• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penistaan Agama pada Masyarakat Plural Ditinjau dari Tafsir Maqasyidi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penistaan Agama pada Masyarakat Plural Ditinjau dari Tafsir Maqasyidi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DITINJAU DARI TAFSIR

MAQASYIDI

Abdullah

Baitul Hikmah Boarding School, Krapyak Yogyakarta Email: dullah.zubaidi@gmail.com

Abstract

This paper reexaminesin what way are most people vulnerable in confronting plural society. Ina multi-cultural society, where in all religions are afforded equal rights and religious exclusivism is on the rise, this paper attempts to show how religious plurality is maintained. One of the prominent issues observed in the context of plural society is blasphemy. In addition to maintaining religious harmony in a plural setting, the law on blasphemy is also aimed to safeguard people from various religious issues that debases other religions.

In Indonesia, blasphemy occurs due tothe following: firstly, there is widespread understanding that religion is still monolithic with much influence from religious exclusivism; secondly, the law on blasphemy is still unfamiliar among the community. In order to resolve this issue, this paper will take the blasphemy law apart and examine the effects it has among the plural community. By using the paradigm of Maqashid Syari’ah, this paper will argue that the law on blasphemy should be intensively and massively introduced to the community. Additionally, this paper emphasizes religious plurality, which could also a medium for communicating issues of religious blasphemy.

Keyword: Plural community,Pluralism,Blasphemy, Maqashid Syariah.

I. Pendahuluan

Ada banyak sekali kasus penistaan agama yang melibatkan peran oknum atau kelompok tertentu di dalamnya.Penistaan agama yang sekarang ini marak terjadi merupakan satu kasus dimana rentetan peristiwa yang lainya juga mengikuti.Penistaan agama yang dimaksud di sini bukan hanya pada bagaimana seorang dari pihak tertentu menistakan agama tertentu, melainkan juga bagaimana mereka memandang rendah satu simbol keagaam tertentu.

(2)

Dari sini, para sarjana muslim telah banyak membahas kasus penistaan agama dengan pandangan yang lebih luas, seperti mengolok-olok nabi, mengolok-olok simbol agama dan lain sebagainya. Namun dari konsepsi ini, masih terjadi jarak antara rumusan ideal dengan pelaksanaanya.Di lapangan, rentetan kasus tentang penistaan agama yang meroket menimbulkan satu pertanyaan serius.Apa yang terjadi dengan masyarakat beragama sehingga kasus akan penistaan agama menjadi mengejala.

Dari rentetan ini, maka penulis perlu untuk mengungkap pendapat para pakar tentang kasus penistaan agama sehingga pendapat mereka dapat kita jadikan pedoman dalam menghadapi kasus seperti ini. Di sini, saya melihat masyarakat Indonesia yang notabenya sebagai masyarakat yang majemuk dan pluralis, maka umat Islam dalam berdakwah haruslah memperhatikan kode etik tertentu sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan pertengkaran tetapi menciptakan perdamaian dan ketentraman suatu bangsa serta ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. II. Metode Penelitian

Dalam penyususnan sebuah karya ilmiah tentu tidak akan terlepas dari peng-guna an metode, sebab metode merupakan cara bertindak agar kegiatan penelitian dapat terlaksana dengan baik, terarah dan dapat mencapai hasil yang optimal. (Baker, 1992: 10). Metode penelitian ini berfungsi sebagai rumusan dan cara yang sistematis untuk menemukan, mengembangkan bahkan menguji obyek kajian agar suatu karya tersebut dapat mencapai apa yang diharapkan secara tepat dan terarah dengan menggunakan metode ilmiah. (Hadi, 2004: 3). Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dapat dikategorikan dalam jenis penelitian library reseach (jenis ke-pustakaan), mengumpulkan data sekaligus meneliti referensi-referensi yang ber-kaitan dengan tema yang diangkat.

2. Sumber Data

Mengenai sumber data dalam penelitian ini, penulis mengelompokkan menjadi (dua) jenis, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer yaitu informasi yang langsung mempunyai wewenang dan tang-gung jawab terhadap pengumpulan dan penyimpanan data, sumber se macam ini disebut juga data atau informasi dari tangan ke tangan. (Ali, 1993: 42). b. Sumber Data Skunder

(3)

Sumber data sekunder, yaitu berupa bahan-bahan bacaan yang ditulis para ahli dan hasil-hasil penelitian lainnya yang berhubungan erat dengan sumber primer.Sumber sekunder merupakan sumber informasi yang secara tidak langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap penelitian. Penulis dalam hal ini menggunakan tafsir-tafsir, buku dan tulisan-tulisan be

be-rapa pemikir yang berhubungan dengan kajian yang berkaitan dengan penis-taan agama dan masyarakat plural.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Selain pengumpulan data dalam penulisanini, penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, jurnal, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.(Arikunto, 1998: 231).Cara dokumentasi digunakan untuk metode penelitian ini, yaitu untuk mencari data tentang“Penistaan Agama Pada Masyarakat PluralDitinjau dari Tafsir Maqasyidi”.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, penulisan dilanjutkan dengan mengolah data-data yang di dapat agar dapat dipahami dengan jelas. Analisis data yaitu suatu proses data yang ada, kemudian disusun dalam bentuk satuan yang diklarifikasikan dalam kategori-kategori tertentu agar data tersebut dapat ditafsirkan.(Hadi, 1993, jilid 1: 193). Adapun metode yang digunakan dalam pengelolaan data ini adalah:

a. Metode Deskriptif, yaitu memaparkan data yang ada kaitannya dengan permasalahan sesuai dengan keterangan yang didapat. (Surachmad, 1975: 131). b. Metode Analitis, yaitu memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam pe-naf sir an ayat-ayat tersebut dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan data yang diperoleh. (Baidan, 1998: 31).

