)

’ammula-mulang ri karampuang, addepareng UL EXOX ORKH DQFDMLQJ UL PDQJRSL’ (artinya: berawal di Karampuang, menetas di Gunung Lohe, dan lahir di Mangopi’), dan dikenal dengan sebutan ritual Marrahung yakni dengan mengelilingi menhir sebanyak tiga kali ke arah kanan bermakna mengelilingi ayah sebagai simbol api. Selanjutnya berputar tiga kali ke arah kiri sebagai simbol mengelilingi ibu atau tanah tempat kehidupan. Selanjutnya kembali ke arah kanan atau mengelilingi anak sebagai simbol air atau kedamaian. Asapnya yang mengepul adalah sebagai simbol angin. Di belakang parraung atau pembawa api ikut pula pangampo sebagai tepung tawar. Persembahan di batu barugae ini dipimpin oleh Gella sebagai bentuk persembahan kepada GHZDWDULWXOL atau dewa yang menjaga hutan.

Setelah keenam bentuk persembahan ritual yang berbeda-beda dilakukan oleh pemangku adat (Tomatoa/Arung, Gella, dan Sanro). maka mereka kembali berkumpul di rumah adat untuk melakukan upacara manre ade’ (makan secara adat). Selanjutnya giliran Guru yang akan memimpin doa selamatan dan syukuran yakni mabbaca doang di rumah adat Tomatoa/Arung. Doa yang dibacakan oleh Guru merupakan bentuk kesyukuran atas segala keberhasilan panen warganya dalam bidang pertanian, perkebunan, dan pemetikan hasil hutan. Setelah rangkaian ritual Menre’ ri Bulu selesai, maka seluruh warga Karampuang beristirahat selama dua hari. Selama mereka istirahat mereka menyiapkan kue-kue tradisional untuk diikutsertakan pada ritual Massulo beppa dua hari kemudian.

c. Massulo beppa ’menerangi Kue’

Massulo beppa ’menerangi kue’. Acara ini masih merupakan rangkaian dari ritual Moppogau Hanua. Ritual ini dilakukan dua hari setelah ritual di puncak gunung. Kepenatan warga pun mulai hilang dan masih dalam suasana bergembira karena telah berhasil melewati sebuah fase kehidupan, yakni selesai melakukan panen dan akan dimulainya lagi musim tanam tiba. Maka dilakukanlah acara Massulo beppa yakni menerangi kue semalam suntuk, sedangkan mabbali sumange yakni acara mengembalikan semangat seluruh warga untuk memulai kembali

beraktivitas seperti biasanya.

d0DEEHFFHGLEHFFH’proses pengukuhan’ Pada malam berlangsungnya Massulo eppa, maka menjelang subuh hari dilakukan ritual Mabbecce di lokasi sumur adat. Warga Karampuang mulai dari bayi sampai dewasa (tanpa batasan umur) berbondong-bondong dan antri secara teratur menuju sumur adat tempat prosesi PDEEHFFHGLEHFFH dilakukan. Ritual PDEEHFFHGLEHFFH dipimpin langsung oleh Sanro. Warga yang hadir diwajibkan membasuh muka dengan menggunakan air sumur adat. Sementara tiga orang gadis duduk di atas batu besar sambil memegang tempurung kelapa yang berisi ramuan kunyit basah yang telah dicampur dengan kapur, seraya sambil menunggu orang yang telah membasuh muka dengan air sumur. Selanjutnya orang tersebut diberi tanda di bagian dahi, kening kiri dan kanan dari gadis tersebut. Persepsi masyarakat Karampuang, bahwa dengan membasuh muka dengan air dari sumur adat dapat berfungsi sebagai pengenteng jodoh dan obat awet muda. Di samping itu ritual ini bertujuan mengobati dan mencegah terjangkitnya suatu penyakit pada seluruh warga.

e. Malling ‘berpantang’

Tahapan terakhir dalam ritual Mappogau Hanua disebut dengan malling (berpantang). dilakukan setelah acara bali sumange. Pantangan bagi warga Karampuang melakukan temmappaccera (pantangan melakukan pemotongan hewan ternak); WHPPDUDXQJNDMX (pantangan membuat sayur dari daun-daun); serta mapparumpu (pantangan melakukan ritual sendiri-sendiri). Acara malling ini berlangsung selama lima hari. Tiga hari di rumah adat Arung dan Gella dan dua hari di rumah penduduk. Setelah acara malling selesai, ritual ditutup dengan acara mabbahang (musyawarah adat) yakni mengevaluasi kembali hasil pelaksanaan upacara yang baru selesai dilaksanakan dan menyusun kembali rencana pelaksanaan untuk tahun berikutnya. (Wawancara: Gella, Oktober 2013).

