KONSEPSI
MUHAMMAD
RASYID
RIDHA
TENTANG
SYURA
SEBAGAI AZAS
PEMBRINTAHAN
ISLAM
Ahmad
Yamin2Abstract:
In
the discourse of Islamicpolitical
thoughts, both of pre and modern era, the term "syura" (deliberation) is oneof the great issues in the Muslim scholars especially
for
Islamicpolitical
thinkers. Oneof
the greatMuslim
thinkersin
this modern era who countributes significantly in thisfield
is Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. His political thoughts are available in his Magna Opus "Khilafot aw al- Imamat al-Uzma". His Ideas are consideredbrilliant
andstill
in line with the contemporarypolitical discourse. Ridha is in the opinion that the "syura" shoul
become the foundations in the "Islamic governement syistem".
Kata
Kunci:
Syura, Sistem Politik Islam, Muhammad Rasyid Ridha.Pembaharuan
di
bidangpolitik
merupakan aspek yang funda-mental danpaling
banyak mendapat perhatian parapemikir
Islam era modern (awal abad ke-20). Karena, secarapolitis
sebagian besarwilayah Islam, seperti Mesir,
Afrika
Utara dan Asia berada di bawah dominasi dan imperialisme Barat. Munculnyapemikiran-pemikiran
politik
Islam dalam era modern, menurutMunawwir
Sjadzali dipicuoleh tiga hal; pertama, disebabkan kerapuhan dan kemunduran dunia
Islam
yang disebabkanoleh faktor-faktor internal,
yang berakibatmunculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian
;
kedua,2 Ahmad Yamin adalah dosen tetap pada STAIN Kerinci Jambi.
adanya rongrongan
Barat
terhadap kekuasaanpolitik
dan wilayahdunia Islam yang
berakhir
dengandominasi
dan penjajahan olehBarat
atas
sebagian
besar
wilayah Islam;
ketiga,
munculnyakesadaran umat
Islam
akan keunggulan Barat dalam bidangilmu
pengetahuan danteknologi (Sjadzali,
1998: 115). Pemikiranpolitik
Islam terus berkembang pada masa modern dan mengalami interaksi
dengan pemikiran
politik
Barat. Namun, interaksiini
disikapi dengan berbagai corak respon, seperti akomodatif danrejektif
(Syamsuddin,2001:20).
Salah seorang
pemikir
politik
Islam
terkemukan era modernadalah
Rasyid Ridha
(w.
1935), seorangtokoh
dari
Mesir.
Dalambukunya
al-Khilafah
wa
al-Imamah al-Uzhma, Rrdha
menelaahulang
teori
konstitusikhalifah
dan berusaha memperbaiki lembagapolitik
ini
dalam
rangka rehabilitasi
kehidupan
umat Islam.
Iaberpendapat bahwa adanya kekhalifahan adalah
mutlak
diperlukan untuk menegakkan hukum dan kesejahteraan umat (Rihdo,t.t:
10).Ridha dikenal
sebagai
sosok modernis
dengan
paradigma p emikiran yangkonservatif
sekaligus rasionalis. Pemikiranny a y angkonservatif dilatarbelakangi
oleh
situasi dan kondisi lingkungan di manaia
hidup.
Ia
mengalami
masa-masa kekalahanorang
Islamdi
tanganInggris,
pendudukanMesir
dan ekspansi negara-negaruEropa serta
pernyataanmemberi
perlindungan kepada
sebagianbesar
wilayah Imperium
Usmani, yang
berakhir
dengan adanya penghapusan institusi khalifah secara besar-besaran p adatahun 1924.Kondisi sosio-politik
tersebutlah yang membenarkan ketegaran dan sikap konservatisme Ridha (Johannesdkk,
1993: 50).Menurut Ridha,
sistem kenegaraan yang benar adalah sistem yang menjadikan syura sebagaiprinsip
dasarnya dalam menentukan kebijaksanaan dan dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentinganumat
secaraluas. Pemikiran
Rasyid
Ridha
tentangkonsep
syura
merupakan salah satu
kontribusi pemikiran
yangcukup signifikan dalam diskursus
politik
Islam.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar
belakangdi
atas,pokok
masalah penelitianini
adalah; 1)
Bagaimanakahkonsep
syura
menurut pemikiran
Muhammad
Rasyid
Ridha
dalam pemerintahanIslam;
2)
Konsepseperti
apakah
yang
paling tepat
digunakan
dalam
sistem pemerintahan Islam.TUJUAN DAN
KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui konseppemikiran
Muhammad
Rasid Ridha tentang
syura dan
solusi apa
yang
diungkapkan
oleh
Muhammad
Rasyid
Ridha
tentang
sistempemerintahan
Islam.
Penelitianini
diharapkan dapat memberikankontribusi
pemikiran
politik
dalam
upaya
perubahan
sistem pemerintahan Indonesia ke depan yang lebih baik.METODE
PENELITIAN
Jenis penelitian
ini
adalah
library
research atau
telaahkepustakaan dengan pendekatan metode
kualitatif.
Sumber pokok penelitianini
adalah karya-karya Muhammad Rasyid Ridha yangberkenaan dengan
syura
diantaranya;Al-Khilafah wa
al-Imamahal-Uzhma
(Konsep
negaraIslam), al-Wihda al-Islamiyah
wa
al-Ukhuwat
al-Diniyat
(Konsep
PersatuanIslam)
dan Subuhat al-Nashara waHujjaj
al-Islam (Pembuktian kebenaran Islam). Sumberbahan
skunder
juga
dipakai buku-buku
karangan
MuhammadRasyid
Ridha yang
lain
dan
buku-buku yang
ada hubungannya dengan penelitian.Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode
analisis
isi
(content analysis)
dengan menggunakan sistimatikagrand
konsep
yaitu model
teori
yang
berangkat
dari
proposisi universal untuk melandasi semua konstruksi lebih lanjut. Selanjutnyadigunakan metode
deskriptif
analitis dan metode komperatif.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Riwayat
Hidup
danLatar
Belakang
Intelektual
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin
Ali
Ridhabin
Muhammad Syamsuddin al- Qalamuni (selanjutnya disebut Ridha),
lahir
pada tanggal27 Jumadll Awal
1282H
(23 September 1865)di
al-Qalamun, sebuahdesa
di
Lebanon
tidak
jauh dari
Tripoli.