III. Hasil dan Pembahasan A. Pluralisme Umat Manusia

Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) bahwa umat manusia penghuni alam jagad alam raya ini terdiri atas berbagai etnis, ras, warna kulit, bahasa, adat istiadat dan

(4)

bahkan agama. Tidak seorang pun, termasuk negara dengan segala kekuatannya akan mampu mengubahnya. Keberagaman umat manusia sudah menjadi keniscayaan yang tidak mungkin dihapuskan.(Sudarno, 1999: 1).Oleh karena itu istilah pluralisme secara singkat didefinisikan dengan keadaan masyarakat yang majemuk (berkenaan dengan sistem sosial dan politiknya).(Pandia, t.th.: 4). Dalam The Oxford English Dictionary dapat diapahami sebagai berikut:

Pertama, Suatu teori yang menentang kekuasaan monolitis, dan sebaliknya mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat.Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik.

Kedua, keberadaan atau toleransi keagamaan etnis atau kelompok-kelompok cultural dalam masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.”

Jaqobus Agus mengemukaan bahwa pluralisme adalah pemahaman akan ke-satuan dan perbedaan. Yaitu kesadaran akan suatu ikatan keke-satuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris. (Pandia, t.th.: 4). Moh. Shofan mendefinisikan pluralisme sebagai upaya untuk membangun bukan hanya pada kesadaran normatif teologis saja, tetapi juga kesadaran sosial di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis dan berbagai keragaman sosial lainnya. (Shofan,2008: 87).Sedangkan menurut Syamsul Ma’arif, Pluralisme adalah suatu sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi terciptanya kerukunan antar umat beragama.Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.(Ma’arif, 2005: 17).

Sosiolog besar abad pertengahan Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukaddimah

telah menjelaskan secara luas sebab-sebab mengapa manusia terdiri atas berbagai suku, etnis, bahasa dan warna kulit.Faktor geografis dipandangnya sebagai penyebab dominan terciptanya manusia dalam keberagaman.Ibnu Khaldun membagi dunia menjadi tujuh zona (wilayah).Zona selatan yang beriklim panas dengan tanahnya yang kurang subur atau bahkan tandus seperti di wilayah Afrika, sebagian Asia dan Amerika Latin membuat para penghuninya berkulit hitam.Sebaliknya wilayah utara seperti Eropa dan Amerika yang menganal iklim dingin membuat manusia penghuninya berkulit putih.Lima zona lainnya berada di antara kedua wilayah itu.(Sudarno, 1999: 2)

Wilayah Timur Tengah termasuk zona yang beriklim tidak begitu ganas seperti zona utara dan selatan sehingga penghuninya berkulit sedang (warna) dan daerahnya subur. Itulah sebabnya bangsa-bangsa yang hidup di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya telah mencapai tingkat kebudayaan yang sangat tinggi saat bangsa lain di

(5)

luar wilayah itu masih terbelakang. Bahkan semua agama besar, baik yang samawi

(langit, wahyu) maupun non samawi (bukan berdasar wahyu), mulailah tumbuh di wilayah itu.

Tetapi keberagaman umat manusia sesungguhnya bukan hanya akibat faktor geografis dan klimatologis sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun. Lebih dari itu, Allah sebagai sang pencipta memang menghendaki tidak membuat umat manusia dalam keseragaman, melainkan dalam keberagaman. Meskipun bukan hal yang sulit baginya untuk mencipkan manusia dalam satu warna dan satu corak.(Sudarno, 1999: 2-3). Dengan kekuasaaannya, Allah akan selalu mampu menciptakan apa yang dikehendakinya, sebagaimana penjelasan ayat berikut:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka…”(Q.S. Al-Hud [11]: 118-119)

B. Pluralisme Agama

Interaksi umat Islam dengan penganut agama lain telah terjadi sejak awal sejarah kemunculan Islam. Nabi dan para sahabat juga telah hidup berdampingan dengan ber bagai komunitas agama lain. Bahkan ketika beliau mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pemimpin politik di Madinah, kota ini juga telah dihuni oleh berbagai komunitas agama seperti Yahudi, Islam dan bangsa Arab yang belum masuk Islam. Tidak hanya itu, setiap komunitas itu juga terbagai menjadi banyak suku.Misalnya komunitas Yahudi itu dikatakan memiliki lebih dari 20 suku, di antara yang terkenal adalah Bani Quraidzah, Nadir dan Qainuqa’.Sementara bangsa Arab yang mendiami Madinah juga terbagi dalam banyak suku, di antaranya Aus dan Khazraj.Untuk menyatukan suku-suku Arab inilah Nabi Muhammad berusaha mempersaudarakan mereka dengan menggunakan sebutan Anshar dan Muhajirin, tanpa melihat asal suku masing-masing. (Biyanto, 2009: 61).

Sebagai pemimpin politik, Nabi Muhammad dihadapkan pada situasi masya rakat yang sangat plural.Karena itulah Nabi SAW dan komunitas agama non-Islam di Madinah kemudian membuat sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Piagam Madinah. Secara ringkas Piagam Madinah ini berisikan komitmen untuk meng hargai kebebasan beragama, tanggung jawab bersama, saling membantu dan me nolong, kewajiban untuk mempertahankan Madinah jika ada serangan dari luar dan penga kuan bahwa Muhammad merupakan pemimpin penduduk Madinah. Kepada Muhammad, semua perkara dan perselisihan akan diselesaikan. Karena itulah posisi Muhammad dalam Perjanjian Madinah ini disebut sebagai hakim bagi komunitas Madinah.

