• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL- URF DAN AL- ADAH; LOCAL WISDOM MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM. Makalah Mata Kuliah Fiqh-Ushul Fiqh. Oleh: Novi Arizatul Mufidoh ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AL- URF DAN AL- ADAH; LOCAL WISDOM MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM. Makalah Mata Kuliah Fiqh-Ushul Fiqh. Oleh: Novi Arizatul Mufidoh ( )"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

AL-‘URF DAN AL-‘ADAH; LOCAL WISDOM MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

Makalah Mata Kuliah Fiqh-Ushul Fiqh

Oleh:

Novi Arizatul Mufidoh (1802048005)

PROGRAM MAGISTER ILMU FALAK FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG 2019

(2)

1

AL-‘URF DAN AL-‘ADAH; LOCAL WISDOM MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

Oleh: Novi Arizatul Mufidoh

Magister Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang

[email protected]

Dalam penerapannya, hukum Islam berupaya mengakomodir tradisi shahih yang berkembang di suatu masyarakat. Sebagaimana awal proses pensyari‗atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi shahih masyarakat Arab pra Islam. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama Malikiyah dengan banyak melestarikan tradisi (a‗mal) ahl al-madinah— sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam ketetapan hukum mereka.

Sebagai contoh, di Indonesia terdapat banyak tradisi yang telah mengakar dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat tertentu. Tradisi-tradisi yang mampu melalui proses seleksi dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh, selanjutnya dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang bercorak kedaerahan ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam penyelesaian problematika hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut. Begitu pula dengan berbagai tradisi yang berlaku di Negara atau daerah lain. Dengan beragam kondisi dan tradisi yang berkembang, tentu saja dapat dijadikan sebuah formulasi kearifan local yang dapat menjawab problematika hukum Islam sesuai tradisi kedaerahan.

(3)

2 Pendahuluan

Dalam sejarahnya, ajaran Islam yang dibawakan oleh nabi Muhammad saw diturunkan pada masyarakat Arab yang telah memiliki banyak budaya. Masyarakat Arab itu tentu saja memiliki tradisi-tradisi dalam istilah hukum Islam dikenal dengan istilah „urf atau „adah yang telah membudaya, melekat erat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika ajaran Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab yang baik lalu diakomodir kedalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam lalu dilarang. Begitulah bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada di masyarakat. Ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam, ada juga ajaran-ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian „urf, macam, landasan pensyari‟atan, syarat penerimaan, serta posisinya dalam legislasi hukum Islam.

Pengertian Al-‘Urf dan Al-‘Aadah

Secara etimologi, al-‗urf berasal dari akar kata ‗arafa,

ya‗rifu yang berarti “sesuatu yang dikenal, dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Al-‗urf menurut bahasa juga memiliki

(4)

3

arti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, diterima oleh pikiran yang sehat.1

Sedangkan secara terminologi, ‗urf ialah “sesuatu yang sudah dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya”.2 Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‗urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai dimana mereka biasa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.3

Lebih terangnya, ada beberapa pendapat tentang pengertian ‗urf, yakni:

a. Menurut Ulama ‗Ushuliyyin, ‗urf adalah Apa yang bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan, atau meninggalkan.4

b. Menurut ahli fiqh yaitu

َسيَو ٍك ْرتْوا ٍلِعف ْوا ٍلْىَق ْنِم ِهْيلَعاوُراَسَو ُسَّانلا ُهَفَراَعت اَم

ُ َةد اَعْلا ىَّم

1

A Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, h. 77.

2 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:

Kencana, 2012, h. 71.

3

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1993, h. 134.

(5)

4

―Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan.5

c. ‗urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqih, „urf disebut adat (adat kebiasaan.6

d. ‗urf Menurut Imam Ghazali

َّرَقتْسا اَم

فنلا يِف

هَّتقَلتَو ِلُىُقعلا ِتَهِج نِم ِسُى

ِلُىَبقلاِب ُتَمْيِلَّسلا ُعاَبِّطلا

Keadaan yang sudah tetap pada diri manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sehat‖.

Dari beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa ‗urf adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan

5 Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman SW, Pengantar

Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1, Yogyakarta: Lembaga Studi Filasafat Islam, 1994, h. 118-119.