(12)

Simbol-Simbol dalam Upacara Adat Mappogau

Hanua

Dalam kehidupan masyarakat adat Karampuang, simbol-simbol dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat berlangsungnya ritual Mappogau Hanua. Simbol yang ditemukan umumnya berupa benda-benda yang bagi masyarakat adat Karampuang sebagai suatu tindakan yang legal. Simbol-simbol tersebut dapat ditemui pada benda-benda yang dikultuskan dan dikeramatkan.

a. Batu gong, dipukul oleh Tomatoa/Arung dan Gella sebagai tanda atau simbol dimulainya ritual Mappogau Hanua di Karampuang.

b. Tongkat yang ditancapkan oleh Sanro saat menjalani ritual merupakan sebagai simbol dari sebatang pohon yang berfungsi sebagai alat mediasi yang dapat menghubungkan tempat di mana leluhur mereka bersemayan. c. Possi bola (pusat rumah) atau tiang utama

sebagai representatif dari sebatang pohon yang mampu menghubungkan dengan leluhur mereka.

G 6RNNR SDWDQUXSD (putih, hitam, merah, dan kuning). Empat jenis warna sokko patanrupa ini melambangkan (air, tanah, api, dan angin).

e. Belo-belo, jenis kain yang berwarna-warni yang dipasang pada saat berlangsungnya ritual, melambangkan beberapa suku dan etnis hadir dan berkumpul di tempat ritual. f. Manu lappung (ayam jantan) dan berkaki

hitam sebagai simbol pemimpin yang harus mengakar dalam hati rakyatnya.

g. Manu karame (ayam betina), simbol kesuburan. Induk ayam seperti ini diyakini pintar memelihara dan menjaga anak-anaknya dan bertelur lebih banyak.

h. Manu cella (ayam jantan, bulu merah) dan manu didi (betina, bulu kuning), sebagai simbol dapat mengayomi masyarakatnya, berani, tegar, anggun dan berwibawa dimata rakyatnya.

i. Manu bulu sirua dan Manu betti bole yaitu ayam yang memiliki warnya bulu yang bervariasi sebagai simbol jabatan

yang sedang diemban, dapat dijadikan alat penghubung dalam masyarakat agar senantiasa berlaku adil kepada semua warganya.

M 0DQXGXDWDNNHayam dibelah menjadi dua bagian. Maknanya satu bagian dipersembahkan untuk penguasa bumi dan satu bagian dipersembahan untuk penguasa air.

k. Ota (gambir), gambir yang berjumlah enam buah melambangkan tingkatan dalam kematian berjumlah enam.

Nilai-nilai Budaya dalam Ritual Mappogau

Hanua

Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai menjadi bernilai, misalnya nilai “jujur” adalah sifat atau tindakan yang jujur, Scheler (dalam Suseno, 2000:34). Nilai merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan kabajikan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi serta selalu dikejar oleh manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup (Wisadirana, 2004:31).

Menurut Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:69) nilai merupakan sesuatu abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara EHU¿NLUFDUDEHUVLNDSPDXSXQFDUDEHUWLQGDN dalam mencapai tujuan hidupnya. Oleh Scheler (dalam Frondizi, 2001:132) menegaskan bahwa nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada dasarnya “fana’ nilai yang lebih tinggi dari pada semua nilai yang lain sekaligus merupakan nilai yang abadi.

