• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membedah Gorontalo sebagai Calon “Bintang Timur” Pertanian Indonesia di Abad 21

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membedah Gorontalo sebagai Calon “Bintang Timur” Pertanian Indonesia di Abad 21"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBEDAH GORONTALO SEBAGAI CALON “BINTANG

TIMUR” PERTANIAN INDONESIA DI ABAD 21

1

Tri Pranadji

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

It is a dream come true for especially farmers in rural areas if the agricultural development is thoroughly implemented. It is realized that many socio-economic scientists are seriously concern about the implementation of agricultural development as most of the farmers’ quality of life is not significantly improved. Looking at the progress of agricultural development in Gorontalo Province, the rising star candidate from the east, a priceless lesson learned is provided for policy designers and actors of agricultural development, both at central and at regional levels. The first lesson is the outward looking approach with cooperation vision in the industrial characteristic development of agriculture that allows a clear step of agricultural improvement toward a sustainability development. Second is strengthening agricultural industrialization in rural areas along with agrarian reform for positive impact on farmer’s income improvement. Third, agricultural progress is very much influenced by the quality of development leadership with concern on integrity and competence. Fourth, maintaining the diversity over the development to increase self-support culture, work ethos for solidarity, collective altruism across the tribes, and local social capital are significantly contribute to the progress of agricultural development in rural areas.

Key words : agricultural development, agricultural industrialization, social capital, local wisdom

ABSTRAK

Dijalankannya pembangunan pertanian dengan benar merupakan idaman sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama petani di perdesaan. Kegundahan pakar sosial-ekonomi terhadap penyelenggaraan pembangunan pertanian selama ini bukan tanpa alasan, karena telah lebih dari seabad kehidupan masyarakat pertanian di perdesaan tidak kunjung membaik secara signifikan. Menelaah kemajuan pertanian di Gorontalo, sebagai calon “bintang timur” pertanian abad 21, memberikan pelajaran sangat berharga bagi perancang dan penyelenggara kebijakan pembangunan pertanian di pusat dan daerah. Pelajaran tersebut yaitu: pertama, dengan pendekatan outward looking dan visi kebersamaan membangun pertanian berciri industri berbasis masyarakat petani di perdesaan yang pro pasar menjadikan pertanian di Gorontalo berkembang secara mantap dan (sangat mungkin) berkelanjutan. Kedua, penguatan strategi industrialisasi pertanian di perdesaan dan

1 Isi tulisan merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan pada Lokakarya II

“Pengembangan Pertanian Wilayah Indonesia Timur Khususnya Wilayah Pengembangan Baru” di Hotel Pangrango, Bogor; Kamis-Jum’at, 19-20 Juli 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

(2)

reforma agraria akan memperkokoh pertanian sebagai “ibu kehidupan” yang berimplikasi sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Ketiga, perkembangan pertanian sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan penyelenggara pembangunan yang berintegritas tinggi dan memiliki kompetensi yang dapat diandalkan. Diterapkannya asas good governance dan inclusive dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pertanian, reformasi birokrasi pemerintahan, dan penguatan civil society serta kearifan lokal. Keempat, terpeliharanya budaya kemandirian, semangat kerja keras dan pantang menyerah untuk maju secara bersama (“solidarity”), altruisme kolektif dalam bingkai untuk kemajuan lintas kesukuan (nasionalisme), dan modal sosial setempat sangat besar pengaruhnya terhadap kemantapan kemajuan pembangunan pertanian di perdesaan Kata kunci: pembangunan pertanian, industrialisasi pertanian, modal sosial, kearifan

lokal

PENDAHULUAN

Apa yang telah dicapai pembangunan pertanian pada usia Republik Indonesia ke 63 masih menyisakan kegundahan serius di kalangan pakar sosial ekonomi. Sudah lebih dari seabad (sejak 1905) secara struktural pertanian Indonesia belum menunjukkan perubahan yang berarti, sebagian besar masih berbasis skala lahan usahatani di bawah 0,5 ha per KK (Pranadji, 2003). Dalam suatu dikusi pada 1990-an, salah satu ahli sosiologi perdesaan dan pertanian terkemuka di Indonesia, Prof Sediono M.P. Tjondronegoro menyatakan bahwa yang menonjol pada pertanian adalah modernisasi pertanian, bukan pembangunan; modernization without development (Sajogyo, 1974). Peningkatan kesenjangan antar klas petani justru terjadi seiring dengan intensifnya revolusi hijau (Tjondronegoro, 1990). Jargon bahwa pertanian dapat menyejahterakan masyarakat petani dan perdesaan hingga kini masih sebatas keinginan (want), dan belum menjadi tuntutan yang harus diwujudkan dalam kenyataan (need). Beberapa pakar sosial-ekonomi pertanian juga sudah merasa sangat pesimis, jika tidak ada perubahan struktur penguasaan lahan (menjadi lebih 2 ha/KK), kegiatan pertanian rakyat di perdesaan akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani secara berarti.

Pada jaman Belanda (1860-an), pertanian Indonesia dapat menghasilkan senilai 24 juta gulden atau sepertiga dari pendapatan total pemerintah (“APBN”) Belanda (Puspa, 2008). Tentu dapat dikatakan sangat ironis jika saat ini pertanian di negara agraris yang sedemikian besar dan kaya sumberdaya alam dan hayati masih saja terpuruk dalam menghasilkan produk pertanian primer, terutama bahan pangan utama (beras, jagung, dan kedelai). Negara Vietnam saja, yang beberapa dekade lalu masih “dijajah” tentara Amerika Serikat, saat ini telah menjelma sebagai “raksasa pengekspor beras” dunia, dan bahkan saat ini telah menjadi rival berat Brasilia dalam menguasai perdagangan kopi dunia. Sekitar sepuluh tahun lalu petani Vietnam masih belajar tata cara berusahatani kopi pada para petani

(3)

kopi di Lampung. Dapat dipahami, tanpa adanya political will yang kuat untuk merubah paradigma pembangunan pertanian secara mendasar, jika ditemukan banyak pakar sosial-ekonomi visioner merasa sangat pesimis tentang masa depan pertanian Indonesia. Sangatlah dapat dimengerti jika dari beberapa pakar sosial ekonomi pertanian terlontar pertanyaan: “sudah tamatkah peluang Indonesia dalam memperbaiki kinerja pembangunan pertanian untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan berkelanjutan?”