6 Mu‟in umar, dkk. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Direktorat Jendral

(6)

5

dengan syari'at Islam. Namun, jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at Islam, maka kebiasaan tersebut dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.

Diantara para ulama, ada yang menyatakan bahwa pengertian „urf sama dengan ‗adah, keduanya muradif. Ada juga yang berpendapat, jika „urf berarti amalan yang telah diketahui, sedangkan adat adalah kebiasaan yang umum dilakukan. Keduanya diakui sebagai sumber hukum pembantu oleh semua madzhab hukum. Madzhab Maliki lebih

menekankan pentingnya adat daripada madzhab yang lain.7 Selanjutnya, Amir Syarifuddin menyatakan bila diperhatikan kedua kata tersebut dari segi asal penggunaan dan akar katanya, maka terdapat perbedaan antara keduanya. Kata „adah berasal dari kata ‗ada, ya‗udu yang mengandung arti pengulangan (tikrar). Sesuatu dikatakan sebagai ‗adah jika telah dilakukan secara berulang. Namun tidak ada ukuran dan banyaknya pengulangan sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sebagai „adah. Kata ‗urf tidak mengacu pada segi berulang kalinya suatu perbuatan itu dilakukan tetapi dari segi

7 Abdur Rahman, Shari‗ah the Islamic Law, terj. Bashri Iba

Asghary & Wadi Masturi, Shari‗ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, h. 129.

(7)

6

bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Kata „adah hanya memandang dari segi pengulangan suatu perbuatan itu dilakukan dan tidak meliputi penilaian segi baik atau buruknya perbuatan tersebut sehingga dapat dinyatakan ia berkonotasi netral. Sedangkan „urf digunakan dengan memandang segi pengakuan terhadap suatu perbuatan, diketahui dan diterima oleh penilaian banyak orang. Dengan demikian kata „urf mengandung konotasi baiknya perbuatan tersebut sebagaimana penggunaannya dalam QS. al-A‟raf/7: 199.

Jika ditelusuri kembali, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil dalam mengartikan kedua kata tersebut. Keduanya mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan yang telah dilakukan berulang menjadi dikenal dan diakui banyak orang; sebaliknya karena perbuatan tersebut telah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang-ulang.

Macam-macam ‘Urf

Para ulama ushul fiqh membagi „urf dengan 3 tinjauan, yakni dari segi objek „urf, ruang lingkup penggunaan, dan dari keabsahannya menurut pandangan syara‟.

(8)

7

Dari segi objeknya, „urf dibagi menjadi ‗urf lafzhi dan

‗urf amali. „Urf lafzhi ialah kebiasaan masyarakat dalam mengunakan ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang difahami dan terlintas dalam pikiran mansyarakat. Misalnya penyebutan daging yang berarti daging sapi atau kambing, tidak termasuk daging ikan laut meski hakikatnya ikan laut juga mempunyai daging.

Sedangkan yang dimaksud „urf „amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan muamalah keperdataan, seperti kebiasaan melakukan akad atau transaksi tertentu dengan cara tertentu sesuai yang telah berlaku.8

Dari segi ruang lingkup penggunaannya, „urf terbagi menjadi ‗urf ‗ammah dan ‗urf khashshah. „Urf „amm adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan selruh daerah. Sedangkan „urf khash ialah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya kebiasaan yang berlaku khusus di kalangan para pedagang, kalangan para pengacara hokum, dan kebiasaan di daerah tertentu yang berbeda dengan kebiasaan di daerah lain.9

8 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas,

2008, h. 211-213.

(9)

8

Sedangkan dari segi keabsahannya menurut pandangan syara‟, „urf terbagi menjadi ‗urf shahih dan ‗urf fasid. Pembagian „urf ini merupakan pembagian yang paling penting berkaitan dengan pembahasan „urf sebagai dalil syara‟, karena persoalan itulah yang disorot secara khusus dan menjadi ukuran penggunaan „urf.

„Urf shahih, ialah kebiasaan yang berlaku ditengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudlarat kepada mereka.10 Abdul Wahab Khallaf menambahkan pernyataan “tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib”,11

contohnya seperti akad istishna‟, contoh lain dimasa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

Sedangkan „urf fasid ialah kebiasaan yang bertentangan dengan hukum syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. Misalnya tradisi perdagangan yang mengandung riba di kalangan para pedagang, tradisi penyuapan, dll.