Nilai memiliki pengertian yang cukup OXDVGDQEHUYDULDVL$GDEHEHUDSDGH¿QLVLGDQ pandangan mengenai nilai. Nilai itu ‘objektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini EHUVLIDWSVLNLVDWDX¿VLV )URQGL]L 

(13)

a. Nilai Kepatuhan

Nilai kepatuhan adalah salah satu nilai yang cukup menonjol dalam ritual Mappogau Hanua. Nilai kepatuhan terlihat pada masyarakat Karampuang dan di sekitarnya dengan berbondong-bondong datang menghadiri ritual Mappogau Hanua terutama kaum ibu-ibu, remaja-remaja (muda-mudi) dan anak-anak. Keikutsertaannya dalam upacara ini maka secara tidak langsung dapat mewarisi berbagai norma-norma sosial yang masih bertahan hingga saat ini. Secara psikologis pengalaman di masa kecil biasanya akan meninggalkan kesan yang cukup kuat hingga anak-anak itu tumbuh menjadi dewasa. Sehubungan dengan itu, mereka mengamati dan menyimak secara seksama setiap kali dilaksanakan. Maka dengan sendirinya orang-orang yang datang menyaksikan akan mengetahui tentang berbagai sikap positif, norma-norma sosial serta nilai-nilai budaya luhur yang tumbuh sejak lama dan berkembang di dalam masyarakat di Karampuang. Seperti yang dituturkan oleh seseorang pengunjung bernama MA dan ROS (pasangan suami istri):

”Saya ini berasal kecamatan Sinjai Tengah, kami datang setiap tahun bersama keluarga untuk mengikuti acara Mappogau Hanua. Sehari sebelum pelaksanaan digelar saya sudah berada di Karampuang. Saya menginap di rumah adat dan membawa bahan persembahan berupa: seekor ayam putih untuk dilepas di Makam 0DQXUXQJQJHUL.DUDPSXOXH serta membawa kain putih yang panjangnya 2 meter. Ayam yang saya bawa ini akan saya dilepaskan di sekitar makam karena nazar saya sudah terkabul. Selain itu, juga bentuk ungkapan rasa syukur karena hasil panen saya berhasil dan terhindar dari hama penyakit. Saya meyakini bahwa ritual Mappogau Hanua sudah menjadi bagian hidup kami. Di sinilah kami bisa belajar bagaimana menghormati dan menghargai leluhur kami” (Wawancara, Oktober 2013). Upacara ritual ini dihadiri berbagai lapisan masyarakat tanpa ada pembedaan dari status sosial. Jadi, dengan sendirinya secara langsung dapat direkam dalam pikiran mereka kemudian ditransmisikan lagi kepada satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengalaman

individual masing-masing peserta upacara. b. Nilai Pengetahuan Lokal

Nilai pengetahuan lokal yang terkait dalam pelaksanaan ritual Mappogau Hanua ialah pengetahuan tentang waktu. Sampai saat ini masyarakat Karampuang masih tetap mempertahankan warisan budaya leluhur mereka mengenai konsepsi tentang waktu-waktu yang dianggap baik dan dianggap buruk untuk memulai suatu pekerjaan. Termasuk pada saat penentuan hari atau waktu pelaksanaan ”hari H” ritual Mappogau Hanua. Sebelum menentukan hari, mereka melakukan mabbahang (musyawarah adat) untuk menyatukan suatu pendapat dalam rangka menetapkan waktu yang dianggap baik. Biasanya waktu yang dianggap baik sebagai puncak pelaksanaan ritual Mappogau Hanua biasanya jatuh pada hari Senin atau hari Kamis.

Selain itu, pengetahuan dalam membuat alat penerangan walaupun sifatnya masih tradisional, masyarakat setempat menyebut pesse pelleng (lampu pelita). Pesse pelleng ini difungsikan sebagai lampu penerangan yang digunakan setiap malam di rumah adat Karampuang. Serta digunakan pula pada ritual Massulo beppa (menerangi kue-kue tradisional semalam suntuk) yang dilaksanakan di rumah adat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panennya. Menurut penuturan Puang Gella, bahwa sejak zaman dahulu, pesse pelleng digunakan sebagai alat penerangan di rumah adat Karampuang (Wawancara; Puang Gella, Oktober 2013). c. Nilai Solidaritas

Nilai sosial tampak dengan berbaurnya segenap lapisan masyarakat di atas puncak gunung pada saat upacara berlangsung. Seolah-olah mereka menjadikan sebagai ajang paling efektif untuk menumbuhkan rasa solidaritas, saling mengenal pribadi atau individu lainnya demi membangun nilai-nilai kemanusiaan yang humanis, saling menghargai dan menghormati. Sesama peserta upacara yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan dari luar provinsi bahkan dari negara tetangga yakni Malaysia.