(6)

Di dalam Piagam Madinah juga tampak jelas komitmen untuk menjadikan komunitas di Madinah sebagai satu umat. Untuk mempertegas komitmen pada nilai-nilai keumuman tersebut, di dalam piagam Madinah dikemukakan:

نم يملسلماو ينمؤلما يب ملسو هيلع للها يلص بينلا دممح نم باتك اذه ميحرلا نحمرلا للها مسب

سانلا نود نم ةدحاو ةما منها مهعم دهاجو مبه قحلف مهعبت نمو برثيو شيرق

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi SAW dikalangan mukminin dan muslimin yang berasal dari Quraisy dan Yasrib dan orang yang bersama mereka yang menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Seseungguhnhya mereka adalah satu umat, lain dari komunitas manusia yang lain. (Biyanto, 2009: 62). Berdasarkan jalur historis yang penulis kemukan di atas, ada beberapa pakar yang mencoba untuk mendefinisikan dan memetakan pluralisme agama sebagai berikut:

David Breslaur menyebut pluralisme agama sebagai suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda. Walter dan Douglas menyebutkan: “The recognition of the righ of various religious group e.g. Jews, Muslim and Christians to be allowed to fuction lawfully in a society” (sebuah pengakuan kebenaran dari berbagai macam kelompok agama seperti Yahudi, Islam dan Kristen untuk mematuhi fungsi aturan dalam masyarakat). (Pandia, t.th.: 5). Oleh karena Newbigin memberikan pendapatnya yaitu:

“Perbedaan-perbedaan antara agama adalah bukan pada masalah kebenaran dan ketidtakbenaran, tetapi tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran, ini berarti bahwa berbicara tentang kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah adalah tidak diperkenankan.Kepercayaan keagamaan adalah masalah pribadi, setiap orang berhak untuk mempercayai iman masing-masing.Inilah pluralisme keagamaan.”

Dari definisi di atas tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan, tetapi menerimanya, bahkan menolak konsep yang membedakan khususnya eksklusivisme yang dapat mengganggu kesatuan yang mereka inginkan bahkan melampai taraf inklusif.Pluralisme mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua bentuk keagamaan dan meninggalkan klaim-klaim masa lalu tentang agama “yang satu-satunya atau yang tertinggi.” (Pandia, t.th.: 5).

Penulis melihat bahwa pluralisme yang digambarkan di atas sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter, Douglas dan Newbigin dengan menganggap semua agama adalah benar itu bertentangan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Alwi

(7)

Shihab.Dia menjelaskan konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme, paham relativisme menganggap semua agama adalah benar.Pluralisme agama juga bukan sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertetentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. (Shihab, 1999: 41-42).

Dalam hal ini penulis lebih setuju dengan Alwi Shihab yang membedakan plu-ral isme dengan relativisme, bagaimanapun seseorang harus objektif dan jenius dalam menyikapi keberagaman agama jangan sampai ingin menuju suatu tujuan mulia tetapi akhirnya salah jalan, dengan kata lain jika kita ingin menciptakan kerukunan ber agama, persatuan dan kesatuan dalam suatu bangsa atau negara (tujuan), jangan sampai kita mengorbankan akidah dengan menganut paham relativisme dan sinkretisme.

Kita sebagai bangsa Indonesia tetap harus menjaga kerukunun, toleransi dan persatuan tapi jangan sampai dalam rangka bertoleransi ini kita keblabasen

(keter laluan) sehingga terjebak dengan yang namanya pendangkalan akidah.Ini sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah ketika menyikapi adanya kemajemukan umat beragama, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun [109]: 6) dengan tanpa mengurangi tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain dan tanpa mengesampingkan perdamaian suatu bangsa.

C. Penistaan Agama

Berdasarkan uraian pluralisme di atas, kita bisa mengetahui pentingnya menjaga persatuan dan keutuhan suatu bangsa dengan menghindari perbuatan atau prilaku yang bisa menimbulkan konflik antara ras, suku dan terlebih agama.Tetapi jika seseorang atau kelompok tertentu melakukan penistaan agama, tentulah ada undang-undang yang menjeratnya dengan tujuan untuk membuat jera si pelaku dan tidak mengulanginya, yakni UU No. 1/PNPS/tahun 1965 berbunyi:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di depan umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan kegamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Pengetahuan Pemuka Agama tentang Isi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ Tahun 1965 adalah sebagaimana berikut:

Ayat Dimayati mengatakan bahwa kriteria dari penistaan atau penodaan agama adalah penyimpangan dari ajaran agama yang berhubungan dengan keyakinan.Jadi menurutnya penodaan agama adalah ajaran yang berhubungan dengan keyakinan,

(8)

atau memberikan pengertian-pengertian tentang konsep-konsep yang tidak umum dipakai oleh para ulama yang sudah teruji dan itu sudah menjadi acuan kebenaran akidah, Contohnya memperolok-olok ajaran Islam seperti mempermainkan Nabinya orang Islam.(Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014: 41-42)

Wahyu Wibisono mengatakan bahwa konsep penodaan agama yang tertera itu, perlu ada tambahan kata-kata yang berhubungan dengan masalah akidah. Rafani Ahyar maupun Ayat Dimyati mengatakan bahwa mereka belum bisa mendefinisikan dengan baik tentang konsep penodaan agama, tetapi yang terpenting adalah penyimpangan terhadap ajaran agama yang sudah menjadi kesepakatan umum dari suatu agama, contohnya penyimpangan terhadap rukun iman dan rukun Islam.

Rosihan Anwar mengatakan, “Yang dimaksud dengan penodaan agama adalah penyimpangan terhadap ajaran agama yang berkaitan dengan rukun Islam, iman dan ihsan.” Hafidz Usman menyatakan bahwa yang dimaksud penodaan agama bukan berarti penghinaan terhadap orang yang bergama, tetapi penyimpangan terhadap pengertian agama yang benar. (Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014: 42).