10 Ma‟ruf Amin, Fatwa…, h. 213.

(10)

9 Landasan Hukum ‘Urf

Urf dapat diterima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain:

1. Surat al-A‟raf ayat 199;

هيلهاجلا هع ضرعأو فرعلاب رمأو وفعلا ذخ

―Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A‟raf: 199)

Kata al-„Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.12

2. Pada dasarnya, syari‟at Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan seluruh tradisi

12 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005. 13 Satria Effendi, M. Zein, Ushul…

(11)

10

yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif, ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Contoh adat kebiasaan yang diakui, seperti kerja sama dagang dengan cara berbagi untung

(al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam.

Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, apabila memenuhi beberapa persyaratan.13

Selain itu, sebagaimana contoh dalam suatu negara, di Indonesia misalnya, setidaknya ada dua kelompok besar yang terlibat dalam pembahasan tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia; yakni kelompok yang menekankan pendekatan normatif (formalisme) dengan perpendapat bahwa Islam adalah lengkap, dan kelompok yang menekankan pendekatan kultural (budaya) yang berpandangan akan pentingnya penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam masyarakat.13 Sehingga dalam hal ini, penyerapan budaya terlebih yang berkaitan dengan adat kebiasaan („urf) masyarakat adalah sangat mungkin untuk dijadikan sebagai landasan formulasi hukum.

13

Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, Al-Ahk am, V.25 No. 1, 2015, h. 10.

(12)

11 Syarat Penerimaan ‘Urf

Ulama yang menerima dan mengamalkan „urf sebagai dalil hukum menetapkan 4 syarat, yakni:

a. „urf bernilai maslahat, dalam arti dapat memberikan kebaikan kepada umat dan menghindarkan umat dari kerusakan dan keburukan.

b. „urf berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tertentu.

c. „urf telah berlaku sebelum muncul penetapan hukum pada sebuah persoalan. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hokum telah lebih dulu ada sebelum kasus kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

d. „urf tidak bertentangan dengan dalil syara' yang ada.14 Kehujjahan ‘Urf sebagai Dalil Hukum Syara’

Pada umumnya, „urf yang sudah memenuhi syarat diatas dapat diterima secara prinsip.15 Ulama ushul fiqh sepakat bahwa „urf yang tidak bertentangan dengan syara‟ baik itu ‗urf amm dan ‗urf khash maupun ‗urf lafzhi dan ‗urf amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara‟.

14 Amir Syarifuddin, Garis-garis …, h. 74. 15 Amir Syarifuddin, Garis-garis …,

(13)

12

Golongan Hanafiah menempatkan „urf sebagai dalil dan mendahulukannya atas qiyas, yang disebut istihsan ‗urf.

Golongan Malikiah menerima „urf terutama „urf penduduk Madinah dan mendahulukannya dari Hadist yang lemah.

Demikian pula berlaku di kalangan ulama Syafi‟iyyah yang menetapkannya dalam sebuah kaidah: ―Setiap yang datang

padanya syara‗ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam syara‗ atau bahasa, maka dikembalikan kepada ‗urf.15

Berkaitan dengan persoalan ini, Muhammad Atho‟ Mudzhar menjelaskan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi bagaimana fuqaha masa lalu telah dipengaruhi oleh lingkungan social budaya mereka dalam menetapkan hukum. Bukti yang paling jelas adalah bahwa al-Syafi‟i sebagai pendiri madzhab Syafi‗i mempunyai qawl qadim dan qawl jadid. Banyak keputusan qawl qadim yang digantikan atau diubah oleh qawl jadid, karena dirasa lebih pantas/sesuai dengan lingkungan sosial yang baru.16

15

Amir Syarifuddin, Garis-garis …, h. 74-75.

16 Muhmmad Atho‟ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia:

a Socio –Historical Approach, Jakarta: Office of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003, h. 95.

(14)

13 Permasalahan ‘Urf

„Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya berteentangan dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan pertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut :

a. Pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat khusus. Apabila pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka „Urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.

b. Pertentangan „Urf dengan nash yang bersifat umum. Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa‟, apabila „Urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara „Urf al-lafzhi dengan „Urf al-„amali, apabila „Urf tersebut adalah „Urf al-lafzhi, maka ‟Urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas „Urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di

(15)

14

khususkan oleh „Urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna „Urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.

c. Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan „Urf tersebut.