Hal itu tecermin dari aktivitas mereka dalam mempersiapkan peralatan upacara dan

(14)

peralatan lainnya. Dengan senang hati dan penuh kesadaran mereka mempersiapkan peralatan agar upacara dapat berlangsung dengan baik. Tanpa kerja sama yang sehat, upacara Mappogau Hanua mustahil dapat terlaksana dengan lancar. Pelaksanaan upacara merupakan ajang silaturahmi untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan yang humanis; saling menghargai dan menghormati.

Upacara yang tergolong akbar dan sangat meriah tentunya membutuhkan waktu lama untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk tenaga dan biaya yang sangat besar. Tetapi bukan suatu alasan yang tepat jikalau upacara ini tertunda pelaksanaannya hanya karena biaya yang tidak ada. Karena seluruh warga bersatu dan saling bantu membantu dan bahu membahu dengan ikhlas tanpa paksaan dari pemimpin adatnya. Dengan kerelaan dan kesadaran bersama mereka turut memberikan sumbangan berupa beras, ayam, ikan dan bahan-bahan lainnya yang diperlukan demi terlaksananya event tahunan ini. Dalam ungkapan orang Karampuang, kesediaannya membantu dikatakan ”macca makki to matoa” artinya memahami beban 7RPDWRD$UXQJ sebagai penanggung jawab adat khususnya ritual upacara Mappogau Hanua.

Tomatoa/Arung mengatakan bahwa warga masyarakat adat Karampuang bilamana sudah ada penentuan hari pelaksanaan upacara, baik itu ibu-ibu maupun kaum Adam mulai berdatangan secara bergantian ke rumah adat untuk membantu dalam hal apa saja, baik urusan dapur untuk kaum ibu-ibu dan urusan mengambil kayu bakar untuk kaum Adam (Wawancara, Oktober 2013).

Tingginya rasa solidaritas masyarakat Karampuang terhadap pemimpin mereka yakni pada saat acara PDEEDMDEDMD dilakukan. Seluruh warga datang tempat upacara dan lingkungan sekitar. Sebaliknya khusus kaum ibu-ibu tiga hari menjelang acara berlangsung mulai berdatangan ke rumah adat tanpa dipanggil maupun dengan sengaja diundang. Mereka membantu melakukan pekerjaan dengan ikhlas. Karena membantu pekerjaan di rumah adat menjelang upacara seperti: menanak nasi, membuat menu masakan, membuat kue-kue, dan lain sebagainya maka

dianggap melakukan pekerjaan yang mulia. d. Nilai Religi

Ritual secara umum dipahami sebagai ekspresi keagamaan dalam wujud perilaku yang dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan hal-hal yang gaib. Dalam tataran implementasi atau praktik ritual tersebut, tampil beragam berdasarkan kepercayaan masing-masing sekaligus merupakan karakteristik budaya komunitas tertentu.

Sehubungan dengan upacara atau perayaan keagamaan, Haviland (1988:207) menjelaskan bahwa upacara merupakan sarana untuk menghubungkan antara manusia dengan hal-hal keramat yang diwujudkan dalam praktik (in action). Karena itu upacara bukan hanya sarana untuk memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting.

Pada saat berlangsung upacara di gunung, masyarakat pendukungnya menyakini betapa sakralnya pada saat upacara berlangsung. Dan hingga saat sekarang ini dianggap masih bersemayam roh 0DQXUXQJQJHUL.DUDPSXOXH di Gunung Karampuang sebagai suatu kawasan yang disakralkan, kawasan yang dianggap sebagai sebuah mikrokosmos yang wajib dijaga. Sakralitasnya tercermin pada kepatuhan warga masyarakat pendukungnya untuk tidak melanggar pantangan-pantangan upacara, serta keikhlasan piranti-piranti adatnya menyiapkan sokko patanrupa (songkolo empat macam warna) dan manu dua takke (ayam dibelah dua) yang sudah ditentukan jenis dan warna bulunya sebelum ayam tersebut disembelih masing-masing untuk persembahan kepada sang dewata.

Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan dalam kawasan adat Karampuang tidak dapat dipisahkan dari nilai religi. Segala bentuk benda yang digunakan ataupun bahan persembahan dalam upacara Mappogau Hanua tidak terlepas dari nilai filosofis atau simbol-simbol yang bermakna.

e. Nilai Pelestarian Alam

Bilamana kita mengamati kehidupan masyarakat Karampuang yang tinggal di dalam

(15)

kawasan adat. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka memahami bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan alam di sekitarnya. Lingkungan alam diperlakukan tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar dalam kawasan adat hingga saat ini masih terjaga kelestariaannya.

Nilai yang terkait dalam persiapan menyambut pelaksanaan ritual Mappogau Hanua, perwujudannya dapat kita amati di lingkungan sekitar tempat upacara. Setelah kepastian hari “H” pelaksanaan upacara, maka seluruh warga masyarakat mulai PDEEDMDEDMD(bersih-bersih lingkungan). Hal ini merupakan suatu kewajiban untuk membersihkan lingkungan di sekitarnya. Dimulai dari puncak gunung hingga pekarangan rumah adat. Begitu pula di rumah-rumah warga mereka menata dan merapikan perabot rumah masing-masing. Selanjutnya membersihkan tempat-tempat umum, sekolah, pasar, jalan, sumur adat, tugu Karampuang dan paling terpenting adalah lokasi dalam kawasan adat Karampuang yang akan dijadikan tempat pelaksanaan ritual Mappogau Hanua. Dahan dan ranting-ranting kayu yang menghalangi dan berserakan di jalan, daun-daun kering yang berjatuhan semuanya dibersihkan. Sehingga memasuki acara puncak ritual Mappogau Hanua, maka seluruh kawasan adat Karampuang telah dibersihkan dari kotoran-kotoran yang dapat mengganggu jalannya upacaranya.

f. Nilai Estetika

Tradisi masyarakat adat Karampuang dalam menyambut pelaksanaan ritual Mappogau Hanua disibukkan membersihkan pekarangan rumah dan lingkungan sekitar tempat upacara yakni di puncak Gunung Karampuang. Agar terlihat bersih dan indah dipandang mata dan tidak mengganggu jalannya upacara.

Kebiasaan-kebiasaan dan perilaku masyarakat adat Karampuang dalam menyambut tradisi tahunan ini, sangat terkait dengan nilai estetika dan keindahan. Hal ini perlu dipahami bahwa dewasa ini estetika atau seni tidak sepenuhnya dipahami sebagai hiburan. Estetika

dalam dimensi orang Karampuang dipahami memiliki nilai, sehingga dalam pelaksanaan upacara dilakukan dalam suasana yang sakral, dan dibutuhkan sebuah persiapan yang matang. Misalnya, membunyikan genrang Sanro menjelang pelaksanaan sampai ritual usai dilakukan. Memukul batu gong yang tidak dilakukan oleh sembarang orang dalam suasana yang profan. Segala yang terkait dengan bunyi-bunyian seperti pukulan batu gong dan bunyi genrang, serta bunyi lesung mappadekko hanya dapat dibunyikan oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk langsung oleh pemangku adat, dan dibunyikan pada saat tertentu sebagai bagian dalam proses ritual upacara-upacara yang sering dilakukan.

PENUTUP

Ritual Moppogau Hanua merupakan salah satu bentuk budaya lokal di Dusun Karampuang, Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan setiap tahunnya. Ritual ini dilaksanakan pada saat padi selesai di panen dan menjelang musim tanam, dengan mengarak sejumlah hasil pertanian (padi dan jagung) dan bahan-bahan sesajen hanya untuk dipersembahkan kepada 'HZDWD Masyarakat adat Karampuang menyebutnya Manurungnge ri .DUDPSXOXH”orang yang dianggap suci” karena ketika itu dianggap sangat berjasa karena telah mewariskan tanah pertanian (sawah, kebun dan hutan) yang subur kepada anak cucunya sebagai sumber kehidupan dan manfaat bagi masyarakat Karampuang.