Menurut
beberapa sumber,ia
berasaldari
keturunan
bangsawanArab
yangmemiliki
garis keturunan langsungdari
Huseinbin
Ali,
cucu Nabi Muhammad SAW. dari Fatimah. Oleh karena itu, ia sering
memakai gelar al-Sayyid
di
depan namanya (a1-Syirbasyi,
1970: 100-105 dan Nasution,1975: 69).Ridha
dibesarkandi
tengahkeluarga
terpandang. Kakeknya, Sayyid SyaikhAhmad
adalah seorang ulama yang terkenalwara'
dan disegani oleh masyarakat. Demikianjuga
ayahnya SayyidAli
Ridha,
adalah
seorangulama yang dihormati.Lingkungan inilah
yang membentuk perkembangan awal
intelektualitas Ridha.
Sejakkecil ia telah
diajarkan
ayahnya membaca dan sekaligus mengahapalal-Qur'an (Jafar,1997:65 dan al- Syirbasyi, 1970: 107),
Ridha memulai
pendidikan
formalnyadi
Madrasah tradisionaldi
Qalamun. Setelah tamat,Ridha
dikirim
oleh orang
tuanya keTripoli
melanjutkan pendidikannya
di
Al-Madrsah
al-Ibtidaiyah
al-Rusydiyah, yang mengajarkan bahasa Arab (Nahwu,
Syaraf
dan lainnya),ilmu
kalam,
ilmu
fiqh,
matematika, geografi dan bahasaTirrki
(al-Syirbasyi,
1970:
118-20).Karena
merasa
tidak
cocok dengan sistem pendidikandi
sekolahan tersebut yang menggunakan bahasaTurki
sebagai bahasa pengantarnya,di
sampingjuga
adanyaikatan
bagi
para alumninya
untuk
dipekerjakan
setragai pegawai negeri pada instansi-instansi pemerintahanTurki
Usmani, akhirnyaRidha meninggalkan sekolahan tersebut setelah menempuh pelajaran
kurang
dari
setahun.Pada
usia
17 tahun, tepatnya padatahun
7882,ia
melanjutkan pendidikannya di al-Madras ah al-Wathaniyah al-Islamiyaft (SekolahNasional Islam)
di Tripoli.
Lembagapendidikan
ini
dipimpin
oleh Husein al-Jisri, seorang syaikh yang telah dipengaruhi ide-ide modern(Hourani, 1983: 50). Al-Madrasah
al-Wathaniyah
al-Islamiyahdipandang sebagai sekolah terbaik yang ada di Syuriah waktu itu.
Di
sekolahan
ini
diajarkan
ilmu-ilmu
modern seperti logika, psikologi, kedokteran, bahasa Prancisdan lainnya,
di
samping pengetahuan agama yang merupakan mata pelajaranpokok (al-Adawi,
t.t:230).
Padawaktu
itu,
sekolah-sekolahKristen
berkembangpesat
danbanyak
menarik
perhatian
orang Islam
untuk
menyekolahkan anak-anak merekake
sekolahitu.
Dalam
usaha
menandingi
dayatarik
sekolahKristen
itulah,
Syaikh Huseinal-Jisri mendirikan
a/-Madrasah
al-Wathaniyyah.
Sekolahini
tidak berumur
panjang, karena mendapat tantangan dari pemerintah Tirrki Usmani, sehingga terpaksa ditutup (Nasution, 1975: 69). Setelah delapan tahun belajar,Ridha
memperoleh rjazah dalambidang
ilmu
agama, bahasa danfilsafat,
tepatnya padatahun
l3I4
H11897(al-Syibrasyi,
1970: 122dan
Shihab,
1984:35).
Pemikiran
Syaikh Husain al-Jisri
begitumelekat dan berkesan pada Ridha, sehingga memberi pengaruh yang signifi kan terhadap
pemikiran
Ridha selanjutnya.Sosok lainya yang
ikut
mempengaruhipemikiran
Ridha adalahJamaludin
al-Afgani
(w
1897).Ridha
mulai
mempelajarijurnal
al-Urwah
al-Wutsqaketika
ia
menemukanyadi
antara buku-bukuayahnya. Ridha
tertarik
mempelajarial-Urwah
al-Wutsqa karena iapernah menerima gagasan dan
pemikiran al-Afgani dari
ayah dangurunya, Husain al-Jisri. Ridha merasa sangat terkesan dengan ide-ide al-Afgani. Charles Adams mengungkapkan bagaimana
al-Urwah
al-Wutsqa
memberi
inspirasi
dan pengaruh terhadappemikiran-pemikiran reformis Ridha
sebagaiberikut:
"His
chief
concern,had been orthodoxy of belief and
practice; if
he had any thoughtof
reform , it wapurely
local character. But the readingof
al-Urwahal-Wutsqa changed
all
this. He appealsfor
the reform of a whole, andthe regeneration of
all muslim
nations and restoration of the earlyglory
of Islam,placed
a new desires. Hisfirst
teacher hesays,
hadbeen
lhya'
of al-ghazali, whichwasthefirst book
to take possessionof his mind and heart. His second teacher was
al-Urwah
al-Wutsqawhich changed the course of his
life"
(Adams, 1933: 179).Begitu kagumnya Ridha pada al-Afgani, ia bermaksud bergabung dengan al-Afgani di Istanbul yang sedang gencarnya mengembangkan gerakan Pan-Islamisme, tetapi niat tersebut tidak tercapai karena
al-Afgani
meninggaldunia.
Setelah kematianal-Afgani,
Ridha pergike
Beirut
menemuimurid
sekaligus penerus ide-ide al-Afgani, yaituMuhammad Abduh pada tahun 1897 (Iafar,1977:69). Perjumpaannya dengan
Abduh
meninggalkan kesan mendalam bagi Ridha. Pelajaran yang diperolehnyadari
Husein al-Jisri dan kemudian diperkuatide-ide al-Afgani
dan Abduh
telah membentuk paradigma pemikiranRidha yang konservatif sekaligus rasionalis.
Di
bawah bimbingan Abduh, intelektualitas dan keilmuan Ridha semakin matang terutama pengetahuannya tentangtafsir
al-Qur'an(Jafar,1977: 69).Ia mencatat setiap kuliah yang disampaikan Abduh
dan selanjutnya ide-ide pembaharuan Abduh
di
publikasikan dalam bentukjurnal
yang terkenal dengan majalah al-Manar.Sebagai
penulis yang produktif, Ridha telah
mengahasilkanbanyak
karya,
di
antaranyasampai
saat
ini
masih
menghiasi khazanah kepustakaandi
dunia Islam,dan
masihdipakai
sebagai referensi dalam kajian Islam terutama di PerguruanTinggi.
Berikut
dikemukakan Karya-karya Rasyid Ridha yang masih
ditemukan,sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh al-Adawi
dalam
karyanyaRasyid Ridha al-Imam
al-Mujahid.