Di tengah pesimisme yang berat, perkembangan pertanian di Gorontalo dalam beberapa tahun terakhir tampaknya dapat memberikan cahaya optimisme yang menyegarkan. Istilah “start with litle things of action and global vision base” menjadi relevan dikemukakan dalam mencermati perkembangan pertanian di Gorontalo. Kemajuan yang diawali melalui langkah kecil yang terarah (“visioner”) lebih baik dan mantap dibandingkan dengan pengumbaran janji kosong (meaningless) melalui slogan politik oleh para praktisi pembangunan yang bernuansa partisan. Dengan membedah perkembangan pertanian di Gorontalo diharapkan dapat ditarik pelajaran untuk pakar sosial-ekonomi pertanian dalam merancang dan mengelola kebijakan pembangunan pertanian baik di pusat maupun daerah. Dari tulisan ini diharapkan dapat diperoleh inspirasi baru dan pemikiran segar tentang bagaimana membangun pertanian dengan benar dan benar-benar membangun pertanian

Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa paling tidak ada lima aspek yang sangat menentukan kemajuan pembangunan pertanian. Kelima aspek yang dimaksud adalah: pertama, perlunya semangat kolektif masyarakat untuk mandiri dan “merdeka” dari segala bentuk keterbelakangan. Kedua, adanya pemimpin yang kompeten, kredibel dan peduli terhadap kemajuan pertanian pada khususnya dan kemajuan masyarakat perdesaan pada umumnya. Ketiga, adanya program pembangunan pertanian yang benar; upaya membangun pertanian dengan benar dan itikad (pemimpin) untuk benar-benar membangun pertanian. Keempat, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang sejalan dengan semangat good governance, serta penguatan masyarakat madani (civil society). Kelima, pengembangan modal sosial berbasis kearifan lokal (local wisdom).

Setiap penggal sejarah kehidupan manusia selalu meninggalkan dan menyisakan ketidaksempurnaan. Apa yang terjadi di Gorontalo pun bukanlah sesuatu yang sempurna, dan hal ini sejalan dengan pepatah “tiada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, sorotan terhadap kelemahan pembangunan pertanian di Gorontalo juga dikemukakan. Dalam bab akhir dikemukakan beberapa kelemahan yang dimaksud, antara lain mencakup: terlalu besarnya peran swasta besar, belum kuatnya organisasi petani, lemahnya dukungan lembaga pembiayaan untuk industrialisasi perdesaan, masih lemahnya sistem penyuluhan pertanian industrial perdesaan, serta masih tersekat-sekatnya usaha pertanian di perdesaan. Jika beberapa kelemahan dalam pengembangan pertanian di Gorontalo dapat segera diatasi; maka bukan saja upaya menjadikan Gorontalo sebagai provinsi agropolitan segera terwujud, melainkan juga upaya

(4)

menjadikan Gorontalo sebagai “Bintang Timur Pertanian Indonesia” akan lebih cepat menjadi kenyataan.

NASIONALISME, KEMANDIRIAN DAN KETERBUKAAN

Paling muda tidak berarti paling lemah. Dilihat dari pembentukannya sebagai provinsi, Gorontalo tergolong sebagai salah satu provinsi paling muda di Indonesia. Sebagai provinsi, Gorontalo ditetapkan berdasarkan UU No. 38 Tahun 2001. Namun dilihat dari “usia” masyarakatnya, Gorontalo tergolong masyarakat tua. Jasiran atau Kota Gorontalo diperkirakan telah berusia sekitar 400 tahun (Anonimous, 2008); seusia Makassar, Pare-Pare dan Manado. Sebagai kota tua, Gorontalo memiliki sejarah cukup cemerlang dalam penyebaran pengetahuan tentang kemasyarakatan melalui agama Islam. Dari pengamatan langsung di lapangan sangat terasa gejala meluasnya wabah “semangat muda” pada masyarakat petani Gorontalo untuk mandiri dan tidak kalah maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang lebih tua dalam membangun pertaniannya.

Kekuatan Gorontalo bukan hanya terletak pada lokasinya yang strategis di sekitar katulistiwa dan agroekosistemnya yang sesuai untuk membangun pertanian; melainkan juga pada masyarakatnya dijumpai semangat keterbukaan dan “akrab” untuk diajak maju. Pada periode pra-kemerdekaan Indonesia, daerah Gorontalo dikendalikan lima kerajaan (limo Pohala'a; Anonimous, 2008) yang diatur berdasar hukum adat ketata-negaraan (kerajaan atau pohala’a) Gorontalo. Tidak tertangkap adanya indikasi yang kuat bahwa hubungan antar masyarakat kerajaan di daerah Gorontalo bermuatan dendam sejarah dan politik. Peradaban perang saudara (“civil war”) tidak banyak mewarnai dinamika kehidupan historis masyarakat Gorontalo. Secara historis, Gorontalo mempunyai tradisi mengelola sistem pemerintahannya secara pluralistik dan mandiri. Kekayaan sosio-histori ini menjadikan masyarakat Gorontalo secara kolektif terdorong untuk memacu kemajuannya agar tidak semakin tertinggal dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Karakter masyarakat Gorontalo telah terbentuk melalui proses historis yang memakan waktu cukup panjang. Budaya saling menghormati (mutual respect) dan toleransi antar masyarakat Gorontalo telah cukup kuat. Kekhasan karakter masyarakat Gorontalo antara lain ditunjukkan oleh adanya rasa kepemilikan kolektif terhadap latar belakang budaya yang menjunjung tinggi kebersamaan dalam kemajuan. Kehormatan budaya Gorontalo ditunjukkan juga oleh adanya keinginan sebagian besar masyarakatnya untuk bekerja keras dalam rangka mengejar ketertinggalan dari masyarakat lain yang lebih dahulu maju. Keinginan masyarakat Gorontalo untuk dapat sejajar dengan masyarakat lain yang telah lebih dahulu maju sangatlah besar. Kebanggaan diri (“dignity”) sebagai

(5)

masyarakat Gorontalojugarelatif tinggi, dan ini menjadi energi sosial yang relatif besar untuk mendorong kemajuan masyarakat setempat.

Istilah “merdeka” telah lama dikenal masyarakat petani dan perdesaan di Gorontalo. Bagi masyarakat Gorontalo, istilah ”kemerdekaan” mengandung makna yang dalam. Hingga kini masyarakat Gorontalo merasa telah merayakan ”dua jenis” kemerdekaan, dan kemungkinan besar akan memasuki kemerdekaan jenis ketiga. Kemerdekaan jenis pertama dikumandangkan pada 23 Januari 1942, yang dikenal sebagai “Hari Kemerdekaan Gorontalo”. Pengungkapan kemerde-kaan jenis pertama ini ditandai dengan pengibaran bendera merah putih dan dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Seakan-akan cikal bakal atau “laboratorium uji coba” Indonesia merdeka sudah disimulasikan di Gorontalo pada awal 1942.