Abdul Razak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penistaan atau penodaan agama adalah semua kata-kata atau perbuatan yang dilakukan seseorang yang tidak diinginkan oleh mayoritas penganutnya.Contohnya masalah syahadat. Yang disepakati umat Islam bacaannya, “Asyhadu alla Ilaha il lallah waasyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”Tetapi di Sulawesi Tengah kecamatan Liang Kabupatan Banggai, ada aliran Ali Taitang bacaan syahadatnya, “Asyhadu alla Ilaha il lallah waasyhadu anna Aliyan...” (Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014: 42-43)

1. Masalah Pengertian di Muka Umum

Pendapat para pemuka agama tentang pengertian di “muka umum”, seperti yang dimaksud dalam UU No. 1/PNPS/tahun 1965 adalah sebagai berikut:

Menurut Wahyu Wibisono, pengertian di muka umum adalah: a) dihadapan orang banyak (dihadapan publik), b) membuka pamlet, c) di internet, d) di pengajian-pengajian dan e) di media masa.

Hafidz Usman mengatakan bahwa yang dikatakan di muka umum adalah dihadapan khalayak yang berbeda keyakinan. Abdul Rozak mengatakan bahwa pe-ngertian di muka umum adalah dihadapan orang banyak seperti: di pengajian-pengaji-an, di internet dan media masa. (Tim Puslitbang Kehidupan Keagamapengajian-pengaji-an, 2014: 43)

2. Kasus-Kasus Penodaan Agama

Para pemuka agama yang ada di Jawa Barat mengatakan bahwa kasus-kasus penodaan agama yang pernah dan terjadi di Jawa Barat, seperti kasus Al-Qiyadah

(9)

al-Islamiyyah di Depok dan Cirebon, Aliran Salamullah/ Lia Eden, Kelompok hidup di balik hidup (HDH), Aliran Surga Adn, Ajaran Millah Abraham dan sebagainya. (Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014: 43)Dari berbagai kasus yang telah penulis sebutkan tadi termasuk penistaan agama yang dilakukan oleh ormas atau aliran Islam sendiri. Penistaan agama juga bisa dilakukan oleh pemeluk agama lain kepada orang Islam atau sebaliknya orang Islam yang melakukan penistaan agama kepada simbol keagamaan non muslim.

3. Masalah Penafsiran dan Kebebasan Berpendapat

Hafidz Usman menyatakan, penafsiran beda dengan kebebasan berpendapat karena penafsiran dibatasi dengan mujma’alaih atau mukhtalaf, sedangkan kebebasan berpendapat adalah terapan norma kebersamaan. Rafani Akhayr dan Ayat Dimyati menyatakan, penafsiran beda dengan kebebasan berpendapat karena dalam penafsiran atau menafsirkan sesuatu harus ada kaidah, metode, asbabun nuzul dan harus ada yang menunjang antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Contohnya dalam menafsirkan al-Qur’an tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena harus ada kaidah-kaidah, metode dan teorinya.Namun sekarang ini banyak orang menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akalnya.

Sedangkan yang dikatakan kebebasan berpendapat di dalam Islam, diper-bolehkan tetapi harus ada norma-normanya, contoh dalam masalah khilafiyah, seperti qunut. Dalam hal ini Abdul Rozak mencontohkan seperti mengeluarkan zakat fitrah ada yang pakai beras dan ada yang pakai uang. (Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014: 43-44)

4. Pihak Yang Menentukan Bentuk-Bentuk Penistaan/ Penodaan Agama

Abdul Razak dan Hafidz Usman menyatakan, yang berhak menentukan bentuk-bentuk penistaan/penodaan agama adalah pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama.Sedangkan menurut Wahyu Wibisono dan pemuka agama lainnya adalah majelis-majelis agama dan Kementerian Agama dan menurut Rafani Akhyar adalah tugas MUI dan Kementerian Agama.

5. Hukuman Bagi Orang yang Melakukan Penistaan/Penodaan Agama

Dalam UU No. 1/PNPS/tahun 1965 disebutkan bahwa pelaku penodaan agama dikenai hukuman ancaman maksimal 5 tahun penjara (pasal 156 a). Mengenai saksi bagi pelaku penistaan agama ini, Ayat Dimyati mengatakan, kalau dalam penyimpangan hanya dalam bidang pemikiran atau penafsiran, hukuman 5 tahun itu berat tetapi kalau pemikiran itu sudah menjadi aksi yang mengakibatkan gangguan kedamaian dan berimplikasi buruk, hukuman 5 tahun penjara itu kurang dan perlu ditambahkan. Hal

(10)

senada diungkapkan oleh Abdul Razak dan Hafidz Usman dengan mengatakan, bagi pelaku penistaan agama yang dalam peraturan pemerintah diberi hukuman 5 tahun penjara, perlu dilihat berat ringannya peristiwa tersebut.(Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014:48).

D. Maqashid al-Syariah

Salah satu hikmah dikebumikannya al-Qur’an adalah untuk menegaskan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mulia dengan segala anugerah yang diberikan.Sehingga dirasa wajar jika al-Qur’an mencela sekelompok manusia yang me ren dahkan jati dirinya dengan menyembah selain Allah. Dalam al-Qur’an Allah mengecam:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang men ciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah. (Q.S. Fushshilat [41]:37) Begitu juga dengan ayat berikut:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Al-Taubah [9]: 31).

Meskipun fakta empiris menyatakan demikian, namun Islam tetap menjaga kebebasan setiap individu baik dalam berpikir ataupun beragama.(Subhan dkk, 2013: 54-55).