1.
Al-Hikmah al-Syar'iyah
fi
Muhkamah
al-Qadriyah
wa
al-Rif
iyah (Tentang etika dan tasawuf).2.
Tarikh
al-Ustadz al-Imam
Muhammad
Abduh
(Biografi
Muhammad
Abduh
dan
tentang perkembanganMesir
waktuitu).
3.
Al-Wahy
al-Muhammadiy (Pembuktian
ilmiah
wahyu Allah
kepada Muhammad).
4.
Dzikra al-Mawlid
al-Nabawiy (Pe4'alanan hidupNabi
SAW dan persoalan peringatan maulid Nabi).5.
Al-Khilafah
wa al-Imamah al-Uzhma(Konsep
negara Islam).6.
AI-Wihda
al-Islamiya
wa al-Ukhuwat
al-Diniyaf
(Konsep Persatuan Islam).7.
Subuhat al-Nashara waHujjaj
al-Islam (Pembuktian kebenaranIslam).
8.
Al-Manar
waal-Azhar
(Sejarah danmisi
al-Azhar).9.
Majalla
al-Manar
(Terbitsejak
1898-1935).I
0.
Tafsiral-Manar
(Al-Adawi,
t.t: 269-27 0).Di
sampingitu
terdapatjuga
karya-karya beliau dalam bentukartikel
dantulisan
singkat (Jafar:l9l7:11-72),
seperti dalam bidangpolitik;
al-Muslim
wa al-Qibti wa
al-Mu'tamar
al-Mishri,
al-Wahabiyyun
wa al- Hijaz
danal-Islam
wa
al-Madaniyah. Dalam
bentuk
suplementafsir, seperti;
Tafsir
Surat al-Fatihah.
Dalam bidanghukum Islam terdapat
'Umdatal-Ahkam min
Kalam Khyr
al-Anam, al-Riba
wa
al-Mu'amalahfi
al-Islam
dan Yusr al-Islamwa
Ushulal-Tasyri' al-Am.
Dalam bidang sosial terdapat Huquqal-Nisa'fi
al-Islam (Tentang emansipasi wanita).Epistemologi
Syura
Pengertian dan Dasar
Hukum Syura
Kata syura
berasaldari
akar kata
sltawara.Bentuk
dasarini
mempunyaibanyak
arti.
Di
antara sekian banyakarti
itu
adalahmenawarkan
diri,
menyambutdan menjadi
sasaran (Manshur, t.t:105-106).
Istilah
musyawaral
(musyawarah),merupakan
bentuk masdar dari kata kerja syawara, yusyawiru
berarti "menampakkan,menawarkan dan mengambil sesuatu". Makna yang terakhir terdapat
dalam
ungkapansyawartu Fulanan
fi
al-amri
(saya mengambil pendapat si fulan mengenai urusanku) (Zakaria, 1972: 226).Kata syura
pada mulanya bermakna mengeluarkan madu darisarang lebah (Shihab, 1998:446). Makna
ini
kemudian berkembang mencakup segala sesuatu yang dapatdi
ambil atau di keluarkan dariyang
lain
(termasuk pendapat). Kata syura pada dasarnya digunakanuntuk
hal-hal yangbaik
(sesuai) dengan makna dasarnya (Shihab, 1998:469).Berdasarkan pengertian
etimologis
di
atas,syura yang
(kita)maksud didefenisikan
sebagai
usaha atau
upaya
merumuskandan
menyimpulkan
pendapatyang
berbedadari
sudut
pandang atau pendapat-pendapat yang terlontar berkenaan dengan masalahtertentu,
mengujinyadari
para
pemikir
dan parapakar
sehingga sampai kepada pendapat yangpaling
benar danpaling baik untuk
dipraktekkan dalam mencapai hasil terbaik.
Taufiq
asy-Syawi
menyatakanbahwa
syura lazim
diartikan
dalam
arti
yangumum
mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan musyawarah(bertukar
pendapat). Perlu dibedakanarti
syura dalam
makna
umum yang
mencakup
segala bentukmusyawarah dan bertukarpendapat, yang diistilah dengan masyurah
atauistisyarah dengansyura dalam arti sempit yang berarti ketentuan
yang ditetapi
sebagaihasil
keputusanjama'ah
yang dsebut syura(Asy-syawi,1997:
16).Sebagian ulama fiqh menyatakan bahwa syura berarti meminta
pendapat orang lain mengenai suatu urusan, karena orang-orangyang bermusyawarah
dituntut untuk
mengeluarkan pendapatnya tentang suatu masalah yang dihadapi bersama (DepagRI, t.t:
705). Dewasaini
syura
sering
dikaitkan
denganteori
politik
modern
(Barat),seperti sistem pemerintahan
republik,
demokrasi, parlemen, sistemperwakilan, senat,
formatur
dan berbagai konsep yang berhubungan dengan sistem pemerintahan (Rahardjo, 1996: 400).Dalam Islam, syura
bukanlah masalah yangbersifat
opsional,tetapi syura merupakan suatu kewajiban bagi para
pemimpin
yang mengemban tanggungjawab
terhadap masa depanumat.
Bahkan,Allah
SWT. telah memuliakan syura dengan menjadikannya sebagai salah satu surat dalam al-Qur'an.Kewajiban
syura
tersebut,di
sampingmerujuk
pada nash-nashal-Qur'an,
juga
mengacu pada hadits-haditsNabi
dan
ijmak
para sahabat. Palingtidak
ada duaayat
tentang syura yang berhubunganlangsung
dengan konteks
politik yakni
surah
Alimran (3):
159yang
artinya: "Maka
disebabkan rahmatAllah-lah kamu
berlakulemah lembut terhadap
mereka. Sekiranyakamu bersikap
kasardan berhati keras, tentulah
mereka
akan
menjauhkandiri
dari
sekelilingmu.Karena itu
maaJkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusantertentu. Kemudian
apabila
kamu telah membulatkan tekad, makabertaqwalah
kepadaAllah,
sesungguhnyaAllah
mencintai
orang yang bertawakkal kepadaNya." ( DepagRI,
1996: 103).Ridha
menyatakanperintah syura
di
sini
bukan
hanya
di-nisbatkan kepada
Nabi
SAW.tetapi
ditujukankepada
umat Islamuntuk
menjadikansyura
sebagai kaidah danprinsip
pertama bagi sebuah sistem pemerintahan Islam (Ridha,t.t:
200). Sejalan denganRidhho, Quraish Shihab
menyatakan, secara redaksional ayatini
ditujukan
kepadaNabi
SAW. supaya memusyawarahkan persoalantertentu (seperti urusan perang) dengan para sahabat atau anggota
masyarakatnya,
tetapi
ayat
ini
juga
merupakanpetunjuk
kepada setiapmuslim,
khususnya kepada parapemimpin,
agar senantiasamenjunjung
tinggi
prinsip-prinsip
syura
dalam mengambil
suatu keputusan dan mengeiuarkan kebijakan (policy) ( Shihab, 1998:470).Ayat
al-Qur'an
lainnya yang
berhubungan
dengan
syuraadalah surah
Al-Syura (42):
38:
"Dan (bagi)
orang-orang yang
menerima (mematuhi)
seruan
Tuhannya,dan
mendirikan
shalat(dengan sempurna) sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah
antara
mereka
dan
merekamenffiahkan
sebagiandari
rezekiyang
Kami
anugerahkan kepada mereka."(
DepagRI,
1996:789).Sehubungan dengan ayat
ini,
Ridha
menyatakan bahwa syura adalahjalan
(solusi)terbaik
dalam menyelesaikan persoalan umat.Syura
merupakan (strategi)
dalam
menghadapikondisi
penting dalam masyarakat, misalnya perang, manajemen pemerintahan dan masalah sosial lainnya. Pemimpin umat (khalifah) harus menjalankanprinsip syura, untuk mencari solusi
setiap persaoalanyang
di-hadapi, terutama menyangkut persoalan
politik
yang menyangkutkepentingan masyarakat secara luas (Ridho, t.t: 30).