Pelaksanaannya diawali dengan melakukan Mabbahang (musyawarah) untuk menentukan hari, Mappaota (permohonan izin pada penguasa gunung dan air), 0DEEDMDEDMD (membersikan tempat upacara dan lingkungan sekitar), Mappaenre (menaikkan sumbangan), Mappanre manu (memberi makan ayam sebelum dipotong), Menre ri Bulu (naik ke gunung untuk melakukan ritual), Massulo beppa (menerangi kue semalam suntuk), Mebbecce (proses pengukuhan), dan Malling (berpantang).

Ritual tahunan ini salah satu asset wisata budaya bangsa yang perlu dilestarikan

(16)

keberadaannya karena banyak mengandung nilai-nilai budaya yang luhur warisan nenek moyang, dan dapat diinternalisasikan kepada generasi muda agar mereka tidak lepas dari budayanya. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ritual Mappogau Hanua sebagai berikut; Nilai kepatuhan, nilai pengetahuan lokal, nilai solidaritas, nilai religi/ kepercayaan, nilai pelestarian alam, dan nilai estetika.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta.

Al-Musanna. 2015. Revitalisasi Sistem Nilai Budaya Gayo Untuk Mempersiapkan Generasi Muda Gayo Tangguh Berkarakter. (Online). http://lintasgayo.co/2015/06/14/ revitalisasi-sistem-nilai-budaya-gayo- untuk-mempersiapkan-generasi-muda-gayo-tangguh-berkarakter. Diakses pada tanggal 25 Juni 2015.

Asis, Abdul. 2010. ”Upacara Moppogau Hanua di Karampuang Sinjai”. (Tesis). Makassar: Program Pascasajarna UNM.

Bogdan, Ribert dan Steven J. Tylor. 1993. .XDOLWDWLI 'DVDU'DVDU3HQHOLWLDQ. Surabaya: Usaha Nasional.

C o u l d r y, N i c k . 2 0 0 5 . M e d i a R i t u a l s ; %H\RQG )XQFWLRQDOLVP dalam Media Anthropology. Editor: Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Frondizi, Risieri. 2001. )LOVDIDW1LODL Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gabriel, Ralph H. 1991. Nilai-nilai Amerika Pelestarian dan Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Haviland, A. William. 1988. Antropologi (terjemahan) oleh R.G.Soekadijo. Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat, 2011. .HEXGD\DDQ0HQWDOLWHW dan Pembangunan. (Cetakan kesembilan belas). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Pokok $QWURSRORJL6RVLDO Jakarta: Dian Rakyat. Muhannis. 2004. “Upacara Adat Moppogau

Hanua Tradisi Megalitik dalam Kawasan Adat Karampuang Kabupaten Sinjai”. (Makalah). Disajikan dalam Rangka Dialog Budaya Sulawesi Selatan yang dilaksanakan oleh Balai Kajian Jarahnitra Makassar bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Fisip UNHAS pada tanggal 16 Juni 2004 di Gedung PKP UNHAS Makassar.

Mulyana, Deddy, 2005. ,OPX.RPXQLNDVL6XDWX Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Musdalifah. 2001. “Tradisi Mangngade Di Rumah

Adat Karampuang serta Pengaruhnya Terhadap Aqidah Masyarakat Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai”. (Skripsi). Makassar: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Usuluddin IAIN Alauddin Makassar.

Melalatoa, M. Yunus (ed). 1997 . “Muatan Kebudayaan Daerah’ di Indonesia”, dalam 6LVWHP%XGD\D,QGRQHVLD Jakarta: Pamator. R o t h e n b u h l e r, E r i c W. 1 9 9 8 . R i t u a l

&RPPXQLFDWLRQ )URP (YHU\GD\ Conversation to Mediated Ceremony. Thousand Oaks. SAGE Publications. Sugiono. 2007. 0HPDKDPL3HQHOLWLDQ.XDOLWDWLI.

Bandung: Alfabeta.

Supanto, dkk. 1992. 8SDFDUD7UDGLVLRQDO6HNDWHQ 'DHUDK,VWLPHZD<RJ\DNDUWD Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Suseno, Franz Magnis. 2000. .XDVDGDQ0RUDO Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wisadirana, Darsono. 2004. 6RVLRORJL3HGHVDDQ .DMLDQ.XOWXUDOGDQ6WUXNWXUDO0DV\DUDNDW Pedesaan. Malang UMM Press.

Referensi

Dokumen terkait