Allah menyampaikan dalam suatu ayat tentang kebebasan dalam mencari Tuhan:

“Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.tidaklah ber-man faat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Yunus [10]:101)

Seperti halnya disampaikan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 256 tentang kebebasan beragama:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).

(11)

muslim masih tetap eksis kapan saja dan di manapun. Mereka menilai bahwa penistaan terhadap agama lain dapat membawa dampak negatif juga dapat memantik benih-benih kebencian. (Subhan dkk, 2013: 56). Ditegaskan dalam sebuah ayat:

َلِإ َُّث ْمُهَلَمَع ٍةَّمُأ ِّلُكِل اَّنَّـيَز َكِلَذَك ٍمْلِع ِْيَغِب اًوْدَع َهَّللا اوُّبُسَيَـف ِهَّللا ِنوُد ْنِم َنوُعْدَي َنيِذَّلا اوُّبُسَت َلَو

َنوُلَمْعَـي اوُناَك اَِب ْمُهُـئِّبَنُـيَـف ْمُهُع ِجْرَم ْمِِّبهَر

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik peker-jaan mereka.Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia mem-berita kan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An-am [6]:108) Penulis berusaha melacak asbab al-nuzul ayat tersebut dan menemukan beberapa riwayat sebagai berikut:

Abdul Rozak mengatakan, “Ma’mar memberitahu kita dari Qatadah berkata, “Kaum muslimin mencela berhala-berhala orang-orang kafir lalu mereka balik mencaci maki Allah.”

Diriwayatkan al-Wahidi dari Qatadah,“Kaum muslimin mencela berhala orang-orang kafir lalu mereka balik mencaci maki Tuhan orang Islam, kemudian Allah melarang kaum muslim agar tidak mencela sesembahan kaum jahil yang tidak ada pengetahuan tentang Allah.”

Ibnu Abbas berkata dalam riwayat al-Walibi, “Mereka (orang-orang kafir) me-ngatakan, “Wahai Muhammad berhentilah kamu dari menghina Tuhan kita atau sung-guh kami akan mengejek Tuhanmu!, kemudian Allah melarang orang Islam agar jangan menghina berhala (sesembahan) orang-orang kafir sehingga dengan rasa permusuhan mereka justru balik mengejek Allah yang tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan (dengan ejekan yang lebih parah).” (Zuhaili, 1418 H,jilid 7: 322).

Diriwayatkan, sesungguhnya para pemimpin kafir Quraisy mendatangi Abu Thalib dan mereka berkata padanya, “Engkau pemuka dan sayyid kita, sesungguhnya Muhammad telah menyakiti kita dan Tuhan-Tuhan kita maka kita berharap agar kamu memanggilnya dan mencegahnya dari mengejek Tuhan kita dan kita akan mem biar-kannya beserta Tuhannya”, lantas mereka berkata kepada Nabi Muhammad, “Ber-hentilah kamu dari menghina Tuhan kita atau sungguh kami akan menghinamu dan menghina Tuhan yang menyuruhmu!” (Hujazi, 1413 H, jilid 1: 649).

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Sadi berkata, “Ketika menjelang wafatnya Abi Thalib, orang-orang Quraisy berkata, “Kita mendatangi lelaki ini (Abi Thalib) dan memintanya agar melarang keponakannya (Muhammad), kita merasa malu untuk

(12)

membunuhnya setelah meninggalnya Abi Thalib”, lalu ada orang Arab berkata, “Abu Thalib akan mencegahnya, jika dia telah meninggal maka bunuhlah Muhammad!”

Kemudian Abu Sufyan, Abu Jahal, Nadhar bin al-Haris, Umayyah dan Ubay (keduanya anaknya khalaf), Uqbah bin Abi Muid, Amr bin Ash dan Aswad bin Bakhtari berangkat dan mengutus seorang delegasi dari mereka yang bernama al-Mathlab. Mereka mengatakan, “Mintakanlah ijin untuk kita wahai Ali bin Abi Thalib, kemudian dia mendatangi ayahnya (Abu Thalib) seraya berkata, “Mereka adalah para sesepuh kaummu yang menginginkankan masuk (dalam ruanganmu).” Abu Thalib mengijinkannya masuk sehingga mereka pun masuk lalu berkata, “Wahai Abi Thalib!Engkau adalah pemuka dan sayyid kita, sesungguhnya Muhammad telah menyakiti kita dan Tuhan-Tuhan kita maka kita berharap agar kamu memanggilnya dan mencegahnya dari mengejek Tuhan kita dan kita akan membiarkannya beserta Tuhannya.”

Lantas Abu Thalib memanggilnya dan Nabi Muhammad pun datang, dia berkata padanya, “Mereka adalah kaummu dan keturunan pamanmu, beliau bertanya, “Apa yang mereka inginkan?” mereka menjawab, “Kami ingin kamu membiarkan (tidak mengganggu) kita dan Tuhan kita dan kami pun membiarkanmu beserta Tuhanmu.” Nabi SAW berkata, “Apakah kalian ingin aku memberikan ini padamu?apakah kalian adalah orang yang diberi kalimat yang jika kamu mengucapkannya maka orang Arab akan mengekangmu dan kamu dekat dengan orang Ajam?” Abu Jahal berkata, “Bapakmu akan memberikannya kepada kita dan sepuluh kali lipatnya, apakah itu?”Nabi SAW menjawab, “Ucapkanlah, la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)!” tetapi respon mereka justru enggan dan membencinya.