Apabila suatu „Urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan „Urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat amali (praktik), sekalipun „Urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟. Sebab, keberadaan „Urf ini muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hukum secara umum.17

Kaidah Ushuliyyah pada Pemberlakuan ‘Urf

Diterimanya „urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas terwujudnya dinamisasi hukum Islam. Sehingga, keadaan „urf pun akan selalu mengalami berbagai macam warna. Seperti yang dikatakan oleh ibnu

17http://rasyidakbarsuryawan.blogspot.com/2012/11/hukumurf.html

(16)

15

Qayyim al-Jauziyah bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu dan tempat. Sebab, pada dasarnya setiap hukum fiqh dapat berubah seiring berubahnya adat istiadat yang berlaku di suatu tempat.

Dari berbagai kasus 'urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan „urf, diantaranya:18

لا ة مَّك حُم ُة د اع

a.

“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”. . ُني لا غت ُر ك ِةنِكام الاا و ِة نِماز الاا ِّري غِتب ِما ك اح الاا ُّر ي b.

“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”.

اش مالا ك اًفارُع ُفاوُراع مالا ًط ار ش ِطاوُر

c

“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”.

ارعالاِب ُتِبَّاثلا ِصاَّنلاِب ِتِبَّاثلا ك ِف

d.

“Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (al-Qur‟an atau hadits)”.

18 Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka Setia,

(17)

16

Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan melalui al-Qur‟an dan Sunnah, akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui „urf itu sendiri. Contoh Kasus ‘Urf

1.Kasus Sewa dan „urf ناعمتجي لا نامضلا و رجلأا

―Fee sewa dan biaya (perawatan/kerusakan) tidak bergabung”.

Menurut kaidah ini, orang yang menyewa sebuah rumah kontrakan, tidak bertanggung jawab mengeluarkan biaya perbaikan rumah. Karena hal itu menjadi tanggung jawab pemilik rumah.Penyewa (musta‗jir) tidak berhimpun padanya 2 hal, yakni; Membayar sewa dan Dhaman (membiayai kerusakan rumah).

Namun, dalam kerusakan yang kecil, menjadi kewajiban penyewa, seperti WC tumpat, atap yang bocor kecil, engsel jendela yang tercopot, sesuai dengan adat kebiasaan.

2.Kasus Lainnya

Pembeli dan Penjual lemari es sepakat bahwa barang yang dibeli tersebut tidak menjadi tanggung jawab penjual untuk mengantarnya ke rumah pembeli. Itu kesepakatan mereka, walaupun adat yang berlaku berbeda. Maka dalam

(18)

17

kasus ini ‗urf tidak berlaku, karena berlawanan dengan syarat yang mereka sepakati.

Kesimpulan

Demikianlah, ulasan sederhana terkait proses selektif dan akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah melembaga di tengah masyarakat. Sikap inilah yang menjadikan hukum Islam menjadi “shalihun li kulli zaman wa makan.” Kiranya, perlu dilakukan upaya penggalian lebih lanjut

mengenai berbagai tradisi dan potensi yang terdapat dalam masyarakat. Proses kreatif ini dapat menjadi solusi alternatif untuk menyelesaikan dan menjawab persoalanpersoalan yang terdapat dalam masyarakat sesuai dengan tuntunan Islam dan sesuai dengan local wisdom yang berlaku.

(19)

18

Daftar Pustaka

A Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Amin, Ma‟ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008.

Anshari, Masykur. Ushul Fiqh, Surabaya, 2008.

Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005. Khalaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta:

Rajawali, 1993.

Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, Al-Ahlam, V.25 No. 1, 2015.

Mudzhar, Muhmmad Atho‟. Islam and Islamic Law in

Indonesia: a Socio –Historical Approach, Jakarta: Office of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003.

Rahman, Abdur. Shari‗ah the Islamic Law, terj. Bashri Iba Asghary & Wadi Masturi, Shari‗ah Kodifikasi Hukum

Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2012.

Uman, Chaerul, dkk. Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Umar, Mu‟in, dkk. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Direktorat Jendral Pembianaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986.

(20)

19

Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu Fiqih Usul Fiqih 1, Yogyakarta: Lembaga Studi Filasafat Islam, 1994.

Referensi

Dokumen terkait