Di
samping berdasarkanpada
prinsip
ayat
di
atas, terdapatjuga
beberapahadits
Nabi
yang
menetapkansyura
adalah salah satuprinsip
hukum dalam Islam.Di
antara hadis yang menjelaskantentang
keutamaansyura
adalah
hadits yang
diriwayatkan
olehImam al-Tirmizi
;
"Dari
Abu
Hurairah ra.
berkata:
Aku
tidak
pernah melihat seseorang yang paling gemar bermusyawarah selainRasulullah SAW." (
Al-Tirmizi,
1962: 2I4).Kemudian
juga
ada hadits yangdiriwayatkan
olehIbn
Majah;"Dari
Abu
Bakar, telah bercerita kepadakami
Yahyalbn Zakariya
ibn
Abi
Zardah danAli
bin Hasyim dari
ibnAbi
Laila Dari
Abi
al-Zubair dan Jabir berkata, Rasul SAW. bersabda
"
Apabila seseorangdi
antarakamu
meminta
musyawarah kepada saudaranya maka hendaklah ia memberi saran kepadanya."(Ibn
Majah, t.t:1233).Selain
berpegang kepadaal-Qur'an dan
Sunnah, keutamaansyura
sudah merupakanijmak
para ulama.
Kesepakatan (ijmak)umat tentang kewajiban
syura bukanlah
hal yang baru,karena syuramerupakan prinsip pertamayangtelah disepakati dan diterapkan oleh
para sahabat, setelah Nabi wafat
yaitu
pada peristiwa Saqifah Bani Sa'adah.Begitu
Rasullah SAW. Wafat, para sahabat berkumpul diSaqifah Bani Sa'adah untuk bermusyawarahmengenai apayang harus
dikerjakan mengatur negara
Madinah
dan mejaga kepentingan umatIslam setelah wahyu terhenti dengan wafatnya Nabi. Dalam hal
ini,
para sahabat telah berusaha sungguh-sungguh agar persoalan yang sangat pentingini
dapat diselesaikan dan disepakati sebelum jenazahRasulullah SAW. dim akamkan, demi menj amin kelangsungan sistem sosial
pilitik
yang pondasinya telah ditegakkan Nabi.Objek dan Mekanisme Pelaksanaan Syura
Menurut Ridha, tidak semua persoalan umat dapat di selesaikan
melalui
musyawarah.
Yang dimaksud
dengan amruhum
syurabaynahum
adalahurusan-urusan duniawr
yang biasanya menjadi tanggungjawab
pemimpin,
bukan
urusan yangberkaitan
denganibadah, sebab
bila
pada pada urusan agama seperti akidah, ibadah,halal dan haram dijadikan objek
musyawarah,
niscaya
agama akan menjadi bagiandari
ketapan manusia, padahal agama adalah ketetapan dan otoritas Tuhan.Tidak
adawilayah
akal padanyabaik
ketika Nabi
SAW.masih
hidup
maupun sesudahnya(
Ridho,
t.t:30).
Ridha mendasarkan asumsinyapadahadits Nabi;
"Dari
Rafi'bin
Khudaij
Rasulullah SAW. bersabda, apa saja yang berkaitan denganurusan
agama(wahyu) kembalikan kepadaku, dan
apa saja yang berkaitan dengan urusan dunia kalianlah yang lebih mengetahuinya.(Hanbal: 1995: 56).
Sependapat dengan
Ridha,
Quraish
Shihabyang
menyatakanbahwa persoalan-persoalan
yang
telah adapetunjuk
Tuhan secara tegas dan jelasbaik
langsung maupun melalui Nabi-Nyatidak
dapat dimusyawarahkan, misalnya tentangtatacar aberib adah. Musyawarah hanya bisa dilaksanakan terhadap persoalan-persoalan yang belumada
petunjuk
secara eksplisit dan persoalan-persoalan yang bersifatduniawi
(Shihab, 1998:
479). Pendapatyang
sama dikemukakanoleh Taufiq
asy-Syawiyang
menyatakan bahwa masalah-masalah agama yang sudah adapetunjuknya
secarajelas
tidak
ada peluanguntuk
musyawarah, sebab pendapat manusia
tidak
dibenarkanmendahului
wahyu (Fariz,
t.t:
77). Apabila masalah akidah, ibadah dan masalah agama lainnya yang telah jelas petunjuknya dalamal-Qur'an
dimusyawarahkan,berarti
esensi agamatidak
transendentlagi, karena ada intervensi manusia.
Syura
Sebagai AzasPemerintahan
Islam
Urgensi Syura dalam Sistem PemerintahanMenurut
Ridha,
sistem kenegaraan yangbenar
adalah sistemyang menjadikan
syura
sebagaiprinsip
dasardalam
menentukankebijaksanaan
dan
mengambil keputusan
yang
menyangkutkepentingan
umat
secaraluas.
Apabila prinsip syura
dijalankandengan
baik
dan benaq pemerintahan akanberfungsi
denganbaik
serta dapat terhindardari
ekses-ekses yang tidakdiinginkan,
seperti perselisihan, perpecahan dan sebagainyaRidha mengemukakan beberapa keistimewaan dari prinsip syura
sebagai
prinsip
dasar
dalam
mengambil keputusan,
drantaranya bahwa dengan praktek syura yang melibatkan komponen masyarakatsecara
luas, peluang terjadinya
kesalahandan kekeliruan
dalampengambilan keputusan
lebih
tipis
dan resikonyapunlebih
ringan bila dibandingkan dengan bertindak berdasarkan pendapatindividu.