Abu Thalib berkata, “Berkatalah yang lain!Karena kaummu membencinya.” Nabi berkata, “Wahai pamanku, aku tidak mengucapkan kalimat selain itu sehingga jika mereka mendatangkan matahari dan meletakkanya di tanganku dan jika mereka mendatangiku dengan membawakan matahari dan meletakkannya di tanganku maka aku tidak mengucapkan selain kalimat itu.” dengan harapan pernyataan tersebut bisa membuat putus asa mereka tetapi reaksi mereka marah dan mengatakan, “Berhentilah kamu dari menghina Tuhan kita atau sungguh kami akan menghinamu dan menghina Tuhan yang menyuruhmu!”(Suyuti, t.th., jilid 3: 339-340).

Fakhr al-Razi dalam bukunya “Mafatih al-Ghaib” menilai bahwa secara implisit ayat tersebut merupakan peringatan agar dalam berdakwah tidak terjebak dengan tindakan yang tidak berfaidah sekaligus merupakan ajakan umat Islam agar tidak bertindak layaknya orang bodoh.(Razi, 1985, Jilid 7: 13).Muhammad Sayyid Thanthawi berkomentar, “Ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang

(13)

Islam, serta hukumnya masih berlaku untuk umat Nabi Muhammad sampaisekarang.” (Thanthawi, 1998, jilid 1: 592).

Sedangkan menurut Ibnu Asyur, ayat tersebut diathafkan (disandarkan) kepada ayat “Dan berpalinglah dari orang-orag musyrik!”(Q.S. Al-An’am: 106), dalam hal ini ada makna “berpaling” yang diperintahkan sebagai penjelas dan menunjukkan kepada kita bahwa apa yang dimaksud dari “berpaling” bukanlah meninggalkan dakwah, tetapi yang dimaksud adalah menciptakan perdamaian dengan tanpa mencaci maki dan berkata kotor (keji) kepada mereka dengan selalu mengikuti dakwah yang dianjurkan oleh al-Qur’an karena mencegah dari mencaci maki berhala (sesembahan) mereka berarti masih eksis memberikan sinyal positif agar bisa mendakwahi dan menganggap batil akidahnya serta orang-orang Islam aman dari caci maki mereka yang menyembah selain Allah. (Ibnu Asyur, 1984, jilid 7: 427).

Wahbah al-Zuhaili menegaskan, Allah melarang Rasulnya dan orang Islam agar jangan mencela sesembahan orang-orang musyrik, meskipun itu ada mashlahah

(manfaat) nya tetapi nanti justru menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dari pada manfaatnya, yakni penghinaan kaum musyrik kepada Allah (Tuhan) nya orang Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Karena boleh jadi kaum musyrik akan menghina Allah lebih parah lagi dengan melewati batas celaan sebagai bentuk kemarahan kepada umat Islam, mereka melakukan itu dikarenakan tidak mengetahui tentang kekuasaan dan keagungan Allah. Ini berarti menunjukkan bahwa ketaatan atau mashlahah jika mendatangkan maksiat atau mafsadah (kerusakan) maka harus ditinggalkan.(Zuhaili, 1418 H,jilid 7: 324).

Allah telah memerintahkan Nabi Musa dan Harun dengan cara yang halus ketika mendakwahi Fir’aun,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Q.S. Thahaa [20]: 44)

Pengarang kitab “al-Kassyaf” mengatakan, Jika kamu berkata, “Mencela Tuhan yang batil termasuk sesuatu yang haq dan sebuah ketaatan, lalu kenapa dikatakan benar mencegah dari perbuatan itu?padahal yang benar adalah menjauhi maksiat.” Aku berkata, “Kebanyakan ketaatan yang diketahui itu bisa mendatangkan mafsadah

(kerusakan) sehingga keluar dari koridor ketaatan dan wajib untuk menjauhinya karena itu termasuk maksiat bukan ketaatan.Misalnya mencegah dari sesuatu yang munkar adalah termasuk ketaatan, jika diketahui hal tersebut bisa mendatangkan tambahnya keburukan maka berubah menjadi kemaksiatan dan wajib untuk menjauhinya seperti halnya wajib menjauhi dari perkara munkar.”(Thanthawi, 1998, jilid 5: 151).

(14)

mengatakan, “Jika mencela orang kafir dan sesembahannya dikhawatirkan justru mereka balik mencela Allah, Rasulnya atau al-Qur’an maka tidak diperbolehkan mencela Tuhan dan agama mereka. Ini kaidah asal tentang Sad al-Darai’ (mencegah beberapa perantara).(Thanthawi, 1998, jilid 5: 151). Meskipun mencelanya adalah sesuatu yang

haq dan sesuai dengan kenyataan, tetapi jika mencela itu termasuk perantara yang mendorong untuk menghina Tuhan yang haq (Allah) maka menjauhinya adalah wajib secara syara’, akal, politik dan kesadaran. (Thanthawi, 1998, jilid 1: 592)

Al-Suyuti mengatakan, “Ayat tersebut mengindikasikan atas gugurnya kewajiban

amar ma’ruf nahi munkar jika dikhawatirkan bisa mendatangkan kerusakan yang lebih besar, begitu juga berlaku untuk gugurnya semua kewajiban yang justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar.”(Thanthawi, 1998, jilid 5: 151). Jadi orang-orang Islam disuruh untuk menjaga baik-baik perkataan dan waktunya dengan mempergunakan sesuatu yang bermanfaat baginya dan menjauhi sesuatu yang bisa menimbulkan

madharat (bahaya).(Ibnu Asyur, al-Tahrir wa Tanwir,1984, jilid 22: 47).