Setelah mampu menyatakan merdeka (1942), para pemuka masyarakat Gorontalo secara terus-menerus memantau perkembangan gerakan para pejuang kemerdekaan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa. Begitu dikumandangkan kemerdekaan Indonesia (1945), masyarakat Gorontalo dengan serta-merta menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hingga kini tidak dijumpai adanya indikasi keinginan Gorontalo untuk memisahkan diri dari NKRI. Tidak seperti yang terjadi di Indonesia bagian timur lainnya, misalnya gerakan kemerdekaan di Maluku (Republik Maluku Selatan, RMS) dan di Papua (Papua Merdeka), gerakan yang mencurigakan yang mengindikasikan keinginan Gorontalo untuk merdeka sebagai negara sama sekali tidak terdengar. Sekaligus hal ini menjadi kebanggaan diri masyarakat Gorontalo bahwa menjadi bagian dari NKRI adalah ungkapan nyata tentang pentingnya penguatan kesatuan bangsa sebagai modal kemajuan.

Betapa kuatnya semangat kebangsaan yang ada pada masyarakat Gorontalo antara lain ditunjukkan oleh keikhlasannya tetap menjadi bagian dari NKRI, walaupun dalam keadaan sulit (“duka”). Pada saat terjadi pergolakan (“sparatis”) PRRI Permesta di Sulawesi Utara (1950-an), masyarakat Gorontalo dan sekitarnya justeru ikut berjuang dengan gigih untuk tetap menyatu dengan NKRI. Demi menjaga kekuatan NKRI, Gorontalo seakan-akan ikhlas “pasang dada” dihantam gerakan PRRI Permesta. Peran pemimpin bagi masyarakat Gorontalo untuk secara konsisten menyatu dengan NKRI sangatlah besar. Pada saat pemimpin masyarakat Gorontalo (Ayuba Wartabone) mendengungkan semboyan “sekali ke Djogja tetap ke Djogja” pada forum Parlemen Indonesia Timur maka masyarakat Gorontalo umumnya patuh untuk mengikutinya. Kepatuhan masyarakat pada pemimpin yang visioner dan kredibel sangat membantu kemajuan dan ketenangan masyarakat. Masyarakat Gorontalo dapat dikatakan sangat arif dan rasional dalam menyikapi berbagai “kegaduhan” sosio-politik yang terjadi di pusat maupun di daerah sekitarnya.

Kemerdekaan jenis kedua, yaitu ketika Gorontalo berniat ”memisahkan diri” dari bayang-bayang kemajuan Provinsi Sulawesi Utara. Niat ini pada

(6)

akhirnya terwujud pada 2001. Begitu disahkan menjadi provinsi baru, Gorontalo seakan-akan mendapat energi ekstra untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya (melalui kemajuan di sektor pertanian). Dari pengamatan dan wawancara dengan berbagai pihak di Gorontalo diperoleh gambaran bahwa sejak pemisahan diri dari Provinsi Sulawesi Utara, kemajuan Gorontalo dalam banyak hal, tidak hanya di sektor pertanian, sangatlah signifikan. Kemajuan yang dimaksud mencakup juga dalam mencipta-kan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (”good governance”) dan tidak partisan (”inclusive”)

Kemerdekaan jenis ketiga saat ini sedang digagas, yaitu terkait dengan pembebasan masyarakat perdesaan Gorontalo dari berbagai jenis keterbelakangan sosial-ekonomi-politik-budaya. Diharapkan hal ini dapat ditempuh melalui pemberdayaan di sektor pertanian secara menyeluruh. Dalam pemikiran ilmuwan sosial klasik, pembangunan (transformasi) pertanian adalah pembangunan masyarakat pertanian di perdesaan (Dumont, 1971). Pembangunan pertanian dapat dikatakan sebagai sarana atau jalan (means) untuk mewujudkan pembebasan (ends) dari kesengsaraan (kemiskinan dan keterbelakangan multi dimensi) pada masa kini dan mendatang. Globalisasi pasar, yang sangat tidak adil bagi pertanian tradisional, harus dihadapi sebagai tantangan nyata dan sekaligus sebagai peluang untuk mendapatkan ”energi baru” dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani di perdesaan.

Dewasa ini kegiatan pertanian di Gorontalo sedang dirancang secara serius untuk memasuki arena pasar global; keterbukaan terhadap globalisasi pasar diantisipasi melalui perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian secara konprehensif dan terarah. Berbagai program dan rancangan untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan banyak negara secara langsung telah dilakukan oleh pimpinan daerah. Kerjasama yang dimaksud bukan hanya terkait dengan pengembangan pasar produk pertanian yang dihasilkan petani di perdesaan, melainkan juga pada pengembangan pertanian yang berwawasan industri. Konsep agropolitan berskala provinsi, dan bahkan mengajak beberapa provinsi sekitar (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara) dalam jaringan CCB (Celebes Corn Belt), merupakan bagian dari langkah awal yang strategis untuk menempatkan Gorontalo sebagai “calon raksasa” pertanian dari timur Indonesia.

KOMPETENSI DAN KREDIBILITAS PEMIMPIN

Ahli sosiologi pembangunan, seperti Poensioen (1969), menyatakan bahwa peran pemimpin dalam memajukan masyarakat sangatlah menentukan, leadership as a primer mover. Dapat dikatakan bahwa peran pemimpin sebagai penggerak kemajuan sangatlah menentukan. Di depan pun telah dijelaskantentang

(7)

besarnya pengaruh keberadaan seorang pemimpin yang mempunyai visi dan kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat. Gubernur yang sekarang masih aktif, Dr.Ir. Fadel Muhammad, oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai sosok yang memenuhi syarat sebagai pemimpin untuk memajukan masyarakat Gorontalo melalui pembangunan pertanian. Pada diri gubernur terkandung tiga aspek sekaligus, yaitu: kharisma sebagai pemimpin, dan integritas sebagai pemimpin (”how do right thing”), dan kemampuan teknis sebagai manajer (”how do thing right”) pembangunan pertanian.

Bagi sebagian besar masyarakat yang masih berperadaban agraris ketiga aspek ini; yaitu kharisma, integritas dan keahlian teknis memimpin; harus didapati dalam diri seorang pemimpin. Kemampuan mendekati masyarakat, melalui kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa agama masyarakat (Islam), menjadikan sosok gubernur dikenal sebagai orang arif dan patut dihormati. Selain itu, sikap merakyat (egalitarian) ditunjukkan gubernur merupakan bagian esensial dari penerimaan masyarakat secara emosional. Diakui oleh masyarakat luas bahwa kepemimpinan gubernur saat ini, yang berasal dari kalangan pengusaha ulung dan tokoh politik, bukan saja memberikan angin pembaruan yang kuat melainkan juga memberikan kebanggaan yang besar bagi masyarakat pertanian perdesaan di Gorontalo. Pola entreprenurial government, yang dicoba ditegakkan dalam kepemimpinan dan manajemen pemerintahan yang demokratis dan taat hukum oleh gubernur, menjadikan penyelenggaraan pemerintahan mempunyai kekuatan untuk mewujudkan daya saing keseluruhan masyarakat di Gorontalo.