Bila
komponenyang
dilibatkan
dalam
proses musyawarah besar,pendapat
dan
ide
yang
mengemukalebih variatif
dan
keputusanyang
dihasilkan
merupakan keputusan bersama(Ridha,
t.t:
1999).Dengan
demikian, implikasi dan
ekses-eksesyang
timbul
dari keputusanitu
ditanggung bersama tanpa ada pihak-pihak
yang merasadirugikan,
sertatidak
ada yang merasa menang atau kalah.Melalui musyawarah, setiap masalah yang menyangkut kepentingan
umum
dan kepentinganrakyat dalam
skala yanglebih
luas dapatdiselesaikan secara
bijak dan
tepat
oleh
semuapihak.
Tentunyadengan
cara
mengemukakan pandangandan
pikiran
dari
semuapihak
yangwajib
didengar oleh pemegang kekuasaan suatu negara(khalifah).
Dengandemikian,
seorang penguasa dalam mengarnbil suatu keputusan dapat mencerminkan pertimbangan-pertimbangan yangobyektif
dan bijaksana untuk kepentingan rakyat.Prinsip syura
yangdikemukakan
olehRidha
berbeda dengansistem
demokrasiyang diterapkan
di
negara-negaraBarat,
yang
sering
dipahami
denganpaham mayoritas,
yaitu
kekuasan olehkelompok
mayoritas.
Dalam prakteknya,
demokrasi
berpegangpada
rumus
"setengahplus satu"
atau suara mayoritas yang lebihdari
separo danberakhir
dengan kekalahan suarabagi
satu pihakdan kemenangan bagi
pihak lain.
Bahkan,Hendri
Mayo menandaidemokrasi dengan adanya kecurigaan terus menerus bahwa lebih
dari
seperdua masa berlaku benar dalam lebihdari
seperdua masa.Apa
yang
diputuskanoleh
kelompok mayoritas adalah kebenaran (Syamsudin, 2000: 34-35).Apakah mayoritas
identik
dengan kebenaran? Dalamperspektif
filosofis, jawaban atas pertanyaan
ini
adalah negatif. Dalam halini,
"apa yang disukai orangbanyak"
(prefered by most)tidaklah
sama dengan "apayangbanyakdisukai"
(most prefered). Adalahmungkin
terjadi bahwa "apayang banyak
disukai"
(di dalamnya mengandungkeb enaran) tidak menj elma menj adi "ap a yang disuakai orang banyak"
(di
dalamnya mengandung
kekuasaan).Karena
itu,
kekuasaantidak identik
dengan kebenaran,
seperti
halnya
kemayoritasantidak identik
dengan kebenaran (Syamsudin,2000:
34-35).Politik
acapkali
membawa kekuasaan memutuskan kesukaannya tampamemperhatikan kebenaran, apalagi proses
politik
dijalankan
atas dasar kesukaan kekuasaan. Dengandemikian,
kekuasaan (dalamarti
mayoritas
sekalipun)menjadi
tidak
demokratis,
atau dengan kata lain "demokrasiitu
sendiritidak
demokratis."D al am prin sip s y ur a, p endap at dan keputusan yang dimenangkan
bukanlah
pendapatmayoritas
dari
sudut
hitungan
angka,
tetapimayoritas
hujjah
(argumentasi),logika,
pikiran,
bukti-bukti
dandalll syar'i.
Dengan
demikian, syura
merupakan
media
untuk mengambil suatu ketatapan yang bersandar kepada kebenaran dandalil
syar'inya, bukan kepada kekuatan praktisnya (Asy-syawi,1997: 363).Inilah
perbedaanyang
hakiki
antaraprinsip syura
dengan sistem demokrasi.Ahl
Halli
wual-Aqd (Majelis
Syura)Istilah Ahl
Halli
waal-Aqd diartikan
dengan "orang-orang yangmempunyai wewenang
untuk
melonggarkandan
mengikat"
atau dalam bahasaInggris
disebut
"the people withpower to
bind andto
loosen" (Rosenthal,1965:69). H.A.R. Gibb
mendefinislkanahl
al-halli
waal-Aqd
dengan "Those who arequalified
to unbind andto bind",
the repsentativesof
communitiy of Muslims who
ctct ontheir
behalfini
appointing
and deposinga caliph
or
anotherruller
(Ahlal-Halli
wa
al-Aqd
adalah"wakil"
komunitasMuslim
(umat) yang bekerja dan bertindak atas nama rakyat, bertugasmemilih
danmemberhentikan seorang
khalifah
atau penguasalainnya)
(Gibb,t960:263-264).
Ridha
juga menyebutnya dengan
Ahl
al-Ikhtiyar
(golonganyang berhak
memilih)
(Ridha,
t.t:
15).Hal
ini
sama denganal-Mawardi
yang
juga
menggunakanistilah
ahl
al-Ikhtiyar.
Ridha
juga
menyebutnya dengan Walial-Ahdi
yaitlu penunjukan seorangImam kepada seorang penggantinyayang dipandang mampu untuk
melanjutkan kepemimpinannya
(Al-Mawardi,
t.t:
6).
Penunjukandari imam yang sedang berkuasa
itu
merupakan suatu tradisi dalam mekanisme suksesi imam ah pada zamanklasik. Pribadi yangditunjuk
adalah seorang yang bersifat
wara'
danmemiliki
ilmu
pengetahuan agama yang mendalam, serta dapat diterima oleh umat.Lembaga
Ahl
Halli
waal-Aqd
di
kalanganSunni juga
dikenaldengan
istllahAhl
al-Syaukatyaitu orang yang memegang kekuasaanpolitik tertinggi
dan orang yang duduk
di
dalamnya mempunyai peran dan pengaruh yang amat besar bagi pengangkatanimam
(al-Ghazalr, 1956: 66).
Di
kalanganMuktazilah,
lembagaAhl al-Halli
waal-Aqd
dikenal denganistilah
Ahl
al-Satr
waal-Din.