Berdasarkan pemaparan para ulama yang telah penulis kemukakan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif, seorang muslim dilarang mencela simbol, sesembahan dan Tuhan non muslim baik dari agama dan kepercayaan manapun karena bisa jadi mereka balik menyerang, mencela dan menghina Tuhan umat Islam (Allah) dikarekan mereka tidak mengetahui keagungan dan kebesaran Allah. Justru yang terjadi bukanlah sebuah ketentraman dan kedamaian yang diidamkan-idamkan dalam sebuah negara yang multi kultural dan pluralis tetapi sebaliknya pertengkaran, permusuhan dan kedengkian yang tidak bisa dihindari. Meskipun begitu, umat Islam masih dianjurkan untuk berdakwah dengan menciptakan perdamaian, tanpa mencaci maki dan berkata kotor (keji) kepada mereka dengan selalu mengikuti dakwah yang dianjurkan oleh al-Qur’an.

Perbedaan beragama bukan merupakan legalitas bermusuhan. Secara tegas Islam mengakui komunitas non muslim sebagai komunitas yang menjaga tuntutan kepercayaan mereka, sebab pada dasarnya Tuhan menghiasi setiap amal perbutan dari masing-masing komunitas sehingga mereka menganggap hal tersebut sebagai tindakan yang terpuji, namun penilaian akhir setiap perbuatan merupakan hak prerogatif Allah di hari akhir.(Sa’di, 2000, Jilid 1: 268). (Subhan dkk, 2013: 57).

Tidak dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang mengecam komunitas non muslim. Misalnya sebagai berikut:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”.dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung

(15)

dan penolong bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 120).

Hampir dipastikan bahwa penyebutan kata Yahudi dalam al-Qur’an berisi tentang kecaman, berbeda dengan penyebutakan kata nashara yang terkadang berisi kecaman dan pujian. Hal ini dilatar belakangi oleh perbedaan sikap di antara kedua ahli kitab tersebut terhadap umat muslim yang dipengaruhi oleh sikap pemuka agama masing-masing. Para rahib (pendeta umat Nasrani) berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Nabi Isa, termasuk sikap zuhud (menjauhkan diri dari kemegahan dunia denga fokus dalam beribadah).Hal ini bertolak belakang dengan sikap ahbar (para pendeta Yahudi) yang telah dikenal menerima sogok dan dengan lahap memakan riba.(Subhan dkk, 2013: 58). (Shihab, 2003: 348).Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagimu.mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Q.S. Ali Imran [3]: 118)

Al-Baidhawi dan Zamakhsari menjadikan ayat tersebut sebagai argumentasi larangan bersahabat dengan orang non muslim secara mutlak. Hal ini diperkuat teks hadis yang berbunyi:

اهمران ئارتل يكرشلما رهظا يب ميقي ملسم لك نم ءيرب انا

“Saya terbebas (lepas tanggung jawab) dari seorang muslim di wilayah kaum musyrikin yang tidak saling nampak api permusuhan di antara keduanya.”(HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi).

Dalam redaksi lain yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:

ِريِرَج ْنَع ،ٍمِزاَح ِبَأ ِنْب ِسْيَـق ْنَع ،ٍدِلاَخ ِبَأ ِنْب َليِعاَْسِإ ْنَع ،َةَيِواَعُم وُبَأ اَنَـثَّدَح :َلاَق ،ٌداَّنَه اَنَـثَّدَح

َعَرْسَأَف ،ِدوُجُّسلاِب ٌساَن َمَصَتْعاَف ٍمَعْـثَخ َلِإ ًةَّيِرَس َثَعَـب َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِللها َلوُسَر َّنَأ ،ِللها ِدْبَع ِنْب

ِّلُك ْنِم ٌءيِرَب اَنَأ :َلاَقَو ِلْقَعلا ِفْصِنِب ْمَُل َرَمَأَف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص َِّبيَّنلا َكِلَذ َغَلَـبَـف ،َلْتَقلا ُمِهيِف

.اَُهماَراَن ىَءاَرَـت َل :َلاَق ؟َِلَو ،ِللها َلوُسَر اَي :اوُلاَق .َيِكِرْشُمْلا ِرُهْظَأ َْيَـب ُميِقُي ٍمِلْسُم

“Hannad menceritakan kepada kami, dia berkata: Abu Muawiyah menceritakan kepada kami dari Ismail bin Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jabir bin Abdullah, sesungguhnya Rasulullah mengutus ekspedisi menuju Khats’am lalu ada beberapa orang (Khats’am) yang bersujud (menyerah) namun pasukan ekspedisi tersebut segera membunuh mereka dan kabar itu akhirnya terdengar oleh Rasulullah lalu beliau memerintah mereka untuk memberi setengah

(16)

tebusan kemudian beliau bersabda, “Aku berlepas diri dari seorang muslim di wilayah musyrikin yang tidak saling nampak api permusuhan di antara keduanya”.(Tirmidzi, 1998: 207).

Namun beberapa kalangan kontemporer sesuai dengan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap Yahudi Bani Quraizhah yang menghianati perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad, dengan menolak keras yang disampaikan oleh al-Baidlawi dan Zamaskhsari. Mereka memahami bahwa larangan pada ayat tersebut berlaku pada non muslim yang memusuhi atau bermaksud jahat terhadap umat muslim. Di sisi lain hadis yang diriwayatkan selain berstatus mursal, juga diucapkan Rasul tidak dalam konteks umum, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah di saat Nabi SAW sangat membutuhkan bantuan sehingga beliau menganjurkan agar umat muslim tidak tinggal berdekatan dengan non muslim tetapi berhijrah ke tempat yang lain guna mendukung perjuangan Nabi dan umat Islam. (Shihab, 2003: 363-364).

Rasyid Ridha berkomentar, “Banyak pengajar hanya merujuk kepada tafsir al-Baidhawi dan al-Zamakhsyari sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompentensinya). Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid ridha mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu...” (Ali Imran [3]: 118). Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul sehingga ia hanya berlaku terhadap orang cirinya yang demikian kendati seagama, sebangsa dan seketurunan dengan seorang muslim.