Kompetensi kepemimpinan gubernur ditunjukkan oleh semangatnya dalam membangun pertanian di Gorontalo dengan benar, dengan dilandaskan pada visi ”Gorontalo sebagai provinsi inovasi”. Tenaga ahli dari berbagai subsektor pertanian diundang untuk membantu membangun pertanian di Gorontalo. Walaupun Gorontalo bukan masyarakat bahari yang kuat, visi Gorontalo di bidang perikanan sangatlah kuat mencerminkan provinsi bahari. Tenaga ahli perikanan didatangkan dari luar negeri untuk membantu membangun kegiatan ekonomi berbasis perikanan laut maupun perikanan darat. Pasar luar negeri, untuk hasil dari perikanan laut, dan pasar dalam negeri untuk hasil dari perikanan darat, menjadi salah satu agenda pembangunan perikanan Gorontalo yang sangat penting di masa mendatang.

Kinerja aparat pemerintah adalah elemen strategis kemajuan pemba-ngunan daerah. Oleh Gubernur, kompetensi aparat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota didorong untuk meningkatkan kinerja pelayanannya dalam bentuk peningkatan kemajuan pertanian dan kesejahteraan masyarakat, dengan sejauh mungkin menghindari adanya regulasi yang tidak perlu. Aparat pemerintah daerah didorong untuk menciptakan public values melalui keseluruhan dari kegiatan reformasi birokrasi dalam pemerintahan. Budaya keterbukaan pada masyarakat juga dicanangkan sebagai elemen penting reformasi birokrasi, yaitu dengan membangun transparansi birokrasi sehingga masyarakat dapat berpartisipasi secara intensif dalam penyelenggaraan birokrasi dan mewujudkan sistem

(8)

pemerintahan yang bersih. Tatanan pemerintahan yang baik (clean and good government) dan penegakan supremasi hukum menjadi bagian esensial pemacuan pembangunan di Gorontalo. Pembangunan pertanian benar-nenar diarahkan untuk kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan sekedar menjalankan administrasi keproyekan. Peran aparat sejauh mungkin tidak menjadi beban masyarakat.

Tanpa komunikasi yang baik (Berlo, 1960) tidak dapat dibangun kesamaan visi untuk menggalang kemajuan bersama antara pimpinan dengan masyarakat yang dipimpin. Pesan yang berupa visi dan misi pembangunan pertanian disampaikan Gubernur dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh kalangan masyarakat luas. Kepiawaian gubernur dalam mengkomunikasikan kinerja kepemimpinannya diakui banyak pihak, baik di tingkat lokal, nasional (oleh presiden) maupun luar negeri (PBB). Pengakuan ini tidak saja menembus batas wilayah provinsi, melainkan juga melintasi batas nasional. Sebagai gambaran pada berbagai forum nasional dan internasional, termasuk dalam forum UNDP, gubernur Gorontalo diminta hadir dan memaparkan kisah sukses (”success story”) membangun pertanian di Gorontalo dan dalam melakukan reformasi pemerintahan.

Dari pengamatan langsung di lapangan dapat dikatakan bahwa, berbagai upaya yang dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo bukan saja telah mendapat tanggapan yang sangat positif dari masyarakat pertanian di perdesaan, melainkan juga telah menarik perhatian kalangan luar negeri. Dengan benar-benar memfokuskan pada kemajuan pertanian, sebagai basis utama perekonomian rakyat di perdesaan, kepemimpinan gubernur telah mendapat kepercayaan (trust) dan tempat di hati masyarakat petani di perdesaan. Pengakuan dari pihak luar negeri terhadap kinerja kepemimpinan gubernur pun secara obyektif telah diberitakan pada berbagai media massa cetak dan elektronik. Pada pertengahan Juni 2007, Udensa, lembaga di bawah PBB yang menangani masalah Sosial Ekonomi dan Art Institute For Democratic Governance, Harvard University, telah meminta Gubernur Gorontalo untuk berbagi pengalaman di hadapan sekitar 1500 peserta seminar tersebut.

MEMBANGUN PERTANIAN DENGAN BENAR

Keberhasilan pembangunan pertanian di Gorontalo dilatarbelakangi oleh keseriusan dibentuknya sistem manajemen pemerintahan setempat dalam rangka penyelenggaraan pembangunan pertanian dengan benar. Selain itu, secara sistematik manajemen pemerintahan juga digerakkan untuk benar-benar membangun pertanian. Dalam waktu kurang dari enam tahun Gorontalo telah mendapatkan brand immage di dunia internasional dan nasional sebagai provinsi penghasil produk pertanian yang berkualitas tinggi, khususnya jagung untuk pakan

(9)

ternak. Dalam kasus membangun Gorontalo sebagai salah satu pusat pengembangan jagung berskala dunia, pemerintah Gorontalo membangun Gorontalo International Maize Information Center (GMIC). Selain itu, jaringan kerja agribisnis jagung hulu-hilir berskala internasional juga dibangun dengan melibatkan banyak negara, antara lain: Filipina, Jepang, Korea, dan Malaysia.

Jika selama ini pengembangan pertanian di banyak tempat dihadang oleh masalah pemasaran yang gawat, maka di Gorontalo hal ini yang pada tahap awal telah berhasil dipecahkan. Singkatnya, masalah pemasaran yang sering menghantui peningkatan produksi pertanian di banyak tempat, di Gorontalo hampir secara keseluruhan dapat diatasi dengan baik. Dewasa ini masalah pengembangan jagung dan produk pertanian lainnya bukan lagi pada pemasaran, melainkan pada peningkatan produksi. Permintaan jagung dari pasar luar negeri tahun 2007 telah melebihi kapasitas produksi jagung di Gorontalo. Dalam kurun lima tahun produksi jagung Gorontalo meningkat lebih dari 500 persen; dari 81.720 ton (2001) menjadi 416.222 ton (2006).

Dewasa ini ekspor jagung dari Gorontalo hampir dua kali lipat dari produksi lokal. Beberapa negara; seperti Korea, Filipina dan Jepang; mengimpor jagung dari Gorontalo. Padahal sebagai gambaran, Indonesia saat ini mengimpor tidak kurang dari 1 juta ton jagung dari luar negeri. Gorontalo hingga kini mengalami kekurangan dalam memenuhi permintaan jagung dari negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, selain membeli jagung dari provinsi berdekatan, Gorontalo juga berusaha meningkatkan produksi jagung sebesar lebih dari 50 persen dari produksi sebelumnya. Dengan terbukanya pasar jagung ekspor, secara umum dapat dikatakan bahwa jagung petani Gorontalo terserap habis di pasar.