Lembagaini,
sebagaimana yang dikemukakan olehAbd
al-Jabbar, bertugasuntuk menentukan dan
memilih
orang yangakanmemangku jabatanimam. Dalam melaksanakan wewenangnya,
Ahl
al-Satr
waal-Din
berhak
memilih
beberapa calonimam
yang diajukan. Dengan katalain
mereka dapat saja melakukan penelitian terhadap calon-calonimam. Kalau dari penyelidikan
mereka
adadi
antara calon yangmemenuhi
syaratmenjadi
seorangiman,
atas
kesepakatan darianggota
Ahl al-Satr
wa
al-Din,
seseorang yangdipilih itu
berhakuntuk menjabat imam (al-Jabbar, 1965: 100).
Menurut Ridha, Ahl
Halliwa
al-Aqd sama denganUlil Amri.Ahl
Halli
wa
al-Aqd
adalah orang-orang yang mendapat kepercayaandari umat yang
terdiri
dari paraulama,
para pemimpinmiliter,
parapemimpin pekerja
untuk
kemaslahatanpublik;
seperti pedagang, petani, pengusaha,teknokrat,parapemimpin
partaipolitik,
danjuga
para tokoh wartawan (Ridha, t.t : 1 8 1). Pendapat Ridha (sej alan) dengan pandangan gurunya Muhammad Abduh yang juga menyamakan
Ahl
Halli
wa al-Aqd
dengan
Ulil Amri
yang disebut dalam al-Qur'ansurah al-Nisa' (4): 59.
Sebagian ulama dan mufassir yang tidak menyamakan
Ulil
Amri
dengan Ahl
Halli
wa al-Aqd, dalam menafsirkan kataulil amritidak
mengaitkannyadengan Ahl
Halli
wa
al-Aqd,
seperti al-Thabarimemberi penafsiran yang beragam,
yaitu
1) para pemimpin; 2) parasahabat
Nabi; 3)
ahli
hukum Islam;
4)
fuqaha dan ulama;5)
para sahabat Rasul;6)
parapemimpin
dan penguasa yang taat kepadaAllah
dan Rasul (al-Thabari,t.t:
147-150). SedangkanIbn
Taimiyah menafsirkanUlil
Amri
dengantokoh
masyarakat dan para ulama yang menjadi panutan masyarakat (Taimiyah,t.t:
136).Ridha
dinilai
lebih maju
daripada parapemikir Islam
zamanklasik
dan
pertengahanseperti
Ibn
Taimiyah, al-Marawardi,
danlainnya
-
mengenai
konsepAhl
Halli
wa
al-Aqd.Menurut
Ridha, AhlHalli
waal-Aqd
tidak hanyaterdiri
dari ulama atau (ahli agama) yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja - sebagimana pandangan para ulama zamanklasik
dan pertengahan - tetapijuga
dan pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai bidang profesi dan keahlian, seperti ekonom, pengusaha,politisi,
militer,
dan sebagainya (Sj adz ali, 199 0 :134). Ridha
tidak
hanya mempertimbangkan otoritas kelimuan bagianggota
Ahl
al-Halli
wa al-Aqd - sebagaimana kecendrungan ulamapra-modern
seperti
Ibn
Taimiyah
dan al-Mawardi
-
tetapi
juga mementingkankualifikasi
pengaruh dan peran anggotaAhl
al-Halli
wa
al-Aqd
dalam masyarakat.Sudah
tentu
tidak
setiappemimpin
dan pemukaprofesi
dankeahlian, otomatis menjadi
ahl
al-hall wa al-'aqd,
sebab, setiapanggota
ahl
al-halli wa
al-Aqd harus memenuhi
syarat-syaratyang telah ditentukan. Ridha
mengemukakan beberapa
syaratsebagai
berikut;
Mempunyai
sikapadil,
dalamarti
seluas-luasnya,Mempunyai
ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas danmemiliki
sifat bij aksana sehingga mampu mempertimbangkan kemaslahatan
umat, serta
memilih
orang yang dipandang layakuntuk
memangkujabatan
khalifah
(Ridha,t.t:
16).Bila kita
cermati,
syarat-syaratbagi
anggotaahl
al-halli
waal-Aqd,
tidak
terdapat syarat-syarat yang bersifatmateri,
misalnyaanggota
ahl
al-halli
waal-Aqd
harusmemiliki uang
yang banyakatau mempunyai
properti
dalamjumlah
tertentu.
Syarat-syarat anggotaahl
al-halli
wa
al-Aqd
identik
denganetika
agam\
yang menekan aspekmoralitas,
kapabelitas danintegritas pribadi
bagi.Dengan
kualifikasi
ini
diharapkan
ahl al-hall
wa al-'aqd
dapatmenentukan
ahl
al-imamah yang pantas menjadikhalifah
manurutsyarat-syarat yang
di
tentukan, dan mampu memegang jabatanitu
untuk mengelola urusan negara dan rakyat.Hubungan
antqraAhl al-Halli
wual-Aqd
denganRakyut
(Umat)Menurut
Ridha,Ahl al-Halli
waal-Aqd
adalah suatu lembaga yangmewakili rakyat
dalam melaksanakan haknyauntuk memilih
kepala negara
(Ridha,
t.t:
15).Iadi
Ahl al-Halli wa
al-Aqd
adalahwakil-wakil
rakyat
dalam
melaksanakan
hak
pilih.
Dengandemikian,
pilihan
Ahl al-Halli
waal-Aqd
adalahpilihan
rakyatitu
sendiri.
Akan
tetapi, bagaimana perwakilan tersebutterjadi;
apakahAhl al-Halli
waal-Aqd dipilih
rakyat
atauditunjuk
oleh khalifah,tidak
ada informasi yang menjelaskanya.Baik Al-Mawardi
maupunRidha, yang banyak menyoroti masalah Ahl
al-Hall
wa al-Aqd,tidak
membahasnya.
Ridha mengangkat konsep representasi atau perwakilan sebagai
medium hubungan antararakyat dan penguasa, atau lebih tegasnya
antara"wakil"
dan yang"diwakili"
(Ahlal-Hall
wa al-Aqd dan umat) (Syamsudin,
2001:21). Ridha menggunakan term-t ermj
ama'ah danummah,
tapi
membatasi pengertiannya padapemimipin-pemimpin
umat atau orang-orang yang memegang kekuasaan di antara umat dan mereka yang konsensusnyadi
terimamengikat.
MenurutMalcolm
H.
Kerr,
pandanganRidha
sesuai dengan pandangan Taftazani yang memahami term ummah sebagaiAhl al-Hall
waal-Aqd
yangmewakili
umat atas dasar posisi tingkatan dan kehormatandi
manakepemimipinan mereka kemudian berlaku atas anggota umat
(Kerr,
1966: 162).Menurut Ridha, hubungan
"wakil"
(Ahlal-Hall
waal-Aqd)
danummah adalah
hubunganyang
menunjukkan bahwa
kedaulatanumat telah
didelegasikan kepadaAhl
al-Hall wa
al-Aqd.