“Sebagian orang tidak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama.Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum mukmin pada awal kedatangan Islam, ketika ayat ini turun.Apalagi menurut para pakar, ayat ini turun menyangkut orang-orang Yahudi.Namun demikian ayat tersebut berhubungan dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah yang menurunkan dan mengetahui peru bahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama.Seperti yang terlihat kemudian pada orang Yahudi yang pada masa awal Islam begitu membenci kaum mukmin, namun berbalik membantu orang mukmin dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum muslim melawan Romawi.”(Shihab, 2003: 364-365).

(17)

sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan al-Qur’an tidak melarang sama sekali untuk berbuat baik dan mendermakan sebagian hartanya untuk siapa pun selama tidak memerangi kaum muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat al-Mumtahanah [60]: 8 yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah dalam tafsirnya Ahkam al-Qur’an.(Shihab, 2003: 365)

IV. Simpulan

Bangsa Indonesia yang terkenal dengan berbagai macam etnis, ras, warna kulit, bahasa, adat istiadat dan bahkan agama telah diwariskannya kepada kita secara turun-temurun sehingga kita wajib menjaganya dengan baik dan seksama. Jangan sampai karena beda suku dan warna kulit serta ditunggangi dengan kepentingan politik ada sebagian daerah yang ingin memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri.

Kalau begitu keadaannnya maka tidak akan musthil satu persatu daerah yang masuk dalam kesatuan Indonesia akan mengajukan kemerdekaan untuk masing-masing daerahnya. Misalnya dulu kasus Timor Timor (Tim Tim) yang ngotot (bersi keras) ingin merdeka dan akhirnya terlaksana, disusul kasus Papua dan Aceh yang juga ingin memisahkan diri dari Indonesia, kalau ini dibiarkan maka daerah-daerah yang lain juga akan menyusul seperti itu.

Perpecahan suatu bangsa bisa juga disebabkan oleh penistaan agama, penistaan agama bisa saja dilakukan oleh oknum tertentu, kelompok ormas dan agama lain tetapi kita sebagai bangsa Indonesia yang terkenal dengan tenggang rasa, andap asor dan ketawadu’annya harus kita jaga selamanya identitas tersebut. Sikap saling mengejek dan mengolok-olok antar pemeluk agama bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal, oleh karena itu harus kita hindari semaksimal mungkin agar terealisasi cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang makmur, damai dan sentosa, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 1993. Penelitian Kependidikan: Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(18)

Baker, Anton. 1992. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Biyanto. 2009. Pluralitas keagamaan dalam perdebatan (pandangan kaum muda Muhammad iyah. Malang: UMM Press.

Hadi, Sutrisno.1993. Metodologi Resesarch. Yogyakarta:Andi Offset.

Hujazi, Muhammad Mahmud. 1413 H. Tafsir al-Wadhih. Beirut: Dar al-Jail al-Jadid. Ibnu Asyur. 1984. Al-Tahrirwa Tanwir. Tunisia, Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr.

Ma’arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.

Pandia, Wisma. tt. Teologi Pluralisme Agama-Agama.Pennsylvania: Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia.

Razi, Al-Fakhr. 1985. Mafatih al-Ghaib.Beirut: Dar al-Fikr.

Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 2000. Taisir Karim Rahmanfi Tafsir Kalam al-Manan. t.k., Muassasah al-Risalah.

Shihab, Alwi. 1999. Islam Inkllusif Menuju Sikap Terbuka. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraisy. 2003.Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Shofan, Moh. 2008. Menegakkan Pluralisme: Fundamenmtalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah. Jakarta: ELSAF.

Subhan, M. dkk,. 2013. Tafsir Maqashidi Kajian Tematik Maqashid Al-Syariah.Kediri: LIRBOYO Press.

Sudarno. 1999. Konflik Islam-Kristen Menguak Akar Masalah Hubungan Antara Umat Ber agama di Indonesia. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Surachmad, Winarno. 1975. Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Suyuti, Abdurrahman. tt. Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Beirut: Dar al-Fikri.

Thanthawi, 1998. Muhammad Sayyid.Tafsir al-Wasidh li al-Qur’an al-Adzim. Kairo: Dar Nahdlah Mesir li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, al-Fujalah al-Qahira. Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2014. Penistaan Agama dalam Perspektif

Pemuka Agama Islam. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.

Tirmidzi. 1998. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.

Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Al-Tafsir al-Munir li al-Zuhaili. Damaskus: Dar Fikri al-Mu’ashir.

Referensi

Dokumen terkait

reinstatement pada saat terjadi failure serta dilakukan analisis terhadap availabilitas data pada kedua database, kemudian dibuat aplikasi untuk melakukan simulasi transaksi berupa

Aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dapat diketahui dengan menggunakan medium selektif salah satunya yaitu medium Mandels-CMC yang mengandung

Sedangkan faktor peluang yang dimiliki sekolah adalah animo masyarakat terhadap sekolah tinggi, jumlah murid meningkat setiap tahunnya, sekolah berasrama, hubungan

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui

terealisasi dengan baik, (b) komponen input ( Input ) yang meliputi: kurikulum, SDM, sarana prasarana, biaya, waktu, dan rencana program kegiatan, IKIP-PGRI

198403022009032004 Kepala Seksi Infrastruktur Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Prabumulih Sumatera Selatan 209 Dwi Indrawan, A.Ptnh., M.T 197212151992031001 Kepala Seksi

1) Materi pembelajaran karya sastra novel yang akan menjadi pokok bahasan untuk didebatkan, diberitahukan kepada peserta didik satu atau dua minggu sebelumnya. Guru juga