Berbagai percobaan varitas jagung di lapangan terus digalakkan untuk mendapatkan jagung yang bermutu dan dengan produktivitas tinggi. Untuk menstabilkan harga jagung di pasaran dibuat kebijakan harga jagung minimal melalui SK Gubernur. Lembaga BUMD dikerahkan untuk menopang kebijakan tersebut, sehingga harga jagung di Gorontalo lebih tinggi dibanding di Jakarta. Untuk menjaga kepercayaan pembeli jagung dari luar negeri, kasus Korea, pemerintah daerah melakukan penalangan biaya untuk menopang harga jagung petani. Harga jagung di tingkat petani lebih tinggi dibanding harga pembelian oleh pengusaha jagung dari Korea. Kebijakan harga jagung minimum juga diterapkan melalui SK Gubernur.

Pilihan jagung sebagai fokus pembangunan pertanian di Gorontalo tidak semata-mata untuk menjadikan jagung sebagai satu-satunya produk pertanian yang diandalkan. Selain kesesuaian budaya dan agroekosistem, keberhasilan inovasi dalam pengembangan jagung diharapkan akan menghasilkan efek domino yang positif bagi pengembangan produk pertanian lainnya. Keberhasilan inovasi dalam satu sektor akan membuka inovasi di sektor lainnya, yang pada akhirnya akan mendorong terciptanya suatu lingkungan yang positif bagi perubahan dan inovasi lainnya. Inovasi seperti pengembangan sapi potong (untuk diekspor ke

(10)

Malaysia), dan perbenihan ikan air tawar (dalam rangka untuk ekspor ikan air tawar) merupakan contoh nyata.

REFORMASI BIROKRASI DAN CIVIL SOCIETY

Dalam kurun lima tahun terakhir, setelah Gorontalo menjadi provinsi (ke 30), Provinsi Gorontalo menempati posisi pertama sebagai daerah yang melaksanakan tata pemerintahan yang baik setelah Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian dari Universitas Gadjah Mada menujukkan bahwa Gorontalo merupakan satu-satunya provinsi yang dianggap berhasil mengelola keuangan daerah secara transparan dan terbuka kepada publik. Pengelolaan pemerintahan yang efektif merupakan obsesi seorang Fadel Muhammad, yang sekarang masih aktif sebagai Gubernur Gorontalo. Karena keberhasilanya, ia diundang khusus oleh Director for Public Administration and Development Management, Department of Economic and Social Affair, PBB, untuk menyampaikan pengalamannya dalam mengelola administrasi pemerintahan selama menjadi Gubernur di Provinsi Gorontalo.

Dalam wawancara di lapangan ditemukan beberapa kasus cukup menarik, yang menunjukkan betapa kuatnya keberpihakan pemimpin pemerintahan setempat terhadap kemajuan pertanian rakyat di perdesaan. Suatu ketika sebuah kendaraan beroda 4, yang membawa benih jagung, diminta berhenti oleh polisi. Ketika disampaikan oleh pengemudi bahwa muatan kendaraan adalah benih jagung hibrida yang dijadikan program Gubernur, maka seketika itu kendaraan beroda 4 tersebut diminta polisi untuk segera melanjutkan perjalanan. Kasus yang mirip dijumpai saat sedang dalam perjalanan dengan mobil, yang di tengah jalan dihentikan oleh aparat kepolisian. Ketika pengemudi mengatakan bahwa penumpangnya adalah tamu gubernur yang sedang melakukan penelitian pertanian, maka mobil dipersilahkan jalan terus.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah telah menjadi bagian dari pengetahuan aparat di lapangan. Para aparat di lapangan sangat paham bahwa pengembangan jagung, sebagai maskot pembangunan pertanian di Gorontalo, perlu dijadikan bagian dari tugas sehari-hari. Suatu gambaran yang lebih kontras bahwa aparat pemerintah yang mengurusi bidang keagamaan pun tidak canggung menjelaskan tentang pengembangan jagung sebagai usaha ekonomi yang kompetitif, dan juga dengan fasih menjelaskan pada publik tentang program pengembangan jagung di Gorontalo. Pengetahuan tentang pengembangan jagung di Gorontalo telah menjadi susuatu yang wajib bagi aparat setempat.

Reformasi birokrasi dinilai bukan saja dapat menekan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), melainkan juga untuk meningkatkan efektivitas

(11)

pelayanan birokrasi dalam pemacuan pertumbuhan ekonomi berbasis kemajuan pertanian. Hal ini dalam beberapa tahun terakhir sangat dirasakan masyarakat pelaku agribisnis jagung, baik yang berasal dari dalam Gorontalo maupun pedagang importir dari luar negeri (misalnya dari Filipina). Sebagai gambaran, reformasi birokrasi telah menghilangkan banyak pungutan atau retribusi yang membebani kegiatan ekonomi. Secara formal pemerintah membangun sistem regulasi yang meniadakan pungutan, baik pungutan resmi maupun “liar” di jalanan, yang berdampak sangat positif bagi pembangunan pertanian.

Kepemimpinan dan sistem birokrasi pemerintahan di Gorontalo menganut teknik “menjemput bola” dalam setiap penyelesaian masalah pertanian sehari-hari di masyarakat. Komunikasi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dibangun secara intensif dengan memanfaatkan teknologi informasi mutakhir. Penggunan HP untuk menyalurkan informasi dari masyarakat pada aparat pemerintah (termasuk kepada Gubernur secara langsung), misalnya melalui SMS, telah dilembagakan secara intensif. Sering dijumpai, Gubernur sendiri yang langsung turun menemui masyarakat petani di perdesaan untuk melakukan pemotongan jalur birokrasi yang tidak efisien dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat petani di perdesaan.

Selain demokrasi, penyelengaraan administrasi publik merupakan elemen penting dari good governance untuk menanggulangi berbagai bentuk keter-belakangan, terutama kemiskinan dan kurangnya pengetahuan. Menurut Gubernur Gorontalo, reformasi birokrasi dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan kinerja aparat pemerintah dalam melayani kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan itu, Gubernur Gorontalo mengajak segenap jajaran birokrasi dan rakyat Gorontalo untuk meningkatkan kinerja ekonomi daerah melalui tiga agenda pembangunan daerah, yaitu: pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), pembangunan pertanian dengan fokus pada maize economy, dan pembangunan perikanan dan kelautan. Pembangunan yang fokus telah berhasil memacu laju pertumbuhan ekonomi Gorontalo lebih dari 7,0 persen per tahun, dan ini merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia.