Ahl
al-halli
wa
al-Aqd
adalaho'wakil" umat bukan
utusan (Syamsudin,2001:
2l).
Dalam
hal
ini,
Ridha
menyamakanahl al-hall wa
al-Aqd,
di
sampingjama'ah
denganummah,
denganahl
al-syura("majelis
syura")
danahl
al-ijma'
("majelis
konsensus"). Dengandemikian Ridha tampaknya, seperti
di
simpulkan Malclom H.Kerr:
"....
Memeksimalkanperan
umat (atau
anggota-anggotanya yangmenonjol) pada
titik
di
mana merekalah(Ahl-Halli
wa al-Aqd)yang
menjadiwakil
Tuhan dan tanggungjawab
khalifah terhadap merekamenjadi
yang
utama.Ahl al-Hall
wa
al-Aqd
telah
menggantikankhalifuh
sebagaiwakil
manusia yangfungsinya
ditentukan secara langsun g oleh p ertimb angan-p ertimb angan keagamaan dan khalifahtelah menjadi pejabat eksekutifnya"
(Kerr,1966:
162).Otoritas
dan
TanggungJawab
Ahl
al-HaUi
wual-Aqd
Ridha mengemukakan bahwa tugas pokok orang-orang
pilihan
ini
adalahmemilih khalifah.
Pendapat Ridha sama dengan denganpendapat
mayoritas
ulama,
baik
ulama klasik dan
pertengahanmaupun
ulama
di
zaman modern, seperti al-Mawardi
yangmenyatakan
tugasAhl
al-Halli wa al-Aqd
adalahmemilih
salah seorangdi
antara
Ahl
al-Imamah
(golongan yang berhakdipilih)
untuk menjadi
khalifah
(al-Mawardi, t.t: 6).Hal lain
yang cukup menarik dari pemikiran Ridha
dalamkonteks
ini
adalah dalamhal
menjalankanotoritas
dan kewajibanmereka. Lembaga
Ahl al-Halli
waal-Aqd harus
bekerja atas dasar syari'ah.Apabila
syari'ah tidak menetapkan masalah tersebut, ulamayang harus
diminta
pendapatnya, termasuk mereka yang ada dalamAhl al-Halli
wa al-Aqd
sendiri. Anggota majelisini
-
yang karenakeadilan, pengetahuan, dan kebijaksanaan
mereka
cocok menjadimujtahid (penafsir syari'ah)
-
melakukanijtihad
dengan kekuatanrjmak, bahkan
dalam
masalah-masalahpolitik
dan hukum
yangberkaitan dengan pemerintahan (al-Mawardi, t.t: 6).
Di
sini
syari'ah
mendapat tempat yang sangatpenting
dalamanalisis
Ridha. Ridha
tidak
hanya
menggarisbawahi kesimpulanbahwa syari'ah harus
dilindungi
atau dihidupkan dalam bentuknyayang benar, tetapi
juga
berkesimpulanbahwa
hukum
tatanegara( hukum ah m a d an iy y aft) tid ak bi sa b ert ahan at aupun b erfungasi t anp a
legislasi (is
htira).
Ridha mendasarkan konsepsinya tentan g "negar aIslam" (al-dawlah
atau al-hukumah
al-Islamiyah)
pada
syari'atIslam.
Ini
mungkin
terlihat paradoks, tetapi bisa dipahami karena ia hidupdi
zamanketika
situasipolitik
menuntut pendekatan berbeda. Pada saatitu
Islam bukan faktor
dominan seteiah PerangDunia
I.Komitmen ny a y ang ku at p ada Isl am memak s anya memp ertahankan
Islam melawan kelompok moderni s sekuler yang cendrung westernis.
Walaupun pada awalnya
ia
termasuk
salah seorangdari
kelompok intelektual reformi s, t api p ada p erkemb angan s elanj ut ny a ia menj adiseorang
pemikir
yang
terikat
pada idealismetradisional dari
pada semangat reformispraktis (Kerr,
1966: 187).Namun demikian belum ditemui penjelasan hak-hak dan otoritas lain
Ahl
al-Halli
wa al-Aqd seperti pembatasan kekuasaan khalifah, mekanismepembentukan
lembaga,hak kontrol dan
sebagainya.Menurut Ridha,
meskipunAhl al-Halli
wa
al-Aqd
adalah"wakil"
rakyat, tetapiAhl al-Halli
wa al-Aqdtidak identik
dengan parlemendi
zamanmodern
yangmemiliki
kekuasaanlegislatif,
dan berhakmembatasi
kekuasaan kepala negara
melalui
undang-undang.Sedangkan khalifah adalah kepala negara yang memegang kekuasaan
baik eksekutif maupun
legislatif
(Ridha,t.t:
26-27) . KonsepAhl
al-Halli
wa al-Aqd
ini
masih tetap kabur.Akan
tetapihal
ini
bukan halprinsip
dan substansial, melainkan hanya persoalanteknis
dantemporer
yang
dapat berubah sesuai dengantuntutan
situasi dan kebutuhan masyarakat.PENUTUP
Kesimpulan
Dalam konteks
ini,
pemikiran
Ridha dinilai
cukup signifikan
dan
sangat relevan dengan diskursuspolitik
kontemporer. Ridhaberusaha membela
tipe
pemerintahan yang menjadikan kedaulatanrakyat
sebagaikarakternya,
yakni
pemerintahanyang
dibentukoleh
perwakilan dan
musyawarahlewat
Ahl al-Halli
wa
al-Aqd ataumajelis
syura dan
aliansi
umat
(bai'at).
Ridha
memandangpentingnya musyawarah
(syura) dan
konsensus(ijmak)
sebagaiprinsip
demokrasi dan partisipasipolitik
rakyat
dalam kekuasaan. Partisipasi tersebut tercermin dalam lembaga Ahl al-Halli
wa al-Aqd.Ahl al-Halli
waal-Aqd
harusterdiri
dari
orang-orang mempunyaiintegritas pribadi serta telah
diakui
intelektualitas dan komitmennyaterhadap
supremasihukum
dan
stabilitas
sosial
politik
secaramenyeluruh.
Ridha
menyamakanAhl
al-Halli wa
al-Aqd
denganjama'ah
atau ummah atauAhl
al-Syura (majelis syura).Menurut Ridha, dalam
menjalankan otoritas
dan
kewajiban mereka, lembagaAhl al-Halli
waal-Aqd harus
bekerja atas dasar syari'ah. Apabila syari'ah tidak menetapkan masalah tersebut, ulamaharus diminta
pendapatnya,termasuk mereka
yang ada
dalamAhl al-Halli
waal-Aqd sendiri.