Bekerja di luar pertanian, terutama menjadi pegawai negeri, merupakan cita-cita sebagian besar petani di Gorontalo terhadap anaknya. Walaupun demikian, bekerja di pertanian bagi masyarakat Gorontalo bukanlah sesuatu yang memalukan. Gambaran agak berbeda kita temukan pada saat kita amati apa yang terjadi pada pembangunan pertanian yang digerakkan birokrasi di tingkat pusat. Kekakuan birokrasi sangat terasa, dalam arti birokrasi kurang menunjukkan rasa bersahabat dengan upaya menjadikan kegiatan pertanian sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang kuat. Kebanyakan petani di Indonesia bagian barat masih menganggap bahwa pekerjaan di pertanian adalah ”keterpaksaan” yang sangat berat. Bahkan banyak dijumpai petani yang memilih menjadi tukang becak di pinggiran perkotaan, karena mudahnya mendapatkan uang tunai, dari pada menggeluti kegiatan pertanian berlahan sempit dan berteknologi serba manual.

(12)

MODAL SOSIAL DAN KEARIFAN LOKAL

Secara historis, pertanian di Gorontalo dapat dipandang sebagai sinergi budaya masyarakat dengan kekuatan modal alam dan biodiversitas setempat.

Kekuatan modal sosial dan kearifan lokal dimanfaatkan dengan intensif untuk membangun kelembagaan usaha pertanian tradisional. Keorganisasian masyarakat petani di perdesaan terbangun oleh empat pilar sekaligus, yaitu: (1) pilar hubungan saling percaya secara horisontal antar anggota masyarakat; (2) hubungan saling menghormati antara masyarakat dengan birokrasi pemerintah, (3) hubungan saling menghormati antara masyarakat petani dengan pengusaha pertanian di sektor hulu dan hilir; dan (4) antara masyarakat dan birokrasi di satu sisi dengan publik melalui media massa di sisi lain. Empat pilar ini dibangkitkan oleh tiga nilai budaya dasar, yaitu: saling percaya (mutual trust), harga diri sebagai masyarakat, serta semangat inovasi untuk mandiri secara sosial-ekonomi.

Pemerintah Gorontalo secara aktif membangun jaringan kerja sama yang kuat, baik melalui jalur ekonomi dan pemasaran, politik-pemerintahan dengan negara luar dan pemerintah daerah lain, alih pengetahuan dengan lembaga yang memiliki potensi kepakaran, serta tokoh masyarakat di tingkat nasional dan internasional. Sebagai gambaran, dalam rangka pengembangan sejuta ternak sapi, saat ini pemerintah Gorontalo telah menggalang kerjasama yang intensif dengan pemerintah Malaysia. Kerjasama ini diarahkan dalam rangka memasok kebutuhan daging masyarakat Malaysia. Kerjasama dengan pemerintah Korea antara lain dalam rangka pemasokan kebutuhan jagung untuk pasar Korea. Kerjasama dengan pengusaha Jepang dalam rangka membuka pasar untuk produk perikanan laut yang berasal dari ikan dan rumput laut.

Kerjasama untuk transfer pengetahuan pertanian dilakukan secara lintas negara, antara lain dengan Pemerintah Gambia (pertanian tanaman pangan) dan Jepang (budidaya perikanan laut). Kerjasama dalam skala domestik dilakukan dengan beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten. Sebagai gambaran, dilakukan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi di perdesaan Gorontalo untuk memenuhi kebutuhan daging Malaysia. Kerjasama juga dilakukan dengan pemerintah Provinsi, Kalimantan Selatan, Lampung dan Sulawesi Tengah. Jaringan kerjasama lintas wilayah pemerintahan ini sangat dibutuhkan dalam rangka memobilisir sumberdaya pertanian untuk mendapatkan keuntungan bersama (”mutual benefit”) dari kekuatan pasar lintas negara.

Kemajuan masyarakat diawali dengan penguatan nilai-nilai sosial pada masyarakat bersangkutan (Harrison, 2000). Nilai-nilai budaya produktif, yang mempunyai kekuatan nyata untuk menggerakkan pembangunan pertanian setempat, haruslah dipandang sebagai kekayaan masyarakat setempat yang bersumber dari kearifan lokal (local wisdom). Terbangunnya tata nilai saling percaya (mutual trust) dan menghormati (mutual respect) hak orang lain adalah

(13)

pengembangan dari kearifan atau kreativitas kolektif masyarakat setempat. Kedua jenis tata nilai komposit ini sangat penting untuk mendorong kemajuan berupa terwujudnya kemandirian dan keadilan di masyarakat. Organisasi sosial yang terbentuk masih merupakan hasil proses yang berlangsung secara alamiah, dan lebih berwatak budaya dari pada ekonomi. Keorganisasian ekonomi petani saat ini belum tumbuh dengan baik karena kecerdasan budaya setempat belum ditransmisikan secara mulus menjadi kecerdasan kolektif masyarakat dalam keorganisasian ekonomi (organized collective entrepreneurship).

Tanaman jagung merupakan bagian dari budaya pertanian di Gorontalo. Saat ini jagung telah berhasil dijadikan simbol kesejahteraan petani dan kebanggaan daerah. Di muka telah dikemukakan bahwa kemajuan masyarakat Gorontalo bukan hanya pada keberhasilan dalam mengembangkan agribisnis jagung. Pemilihan jagung sebagai entry point untuk pembangunan pertanian di Gorontalo adalah bagian dari jejak-jejak pemanfaatan kearifan lokal. Kecerdasan masyarakat setempat dalam menerjemahkan perilaku agroekosistem setempat untuk pengembangan agribisnis jagung atau menjadikan Gorontalo sebagai provinsi agropolitan, merupakan bagian pemaanfaatan yang cerdas terhadap khasanah kearifan lokal masyarakat Gorontalo. Kualitas jagung Gorontalo, sebagai pengaruh dari agroklimat, lahan dan ekosistem setempat; merupakan salah satu kekhasan Gorontalo.

Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan gubernur yang sekarang ada sangatlah tinggi. Jika ditambahkan dengan aspek sikap keterbukaan dan demokratis sebagian besar masyarakat terhadap berbagai perubahan, kekuatan kepemimpinan gubernur menjadi lebih besar. Gabungan dari kedua aspek tersebut telah membentuk energi sosial yang kuat untuk menggerakkan masyarakat pertanian di perdesaan ke arah kemajuan. Dari hasil Pilkada Gubernur tahun 2006, pemimpin pemerintahan sekarang mendapat kepercayaan besar, mendapat lebih dari 80% suara pemilih, dari masyarakat setempat. Beranjak dari pengalaman kemajuan di jagung, masyarakat perdesaan di Gorontalo menjadi lebih terbuka untuk haus dan menyerap inovasi pertanian lainnya. Kemajuan di bidang usaha peternakan, perikanan, padi hibrida, dan pengolahan hasil pertanian yang diarahkan untuk menjangkau pasar global akhir-akhir ini hampir menjadi penghias berita media massa secara rutin.

BEBERAPA KELEMAHAN

Di balik wajah manis perkembangan pertanian di Provinsi Gorontalo, tetap saja belum menggambarkan apa yang secara ideal ingin dicapai masyarakat setempat. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang masih perlu dilihat sebagai titik lemah. Kelemahan utama pengembangan pertanian di Provinsi Gorontalo adalah pada bingkai transformasi ke arah industrialisasi perdesaan berbasis usaha pertanian. Kemajuan pertanian belum digerakkan dalam bingkai transformasi

(14)

(industrialisasi) pertanian secara utuh dan kuat. Penanganan kemajuan pertanian di Gorontalo masih terkesan dilakukan secara tersekat-sekat, dan tidak mengutamakan peran petani atau pelaku ekonomi di perdesaan secara utuh. Beberapa uraian di bawah ini lebih menjelaskan tentang masih adanya beberapa kelemahan serius kemajuan pertanian di Gorontalo.

(a) Peran swasta nonpetani berskala usaha besar terlalu mendominasi sistem agribisnis jagung. Kehadiran kalangan swasta nonpetani ini adalah atas prakarsa pribadi Gubernur Gorontalo. Diperkirakan hal ini terkait dengan latar belakang Gubernur sebagai pengusaha besar, yang bukan dari kalangan petani. Kekuatan kewirausahaan masyarakat setempat dalam ikut serta pengem-bangan pertanian di sektor tengah dan hilir masih relatif lemah.

(b) Keorganisasian petani di perdesaan belum dikembangkan ke arah penguatan keorganisasian usaha berbasis pertanian. Organisasi petani di perdesaan masih terfokus pada kegiatan pertanian hulu, khususnya usahatani atau usaha ternak dan usaha ikan. Dengan hanya menguasai kegiatan di bagian hulu (pertanian), peluang masyarakat perdesaan menikmati nilai tambah produk pertanian (dari pemasaran global) menjadi relatif kecil.

(c) Kelembagaan modal finansial untuk pengembangan industrialisasi pertanian di perdesaan belum ditangani secara profesional, sesuai dengan karakter usaha di sektor pertanian. Lembaga perbankan belum secara intensif dapat memberikan pelayanan penyediaan modal usahatani bagi petani di perdesaan. Kelangkaan permodalan finansial untuk kegiatan pertanian khususnya di sektor hulu masih sangat terasa, sementara di sektor tengah dan hilir relatif tidak terasa.

(d) Sistem penyuluhan pertanian belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan pertanian perdesaan. Kegiatan penyuluhan pasca 1990-an terasa kurang memberikan kontribusi yang kuat bagi kemajuan pertanian setempat. Sebagian besar program dan kegiatan pengembangan pertanian dewasa ini lebih banyak yang langsung ditangani aparat dinas; terutama dinas pertanian, peternakan dan perikanan.

(e) Kegiatan pertanian masih dilakukan secara sendiri-sendiri dalam petakan-petakan relatif sempit dalam sistem pertanian keluarga. Konsolidasi hamparan lahan pertanian, sebagai pertanian terorganisir (organized farming), belum dijadikan bagian dari reforma agararia, sehingga secara alamiah masing-masing blok hamparan lahan secara fungsional tidak saling terikat. Dengan gambaran ini peluang diterapkannya teknologi pertanian mekanis menjadi semakin sempit. Kegiatan pertanian yang tidak didukung dengan aplikasi teknologi mekanis dinilai akan kurang efisien dan efektif.

Dengan gambaran ini, perkembangan pertanian pada masyarakat perdesaan di Gorontalo diperkirakan akan menghadapi dilema, yang pada suatu saat akan menjumpai batas-batas dimana pertanian tidak dapat berkembang lagi

(15)

(limits to growth). Pemecahan terhadap masalah ini hendaknya mulai dirancang sejak dini, dan tidak menunggu dipikirkan setelah masalah batas-batas pertumbuhan yang dimaksud sudah menjadi kenyataan di depan mata. Pengembangan pertanian di Provinsi Gorontalo perlu dilakukan perancangan kembali secara lebih utuh dengan bingkai transformasi pertanian (industrialisasi pertanian di perdesaan). Ada baiknya, kekuatan kepemimpinan Gubernur sekarang dimanfaatkan untuk berinisiatif mengadakan pertemuan dalam rangka membahas secara kritis pengembangan pertanian di Gorontalo ke depan.

Melalui perancangan yang terarah dan sistematik, pertanian di Gorontalo bukan saja dapat dibangkitkan, melainkan juga dapat dijadikan amal dari pembangunan peradaban baru di bumi Indonesia bagian timur. Dalam rangka penajaman dan pemacuan pengembangan pertanian ke depan di Gorontalo, industrialisasi perdesaan dan reforma agraria perlu dilakukan secara bersamaan. Dengan mensenyawakan reforma agraria dan industrialisasi perdesaan, dengan didukung sistem penyelengaraan pemerintahan yang baik (good governance in governmental activities ), maka impian menjadikan Gorontalo sebagai bintang timur pertanian Indonesia bukan suatu angan-angan kosong. Selanjutnya hal ini dapat memberikan inspirasi dan sekaligus teladan bahwa provinsi lain pun dapat melakukan hal yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan di Gorontalo.

.

PENUTUP

Dari hasil pembangunan pertanian di Gorontalo dapat ditarik banyak pelajaran bahwa sektor pertanian ternyata masih dapat diandalkan sebagai kekuatan besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Adalah tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa seluruh kegiatan pertanian rakyat di Indonesia, khususnya di luar Jawa dan Indonesia bagian timur, mencerminkan keterbelakangan. Peran ganda pembangunan pertanian antara lain ditunjukkan bahwa kemajuan pertanian diarahkan untuk dua tujuan sekaligus, yaitu pemenuhan ketahanan pangan masyarakat dan kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan. Jika pembangunan pertanian diarahkan sekedar untuk pemenuhan ketahanan pangan kemungkinan besar kita akan mudah terjebak dalam “inward looking trap” yang justeru akan berimplikasi negatif terhadap pembangunan pertanian itu sendiri.

Pembangunan pertanian di perdesaan harus bervisi industri yang propasar dan keadilan sosial. Artinya bahwa usaha pertanian di perdesaan diarahkan untuk memenuhi dua kepentingan sekaligus, yaitu (1) memenuhi pemintaan pasar terbuka; dan (2) agar kebutuhan masyarakat dapat.terpenuhi dari hasil usaha pertanian. Berkaitan dengan pro pasar, usaha pertanian di perdesaan haruslah mampu menghasilkan produk yang bernilai tambah maksimum, dan kualitasnya memenuhi kebutuhan konsumen di pasar global. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, dari hasil usaha pertanian secara langsung (misalnya bahan

(16)

pangan) maupun tidak langsung (melalui peningkatan daya beli) haruslah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pertanian di perdesaan.