Anggota majelisini
-
yang karena keadilan, pengetahuan, dan kebijaksanaan (layak) menjadi mujtahid(penafsir syari'ah)
-
melakukan
ijtihad
dengankekuatan
ijmak, bahkan dalam masalah-masalahpolitik
dan hukum yang berkaitandengan pemerintahan.
Rekomendasi
Setiap
keputusan
yang diambil
dalam suatu
musyawarahhendaknya
tidak
hanya diputuskan
melalui
voting
atau
diambildengan suara terbanyak, karena suara terbanyak
belum
menjaminkebenaran,
perlu
dipertimbangkan aspek
lain
seperti
landasanargumen
yang dikeluarkan
apakah sudah sesuai
dan
memihakkepada kepentingan
rakyat. Oleh
sebabitu,
syaratuntuk
menjadianggota
dewan harus diperketat
sehingga
orang yang terpilih
benar benar orang yang mempunyaiakhlakul karimah
yangtidak
hanya mengedepankan kepentingan partai dan kepentinganpribadi
sehinggatidak
terjadi
anggota dewan yang menaikkan pendapatanpribadi di tengah kesusahan ekonomi rakyat.
DAFTAR
PTJSTAKA
Abd
Al-Raziq,
Ali,
al-Islam
wa
Ushulal-Hulvn, Beirut: Dar
al-Maktabah, 1966
Abu
Fariz,
MuahammadAbdul
QadiE SistemPolitik Islam,
te4.
Musthalah Maufur, Jakarta: Rabbani Press, 1999Adams, Charles, C.,Islam and Modernism in Egypt, London: Oxford Unioversity Press, 1933
Ali.
E.Hilal,
"Islamic Modernism," dalamEncyclopedia of Religion,Vol.
10, ed.
Mircea
Eliade,
New
York:
Collier
Mc
Millan,
1 980
Al-Mawardi,
al-Ahkamal-Sulthaniyah,
Bein;it: Daral-Fikr,
1987Azra,
Azyumardi,
Pergolakan
Politik
umat
Islam:
Dari
Fundamentalisme, Mo dernis me dan P ost- Modernisme, J akarta
Paramadina,1999
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi
al-Qur'an,
Jilid
IV,
Iakarta: Paramadina,1990D ep artemen Agama.
RI,
a l - Qur' a n d an Tbrj e m a h ny a, J akarta: ThohaPutra, 1990
Departemen P
&.
K,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Dep. P& K,
1988Efendi, Bachtiar, Islam dan Negara,
Jakarta:Mizan,1998
F,nayat,
Hamid,
Modern Islamic
Political
Thhought, London: Mc.Millan,
1982Gibb,
H.A.R., Encyclopedia
of Islam, Jilid,
I,
Leiden: E.J.
Brill,
I 960Hourani, Albert,
Arabic
Thought in LiberalAga
London: CambridgeUniversity,
1983Iftitah,
Jafar, "Rasyid
Rida Political Thought"
dalamIslam
andDevelopment:
A
Politico-Religious Response,
Montreal:PERMIKA,
7977Imam
al-Tirrnidzi,
Sunanal-Tirmidzi,
Juz.IY,
Mesir:
Musthafaal-Baby al-Halaby,1962
Imam
Ibn
Majah, Imam,
Sunanlbn
Majah.
jilid II,
Indonesia: Maktabah Dakhlan,t.t
Imam
Muslim,
ShahihMuslim,jilid II,
Beirut:
Daral-Fikr,
1993 Ismael, ThareqY
dan Jacqueline S. Ismael, Government andPolitic
in Islam, New
York,
S.T.Martin,
1985Jameelah, Maryam,
Islam in
the Theory andPrtactice,
New Delhi:Taj Company, 1983
Kerr, Malcom H., Islamic Reform, The
Political
andLegal
Theoriesof
Muhammad
Abduh and
Rashid
Rida, London:
Barkeley, 7966Kuntowijoyo,
Identitas
Politik
Umat
Islam,
Bandung: Mrzan,
1997Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung;
Mizan,1995
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam
Islam,:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarla; BulanBintang,1975
Osman, Fathi, Parameters
oflslamic
State, Arabia; The Islamic Work Review, 1983Rahman, Fazlur,
"The Principle
of
Shura and the Roleof
lJmmah" dalam StatePolitics
andIslam,
Indianapolish: American TrustPublication, 1986
Rais,
Dhiauddin,
kori
Politik Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001Ridha, Rasyid,
al-Khilafah
wa al-Imamah al-Uzhma,.Ll-Manar
al-Qahirat,
t.t
, Tcfsir
al-Manar,jilid
IV
Libanon: Daral-Maa'rif, t.t
,
Wahy al-Muhammady,Kairo:
Mathba'ah al-Manar,t.t
Shiddiqi,
Mazheruddin,Modern Reformist
Thoughtin
the MuslimWorld, Islamabad: Islamic Research
Institute,
1982Shihab,
M.
Quraish,
Wawasanal-Qur'an:
Thfsir
Maudhu'i
atctsBerbogai Persoalan Umat, Jakarta:
Mizan,
1998Sihab
Eddin,
Muhammad,Pan
Arabism
in
theIslamic
Tradition, Washington: The AmericanUniversity,
1966Sjadzali,
Munawwir, Islam dan
ThtaNegara,
Jakarta:UI
Press,1 998
Sudirman
M.
Johan,Politik
Keagamaan dalamIslam:
Studi tentangteori
Imamat
Muktazilat Menurut Konsepsi Abd
al-Jabbarserta Perbandingannya dengan Teori Imamat Sunni dan Syi'ah, Pekanbaru: Susqa Press, 1995
Syamsuddifl,
M.
Drn,
Islam
dan
Politik Era
OrdeBaru,
Jakarta:Logos,2000
, "Antara yang berkuasa dan yang Dikuasai: Refleksi atas
Pemikiran dan Praktek
politik
Islam," Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang PemikiranPolitik
Islam,IAN
Syarif
Hidayatull ah J akarta, 27 F ebruari 2 00 I,
Etika
Agamadalam
Membangun Masyarakat Madani,Jakarta:
Logos,20002
Asy-Syawi,
Taufiq Muhammad, Syura BukanDemokrasi,
Jakarta: Gema Insani Press, 1997Asy-Syirbasyi, Muhammad, Rasyid Ridha Shahib
al-Manar
Mesir:Majlis
al-Lisynanul Islamiyah,
1970Z.Kampt,
On Modernism: The Prospectfor Literature and Freedom, Cambridge:MIT
Press, 1967