Dengan gambaran di atas, ke depan perlu ada perubahan mind-set dalam pembangunan pertanian. Visi pembangunan pertanian pun harus disinkronkan kembali dengan misi konstitusi, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Pembangunan pertanian harus dirancang secara komprehensif sebagai sektor yang memiliki daya saing ekonomi relatif tinggi dan menjadi sektor unggulan dalam pembangunan. Industrialisasi perdesaan dan reforma agraria merupakan sepasang sayap dari ”tubuh” pengembangan ekonomi perdesaan berbasis sumberdaya (masyarakat, alam, hayati, prasarana, finansial dan sosio-budaya-politik) setempat. Dengan pandangan ini industrialisasi pertanian dan reforma agraria dipadukan secara sinergis untuk dijadikan ”kendaraan” dalam rangka mewujudkan konsep agropolitan berskala provinsi (atau bahkan lintas provinsi) yang berkeadilan sosial.

Kegiatan pertanian di perdesaan harus dipandang sebagai ”ibu kehidupan” karena dari kegiatan ini terjadi pensenyawaan antara kekuatan alam (air, cahaya matahari, klorofil, nutrisi tanah, dan komplek udara yang antara lain berupa O2 dan CO2) dan manusia sebagai sumber kehidupan (food cycle). Dengan terbukanya sarana transportasi dan informasi, hampir tidak akan ada lagi masyarakat yang terisolasi dengan sumber-sumber kemajuan. Sejalan dengan itu usaha pertanian ke depan pun tidak lagi dapat dilakukan secara tertutup. Kekuatan permintaan masyarakat luas terhadap produk pertanian harus dijadikan acuan perencanaan pengembangan usaha pertanian. Dua kekuatan pasar yang harus dimainkan secara seimbang, yaitu kekuatan (permintaan) pasar global dan pasar domestik. Pemenuhan pasar domestik perlu dilandaskan pada spirit kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan sendiri, agar secara nasional kita tidak banyak tergantung pada produk impor. Sedangkan poros kekuatan pasar global adalah untuk peningkatan daya saing masyarakat perdesaan dalam kancah pergaulan internasional.

Selain perlunya landasan visi ke depan yang kuat, keberhasilan pembangunan pertanian terkait erat dengan pembentukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, profesional dan kompeten; clean and competence government officials. Reformasi tatanan birokrasi dan pemerintahan perlu dijadikan faktor strategis dalam pembangunan pertanian di tingkat daerah maupun nasional, dan hal itu baru dapat berjalan baik jika dikawal oleh sosok pemimpin yang memenuhi syarat. Pemilihan sosok yang memimpin pembangunan pertanian yang tepat menjadi bagian sentral dari keberhasilan pembangunan pertanian. Sosok pemimpin tersebut paling tidak harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu: kompetensi, kepedulian dan kredibilitas. Ketiga persyaratan tersebut bersifat universal dan inklusif. Kepemimpinan yang tercampuri orientasi atau kepentingan ”partisan” justru akan menjadi penghalang besar bagi upaya memajukan pertanian secara menyeluruh.

(17)

Beberapa kelemahan yang masih perlu diperhatikan dalam pengembangan pertanian di Gorontalo yaitu: masih dominannya peran swasta besar (pelaku ekonomi lokal masih relatif lemah), keorganisasian petani yang utuh dalam mengelola agroindustrial di perdesaan; kelembagaan modal finansial dalam mendukung agroindustrial di perdesaan; sistem penyuluhan pertanian secara komprehensif di perdesaan; serta konsolidasi lahan pertanian sebagai basis pengembangan agroindustrial di perdesaan. Kesemuanya itu perlu diarahkan bagi terbangunnya sistem pertanian industrial berbasis corporate society di perdesaan, agar pembangunan pertanian pada akhirnya tidak tergantung hanya pada peran aparat pemerintah. Pembangunan pertanian harus dipandang sebagai pengembangan masyarakat madani (civil society) yang berciri mandiri, solidaristik dan berkeadilan sosial. Pembangunan pertanian jangan sampai mengalineasi masyarakat dengan hasil dari pembangunan pertanian itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2008. Sejarah Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. http://distan.gorontaloprov.go.id/index.php?option=com_content& task=view&id=151&Itemid=98 [25/08/08]

Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York.

Dumont, R. 1971. Agriculture as Man’s Transformation to The Rural Environment. In Peasants and Peasant Societies (Edited by T. Shanin). Penguin Book Inc. Middlesex.

Harrison, E.H. 2000. Why Culture Matters. In Cultures Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Huntington). Basic Books. New York.

Poensioen, J.A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsidered: A Sociological Study. The Hague. Paris.

Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Puspa, A. 2008. Penggalan Sejarah Bukti Hebatnya Industri Pertanian, Kehutanan dan Kelautan. Peta Konsep Anak Bangsa. http://pkab.wordpress.com/2008/08/08/ penggalan-sejarah-bukti-hebatnya-industri-pertanian-kehutanan-dan-k/

[25/08/08]

Sajogyo. 1974. Modernization without Development in Rural Java. (A Paper Contributed to the Study on Changes in Agrarian Structure, FAO of UN, 1972-1973). Bogor Agricultural University. Bogor.

Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi hijau dan perubahan sosial di perdesaan Jawa. PRISMA, X(2):3-14. LP3ES. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Persönlichkeit der Hauptfigur im Roman "Siddhartha" von Hermann Hesse von dem psychologischen Ansatz angesehen und Schizoide Symptome der Hauptfigur im

Untuk mencegah terjadinya terjadinya kelongsoran kelongsoran lereng lereng maka maka seorang seorang ahli dibidang teknik sipil harus memahami kondisi geologi ahli

Ketika seseorang memiliki masalah kemudian muncul situasi atau kondisi yang tidak nyaman, kemudian muncul reaksi kecemasan, maka pada awalnya reaksi emosi yang

Sedangkan akta PPAT dibuat dalam bentuk in originali sebanyak 2 rangkap yaitu : Lembar pertama sebanyak 1 rangkap oleh PPAT yang bersangkutan disimpan di Kantor PPAT,

Rasa bangga seseorang menjadi mahasiswa FISIP di USU yang telah memiliki nama baik dan dikenal, menjadi hal yang positif untuk mahasiswa tersebut walaupun terkadang ia ada

Peran stakeholder dalam konservasi TNKpS lebih dominan pada peran positif yang berdampak baik terhadap fungsi perlindungan kawasan, pengawetan keanekaragaman hayati dan

a) Guru menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilaksanakan yang berhubuingan dengan tema hari ini. b) Guru memperlihatkan media yang akan digunakan berupa poster/gambar

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menje- laskan gambaran polimorfisme genetik sebagai faktor risiko terjadinya penyakit periodontal dengan mendeteksi gen IL-1β